WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Thursday, 10 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Category:

SLIDER

BeritaBPK BekerjaIHPS II 2023SLIDERSorotan

Upaya Penurunan Risiko Bencana Hidrometeorologi Perlu Diperkuat

by Admin 13/06/2024
written by Admin

JAKARTA, WARTA PEMERIKSA — Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melakukan sejumlah upaya untuk menurunkan risiko bencana hidrometeorologi. Kendati demikian, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menunjukkan terdapat sejumlah hal yang perlu diperbaiki agar upaya itu berjalan efektif.

Seperti dikutip dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2023, BNPB diketahui telah mengoptimalkan upaya penurunan risiko bencana hidrometeorologi, di antaranya melalui penyusunan Rencana Induk Penanggulangan Bencana tahun 2020-2044 pada tahun 2020 serta Rencana Nasional Penanggulanan Bencana Tahun 2020-2024 pada Tahun 2022.

Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa terdapat permasalahan yang dapat memengaruhi secara signifikan upaya BNPB atas efektivitas upaya penurunan risiko bencana hidrometeorologi. Salah satu permasalahan itu, BNPB belum melakukan pengkajian risiko bencana nasional secara lengkap dan belum seluruh daerah melakukan pengkajian risiko bencana secara memadai. BNPB telah menyusun peta risiko dan matriks tabulasi risiko untuk tingkat nasional pada tahun 2021, namun belum menyusun, mengompilasi dan menganalisis data-data yang telah dimiliki tersebut ke dalam satu dokumen Kajian Risiko Bencana (KRB) tingkat nasional. “Akibatnya BNPB kesulitan memenuhi target penurunan Indeks Risiko Bencana, dan belum ada gambaran menyeluruh terhadap risiko bencana nasional dan daerah,” demikian dikutip dari IHPS II 2023.

Temuan BPK selanjutnya, rencana penanggulangan bencana (RPB) yang disusun belum lengkap dan selaras dengan kajian risiko bencana (KRB). BNPB telah melakukan revisi Peraturan Kepala (Perka) BNPB Nomor 4 Tahun 2008 namun belum dilegalisasi/ditetapkan, namun penyusunan RPB pada beberapa daerah mengacu pada pedoman yang belum dilegalisasi tersebut. Akibatnya, RPB Daerah yang disusun menggunakan pedoman yang berbeda-beda tidak terstandarisasi.

Temuan lainnya adalah kebijakan penurunan risiko bencana pada BNPB belumselaras dengan Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) Tahun 2020-2044 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024. BNPB terlambat menetapkan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (RENAS PB) Tahun 2020-2024 sehingga perencanaan pembangunan nasional dan daerah belum mengacu pada RENAS PB.

Akibatnya, Renas PB Tahun 2020-2024 tidak diimplementasikan dan diintegrasikan dengan perencanaan pembangunan jangka menengah pemerintah pusat dan daerah, perencanaan penanggulangan bencana dan penganggaran pada pemerintah pusat, pemerintah daerah menjadi tidak terpadu dan tidak saling mendukung.

Selain itu, Renas PB dan RPB provinsi/ kabupaten/kota tidak diacu sebagai prioritas rencana kerja pemerintah dan rencana prioritas penganggaran pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan tidak ada dasar hukum dan tata cara yang dapat dipedomani oleh pemangku kepentingan untuk mengendalikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana.

BPK telah merekomendasikan Kepala BNPB agar mengkaji risiko bencana nasional dan mengoordinasikan pengkajian risiko bencana di seluruh provinsi/kabupaten/kota. Kemudian, menyusun pedoman penyusunan RPB tingkat Nasional dan memutakhirkan Perka BNPB Nomor 4 Tahun 2008 dan segera mengesahkan peraturan tersebut.
Selain itu, melakukan pengendalian perencanaan kegiatan dan penganggaran yang menjadi prioritas nasional, prioritas instansi, dan prioritas bidang secara cermat, serta berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri
agar mewajibkan RPB Daerah sebagai salah satu bahan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Secara keseluruhan, hasil pemeriksaan kinerja atas efektivitas upaya penurunan risiko bencana hidrometeorologi mengungkapkan 7 temuan yang memuat 8 permasalahan ketidakefektifan.

13/06/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBPK BekerjaIHPS II 2023SLIDER

BPK Periksa Program Penurunan “Stunting”, Ini Hasil Temuannya

by Admin 12/06/2024
written by Admin

JAKARTA, WARTA PEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terus mengawal program pemerintah dalam mempercepat penurunan prevalensi stunting. Berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK menemukan sejumlah permasalahan dan memberikan beberapa rekomendasi terhadap pemerintah untuk memperbaiki program penurunan stunting.

Pemeriksaan kinerja ini dilaksanakan untuk program penurunan prevalensi stunting tahun 2022 dan 2023 yang dilaksanakan pada 3 objek pemeriksaan (obrik) di pemerintah pusat, yaitu Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta pada 44 obrik di pemda yang terdiri atas 40 pemerintah kabupaten, 3 pemerintah kota, dan 1 pemerintah provinsi beserta instansi terkait lainnya

“Hasil pemeriksaan menyimpulkan masih terdapat permasalahan yang apabila tidak segera diperbaiki, maka akan memengaruhi efektivitas upaya Kemenkes, BKKBN, dukungan BPOM, dan pemda dalam percepatan penurunan prevalensi stunting,” demikian pernyataan BPK seperti dikutip dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2023.

Salah satu permasalahan yang ditemukan BPK adalah Kemenkes belum sepenuhnya menyelenggarakan kebijakan perencanaan dan penganggaran program percepatan penurunan stunting (PPS) tahun 2022 dan 2023 dengan melibatkan multipihak (antara lain Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri). Salah satu tujuan Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RANPASTI) yang merupakan turunan dari Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting adalah melakukan penguatan upaya konvergensi perencanaan dan penganggaran PPS tingkat pusat, daerah, desa dan pemangku kepentingan yang berkesinambungan.

Kemenkes melalui Permenkes Nomor 48 Tahun 2017 telah menyusun pedoman perencanaan dan penganggaran bidang kesehatan meliputi perencanaan dan penganggaran yang menggunakan APBN dan sumber dana lain yang digunakan untuk dekonsentrasi dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun demikian, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Permenkes Nomor 48 Tahun 2017 dalam hal perencanaan, penganggaran, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi (monev) kegiatan pembiayaan JKN/Kartu Indonesia Sehat (KIS) belum mengacu pada Perpres Nomor 72 Tahun 2021 yang di dalamnya menjelaskan bahwa PPS di Indonesia dilakukan secara holistik, integratif, dan berkualitas melalui koordinasi antarpihak.

“Hal ini mengakibatkan adanya risiko pelaksanaan program kegiatan intervensi spesifik dan intervensi sensitif dalam rangka PPS di lingkungan Kemenkes tidak sesuai sasaran pada Perpres Nomor 72 Tahun 2021,” tulis BPK.

BPK telah merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan agar memerintahkan Sekretaris Jenderal untuk berkoordinasi
dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selaku Ketua Tim Percepatan Penurunan
Stunting (TPPS) Pusat terkait perencanaan dan penganggaran program PPS serta menginstruksikan unit kerja terkait agar dalam menyusun perencanaan dan penganggaran terkait percepatan penurunan stunting menggunakan data Keluarga Risiko Stunting (KRS) dan sasaran Perpres Nomor 72 Tahun 2021.

Permasalahan lain yang ditemukan BPK adalah Kemenkes belum melaksanakan monitoring data rutin melalui Aplikasi Sistem Informasi Gizi (Sigizi) Terpadu dalam modul aplikasi pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-PPGBM) secara memadai. Kualitas data rutin dalam aplikasi/modul e-PPGBM belum sepenuhnya mencakup kelengkapan data, akurasi data, ketepatan waktu, dan konsistensi data. Sementara data rutin terkait gizi dan stunting belum sepenuhnya terintegrasi melalui Aplikasi Sehat IndonesiaKu (ASIK). Selain itu, data pada aplikasi/modul e-PPGBM belum dimanfaatkan sebagai pertimbangan dalam pelaksanaan intervensi spesifik.

Hal ini mengakibatkan adanya potensi tidak tercapainya tujuan dari Aplikasi Sigizi Terpadu yaitu memperoleh informasi status gizi individu dan kinerja program gizi secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan untuk penyusunan perencanaan dan perumusan kebijakan gizi untuk mendukung PPS. BPK telah merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan
agar memerintahkan Sekretaris Jenderal untuk menginstruksikan Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) mereviu hasil pekerjaan yang telah diselesaikan (product review) serta pelaksanaan rilis penerapan sistem informasi (aplikasi dan basis data) ASIK serta berkoordinasi dengan Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

Koordinasi tersebut perlu dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan kelemahan dalam rangka mengintegrasikan data pada aplikasi/modul e-PPGBM ke ASIK, dan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat untuk melaksanakan pengendalian aplikasi yang meliputi pengendalian kelengkapan, pengendalian akurasi, dan pengendalian terhadap keandalan pemrosesan dan file data.

BPK juga meminta Menkes memerintahkan Direktur Gizi dan KIA untuk melakukan verifikasi dan validasi secara berkala atas hasil analisis data pada aplikasi/modul e-PPGBM, serta mengidentifikasi kelemahan dan kebutuhan menu pelaporan pada aplikasi/modul e-PPGBM secara lengkap untuk menjamin tersedianya data rutin yang berkualitas.

12/06/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaEdukasiSLIDER

Yuk Kenali Ragam Opini BPK

by Admin 11/06/2024
written by Admin

WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki mandat untuk melakukan pemeriksaan atas pengeloala keuangan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945. Pemeriksaan laporan keuangan yang dilakukan BPK menghasilkan empat jenis opini.

Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan beberapa pada kriteria. Kriteria-kriteria tersebut adalah kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.

Opini dihasilkan dari pemeriksaan keuangan yaitu pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat,  pemerintah daerah, serta kementerian/lembaga. Tujuan Pemeriksaan atas laporan keuangan adalah untuk memberikan opini/pendapat atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan.

Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK disusun dan disajikan dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) segera setelah kegiatan pemeriksaan selesai. Pemeriksaan keuangan akan menghasilkan opini. Pemeriksaan kinerja akan menghasilkan temuan, kesimpulan, dan rekomendasi, sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu akan menghasilkan kesimpulan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 terdapat empat jenis opini yang diberikan oleh BPK.

1. Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
Opini WTP menandakan bahwa bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa, menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

2. Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP)
Laporan keuangan entitas yang diperiksa menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas entitas tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan.

3. Opini Tidak Wajar
Opini tidak wajar menandakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

4. Pernyataan menolak memberikan opini atau Tidak Memberikan Pendapat (TMP)
Melalui opini TMP, BPK menyatakan bahwa auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan apabila lingkup audit yang dilaksanakan tidak cukup untuk membuat suatu opini.

Keempat jenis opini yang dapat diberikan oleh BPK tersebut dasar utamanya adalah kewajaran penyajian pos pos Laporan Keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Opini WTP merupakan impian seluruh institusi baik pusat dan daerah, sebab dengan opini WTP Institusi yang besangkutan dapat mengekspresikan akuntabilitasnya sebagai entitas kepada para stakeholdernya (publik/masyarakat).

Penyusunan dan penyajian laporan keuangan sebagai wujud pertanggungjawaban APBN/APBD dalam rangka akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara menjadi tanggung jawab masing-masing entitas pelaporan. BPK bertanggung jawab dalam melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta memberikan pendapat berupa opini atas Laporan Keuangan entitas yang telah diperiksa berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).

11/06/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBPK BekerjaIHPS II 2022SLIDER

Sederet Temuan BPK atas Kinerja dan Pengelolaan Keuangan Daerah

by Admin 06/06/2024
written by Admin

JAKARTA, WARTA PEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap berbagai permasalahan yang ditemukan saat melakukan pemeriksaan pada pemerintah daerah. Hasil pemeriksaan tersebut sudah dicantumkan BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II (IHPS) 2023 yang telah disampaikan BPK kepada DPD RI pada Selasa (5/6/2024).

Ketua BPK Isma Yatun saat menyerahkan IHPS II 2023 kepada DPD RI menjelaskan, IHPS II 2023 memuat hasil pemeriksaan tematik atas dua prioritas nasional, yaitu pengembangan wilayah, serta revolusi mental dan pembangunan kebudayaan.

Hasil pemeriksaan pengembangan wilayah di antaranya mengungkapkan permasalahan adanya pemda yang belum menetapkan Perda/Perkada terkait insentif pajak/retribusi daerah, dan belum menyediakan sistem penyediaan air bersih/air minum, sarana dan prasarana jalan, serta tempat dan instalasi pengolahan akhir yang menunjang Pengembangan Kawasan Strategis.

BPK Sampaikan IHPS II 2023 ke DPR, Ini Temuan yang Diungkap

Permasalahan selanjutnya adalah adanya Pemda yang belum melakukan penetapan Perda kawasan perdesaan, insentif dan kemudahan investasi; upaya pendanaan selain APBD; evaluasi penggunaan Dana Desa; pembinaan pengelolaan BUMD, untuk mendukung Pengembangan Daerah Tertinggal dan Perdesaan.

Ketiga, alokasi anggaran untuk mendukung mandatory spending fungsi pendidikan dan bidang infrastruktur belum terpenuhi sesuai ketentuan peraturan perundangan untuk mendukung Kelembagaan dan Keuangan Daerah.

Sedangkan permasalahan terkait revolusi mental dan pembangunan kebudayaan, antara lain, belum seluruh Mall
Pelayanan Publik pada Pemda memiliki kelembagaan formal, mengupayakan kecepatan pelayanan, dan melakukan evaluasi secara berkala.

“Selain itu, belum seluruh Pemda menyusun, menetapkan dan menyelaraskan perda pemajuan kebudayaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ungkap Ketua BPK.

Ketua BPK menyampaikan, IHPS juga memuat hasil pemeriksaan, antara lain, pada upaya pemerintah dalam percepatan penurunan prevalensi stunting. Hasil pemeriksaan BPK menemukan bahwa kebijakan ybelum terintegrasi ke dalam dokumen perencanaan, serta pencatatan dan pelaporan dalam sistem informasi belum dilakukan secara memadai.

Pada penyelenggaraan jalan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas jalan, BPK menemukan belum seluruh Pemda menetapkan ruas jalan menurut fungsi dan kelas jalan, dan belum menyusun pedoman dan standar teknis penyelenggaraan jalan, serta pedoman penentuan prioritas penanganan/pemantapan jalan, kekurangan volume pekerjaan, ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan, dan permasalahan ketidakpatuhan serta permasalahan efisiensi-efektivitas.

Sedangkan pada pengelolaan belanja pemda, terdapat permasalahan kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang pada 165 Pemda, kekurangan volume/ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan/pekerjaan yang membutuhkan perbaikan pada 118 Pemda, ketidakpatuhan atas ketentuan pada 126 Pemda, serta pemborosan/kemahalan harga pada 56 Pemda.

Ketua BPK dalam kesempatan ini juga menyampaikan bahwa tindak lanjut yang telah sesuai rekomendasi BPK dari tahun 2005 hingga 2023 sebesar 78,2 persen. Adapun tingkat tindak lanjut oleh pemerintah daerah dan BUMD sebesar 78,6 persen.

“Kami meyakini peran aktif dan dorongan dari pimpinan dan anggota DPD kepada para kepala daerah menjadi kunci dalam meningkatkan komitmen pimpinan entitas untuk melakukan percepatan penyelesaian tindak lanjut rekomendasi BPK sebagai wujud upaya kolaboratif untuk mendorong akuntabilitas, khususnya pada tataran pemerintah daerah,” tegas Isma Yatun.

06/06/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDERSorotan

BPK Sampaikan IHPS II 2023 ke DPR, Ini Temuan yang Diungkap

by Admin 1 05/06/2024
written by Admin 1

WARTAPEMERIKSA, JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2023 kepada DPR RI pada Selasa (4/6/2024). Ketua BPK Isma Yatun mengungkapkan, IHPS II 2023 memuat 651 laporan hasil pemeriksaan (LHP), yang terdiri dari satu LHP Keuangan, 288 LHP Kinerja, dan 362 LHP Dengan Tujuan Tertentu (DTT).

IHPS tersebut mengungkapkan hasil pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi BPK dari tahun 2005 hingga 2023, dengan tindak lanjut telah sesuai rekomendasi BPK sebesar 78,2 persen. Untuk hasil pemeriksaan pada periode RPJMN 2020 hingga 2023, tindak lanjut yang telah sesuai rekomendasi mencapai 52,9 persen.

Ini Temuan BPK di IHPS I 2023 Terkait Pemeriksaan 4 Lembaga Negara

“Dari tindak lanjut atas rekomendasi tersebut, BPK telah melakukan penyelamatan uang dan aset negara berupa penyerahan aset dan atau penyetoran uang ke kas negara/daerah/perusahaan atas hasil pemeriksaan tahun 2005 hingga 2023 senilai Rp136,88 triliun di mana Rp21,87 triliun di antaranya adalah atas hasil pemeriksaan periode RPJMN 2020-2023,” ungkap Isma dalam Rapat Paripurna DPR RI.

IHPS II Tahun 2023 memuat hasil pemeriksaan tematik atas dua prioritas nasional, yakni pengembangan wilayah, serta revolusi mental dan pembangunan kebudayaan. Hasil pemeriksaan atas prioritas nasional pengembangan wilayah di antaranya mengungkapkan permasalahan pengadaan dan penyaluran bantuan pupuk, pestisida, dan alat mesin pertanian (alsintan) tahun 2022-2023 belum didukung hasil uji mutu dan ketidaktepatan sasaran penyaluran.

“Dari tindak lanjut atas rekomendasi tersebut, BPK telah melakukan penyelamatan uang dan aset negara berupa penyerahan aset dan atau penyetoran uang ke kas negara/daerah/perusahaan atas hasil pemeriksaan tahun 2005 hingga 2023 senilai Rp136,88 triliun di mana Rp21,87 triliun di antaranya adalah atas hasil pemeriksaan periode RPJMN 2020-2023,”

Kemudian, pengembangan Kawasan Strategis, Badan Usaha Pembangun dan Pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung dan Maloy Batuta Trans Kalimantan belum merealisasikan pencapaian target, belum membangun, mengembangkan, dan mengelola prasarana serta belum didukung SDM yang memadai.

Isma juga menyampaikan, hasil pemeriksaan atas revolusi mental dan pembangunan kebudayaan. Dia mengatakan, pemerintah telah menerbitkan Pedoman Umum pelaksanaan Program Gerakan Nasional Revolusi Mental di tahun 2021 dan membentuk Gugus Tugas Nasional GNRM. Akan tetapi, pelaksanaan kegiatan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian belum dilaksanakan secara berkesinambungan.

Kemudian, dalam pelayanan ibadah haji, regulasi layanan akomodasi dan konsumsi, serta transportasi udara telah selaras, namun masih terdapat permasalahan mendasar. Misalnya saja pemerataan kesempatan, penerapan istithaah kesehatan dalam penetapan jamaah haji berangkat dan penetapan biaya perjalanan ibadah haji yang belum optimal dalam mendukung keberlanjutan keuangan haji dan keberadilan.

IHPS I 2023 Ungkap 1.004 Permasalahan Sistem Pengendalian Intern 

IHPS II 2023 juga memuat hasil pemeriksan pengelolaan pendapatan dan belanja kementerian dan lembaga. BPK menemukan bantuan keluarga penerima manfaat yang tidak bertransaksi senilai Rp208,52 miliar belum dikembalikan ke kas negara, serta kelebihan dan potensi kelebihan pembayaran senilai Rp166,27 miliar dan USD153,22 ribu yang disebabkan pelaksanaan belanja modal tahun 2022 dan semester I TA 2023 tidak sesuai ketentuan.

Kemudian, pada pemeriksaan pendapatan, biaya, dan investasi BUMN dan badan lainnya, ditemukan antara lain PT Indofarma Tbk dan PT IGM (anak perusahaan PT Indofarma Tbk) melakukan pengadaan alat kesehatan tanpa studi kelayakan dan penjualan tanpa analisis kemampuan keuangan customer. Sehingga mengakibatkan potensi kerugian sebesar Rp146,57 miliar yang terdiri dari piutang macet sebesar Rp122,93 miliar dan persediaan yang tidak dapat terjual sebesar Rp23,64 miliar.

05/06/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Keuangan Berkelanjutan di Indonesia, Perlukah?

by admin2 05/06/2024
written by admin2

Oleh: Sherlita Nurosidah, Penelaah Teknis Kebijakan di Biro SDM BPK RI

Keuangan berkelanjutan atau yang lebih dikenal dengan sustainable finance merupakan pendekatan keuangan (ekonomi) yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan (sosial) dan ramah lingkungan. Indonesia merupakan salah satu penghasil carbon footprints terbesar di dunia. Adanya Paris Agreement membuat Indonesia menetapkan target untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% dengan pendanaan dari keuangan negara di tahun 2030.[1] Tekanan terhadap pemenuhan target tersebut membuat Indonesia berburu pendanaan dan menciptakan berbagai regulasi yang menunjang.

Sejak tahun 2014, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan dua roadmap yang berkaitan dengan keuangan berkelanjutan, yakni tahun 2015-2019 dan 2021-2025. Beberapa agenda yang diusung dalam rencana tersebut, antara lain adanya indeks hijau, obligasi hijau, produk ramah lingkungan, transportasi hijau, energi terbarukan, konservasi energi, pariwisata ramah lingkungan, dan pertanian organik. Dengan semakin besarnya perhatian dunia pada ketiga sektor tersebut, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan, keberadaan keuangan berkelanjutan dianggap dapat memperkuat tujuan, fungsi, dan tugas pokok sektor keuangan di Indonesia.


Keuangan berkelanjutan tidak terlepas dari pendanaan yang bertujuan untuk menanggulangi krisis perubahan iklim. Misalnya, green climate fund, adaptation fund, dan climate investment fund. Tidak hanya itu, investasi juga diarahkan pada proyek yang berkecimpung dalam pengurangan emisi karbon.[2] Meskipun demikian, sektor keuangan di Indonesia masih terpusat pada kategori tertentu dan belum sepenuhnya berkembang.[3]

Sejak adanya program sustainable banking dengan melibatkan 8 bank komersil, berbagai kegiatan dilaksanakan untuk mengembangkan kapasitas partisipannya. Di tahun 2018, Indonesia menjadi negara pertama yang menerbitkan sukuk hijau senilai 1,25 milyar USD. Meskipun demikian, gebrakan tersebut dipandang kurang efektif awalnya karena tidak adanya insentif atas kepatuhan bahkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan 51/2017 dipandang hanya bersifat simbolistik serta tidak cukup mumpuni untuk mendorong terlaksananya keuangan berkelanjutan. Hal tersebut terjadi karena keterbatasan sumber daya dan kemampuan teknis para pembuat kebijakan untuk memproyeksikan implementasi roadmap yang telah dibuat.

Untuk dapat menerapkan konsep keuangan berkelanjutan dengan baik, diperlukan setidaknya ketepatan informasi dan kepatutan manajemen risiko. Ketepatan informasi yang dimaksud, yakni dengan adanya insentif yang jelas tidak hanya untuk lembaga keuangan, namun juga untuk pengembang proyek sehingga semakin membuka peluang permintaan proyek sejenis. Selain itu, perlu adanya penyeragaman indikator dalam kategorisasi atas interpretasi proyek hijau. Sehingga portofolio pelaksanakan keuangan berkelanjutan tidak lagi hanya bersifat ad hoc, sporadis, dan tidak terdokumentasi dengan baik.

Pada dasarnya, Indonesia telah memiliki peraturan terkait dengan pengaturan manajemen risiko, sejak 1998 dengan mengharuskan Bank untuk melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk pembiayaan besar atau risiko tinggi. Selain itu, Bank Indonesia juga harus mempertimbangkan rating Public Disclosure Program for Environmental Compliance (PROPER) dari bakal calon peminjam. Pada tahun 2021, sesuai penilaian PROPER, dari 2.548 perusahaan yang dinilai, 75% telah masuk dalam kategori taat dan 25% tidak taat. Namun, pada praktiknya, tidak semua bank mempublikasikan dan mengimplementasikan kebijakan peminjaman berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG) tersebut. Keberadaan PROPER sebagai acuan masih menjadi perdebatan karena kurang jelasnya mekanisme kepatuhan yang dimiliki dalam menguji perusahaan. Selain itu, untuk perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit, regulasi menyebutkan adanya kewajiban untuk menampilkan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) namun senyatanya tidak demikian. Dengan menunjukkan surat keterangan akan melakukan sertifikasi telah dianggap mumpuni. Analisis sosial dan lingkungan lanjutan masih dipandang jarang dilakukan oleh bank-bank tersebut. Oleh karena itu, ke depannya, perlu adanya pengawasan lebih lanjut atas penerapan regulasi yang telah ada.

Tata kelola yang baik dalam pembuatan kebijakan dan instrumen lainnya dibutuhkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan. Integrasi sektor keuangan dengan mempertimbangkan dampaknya tidak hanya dalam perekonomian namun juga sosial masyarakat dan lingkungan sekitar membuat keuangan berkelanjutan sangat perlu didorong penerapannya di Indonesia. Terobosan tersebut akan berdampak baik tidak hanya dalam waktu dekat namun juga dalam jangka panjang.


[1] Anantharajah, K., dan Gunningham, N, Mobilising Private Climate Finance in Emergence Asia, 2018 http://www.climatefinanceinitiative.org/wp-content/uploads/2019/07/Working-Paper-1-Emerging-Asia.pdf

[2] Abidah B. Setyowati, Governing sustainable finance: insights from Indonesia, 2020, Climate Policy https://doi.org/10.1080/14693062.2020.1858741

[1] Prischa Listiningrum, et.al., Regulating Biogas Power Plant from Palm Oil Mill Effluent (POME): A Challenge to Indonesia’s Just Energy Transition, 2022, Yustisia Jurnal Hukum https://doi.org/10.20961/yustisia.v11i2.56421

05/06/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBPK BekerjaSLIDER

Serahkan LHP LKPP Tahun 2023, BPK Soroti Pengelolaan Pendapatan dan Efektivitas Belanja

by Admin 04/06/2024
written by Admin

JAKARTA, WARTA PEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyelesaikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2023. LKPP juga sudah diserahkan secara administratif kepada DPR, DPR, dan Presiden.

Ketua BPK Isma Yatun mengatakan, pada LKPP Tahun 2023, BPK menyoroti aspek pengelolaan APBN yang perlu mendapatkan perhatian. Dari sisi pendapatan, kata Ketua BPK, tercapainya target penerimaan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) masih perlu diikuti dengan upaya penagihan yang efektif dan pengelolaan yang sesuai dengan ketentuan.

Adapun dari sisi belanja, pengalokasian anggaran mandatory spending bidang pendidikan yang menjadi mandat UUD
1945 perlu diikuti dengan efektivitas pelaksanaannya.

“Hal ini sangatlah krusial untuk mengurangi beban masyarakat dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas
serta menguatkan pondasi bagi keberlanjutan agenda pembangunan Sumber Daya Manusia guna mendukung
pencapaian visi Indonesia Emas 2045,” kata Ketua BPK saat penyerahan LHP LKPP Tahun 2023 dan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2023 kepada DPR RI dalam sidang paripurna DPR, di Jakarta, Selasa (4/6/2024).

Pemeriksaan LKPP Cermati Risiko dan Kualitas APBN

BPK juga mengingatkan agar berbagai bentuk belanja bantuan dan subsidi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat terus dikawal agar penyalurannya dapat dilaksanakan tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat sasaran.

“Untuk itu, penyempurnaan kerangka regulasi, validasi dan updating basis data penerima manfaat, serta
mekanisme dan kualitas pengawasan penyaluran bantuan maupun subsidi perlu terus ditingkatkan,” ujar Ketua BPK.

Pemeriksaan LKPP Tahun 2023 mencakup pemeriksaan atas Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN) dan 84 Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL). Berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas LKBUN dan 80 LKKL, serta opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas empat LKKL.

Opini WDP atas empat LKKL tersebut tidak berdampak material terhadap kewajaran LKPP Tahun 2023, sehingga BPK memberikan opini WTP atas LKPP Tahun 2023.

04/06/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDER

Berkunjung ke BPK, Mahasiswa Ini Juga Jadi Pemenang Kuis TTS

by admin2 03/06/2024
written by admin2

Untuk memberikan pengetahuan mengenai tugas dan fungsi BPK serta pemeriksaan pengelolaan keuangan negara/ daerah, BPK menerima kunjungan perguruan tinggi dan sekolah. Pada Mei 2024, BPK menerima kunjungan dari berbagai perguruan tinggi dan sekolah. Pada kunjungan ini juga para mahasiswa dan siswa diperkenalkan dengan kanal berita yang dimiliki BPK, yaitu Warta Pemeriksa Digital. Mereka pun berkesempatan untuk mengikuti kuis TTS Warta Pemeriksa.

Ryo, seorang mahasiswa dari Bandung mengikuti acara kunjungan ke BPK untuk mengenal lebih mendalam tentang BPK dan apa saja yang dikerjakan oleh BPK. Pada kunjungan yang diselenggarakan pada 7 Mei 2024, ia berkesempatan membaca Warta Pemeriksa Digital dan mengikuti kuis TTS-nya. 

Pada kuis TTS Warta Pemeriksa Edisi 3 Tahun 2024, ia juga menjadi salah satu pemenang yang beruntung. Dihubungi Redaksi Warta Pemeriksa (3/6), ia menyampaikan bahwa soal dalam TTS tidak terlalu sulit. Ia pun menilai berita di Warta Pemeriksa sangat menarik dengan harapan lebih banyak visualisasi data (infografik) untuk membantu pembaca lebih cepat memahami informasi yang disajikan. 

Khusus mengenai BPK, sebagai mahasiswa ia berharap “BPK dapat memastikan anggaran negara digunakan secara efisien dan efektif, serta memberikan rekomendasi yang konstruktif untuk perbaikan jika ditemukan penyimpangan atau ketidakefisienan.”

Kuis TTS Warta Pemeriksa Edisi 3 Tahun 2024 telah ditutup. Secara lengkap, inilah daftar pemenangnya:

Rizky Wahyu Perdana- 0896xxxxxxxx

Ryo Mahardikha Sanajaya-0895xxxxxxxx

Bevy Kartikasari-0812xxxxxxxx

Defi Yanti – 0895xxxxxxx

Ni’mah Rosyidah- 0896xxxxxxxx

Kuis TTS Warta Pemeriksa Edisi 4 Tahun 2024 akan segera hadir. Jangan sampai lewatkan kesempatan menambah pengetahuan tentang pemeriksaan dan pengelolaan keuangan negara/ daerah serta memenangkan hadiahnya. Siapa tahu Anda menjadi pemenang edisi selanjutnya. 

03/06/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaIHPS I 2023SLIDER

Temuan BPK Terkait Belanja APBD: Kelebihan Bayar Hingga tak Ada Bukti Pertanggungjawaban

by Admin 03/06/2024
written by Admin

JAKARTA, WARTA PEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah permasalahan pengelolaan belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang mempengaruhi penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2022. Permasalahan itu terkait belanja operasional dan belanja modal. 

Seperti dikutip dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2023, permasalahan penyajian belanja operasinal terjadi pada 19 pemda. Permasalahan itu, antara lain, realisasi belanja barang dan jasa yang terdiri atas belanja perjalanan dinas, belanja barang pakai habis, belanja barang dan jasa BOS, belanja makan minum rapat, belanja lembur, honorarium, belanja barang diserahkan kepada masyarakat, belanja bahan bakar minyak (BBM), belanja jasa pelayanan kesehatan, belanja jasa konsultansi nonkonstruksi dan konstruksi tidak sesuai dengan ketentuan dan/ atau tidak didukung dengan bukti pertanggungjawaban. 

Kemudian, realisasi belanja hibah, belanja bantuan sosial, serta belanja barang dan jasa melampaui anggaran serta pelaksanaan dan substansi realisasi belanja tersebut tidak sepenuhnya memenuhi kriteria keadaan darurat, termasuk keperluan mendesak sebagaimana yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Soal Pengelolaan APBD, BPK Minta Tidak Hanya Fokus ke Opini WTP

Selain itu, realisasi belanja pegawai berupa pembayaran tambahan penghasilan aparatur sipil negara (ASN) tidak melalui persetujuan Menteri Dalam Negeri, kelebihan pembayaran honorarium belum dipulihkan dengan penyetoran ke kas daerah, serta realisasi belanja tunjangan profesi guru, tunjangan khusus guru, dan tambahan penghasilan pegawai tidak didukung dengan bukti pertanggungjawaban. 

Terkait belanja modal, permasalahan penyajian belanja modal terjadi pada 16 pemda, antara lain, kelebihan pembayaran belanja modal yang terjadi karena kekurangan volume pekerjaan, ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan, penyimpangan dan ketidakefektifan sistem pengendalian intern, serta proses perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan yang tidak mematuhi ketentuan, belum dipulihkan dengan penyetoran ke kas daerah.

Mendeteksi Ketekoran Kas APBD

BPK juga menemukan permasalahan realisasi belanja modal gedung dan bangunan melampaui APBD TA 2022. Realisasi belanja tersebut dilaksanakan berdasarkan APBD Perubahan namun belum memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan pengesahan Menteri Dalam Negeri. 

Selain itu, pelaksanaan dan substansi belanja modal tersebut tidak sepenuhnya memenuhi kriteria keadaan darurat, termasuk keperluan mendesak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan pekerjaan belanja modal dilakukan dengan pemecahan kontrak yang diindikasikan untuk menghindari ketentuan pelelangan, dilakukan tanpa analisis kebutuhan, dan penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) tidak berdasarkan survei harga pasar.

Secara umum, dari 542 LKPD Tahun 2022 yang diperiksa BPK, sebanyak 46 LKPD memperoleh opini selain WTP, yaitu 41 WDP dan 5 TMP. 

03/06/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaInfografikSLIDER

Ribuan Permasalahan Ketidakpatuhan dalam LKPD Tahun 2022

by Admin 1 31/05/2024
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2022 mengungkapkan 7.227 permasalahan ketidakpatuhan. Permasalahan tersebut meliputi permasalahan ketidakpatuhan yang dapat mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan (berdampak finansial) serta penyimpangan administrasi (tidak berdampak finansial).

31/05/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Selamat! Ini Dia Pemenang Kuis WartaBPK.Go!
  • Sampaikan Hasil Pemeriksaan, BPK Rekomendasikan IMO Perkuat Manajemen Aset dan Anggaran
  • Menggagas Masa Depan Keuangan Daerah: Momentum Efisiensi dan Arah Baru Kebijakan?
  • Membangun BPK dengan Langkah “SUPER”
  • Bangun Budaya Kerja Tanpa Perundungan
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Selamat! Ini Dia Pemenang Kuis WartaBPK.Go!

    10/07/2025
  • Sampaikan Hasil Pemeriksaan, BPK Rekomendasikan IMO Perkuat Manajemen...

    10/07/2025
  • Menggagas Masa Depan Keuangan Daerah: Momentum Efisiensi dan...

    09/07/2025
  • Membangun BPK dengan Langkah “SUPER”

    08/07/2025
  • Bangun Budaya Kerja Tanpa Perundungan

    07/07/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id