WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Friday, 4 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Category:

Opini

BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Religiositas dalam Mengawal Nilai Dasar BPK

by admin2 13/03/2025
written by admin2

Oleh: Mokhamad Meydiansyah Ashari, Pemeriksa pada Ditjen PKN dan Organisasi Internasional BPK

Pernahkah kita bertanya, bagaimana nilai-nilai agama yang kita anut bisa membantu kita bekerja lebih baik? Terutama, bagi kita yang bekerja di lembaga negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) yang memiliki tanggung jawab besar dalam mengawasi keuangan negara. Sebagai bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai-nilai keagamaan memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari, termasuk dalam dunia kerja.

Momentum peringatan hari jadi BPK yang ke-78 pada 1 Januari lalu menjadi waktu yang tepat untuk melakukan refleksi. Selama 78 tahun, BPK telah menjalankan amanah konstitusi sebagai penjaga keuangan negara dengan berbagai tantangan yang dihadapi. Nilai-nilai keagamaan telah menjadi fondasi moral yang memperkuat lembaga ini dalam menghadapi dinamika perubahan zaman.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa keyakinan agama memang mempengaruhi cara kita bekerja dan hasil yang kita capai (Fernando & Jackson, 2006; Houston & Cartwright, 2007; Ongaro & Tantardini, 2024). Di Indonesia, di mana agama menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat, penting bagi kita untuk melihat bagaimana nilai-nilai keagamaan dapat memperkuat kinerja lembaga negara seperti BPK.

Ajaran agama yang menekankan kejujuran, tanggung jawab, dan kebaikan kepada sesama sebenarnya sangat selaras dengan tugas BPK sebagai penjaga keuangan negara. Kajian akademis menunjukkan bahwa orang yang memegang teguh nilai agama cenderung lebih baik dalam membuat keputusan yang etis di tempat kerja (Fernando & Jackson, 2006). Religiositas juga dapat memperkuat tiga nilai inti BPK: independensi, integritas, dan profesionalisme. Adapun penerapan nilai agama dalam mendukung ketiga hal tersebut dapat dirangkum sebagai berikut.

Ajaran agama mendorong kita untuk bersikap adil dan tidak memihak. Nilai agama bisa memotivasi seseorang untuk tetap teguh pada prinsip kebenaran dan tidak mudah dipengaruhi pihak lain (Al-Quran 5:8). Hal ini sangat penting bagi pemeriksa BPK yang harus bekerja secara objektif tanpa tekanan dari pihak mana pun.

Nilai kejujuran yang diajarkan dalam agama sangat mendukung integritas dalam bekerja. Fernando dan Jackson (2006) menemukan bahwa orang yang taat beragama lebih sadar akan pentingnya berperilaku etis. Dalam praktik pemeriksaan, religiositas akan terlihat dari bagaimana seorang pemeriksa menolak segala bentuk suap atau gratifikasi, bersikap objektif dalam menilai temuan audit, dan berani melaporkan penyimpangan tanpa takut akan konsekuensi. Inilah bentuk konkret dari pengamalan nilai-nilai agama yang jauh lebih bermakna daripada sekadar mengikuti ritual atau menampilkan simbol keagamaan. Kesadaran bahwa setiap tindakan profesional akan dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada institusi dan masyarakat, tetapi juga kepada Tuhan, akan mendorong pemeriksa untuk selalu menjunjung tinggi standar etika tertinggi dalam setiap aspek pekerjaannya.

Ajaran agama yang mendorong kita untuk bekerja dengan sungguh-sungguh dan memberikan yang terbaik sangat mendukung profesionalisme. Houston dan Cartwright (2007) menunjukkan bahwa spiritualitas membangun etika kerja yang positif. Kesadaran spiritual membuat kita lebih memperhatikan prosedur dan aturan yang berlaku. Nilai-nilai keagamaan juga membantu kita dalam hal akuntabilitas atau pertanggungjawaban. Ajaran agama mengajarkan kita untuk teliti dan menyeluruh dalam bekerja. Hal ini merupakan kualitas yang sangat penting dalam penugasan audit. Kesadaran bahwa Tuhan selalu mengawasi membuat kita lebih bertanggung jawab dalam bekerja.

Kegiatan kajian Islam mingguan yang diselenggarakan BPK adalah contoh nyata bagaimana lembaga ini memberi ruang bagi nilai-nilai keagamaan untuk tumbuh di lingkungan kerja. Melalui kajian tersebut, nilai-nilai Islam seperti amanah, kejujuran, dan tanggung jawab terus dipupuk dan diperkuat di kalangan pegawai.

Pada bulan Ramadan, kita memiliki kesempatan istimewa untuk melihat bagaimana nilai-nilai keagamaan dapat diterapkan dalam pekerjaan. Ramadan mengajarkan disiplin diri, empati, dan pembaruan komitmen untuk berperilaku etis, hal-hal yang sangat penting untuk keunggulan profesional di BPK. Kajian Islam mingguan di BPK yang akan semakin intensif di saat Ramadan menjadi wadah yang tepat untuk memperkuat nilai-nilai tersebut. Dengan usia BPK yang kini menginjak 78 tahun, momen Ramadan dan kegiatan keagamaan lainnya menjadi kesempatan untuk memperbarui komitmen dalam menjalankan amanah konstitusi dengan lebih baik lagi. Ramadan memberikan bukan hanya waktu untuk pembaruan spiritual tetapi kesempatan untuk memperkuat keselarasan antara nilai-nilai keagamaan dan keunggulan profesional yang mendefinisikan peran BPK dalam tata kelola Indonesia.

Perlu ditekankan bahwa pada akhirnya, religiositas yang bermakna tidak hanya terwujud dalam simbol atau ritual keagamaan semata, tetapi harus tergambar dalam praktik nyata penegakan nilai-nilai dasar BPK, terutama dalam kegiatan pemeriksaan. Kesalehan ritual perlu diterjemahkan menjadi kesalehan dalam profesionalisme yang terlihat dalam setiap langkah pemeriksaan, mulai dari perencanaan hingga pelaporan hasil audit. Ketika seorang pemeriksa menjalankan tugasnya dengan penuh ketelitian, kejujuran, dan keadilan, itulah bentuk nyata dari penghayatan dasar-dasar keagamaan dalam pekerjaan, selaras dengan nilai dasar BPK.

Referensi

Al-Quran. (n.d.). Al-Maidah 5:8. Diakses dari https://quran.com/al-maidah/8

Fernando, M., & Jackson, B. (2006). The influence of religion-based workplace spirituality on business leaders’ decision-making: An inter-faith study. Journal of Management & Organization, 12(1), 23-39.

Houston, D. J., & Cartwright, K. E. (2007). Spirituality and public service. Public Administration Review, 67(1), 88-102.

Ongaro, E., & Tantardini, M. (2024). Religion, spirituality, faith and public administration: A literature review and outlook. Public Policy and Administration, 39(4), 531-555.

13/03/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Generasi Muda, Harapan Masa Depan BPK

by admin2 24/10/2024
written by admin2

Oleh: Sigit Rais, Pengembang Teknologi Pembelajaran Pertama pada Badiklat PKN BPK RI

“Kita tidak selalu bisa membangun masa depan untuk generasi muda, tapi kita dapat membangun generasi muda untuk masa depan.”

(Franklin D. Roosevelt)

Manusia adalah figur sentral dalam kehidupan berorganisasi. Sebagai motor utama, sumber daya manusia adalah unsur yang harus dilestarikan. Di sinilah letak pentingnya regenerasi dan kaderisasi.

Regenerasi adalah proses pembaruan dalam berorganisasi, sedangkan kaderisasi adalah upaya yang dilakukan untuk mempersiapkan figur-figur penerus yang lahir dari proses regenerasi. Jika regenerasi dan kaderisasi dalam suatu organisasi kurang memadai, bisa jadi organisasi yang sebelumnya kokoh berdiri mengalami kemunduran atau bahkan tiba-tiba runtuh.

Selama ini, generasi penerus atau kader diproyeksikan sebagai laskar perubahan dan menjadi penerus roda organisasi di masa depan. Hal tersebut menandakan adanya kesadaran dalam setiap generasi bahwa kejayaan yang mereka genggam tersebut tidaklah abadi dan harus diwariskan. Oleh karena itu, regenerasi dan kaderisasi mutlak dilakukan demi keberlangsungan organisasi.

Partanto (dalam Syahputra, 2020) mengemukakan, kader dalam kamus ilmiah popular adalah orang yang dididik untuk menjadi pelanjut tongkat estafet suatu partai atau organisasi: tunas muda.

Mangkubumi (dalam Syahputra, 2020), mengemukakan bahwa kaderisasi sebagai suatu siklus yang berputar terus dengan gradasi yang meningkat dan dapat dibedakan menjadi tiga komponen utama, yaitu: 1) Pendidikan kader: disampaikan berbagai pengetahuan yang dibutuhkan; 2) Penugasan kader: mereka diberi kesempatan untuk melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan organisasi sebagai latihan pematangan dan pendewasaan; 3) Pengerahan karir kader: diberi tanggung jawab lebih besar dalam berbagai aspek petjuangan sesuai potensi dan kemampuan yang ada.

Terkait hal tersebut, generasi penerus adalah produk dari sebuah proses regenerasi yang akan melanjutkan perjuangan cita-cita dari generasi pendahulunya. Dari pengertian tersebut, tergambar dengan jelas bahwa generasi muda adalah pewaris dari sepak terjang para generasi pendahulunya. Bahkan, generasi penerus merupakan kelompok yang akan menanggung berbagai konsekuensi dari pilihan-pilihan yang ditentukan oleh generasi pendahulu mereka.

Selain itu, dapat dikatakan juga bahwa generasi penerus adalah peniru perilaku generasi sebelumnya. Generasi penerus juga dapat menjadi pantulan cermin dari tingkah polah generasi pendahulu, serta jadi bayang-bayang yang mengikuti gerak-gerik kepemimpinan generasi pendahulu.

Zaccaro (2001:453) mengemukakan bahwa proses kepemimpinan diarahkan dalam mendefinisikan, menetapkan, mengidentifikasi, atau menerjemahkan arahan untuk pengikut mereka dan memfasilitasi atau memungkinkan proses organisasi yang seharusnya menghasilkan pencapaian tujuan. Tujuan dan arah organisasi menjadi jelas dalam banyak hal, termasuk melalui misi, visi, strategi, tujuan, rencana, dan tugas.

Terkait hal tersebut, memberi teladan kepemimpinan yang baik adalah tugas wajib bagi para generasi pendahulu. Meskipun masa depan organisasi berada dalam genggaman tangan generasi terkini, generasi pendahulu memiliki tanggung jawab besar dalam memupuk generasi penerusnya agar bisa menjadi generasi yang lebih baik. Dalam hal ini, generasi terdahulu berperan besar dalam membentuk karakter generasi selanjutnya dengan cara memberikan contoh yang baik.

**

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang lahir pada 1 Januari 1947 merupakan salah satu wujud organisasi yang terus bergulir dan beregenerasi. Sejak kali pertama didirikan hingga kini, semangat dan cita-cita BPK RI terus diwariskan secara estafet dan turun-temurun kepada generasi-generasi penerus beriringan dengan perubahan zaman.

Selama rentang waktu tersebut, BPK RI mengalami dinamika dan berbagai peristiwa. Hal ini menjadikan BPK semakin kuat berdiri, menjadi satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara di Indonesia, yang berdiri di atas undang-undang, serta berpegang teguh pada tiga nilai dasar, yaitu independensi, integritas, dan profesionalisme.

Seperti pada organisasi lainnya, proses regenerasi dan kaderisasi di BPK menjadi hal penting dalam menjaga kelestarian organisasi. Di sini, regenerasi dan kaderisasi merupakan salah satu titik strategis penentu masa depan. Dalam hal ini, berdatangan pegawai-pegawai baru yang mengisi berbagai posisi, untuk melanjutkan tugas para pegawai yang telah purnabakti.

Sekat Antargenerasi

Dalam proses regenerasi dan kaderisasi begitu banyak kendala yang menghadang. Faktor-faktor penyebabnya, antara lain perbedaan sudut pandang, pola kerja, latar belakang zaman, dan karakter khas dalam menjalankan organisasi. Selain itu, kemajuan teknologi dan perubahan iklim budaya pun membuat setiap generasi memiliki warna dan ciri tersendiri dalam menjalankan laju organisasi. Jika tidak disikapi dengan baik, hal tersebut dapat menimbulkan sekat antargenerasi yang dapat membuat proses regenerasi dan kaderisasi tidak mencapai kondisi ideal.

Sekat antargenerasi adalah kendala yang dapat menghambat regenerasi dan kaderiasi. Sekat antargenerasi tersebut antara lain disebabkan oleh: 1) sikap dari masing-masing generasi yang merasa dirinya lebih unggul dibanding generasi lain dan meremehkan generasi lain; 2) kurangnya komunikasi antargenerasi; 3) kurangnya knowledge transfer; dan 4) generasi terdahulu yang kaku dan menutup diri dari kebaruan; dan 5) arogansi generasi muda. Jika dibiarkan, hal-hal tersebut akan menimbulkan retak-retak dalam tubuh organisasi.

Pada suatu proses regenerasi dan kaderisasi yang ideal, masing-masing generasi sadar akan tanggung jawab dan fungsi masing-masing. Generasi pendahulu sebagai figur teladan perlu memberikan contoh yang baik dan membuka diri bagi perubahan zaman. Sementara, generasi penerus perlu banyak belajar dari pengalaman generasi pendahulu dan menyelaraskannya dengan kemutakhiran zaman.

Sekat antargenerasi tercipta karena kurangnya komunikasi yang baik di antara generasi terdahulu dengan generasi penerus. Pola ini memicu timbulnya banyak kesan atau kecurigaan. Generasi pendahulu terkadang terkesan memaksakan kehendaknya untuk selalu diikuti oleh generasi penerus. Bahkan, terkadang ada kesan bahwa generasi senior kerap meng-underestimate para generasi penerus mereka. Di sisi lain, generasi penerus terkadang merasa lebih baik serta menganggap generasi terdahulu tidak ada apa-apanya dan kalah saing. Prasangka-prasangka itu sebetulnya tidak perlu terjadi jika terdapat pola komunikasi yang baik di antara setiap generasi. Tentunya, semua generasi menginginkan hal yang sama, yaitu kemajuan organisasi.

Di sinilah letak pentingnya membina komunikasi antargenerasi. Selain itu transfer pengetahuan juga menjadi hal istimewa dalam menciptakan keharmonisan di antara generasi yang berbeda. Generasi penerus jangan merasa ragu atau gengsi untuk banyak bertanya kepada senior mereka, sementara generasi pendahulu jangan pernah lelah berbagi ilmu dengan para junior yang haus akan pengetahuan. Di sinilah diperlukan juga tukar pengalaman di antara senior dan junior dimaksud.

Dengan demikian, diharapkan sekat antargenerasi dapat terkikis sehingga kedua generasi dapat bersinergi dan bekerjasama untuk mewujudkan proses regenerasi. Tentu saja dilandasi oleh keinginan untuk menggiring organisasi menuju masa depan yang lebih baik.

Kaizen

Sebagai penerima warisan dari generasi terdahulu yang akan jadi pemimpin-pemimpin di masa mendatang, generasi penerus perlu menerapkan prinsip kaizen atau continous improvement. Hakikat dari prinsip tersebut adalah pengembangan secara terus-menerus dengan memperbaiki hal-hal yang dirasa kurang baik dan perlu diperbaiki, serta membuang hal-hal yang tidak diperlukan.

Ada dua fungsi utama kaizen, yaitu pemeliharaan dan perbaikan. Pemeliharaan merupakan kegiatan yang memelihara aspek teknologi, manajemen dan standar kerja yang telah dicapai, sedangkan perbaikan merupakan kegiatan yang menuju peningkatan standar kerja tersebut.

Dalam konteks organisasi BPK, generasi penerus yang saat ini sedang dipupuk dan dibina untuk menjadi para pemimpin masa depan, perlu berkaca dari sejarah pada pendahulunya. Generasi penerus tersebut perlu mempelajari sejarah perjalanan BPK, serta mengambil saripati dari pengalaman-pengalaman para pendahulu. Kemudian, dalam upaya improvement, generasi penerus diharapkan bisa memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik dari figur yang diteladaninya. Jika melihat hal-hal kurang baik bagi organisasi yang dilakukan oleh generasi sebelumnya, generasi penerus harus bisa membuang hal tersebut.

Ambil yang baik, tinggalkan yang buruk. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan di masa lalu oleh para pendahulu sebaiknya diambil hikmahnya, lalu diperbaiki di masa mendatang oleh generasi penerus dan jangan sampai diulangi.

Jika hal tersebut dilakukan oleh seluruh elemen generasi penerus yang menempati pos-pos sesuai dengan keahliannya masing-masing, perbaikan demi perbaikan akan senantiasa mengiringi langkah BPK ke depan.

Rendah Hati

Generasi penerus selalu lahir di tengah berbagai kebaruan dibandingkan generasi terdahulu. Teknologi dan fasilitas-fasilitas mutakhir membuat generasi yang lebih muda terlihat lebih maju dibanding generasi pendahulunya. Terkadang, hal-hal tersebut memunculkan over confidence dalam diri para generasi penerus. Sikap tersebut dapat berkembang menjadi sikap yang cenderung meremehkan generasi terdahulu. Apalagi jika mereka tidak menemukan figur teladan dari generasi terdahulu. Dampak negatifnya, kita akan lupa diri, merasa berada di atas angin, dan menjadi tumbuh menjadi figur arogan yang enggan belajar karena merasa hebat.

Di sinilah letak pentingnya memelihara kerendahan hati dari para generasi muda yang masih hijau dan ingin terus belajar. Keep both of your feet on the ground. Sehebat apapun kualitas kita, semua akan kehilangan makna jika tanpa karakter kuat yang selalu membumi. Seperti yang dilontarkan oleh pengusaha Robert Kiyosaki, “orang yang humble akan belajar lebih banyak dibandingkan orang yang arogan”. Sia-sia saja jika kita dianugerahi banyak kelebihan tetapi dibalut oleh arogansi yang membahayakan. Oleh karena itu, sikap tawadlu harus senantiasa kita pelihara agar ilmu yang kita miliki akan semakin sarat makna.

Sementara, di sisi generasi pendahulu, kerendahan hati merupakan poin penting yang harus ditularkan kepada generasi penerusnya. Tunjukanlah bahwa kerendahan hati bisa menjadi penopang jalan menujugerbang kesuksesan. Selain itu, generasi pendahulu juga perlu memberi teladan tentang pentingnya keikhlasan dalam bekerja, terutama dalam peran sebagai abdi negara yang telah diberi amanat mulia.

Tanpa keikhlasan, setiap keringat yang mengucur dari tubuh kita akan terasa sebagai beban dan sama sekali tidak mendatangkan kebahagiaan.

Generasi Penerus, Pembopong Masa Depan

Generasi muda akan tumbuh menjadi pemimpin masa depan. Dalam hal ini, diperlukan pembekalan kekayaan mental yang meliputi antara lain rasa percaya diri, fokus ke depan, berkomitmen tinggi, pantang menyerah, menggagas perubahan, menerima kritik, dan mau belajar dari setiap kesalahan.

Itu adalah tanggung jawab dari generasi terdahulu. Hal-hal tersebut akan saling menguatkan dengan aspek kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi. Di punggung mereka, BPK akan dibopong dan dijaga, lalu di masa depan akan diserahkan kepada generasi selanjutnya. Begitu seterusnya seiring dengan perputaran waktu. BPK akan senantiasa berdiri kokoh menjadi lembaga yang senantiasa menjunjung tinggi independensi, integritas, dan profesionalisme karena baiknya regenerasi serta kaderisasi.

BPK sangat beruntung. Untuk mendukung proses kaderisasi dan regenerasi ini, para pegawai BPK dapat memanfaatkan berbagai wadah knowledge transfer dan media informasi, seperti penyelenggaraan seminar, Knowledge Transfer Forum, jurnal TAKEN, Warta Pemeriksa, Self  Learning dan berbagai ragam pendidikan dan pelatihan di Badiklat PKN, dan lain sebagainya. Semua itu perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam rangka peningkatan kapasitas pegawai, yang akan terus bergulir dan bergilir.

Generasi terbaik adalah generasi yang selalu berkomitmen menanam hal-hal baik demi generasi penerusnya. Mereka tidak larut dalam rasa bangga di masa jaya dan abai terhadap konsep ketakabadian segala sesuatu di dunia. Karir dan jabatan tidak akan selamanya melekat. Seiring menuanya bumi, segala sesuatu akan ditutup dengan kata akhir. Oleh karena itu, proses regenerasi dan kaderisasi yang akan terus bergulir perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga akan selalu ada masa depan yang lebih cerah menanti.

Referensi:

Al-Barry, M. Dahlan, L. LyaSofyan Yacob, (2003). Kamus Induk Istilah Ilmiah; Seri Intelektual, Target Press, Surabaya.

Imai, Masaaki. 1986. “Kaizen : The Key to Japan’s Competitive Success”. Singapore: McGraw Hill.

Syahputra, Muhammad Rizki, T. Darmansah. Fungsi Kaderisasi Dalam Meningkatan Kualitas Kepemimpinan. Journal of Education and Teaching Learning (JETL) Volume 2, Issue 3, December 2020.

Zaccaro. 2001. The Nature of Organizational Leadership. Journal of George Mason University

24/10/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Pola Pikir yang Merdeka untuk Membangun Usaha di Masa Depan

by admin2 14/10/2024
written by admin2

Oleh: Debby Zalina, Universitas Islam Internasional Indonesia

Tepat 17 Agustus 2024, Indonesia memasuki umur ke 79 tahun. Semangat kemerdekaan yang bergaung di seluruh pelosok negeri pastinya sedikit banyak menyuntikkan semangat bagi segenap pemuda-pemudi Indonesia untuk mengusahakan masa depan yang lebih baik sesuai dengan keinginan dan impian mereka. Namun pertanyaannya, apakah mungkin bagi kita memimpikan masa depan yang indah itu ? 

Dalam mempersiapkan usaha di masa depan, terdapat sebuah hal wajib yang harus kita persiapkan selain niat, yaitu tentang pola pikir. Pola pikir menunjukkan bagaimana kita memandang sesuatu dan membuat persepsi terhadap hal tersebut. Hal ini akan memengaruhi bagaimana kita mengambil keputusan sehari-hari. Dalam hal ini, pola pikir sebagai seorang pengusaha perlu dikembangkan agar mimpi dalam mewujudkan usaha di masa depan dapat terwujud. 

Menurut Sandiaga Uno[1], entrepreneurship bukan profesi, melainkan mindset. Mindset seorang entrepreneur meliputi tahan banting, tidak pernah puas, jujur, ulet, amanah, tidak pernah menyerah, serta selalu berpikir positif, optimis, dan konstruktif. Ia juga menyampaikan bahwa kerja keras itu adalah disiplin dengan waktu. Disiplin adalah kunci dan tidak pernah mengenal adanya kompromi. Memang kita tidak pernah bisa mengontrol bagaimana hasil dari usaha yang kita lakukan, namun kita dapat mengontrol bagaimana dan seberapa besar usaha dan kerja keras yang kita lakukan. Banyak cerita tentang kesuksesan yang fenomenal baik cerita yang datang dari pengusaha atau profesi lainnya, namun persamaan yang mereka miliki adalah terkait etos kerja. Dalam membangun usaha impian, kita juga harus memiliki mental untuk mengerjakan segala sesuatu dengan tuntas 100% yang berarti tidak setengah-setengah. Kerja keras disini adalah setiap kesempatan datang kepada kita, kita melakukannya dengan berdedikasi 100% kepada kesempatan itu. 

Berkaitan dengan hal itu, pola pikir yang senada juga disampaikan oleh Carol Dweck dalam bukunya berjudul Mindset[2]. Menurutnya, terdapat dua macam pola pikir yang dimiliki seseorang yaitu pola pikir berkembang dan pola pikir tetap. Ketika seseorang bersemangat untuk menguji diri sendiri dan berpegang teguh bahkan (atau terutama) saat tidak berjalan dengan baik, hal ini menandakan bahwa orang tersebut memiliki ciri khas pola pikir berkembang. Ini adalah pola pikir yang memungkinkan orang untuk berkembang selama beberapa masa paling menantang dalam hidup mereka. Hal ini penting untuk dimiliki khususnya bagi seorang pengusaha karena menjalankan sebuah usaha pastinya akan mengalami pasang surut dan serangkaian tantangan. Tanpa adanya pola pikir berkembang yang teguh, seorang pengusaha akan kesulitan untuk mempertahankan usaha yang ia miliki. 

Terakhir, adalah sebuah gagasan yang disampaikan oleh Angela Duckworth yaitu GRIT[3]. Menurut Angela, kunci dari kesuksesan bukanlah bakat melainkan ‘Grit’ yaitu perpaduan antara hasrat dan kegigihan. Orang yang penuh dengan Grit biasanya mampu mempertahankan semangat dan motivasinya secara jangka panjang meskipun menghadapi kegagalan dan kesulitan. 

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa bakat dan kecerdasan saja belum tentu bisa menentukan kesuksesan seseorang. Bahkan sebaliknya, bakat itu sendiri mampu menurunkan kualitas kinerja seseorang, dan tes bakat dan kepribadian yang ada saat ini cenderung lemah dalam mengukur potensi diri seseorang yang sebenarnya. Di sisi lain, upaya (yang didukung oleh Grit) dinilai dua kali lebih penting. Kita harus terus melakukan upaya untuk mengasah bakat dasar kita melalui praktek agar bakat tersebut mampu menjadi keterampilan yang terukur. Kita juga harus terus berupaya mengaplikasikan kemampuan-kemampuan tersebut untuk mengatasi dan memberikan solusi kepada masalah-masalah nyata untuk mecapai keberhasilan.

Beberapa pola pikir ini dapat mendukung kita untuk mempersiapkan mental sebagai pengusaha di masa yang akan datang. Tidak ada yang tidak mungkin jika kita berusaha dan bekerja keras untuk mewujudkan impian kita. Melalui momentum kemerdekaan ini, mari kita kobarkan semangat dalam diri kita untuk menjadi manusia yang merdeka, salah satunya merdeka dengan memiliki usaha impian di masa yang akan datang. 


[1] Mindset Seorang Entrepreneur by Sandiaga Uno – https://www.youtube.com/watch?v=avprvEYNveA

[2] Carol Dweck: Ringkasan tentang Pola Pikir Pertumbuhan dan Pola Pikir Tetap – https://fs.blog/carol-dweck-mindset/

[3] Ringkasan Buku GRIT – https://www.tanotofoundation.org/wp-content/uploads/2021/09/grit-id.pdf

14/10/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Mengawal dan Mengantisipasi Perubahan Pengelolaan Obat di Era Program JKN

by admin2 01/10/2024
written by admin2

Oleh: Akhmad Saputra Benawa, Pemeriksa Ahli Pertama pada BPK Perwakilan Provinsi Lampung

Agenda pembangunan nasional tahun 2014-2024 (Nawacita) meliputi pembangunan kesehatan dalam poin Nawacita 5 yang berbunyi “meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia” dengan salah satu programnya yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang lebih dikenal dengan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Pelaksanaan JKN cukup menggembirakan. Berdasarkan data dari sismonev.djsn.go.id1, sampai dengan 2024 mencapai 273,5 jiwa atau dari 514 Kabupaten/Kota telah terintegrasi dalam Program JKN-KIS. Artinya jumlah peserta BPJS Kesehatan telah mencapai 97,13 persen penduduk Indonesia menjadi peserta JKN dalam waktu 10 tahun. Tentunya penambahan cakupan kepesertaan ini harus diikuti dengan pemenuhan supply side baik regulasi, sarana prasarana, dan SDM kesehatan untuk menjamin ketersediaan obat sesuai hak pasien. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan semakin nyata setelah ditetapkannya UU Nomor 40 Tahun 20042 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagaiamana terakhir diubah menjadi UU Nomor 11 Tahun 20202 tentang Cipta Kerja, sekaligus mempertegas tentang hak dan kewajiban peserta Program JKN.

Paradigma yang ada dalam benak peserta JKN adalah adanya pelayanan prima dalam bentuk diagnosis akurat dengan ketersediaan obat berkualitas tanpa adanya pungutan biaya/gratis. Pemahaman tersebut tidak ada salahnya. Namun, peserta JKN harus memahami bahwa, hak pemberian obat pasien telah diatur berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam daftar obat dan kelas terapi pada Formularium Nasional (Fornas) dari Kemenkes. Daftar Fornas tersebut telah menyesuaikan besaran tarif klaim yang dapat dibayarkan menurut golongan/kelas tanggungan peserta.

Secara kualitas, obat Fornas termasuk kategori obat generik yang telah melalui serangkaian uji klinik dan keandalan kandungan. Artinya pelayanan obat untuk pasien JKN yang benar adalah sesuai pemberian kelas terapi obat mengacu Fornas. Ketentuan pemberian obat mengacu pada hak pasien JKN berdasarkan kelas tanggungan, sepanjang pasien tidak dikenakan tambahan iuran biaya, berdasarkan permintaan sendiri, dan tanpa adanya paksaan/advokasi yang melanggar prosedur pelayanan obat JKN diluar hak pasien.

Leading sector seperti Dinkes dan RSU di daerah harus terlibat aktif menjawab permasalahan dalam pengelolaan obat JKN. Pertama, masalah perencanaan. Obat untuk pasien JKN harus mengacu pada Fornas. Rencana pengadaan harus ditetapkan dalam Rencana Kebutuhan Obat (RKO) yang mempertimbangan usulan medis dari Instalasi Farmasi, Staf Medik Farmasi (SMF) dan Komite Farmasi. Selain itu, kegiatan perencanaan obat diluar Fornas harus tetap disusun RKO-nya sebagai bahan acuan pengadaan dan ketersediaan anggaran sejalan dengan standar capaian pelayanan kesehatan.

Kedua, proses pengadaan. Kemenkes  memedomani Permenkes Nomor 5 Tahun 20193 tentang Perencanaan dan Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik yang mengatur bahwa pengadaan obat harus mengutamkan melalui mekanisme e-purchasing dan e-katalog. Kendala yang sering terjadi adalah waktu tunggu dari penyedia maupun distributor obat di e-katalog dalam kesanggupan memunisi pesanan dan waktu pengiriman. Menanggapi masalah tersebut diperlukan peran aktif penyelenggara pengadaan obat di Dinkes/RSU daerah agar segera melapor kepada LKPP sebagai bentuk inventarisasi penyedia-penyedia yang terindikasi tidak dapat berkomitmen dalam mematuhi aturan pengadaan. 

Ketiga, kegiatan pemberian resep. Mengacu pada UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan4, setiap praktik kesehatan wajib mengikuti standar pelayanan. Panduan Praktik Klinis (PPK) sebagai bagian dari standar pelayanan sebagai tolak ukur dalam menjamin pelayanan yang sadar mutu dan biaya. PPK mengatur rincian langkah demi langkah pelayanan kesehatan mengacu karakteristik permasalahan, clinical pathway (alur klinis), protokol, dan prosedur yang diawasi  Komite Medik dan Satuan Pengendalian Internal untuk meminimalisir pelanggaran dalam pemberian obat.

Keempat, monitoring dan evaluasi (Monev). Pemantauan dan penilaian terhadap seluruh kegiatan pengelolaan obat yang telah atau sedang dilaksanakan secara terencana dan sistematis sehingga dapat diidentifikasikan peluang atau tindakan perbaikan yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu layanan kefarmasian. Pelaksanaan monev yang memadai dilakukan secara berkala disertai dengan penyampaian rekomendasi perbaikan dan peningkatan mutu dalam bentuk laporan sebagai bahan evaluasi kebijakan.

Pengelolaan Iuran BPJS Perlu Diperbaiki

Pentingnya pengelola kegiatan dan pelayanan di bidang kesehatan untuk mematuhi aturan pengelolaan obat JKN harus diperkuat dengan koordinasi dengan satuan tugas kesehatan terkait lainnya seperti Dewan Pengawas Kesehatan Provinsi/Kota/Kabupaten, Bagian Instalasi Farmasi di Dinkes/RSU, dan Komite Medik dan Farmasi. Tidak boleh ada konflik antar kelembagaan tersebut dalam pengelolaan obat JKN. Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) serta Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan5, telah dijelaskan secara jelas terkait mekanisme pengawasan, pembinanan, dan sanksi atas praktik-praktik penyalahgunaan kegiatan JKN.

[1] https://sismonev.djsn.go.id/sismonev.php;

[2] https://peraturan.bpk.go.id/Details/40787  

[3] https://peraturan.bpk.go.id/Details/129755/permenkes-no-5-tahun-2019

[4] https://peraturan.bpk.go.id/Details/258028/uu-no-17-tahun-2023

[5] https://peraturan.bpk.go.id/Details/129762/permenkes-no-16-tahun-2019

01/10/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah, Solusi atas Polemik Hosting Fee MotoGP Mandalika

by admin2 20/09/2024
written by admin2

Oleh: Rafiq A. Maulana, Pemeriksa Ahli Pertama pada BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara

Indonesia kembali menjadi salah satu tuan rumah penyelenggara MotoGP 2024 di Sirkuit Mandalika, Kabupaten Lombok Tengah. Tahun 2024 menjadi kali ke-3 Indonesia menyelenggarakan event akbar tersebut, setelah sebelumnya sukses terlaksana pada tahun 2022 dan 2023. Event MotoGP Mandalika selalu menarik atensi publik di Indonesia. Kemenparekraf mendata tren pencarian di internet, yang menunjukan atensi publik atas penyelenggaraan MotoGP Mandalika tahun lalu[1].  

Tren pencarian pada platform Youtube selama penyelenggaraan MotoGP Mandalika 2023, sumber: Kemenparekraf.

Tren media sosial X atas penyelenggaraan MotoGP Mandalika 2023, sumber: Kemenparekraf.

Analisa Kemenparekraf di tahun 2023 pada platform Youtube, menunjukan bahwa atensi positif masyarakat atas event MotoGP Mandalika mencapai 72%, sedangkan 23,7% atensi masyarakat bersifat netral, dan 4,3% sisanya menunjukan atensi negatif masyarakat. Atensi negatif kembali menyita perhatian publik pada persiapan event MotoGP Mandalika tahun ini. Media massa lokal dan nasional menyoroti ketidakmampuan Pemerintah Daerah di NTB untuk membayar hosting fee (biaya penyelenggaraan) MotoGP Mandalika 2024. Hosting fee merupakan biaya penyelenggaraan yang wajib dibayarkan oleh setiap negara yang menjadi tuan rumah perhelatan MotoGP. Pemerintah Daerah di NTB diharuskan untuk membayar hosting fee MotoGP Mandalika 2024 sebesar Rp231 Miliar[2]. Konsekuensi yang harus ditanggung apabila hosting fee tidak dibayarkan adalah tercorengnya nama baik Indonesia di mata dunia. Indonesia juga terancam untuk tidak dapat mengadakan event MotoGP tahun selanjutnya, akibat tidak mampu membayar hosting fee MotoGP Mandalika 2024.

Pemerintah Provinsi NTB menyampaikan bahwa tidak terdapat anggaran untuk membayar hosting fee MotoGP pada APBD TA 2024. Hal serupa juga dialami oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di NTB. APBD NTB TA 2024 difokuskan untuk penyelenggaraan PON Aceh – Medan dan Pilkada Serentak 2024. Di sisi lain, Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) selaku BUMN dan pihak penyelenggara tengah melakukan lobi dengan Dorna selaku pemegang hak balapan MotoGP. ITDC melobi agar Dorna membuka kemungkinan pembayaran hosting fee MotoGP Mandalika 2024 dilakukan setelah event balap tersebut terselenggara.

Media massa menilai Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di NTB kurang berkoordinasi dalam memastikan kelancaran persiapan event MotoGP Mandalika 2024, terutama terkait penganggaran dan pembebanan hosting fee. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di NTB harus menekankan sinergi, mengatur pembagian porsi pembayaran hosting fee, dan membuat kesepakatan tetap untuk kelancaran pembayaran hosting fee pada event MotoGP di tahun-tahun selanjutnya.

Membangun Sinergi Lintas Sektoral melalui FGD

Kurangnya sinergi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di NTB dapat dilihat dari belum ditemukannya solusi atas mekanisme pembayaran hosting fee. Pemerintah Pusat memegang peran sebagai koordinator Pemerintah Daerah di NTB. Pemerintah Pusat harus mampu memfasilitasi forum diskusi bagi Pemerintah Daerah di NTB, untuk menyampaikan perkembangan maupun kendala dalam persiapan pelaksanaan event MotoGP Mandalika 2024.

Sinergi dapat terlaksana dengan menghadirkan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan MotoGP Mandalika 2024. Setidaknya terdapat 3 pihak yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan MotoGP Mandalika 2024, yakni: 1) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf); 2) BUMN dalam hal ini ITDC; dan 3) Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di NTB. Sinergi Kemenparekraf, ITDC, dan Pemerintah Daerah di NTB dapat difasilitasi melalui forum Focus Group Discussion (FGD) maupun rapat terbatas.

FGD dilakukan dengan tujuan yang spesifik untuk menemukan akar permasalahan atas suatu isu/hambatan[3]. Dalam konteks ini, FGD berguna sebagai media komunikasi untuk menemukan titik tengah (solusi bersama) atas ketidakmampuan Pemerintah Daerah di NTB membayar hosting fee MotoGP Mandalika 2024. Forum FGD maupun rapat terbatas harus dilakukan secara intensif oleh pihak-pihak terkait, mengingat event MotoGP Mandalika hanya tersisa belasan hari sebelum pelaksanaannya. Menurut Krueger (1988), FGD yang efektif dilakukan dengan mempersiapkan 4 hal mencakup:

  1. Menentukan jumlah dan komposisi kelompok/peserta yang mengikuti FGD;
  2. Menyusun mekanisme diskusi dan menentukan tempat pelaksanaan (daring/luring);
  3. Menyiapkan fasilitator yang bersifat netral dan noluten untuk merangkum poin-poin penting dalam diskusi;
  4. Mempersiapakan kelengkapan FGD, termasuk fokus diskusi dan permasalahan yang ditekankan.

Desentralisasi Keuangan

Desentralisasi keuangan diartikan sebagai proses pelimpahan anggaran dari tingkatan pemerintah yang lebih tinggi, ke tingkatan pemerintah yang lebih rendah, dengan tujuan meningkatkan kemandirian keuangan Pemerintah Daerah. Penerapan Desentralisasi Keuangan atau Transfer ke Daerah (TKD) di Indonesia didasari oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Pasal 106 menyatakan bahwa TKD terdiri atas: 1) Dana Bagi Hasil; 2) Dana Alokasi Umum; 3) Dana Alokasi Khusus; 4) Dana Otonomi Khusus; 5) Dana Keistimewaan; dan 6) Dana Desa[4].

Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN TA 2024 mencantumkan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai sumber penganggaran pengembangan Daerah Pariwisata Prioritas tahun 2024[5]. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika merupakan salah satu dari 10 Daerah Pariwisata Prioritas, sebagaimana dipublikasikan oleh Kemenparekraf pada website resminya[6]. Berkaca dari uraian pada Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN TA 2024, DAK yang disalurkan oleh Pemerintah Pusat dapat direalisasikan guna memperkuat kondisi pariwisata di Mandalika, khususnya di tengah polemik pembayaran hosting fee MotoGP.

Di sisi lain, Pemerintah Provinsi NTB dan Pemerintah Kabupaten/Kota di NTB tidak memiliki ruang fiskal dalam APBD TA 2024 untuk membayar hosting fee MotoGP. Pemerintah Provinsi NTB mengharapkan adanya alokasi anggaran melalui DAK yang telah jelas diperuntukan untuk membayar hosting fee MotoGP. Berdasarkan Rincian DAK Fisik TA 2024 dari Kementerian Keuangan, tidak terdapat peruntukan secara spesifik pada DAK Pemerintah Provinsi NTB dan Pemerintah Kabupaten/Kota di NTB untuk membayar hosting fee MotoGP Mandalika 2024. Kondisi tersebut membuat Pemerintah Provinsi NTB hanya mampu berharap agar DAK untuk membayar hosting fee MotoGP dapat dianggarkan di APBD TA 2025.

Kesepakatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di NTB

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di NTB belum menunjukan komitmen terkait pembebanan hosting fee MotoGP Mandalika 2024. Sementara itu, ITDC menyampaikan bahwa hosting fee MotoGP Mandalika 2024 dibebankan ke Pemerintah Daerah di NTB. Namun, tidak ada penjelasan apakah pembebanan tersebut telah dituangkan dalam suatu nota kesepakatan atau MoU antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di NTB. Hal tersebut menimbulkan tanda tanya di masyarakat, terkait bagaimana bentuk komitmen persiapan event akbar tersebut. Tidak adanya nota kesepakatan atau MoU dikhawatirkan akan menghadirkan permasalahan yang sama di tahun selanjutnya.

Komitmen sejatinya dituangkan secara tertulis dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat pihak-pihak terkait. Komitmen dapat dibentuk oleh pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pembebanan hosting fee, antara lain: 1) Kementerian Keuangan; 2) Kementerian dalam Negeri; 3) Kemenparekraf; 4) Pemerintah Provinsi NTB; dan 5) Pemerintah Kabupaten/Kota di NTB. Kementerian Keuangan merupakan sumber penganggaran pembayaran hosting fee, Kementerian dalam Negeri memberikan rekomendasi dan saran kebijakan kepada Pemerintah Daerah di NTB, Kemenparekraf berpengalaman atas pembayaran hosting fee MotoGP di tahun 2023 dan berperan sebagai koordinator BUMN sektor pariwisata di KEK Mandalika, Pemerintah Daerah di NTB memegang peran atas realisasi dan pengelolaan anggaran hosting fee MotoGP.

Komitmen pihak-pihak tersebut mencakup: 1) mekanisme penganggaran hosting fee tahun 2024 dan tahun-tahun selanjutnya; 2) porsi pembebanan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di NTB atas hosting fee tahun 2024 dan tahun-tahun selanjutnya; dan 3) konsekuensi atas ketidakpatuhan maupun pelanggaran terhadap komitmen yang telah disepakati. Bentuk komitmen yang telah disepakati dituangkan ke dalam nota kesepakatan atau MoU, dengan unsur:

  1. MoU memuat perjanjian pendahuluan;
  2. MoU berisi hal-hal pokok atas komitmen yang disepakati;
  3. MoU berisi kontrak dengan jangka waktu tertentu yang bersifat mengikat pihak-pihak terkait[7].

Singkatnya, sinergi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus dilakukan sesegera mungkin dengan langkah yang terarah, mengingat event MotoGP Mandalika 2024 tinggal menghitung hari sebelum pelaksanaannya. Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah harus  berkolaborasi dan meningkatkan komitmen dalam menyelesaikan pembayaran hosting fee, agar kendala pembayaran tidak terulang kembali pada penyelenggaraan MotoGP di tahun-tahun mendatang.


[1] Majalah Kajian Kemenparekraf. 2023. Dampak Event MotoGP Mandalika 2023. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

[2] https://lombokpost.jawapos.com/ntb/1505025638/penyelesaian-pembayaran-hosting-fee-motogp-pengamat-desak-pemerintah-daerah-tidak-lepas-tangan.

 [3] Astridya, P., Lusi, K. 2013. Teknik Focus Group Discussion dalam Penelitian Kualitatif. e-journal Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

[4] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.

[5] Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2024. Kementerian Keuangan.

[6] https://kemenparekraf.go.id/rumah-difabel/Mengenal-10-Destinasi-Prioritas-Pariwisata-Indonesia

[7] Gita, P. 2016. Kekuatan Hukum Memorandum of Understanding (MoU) dalam Hukum Perjanjian di Indonesia. Jurnal UNPAR; Vol.2; No.2. 424 – 440


20/09/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Menyigi Strategi Pemerintah Indonesia dalam Pembangunan Urbanisme Ramah Lingkungan

by admin2 17/09/2024
written by admin2

Oleh: Sherlita Nurosidah, Penelaah Teknis Kebijakan pada Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK RI

Ketertarikan dunia yang semakin besar dalam perdebatan atas pentingnya konsep berkelanjutan (sustainability) membawa berbagai negara berlomba mengembangkan rencana pembangunan negaranya untuk lebih berkesinambungan secara jangka panjang.  Program-program kenegaraan diarahkan untuk mencapai kehidupan yang sehat dan tangguh sehingga dapat selaras dengan tumbuhnya populasi generatif guna mendukung kemunculan urbanisme ramah lingkungan. Pembangunan perkotaan maupun pedesaan tidak lagi hanya ditujukan untuk meningkatkan perekonomian namun juga mempertimbangkan dampak positif dalam jangka panjang untuk komunitas/masyarakat setempat.

Keberhasilan urbanisme berkelanjutan terdapat pada tercapainya keseimbangan antara manusia dan alam serta tersedianya berbagai fasilitas yang mendukung upaya pencapaian tersebut. Dalam laporan Sustainable Urban Development Strategy oleh United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia menyebutkan beberapa aktivitas yang dikembangkan, antara lain tata kelola berbasis digital, energi terbarukan, bebas sampah, strategi perencanaan perkotaan ramah air, pembangunan kawasan berorientasi transit, dan pengutamaan pada komunitas/masyarakat yang paling terdampak.

Penggunaan teknologi dalam tata kelola pemerintahan bertujuan untuk meningkatkan responsivitas pemerintah dalam memberikan layanan publik. Salah satunya program Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) – Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!), sebuah wadah penampungan dan penanganan keluhan masyarakat, yang memiliki tingkat kepuasan pengguna sebesar 73,7% Tahun 2022[1]. Teknologi digital juga digunakan untuk mendukung pengembangan sistem yang terdapat pada InaRISK, aplikasi yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia dan UNDP untuk mendapatkan peringatan atas bencana potensial[2]. Program tersebut digunakan untuk meningkatkan akurasi perencanaan serta pelaksanaan selama masa darurat dan masa pemulihan.

Perhatian seputar pemberdayaan energi terbarukan dipusatkan pada pengalihan sumber energi, nilai ekonomi karbon, dan pembiayaan inovatif terkait. Beberapa agenda untuk mencapai agenda emisi nol bersih (net zero) diwujudkan pemerintah Indonesia melalui beberapa cara. Lahirnya pajak karbon melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan tahun 2021 merupakan salah satu regulasi penting agar seluruh pihak menyadari kebutuhan terwujudnya emisi nol bersih. Selain itu, penetapan batas emisi karbon dan mekanisme perdagangan karbon juga turut memberikan dampak positif. Dari sisi keuangan, skema pembayaran berbasis kinerja antara UNDP dan pihak yang bertanggungjawab atas pendanaan memberikan peluang untuk menumbuhkan ketelitian dalam penggelontoran dana dengan mempertimbangkan pencapaian yang telah didapatkan oleh pihak yang terlibat.

Dalam hal pendanaan, pemerintah berhasil memperoleh dana segar dari Sukuk Hijau Global sebesar USD 1,5 milyar, Sukuk Hijau dalam negeri sebesar USD 969 juta dan USD 210 juta untuk Obligasi berbasis Sustainable Development Goals (SDG) dalam negeri pada Tahun 2022[3]. Selain itu, UNDP memberikan USD 100.000 dalam bentuk investasi ekuitas untuk empat startup yang berorientasi pada tercapainya SDG sebagai bentuk kerjasama dengan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Kementerian Keuangan[4]. Dengan demikian, Indonesia telah menunjukkan kesuksesannya dalam penggalangan dana dengan fokus keberlanjutan di pasar modal. Sebagaimana diketahui, SDG diharapkan dapat tercapai pada tahun 2030. Hal tersebut membuat tahun 2024 merupakan tahun penting untuk Indonesia dalam mengarungi setengah perjalanan menuju target yang telah ditetapkan. Tidak hanya Indonesia harus berpacu dengan waktu untuk dapat sampai pada kadar pengurangan emisi yang diharapkan namun juga mengarahkan prioritas nasional untuk mempermudah transisi menuju just energy tersebut.


[1] Kepuasan SP4N-LAPOR! Capai 73,7 Persen, Menteri PANRB: Tindak Lanjut Pengaduan Harus Dipercepat pada laman Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/kepuasan-sp4n-lapor-capai-73-7-persen-menteri-panrb-tindak-lanjut-pengaduan-harus-dipercepat

[2] Aplikasi InaRISK Mudahkan Warga Kobar Antisipasi Bahaya Bencana https://www.borneonews.co.id/berita/318726-aplikasi-inarisk-mudahkan-warga-kobar-antisipasi-bahaya-bencana

[3] Republic of Indonesia SDG Bond Allocation and Impact Report 2022 https://api-djppr.kemenkeu.go.id/web/api/v1/media/E678F05A-9644-47DD-9B09-293F08372966

[4] The Catalytic Fund Program https://www.cnbcindonesia.com/news/20231211115942-4-496128/ri-luncurkan-catalytic-fund-apa-itu

17/09/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Pentingnya Sosialisasi dalam Wacana Tiket KRL Berbasis NIK

by Ratna Darmayanti 02/09/2024
written by Ratna Darmayanti

Oleh:  Tri – Pegawai BPK Perwakilan Provinsi Bali

Rencana pemerintah untuk menerapkan sistem tiket KRL berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada tahun 2025 telah memicu gelombang protes dari masyarakat, terutama dari pengguna KRL di wilayah Jabodetabek. Media sosial dibanjiri keluhan dan kritik terhadap kebijakan tersebut.

Banyak pengguna KRL mempertanyakan relevansi kebijakan ini dengan permasalahan utama yang dihadapi oleh transportasi publik di Jabodetabek. Mereka berpendapat bahwa seharusnya pemerintah lebih fokus pada peningkatan kapasitas dan kualitas layanan KRL, seperti menambah jumlah kereta, memperbaiki infrastruktur, dan mengurangi kepadatan penumpang. Dalam beberapa unggahan di media sosial, seperti akun Instagram @biasalahanakmuda, terlihat banyak pengguna merasa pemerintah seharusnya lebih mengutamakan peningkatan kapasitas dan kualitas layanan daripada hanya mengubah sistem tiket[1].

Gambar Unggahan akun Instagram @biasalahanakmuda

Dasar Kebijakan dari Nota RAPBN 2025

Wacana penggunaan NIK sebagai dasar penetapan harga tiket sebenarnya bukan tanpa alasan. Dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025 yang disampaikan oleh Presiden pada Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I DPR RI Tahun Sidang 2024-2025 di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, pada Jumat (16/08/2024), dinyatakan perlunya perbaikan untuk mengoptimalkan anggaran belanja Subsidi Public Service Obligation (PSO) tahun anggaran 2025.  PSO tahun 2025 dialokasikan kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar Rp4.797,1 miliar[2]  untuk mendukung perbaikan kualitas dan inovasi pelayanan kereta salah satunya Lintas Raya Terpadu (LRT) Jabodetabek. Dalam Nota Keuangan, pemerintah berpendapat bahwa perubahan sistem tiket menjadi berbasis NIK bertujuan untuk mengoptimalkan subsidi dan meningkatkan kualitas layanan LRT Jabodebek. Namun, bagi banyak pengguna KRL, alasan ini tidak cukup meyakinkan. Mereka merasa kebijakan tersebut justru akan memberatkan masyarakat dan tidak menyelesaikan masalah mendasar dari transportasi publik.

Meskipun pemerintah menyatakan bahwa ini baru sebatas wacana[3], rencana penerapan sistem tiket KRL berbasis NIK pada tahun 2025 tetap menjadi perdebatan hangat di masyarakat. Di satu sisi, pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini akan meningkatkan efisiensi penggunaan subsidi. Namun, di sisi lain, masyarakat, khususnya pengguna KRL, merasa kebijakan ini tidak relevan dengan masalah utama transportasi publik dan berpotensi menimbulkan berbagai masalah baru.

Minim Sosialisasi Kebijakan

Salah satu penyebab utama munculnya protes dari masyarakat adalah minimnya sosialisasi dari pemerintah terkait kebijakan sistem tiket KRL berbasis NIK. Pengguna KRL, terutama di wilayah Jabodetabek, merasa informasi yang diberikan oleh pemerintah sangat terbatas dan tidak menyeluruh. Sosialisasi yang seharusnya memberikan pemahaman jelas kepada masyarakat justru dianggap tidak memadai. Hal ini menyebabkan kebingungan di kalangan pengguna KRL mengenai perubahan sistem yang diusulkan.

Banyak pengguna KRL mengungkapkan mereka memiliki sejumlah pertanyaan mendasar yang belum dijawab oleh pemerintah. Salah satu pertanyaan penting adalah mengenai mekanisme penetapan tarif yang didasarkan pada NIK. Pengguna ingin mengetahui bagaimana sistem ini akan diterapkan dan apakah akan ada perbedaan tarif berdasarkan data kependudukan. Selain itu, ada kekhawatiran tentang potensi keuntungan dan kerugian bagi pengguna, serta bagaimana proses transisi dari sistem tiket yang lama ke sistem yang baru akan dilakukan tanpa mengganggu kenyamanan dan aksesibilitas.

Kurangnya transparansi ini membuat masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan baru ini. Perasaan terpinggirkan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut mungkin lebih banyak mendatangkan dampak negatif daripada manfaat. Masyarakat khawatir bahwa kebijakan ini dapat mempengaruhi kualitas layanan yang mereka terima, terutama jika sistem baru menyebabkan kebingungan atau ketidaknyamanan dalam penggunaan tiket KRL.

Selain itu, ada kekhawatiran yang signifikan mengenai pengamanan data pribadi, mengingat penggunaan NIK sebagai dasar sistem tiket. Banyak pengguna KRL merasa bahwa data pribadi mereka bisa berisiko disalahgunakan atau bocor, mengingat riwayat insiden keamanan data dalam beberapa tahun terakhir[4]. Ketidakjelasan ini juga memperkuat persepsi bahwa pemerintah tidak mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan.

Sebenarnya, sosialisasi yang efektif dapat berfungsi sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat dalam memahami dan menerima kebijakan baru. Sosialisasi yang baik tidak hanya sekadar memberikan informasi, tetapi juga harus melibatkan dialog yang konstruktif antara pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, pemerintah dapat menjelaskan secara rinci tujuan dan manfaat dari kebijakan tersebut, sambil mendengarkan dan menanggapi kekhawatiran yang diutarakan oleh masyarakat. Hal ini penting untuk mengurangi potensi konflik dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan yang akan diterapkan.

Pentingnya Sosialisasi dan Dialog Publik

Sosialisasi, sebagai proses pembelajaran norma dan perilaku sosial, menjadi kunci dalam penerimaan kebijakan publik. George Herbert Mead menjelaskan bahwa sosialisasi adalah proses manusia belajar melalui cara, nilai dan menyesuaikan tindakan dengan masyarakat dan budaya, melihat bagaimana manusia meningkatkan pertumbuhan pribadi mereka agar sesuai dengan keadaan, nilai, norma dan budaya sebuah masyarakat[5].

Peter Berger memberikan definisi sosialisasi sebagai proses belajar menjadi anggota masyarakat yang berpartisipasi melalui dua tahap yakni primer dan sekunder[6] . Sosialisasi primer adalah sosialisasi tahap awal yang dialami individu di masa kanak-kanak, yang dilalui untuk menjadi anggota masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses selanjutnya yang memasukkan individu dalam hal-hal baru yang lebih spesifik dalam perikatan komunitas sosial, misalnya bergabung dengan organisasi tempat kerja maupun menjadi bagian warga negara. Namun, dalam konteks kebijakan publik, konsep sosialisasi membutuhkan pemahaman yang lebih spesifik. Sosialisasi dalam kebijakan publik tidak hanya sebatas penyampaian informasi, tetapi juga melibatkan proses dialog dan negosiasi.

Definisi ini sejalan dengan konsep dialogis dalam public relations. Dalam konteks kenaikan tiket KRL, pemerintah perlu menciptakan ruang dialog yang memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan. Dengan melibatkan masyarakat secara langsung, pemerintah dapat membangun konsensus dan legitimasi sosial terhadap kebijakan yang diambil.

Dalam komunikasi publik, khususnya yang dilakukan oleh pemerintah, pendekatan dialogis sangatlah krusial. Teori dialogis menekankan pentingnya interaksi dua arah yang setara antara pemerintah dan masyarakat. Dalam konteks penetapan kebijakan seperti kenaikan tiket KRL, pemerintah perlu melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini tidak hanya sekedar memberikan informasi, tetapi juga mendengarkan aspirasi, masukan, dan kritik dari masyarakat.

Kent dan Taylor (2002)[7] mengidentifikasi lima ciri-ciri utama dalam interaksi dialogis yakni risiko, timbal balik, kedekatan, empati, dan komitmen. Dalam konteks komunikasi publik, khususnya dalam kebijakan pemerintah seperti kenaikan tiket KRL, pendekatan dialogis yang efektif memerlukan pemerintah untuk:

  • Mengambil risiko dengan terbuka terhadap kritik dan masukan masyarakat.
  • Membangun hubungan timbal balik yang setara dengan masyarakat.
  • Menjaga kedekatan melalui komunikasi yang langsung dan berkelanjutan.
  • Menunjukkan empati dengan memahami perspektif masyarakat.
  • Membuat komitmen untuk mendengarkan dan merespons secara tulus.

Dengan menerapkan ciri-ciri dialogis ini, pemerintah dapat menciptakan ikatan dialogis yang kuat dengan masyarakat, membangun kepercayaan, dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil diterima dengan baik. 

Pendekatan dialogis dalam public relations, dikombinasikan dengan pemahaman yang mendalam tentang teori sosialisasi, dapat menjadi kerangka kerja yang efektif bagi pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan seperti kenaikan tiket KRL. Dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan dan sosialisasi kebijakan, pemerintah dapat membangun kepercayaan publik dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil diterima dengan baik oleh masyarakat.

Daftar Pustaka:

  1. Instagram @biasalahanakmuda
  2. Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025, Bab 3 hal 25
  3. Menhub Tegaskan Subsidi KRL Berbasis NIK Masih Wacana https://www.antaranews.com/berita/4294455/menhub-tegaskan-subsidi-krl-berbasis-nik-masih-wacana
  4. 10 Kasus Kebocoran Data di Indonesia yang Paling Menggemparkan, https://www.inilah.com/kasus-kebocoran-data-di-indonesia
  5. Mind, Self, and Society. George H. Mead. The  University  of  Chicago  Press,  Chicago (1972)
  6. The Social Construction of Reality. Peter L. Berger, Thomas Luckmann. Penguin Books Limited (1991)
  7. Toward a dialogic theory of public relations. Michael L. Kent a, Maureen Taylorm. Public Relations Review 28 (2002) 21–37
02/09/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Refleksi Lima Tahun Perjalanan SDG di Indonesia

by admin2 20/08/2024
written by admin2

Oleh: Mokhamad Meydiansyah Ashari, Pemeriksa Ahli Pertama pada Pusat Kemitraan Global BPK RI

Penghargaan SDG Action Awards 2023 yang digelar pada 3 November tahun lalu menjadi tonggak penting lima tahun perjalanan program Sustainable Development Goals (SDG) di Indonesia. Acara tahunan yang ditujukan untuk mengapresiasi para pemangku kepentingan yang mendukung pelaksanaan SDG. Pada perhelatan ini juga, Bappenas mempublikasikan dua dokumen penting terkait SDG yakni: Peta Jalan SDG 2023 dan Metadata Indikator Volume II versi 2023. Kedua dokumen ini menegaskan pentingnya perencanaan strategis dalam program SDG Indonesia.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau SDGs kini menjadi istilah yang jamak terdengar di telinga masyarakat Indonesia. Digagas PBB pada tahun 2016, SDGs terdiri dari 17 kategori yang bertujuan mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan bagi manusia dan bumi pada tahun 2030, sebagai kelanjutan dari Tujuan Pembangunan Milenium yang berakhir pada tahun 2015.

Komitmen Indonesia terhadap SDGs dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 59 tahun 2017 yang terbit pada 4 Juli 2017. Peraturan ini mengamanatkan penyusunan Peta Jalan TPB (SDG Roadmap), Rencana Aksi Nasional (RAN), Rencana Aksi Daerah (RAD), serta pembentukan Tim Koordinasi Nasional (TKN) dengan Bappenas sebagai koordinator.

Peta Jalan SDG, yang pertama kali disusun pada tahun 2018 dan baru-baru ini diperbarui untuk periode 2023-2030, menguraikan kebijakan strategis dan tahapan pelaksanaan TPB dari 2017 hingga 2030. Dokumen ini memuat 60 indikator utama yang sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia 2005-2025, menjadi panduan lengkap bagi para pemangku kepentingan dalam mencapai target SDG 2030.

Melengkapi Peta Jalan, Metadata SDG berfungsi sebagai acuan untuk mengukur kemajuan SDG Indonesia, memungkinkan perbandingan dengan negara lain serta antar provinsi dan kabupaten di Indonesia. Dokumen penting ini telah mengalami dua kali revisi sejak pertama kali diterbitkan pada 2017, dengan pembaruan pada 2020 dan terakhir pada 2023, bersamaan dengan revisi Peta Jalan SDG 2023-2030.

RAN juga mengalami perkembangan, dengan versi pertama mencakup periode 2017-2019 dan versi terbaru untuk 2020-2023. Di tingkat daerah, RAD juga telah disusun, meski penerbitan dan pelaksanaannya beragam tergantung kesiapan masing-masing pemerintah provinsi.

Indonesia telah mencatat banyak kemajuan berarti dalam pelaksanaan SDG, termasuk keikutsertaan tahunan dalam United Nations High-Level Political Forum tentang SDG. Kegiatan yang berisi tentang diskusi dan berbagi praktik terbaik terkait SDG antar negara. Namun, masih ada tantangan besar dalam tata kelola dan pelaksanaannya. Masalah utama adalah ketidakselarasan indikator yang digunakan dalam Peta Jalan 2017, RAN 2020-2023, dan berbagai RAD. Perbedaan ini menyulitkan penyelarasan program antara pemerintah pusat, provinsi, dan daerah dalam perencanaan dan pemantauan pelaksanaan SDG.

Perbedaan ini terutama terlihat antara RAN 2020-2023 yang menggunakan versi Indikator Metadata 2020 II, dan RAD yang masih mengacu pada versi I 2017. Ketidakselarasan ini berakar dari pedoman RAD yang didasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7 tahun 2018, yang merujuk pada versi metadata lama. Akibatnya, pendekatan pelaksanaan SDG di berbagai tingkat pemerintahan menjadi terpecah-pecah.

Masalah lain yang tak kalah penting adalah ketidaksesuaian kewenangan dalam indikator RAD. Beberapa indikator dalam RAD TPB/SDGs berada di bawah wewenang eksklusif Pemerintah Pusat, BUMN, atau pemerintah daerah. Ketidaksesuaian ini mempersulit pelaksanaan SDG untuk indikator-indikator tersebut, karena pemerintah provinsi tidak memiliki kewenangan, sumber daya manusia, anggaran, dan unit kerja untuk menanganinya secara efektif. Contohnya, indikator prevalensi stunting pada anak balita dipecah pada tingkat nasional dan provinsi, padahal kewenangan pencegahan stunting ada di pemerintah kabupaten/kota sebagai bagian dari Standar Pelayanan Minimal Kesehatan Dasar.

Selanjutnya, cakupan RAD yang terbatas juga menjadi tantangan besar. Saat ini, RAD hanya mencakup pemerintah provinsi, dengan keterlibatan pemerintah kabupaten/kota yang bersifat sukarela. Pendekatan ini bertentangan dengan prinsip inklusivitas SDGs, yang seharusnya melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah kabupaten/kota, untuk memastikan pelaksanaan SDG yang lebih terarah dan efektif.

Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, Indonesia perlu mengambil beberapa langkah terkoordinasi. Penyelarasan indikator di seluruh Peta Jalan, RAN, dan RAD sangat penting untuk memastikan perencanaan dan pemantauan pelaksanaan SDG yang padu di semua tingkat pemerintahan. Pembaruan terbaru Peta Jalan dan Metadata membuka peluang untuk mencapai keselarasan ini, namun membutuhkan upaya bersama di semua tingkatan pemerintahan.

Pembagian yang jelas tentang tanggung jawab dan wewenang untuk setiap indikator SDG juga diperlukan. RAD sebaiknya hanya mencakup indikator dalam yurisdiksi provinsi atau yang dapat dipengaruhi secara efektif oleh kebijakan provinsi. Hal ini memerlukan peninjauan menyeluruh terhadap RAD yang ada dan kemungkinan penyesuaian pedoman penyusunannya.

Selain itu, keterlibatan pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaan SDG perlu diformalkan dan didorong. Penyesuaian peraturan terkait agar partisipasi daerah dalam RAD bersifat wajib, bukan sukarela, akan lebih mencerminkan sifat inklusif SDGs dan mengarah pada pelaksanaan yang lebih menyeluruh dan efektif.

Dalam konteks ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah berperan penting dalam memastikan akuntabilitas dan efektivitas pelaksanaan SDGs di Indonesia. BPK telah melakukan beberapa pemeriksaan terkait SDGs, memberikan rekomendasi berharga untuk perbaikan tata kelola dan efisiensi program. Namun, mengingat kompleksitas dan luasnya cakupan SDGs, diperlukan pendekatan pemeriksaan yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan untuk memastikan pencapaian target SDGs secara efektif.

Sampaikan National Statement dalam HLPF 2024, Ketua BPK Tekankan Tiga Poin Penting untuk Memperkuat Implementasi SDGs

Saat Indonesia memasuki paruh kedua perjalanan SDG-nya, mengatasi masalah-masalah tata kelola ini sangat penting untuk mempercepat kemajuan. SDGs bukan sekadar agenda pemerintah, melainkan visi nasional bersama yang membutuhkan kerja sama aktif dari semua sektor dan lapisan masyarakat. Dengan peningkatan koordinasi, penyelarasan dokumen perencanaan, dan partisipasi yang lebih inklusif, Indonesia dapat mengatasi tantangan saat ini dan memperkuat posisinya sebagai pelopor pembangunan berkelanjutan di kawasan dan dunia.

Penghargaan dan penerbitan dokumen strategis terbaru menunjukkan komitmen berkelanjutan Indonesia terhadap SDGs. Namun, hal ini juga menyoroti perlunya perbaikan terus-menerus dalam strategi tata kelola dan pelaksanaan. Dengan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi, Indonesia dapat memastikan bahwa upaya SDG-nya lebih terkoordinasi, inklusif, dan pada akhirnya lebih efektif dalam mencapai tujuan ambisius yang ditetapkan untuk tahun 2030.

20/08/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
OpiniSLIDERSuara Publik

BPK untuk Satu Abad Indonesia

by admin2 12/08/2024
written by admin2

Oleh: Benu Pandubrata J. , Pemeriksa Ahli Pertama di BPK Perwakilan Provinsi Lampung

Indonesia akan mengukir sebuah momen bersejarah pada tahun 2045  karena pada tahun itu, Indonesia genap berusia satu abad atau 100 tahun. Begitu banyak perjuangan yang telah dilakukan Bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sejak pertama menyatakan kemerdekaannya tahun 1945, Indonesia ternyata masih harus berperang guna mempertahankan kemerdekaan. Beberapa perlawanan terjadi di beberapa wilayah seperti Pertempuran Medan Area, Pertempuran 10 November di Surabaya, Pertempuran Ambarawa, Bandung Lautan Api hingga pada tahun 2020 Indonesia kembali harus berperang melawan virus corona (Covid-19).

Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun Indonesia telah merdeka, tetapi perjuangan belum berhenti seperti yang disampaikan Bung Karno sang proklamator “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”. Satu abad Indonesia telah melahirkan sebuah ide, gagasan dan harapan yang dituangkan melalui Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dalam sebuah visi yaitu Indonesia Emas 2045.

Guna mencapai visi Indonesia emas di tahun 2045 diperlukan banyak perjuangan yang harus dihadapi Bangsa Indonesia. Salah satu perjuangan yang harus dihadapi adalah bonus demografi. Bonus demografi mengacu pada percepatan pertumbuhan ekonomi yang dimulai dengan perubahan struktur usia populasi suatu negara sebagai transisi dari tingkat kelahiran dan kematian yang tinggi ke rendah (Gribble dan Bremner, 2012 dalam Marihot Nasution, 2021). Bonus demografi didaulat menjadi salah satu faktor penentu dalam mencapai sebuah visi. Namun, bonus demografi juga dapat menjadi bencana bagi Bangsa Indonesia jika tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.

Persentase penduduk produktif (15-64 tahun) di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2022 penduduk yang masuk dalam kategori umur produktif berada pada 69,15% (BPS, 2023). Dari 69,15% penduduk produktif, diketahui Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki kontribusi sekitar 2,25% (Buku Statistik ASN oleh BKN) mengingat berdasarkan peraturan yang berlaku usia ASN berkisar (18-65 tahus) bergantung pada kelas jabatan.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai salah satu instansi yang memiliki pelaksana, baik yang berstatus ASN atau honorer sebanyak 9.811 (data per 1 November 2022) memiliki kontribusi sebanyak 0,01% dari penduduk produktif. Kontribusi pelaksana BPK dalam bonus demografi memang terlihat tidak signifikan, tetapi dari 0,01% itu ternyata BPK memiliki peran dan tugas yang sangat signifikan dalam kehidupan bernegara terutama dalam rangka mewujudkan visi “Indonesia Emas 2045”.

BPK memiliki tugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Peran dan tugas BPK menjadi penting untuk Indonesia dalam mencapai visinya, Hal itu dikarenakan guna mencapai sebuah visi, Negara harus memiliki program dan strategi untuk dituangkan dalam rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh instansi pemerintah. Pelaksanaan kegiatan tersebut membutuhkan anggaran keuangan negara untuk dikelola sesuai dengan tujuan kegiatan dan tidak melanggar peraturan perundangan.

Program dan strategi Indonesia 2045 telah dituangkan menjadi empat pilar pembangunan Indonesia 2045 yang mencakup 1) Pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK; 2) Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan; 3)Pemerataan pembangunan ; dan 4) Pemantapan ketahanan nasional dan tata Kelola kepemerintahan (Bappenas, 2019). Pilar Pembangunan Indonesia 2045 sesuai dengan RPJPN juga terbagi menjadi empat tahapan yaitu 1) Perkuatan Fondasi Transformasi (2025-2029); 2) Akselerasi Tansformasi (2030-2034); 3) Ekspansi Global (2035-2039); dan 4) Perwujudan Indonesia Emas (2040-2045).

Tahapan pertama dalam mencapai RPJPN ialah dengan memperkuat tiga fondasi transformasi yaitu transformasi sosial, ekonomi, dan tata kelola. Transformasi sosial yang berfokus pada pemenuhan pelayanan dasar kesehatan, pendidikan dan perlindungan sosial. Transformasi ekonomi yang berfokus pada hilirisasi SDA serta penguatan riset inovasi dan produktivitas tenaga kerja, dan transformasi tata kelola yang berfokus pada kelembagaan tepat fungsi, penyempurnaan fondasi penataan regulasi, kualitas ASN berbasis merit, kebijakan pembangunan berbasis bukti, penerapan manajemen risiko, pelayanan publik berbasis TI, serta penguatan kapasitas masyarakat sipil (indonesia2045.go.id).

Peran BPK untuk mendukung tahap pertama “Perkuatan Fondasi Transformasi” telah dilakukan sejak saat ini. Salah satu contoh bukti nyata yang dilakukan adalah pada tahun 2023 BPK telah melaksanakan pemeriksaan kinerja tematik mandatory spending. Pemeriksaan tersebut sejalan dalam mendukung aspek transformasi sosial guna memastikan proporsi pengeluaran belanja negara telah sesuai dengan yang diamantkan undang-undang sehingga pelayanan dasar dapat tercapai. Pemeriksaan BPK selalu berupaya memastikan proses bernegara dari hulu ke hilir yang dimulai dari penganggaran,pelaksanaan dan pelaporan sesuai dengan peraturan perundangan.

Aspek transformasi ekonomi yang dilakukan BPK ialah dengan terus melakukan riset dalam pengembangan Big Data Anallytics (BIDICS) guna meningkatkan produktivitas pemeriksa dalam melaksanakan penugasan. Pada saat pandemi covid-19, BPK juga menerapkan prosedur alternatif berupa Pemeriksaan Jarak Jauh (PJJ) untuk menghasilkan kualitas pemeriksaan yang optimal tanpa mengurangi prosedur vital yang harus dilaksanakan. PJJ bisa berjalan dengan baik dikarenakan pelaksana BPK mampu bersikap aktif dan bersahabat dengan teknologi seiring berjalannya perkembangan zaman.

Transformasi tata kelola juga dilakukan oleh BPK baik secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dimulai dari melakukan pemeriksaan terhadap instansi pemerintah guna memastikan tata kelola pemerintahan telah optimal. Sedangkan secara internal dalam melaksanakan pemeriksaan, BPK selalu menggunakan risk bask audit sebagai bentuk penerapan manajemen risiko pemeriksaan. Optimalisasi aspek pemeriksaan yang mencakup pemeriksaan LK,Kinerja dan Dengan Tujuan Tertentu (DTT) juga merupakan bukti kongkret BPK telah menempatkan diri sebagai lembaga yang tepat fungsi guna mengawal keuangan negara.

Tahapan “Perkuatan Fondasi Transformasi” yang menjadi tahapan di tahun 2025-2029 guna mencapai Indonesia Emas 2045 telah didorong oleh BPK melalui Rencana Strategis (Renstra) BPK 2020-2024. Terdapat dua arah kebijakan dalam renstra BPK, pertama peningkatan sinergi dan kolaborasi dalam pemeriksaan dan penyelesaian ganti kerugian negara secara berkelanjutan, kedua peningkatan sinergi dan kolaborasi dalam tata kelola organisai (renstra.bpk.go.id). Kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan fondasi Indonesia dalam menjalani tahapan pertama di tahun 2025. Kebijakan yang tepat yang mampu menuntun BPK hadir dan berpartisipasi secara aktif dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Pemeriksaan yang terus berkembang dengan berfokus pada aspek-aspek perencanaan yang mendalam guna melahirkan kehidupan bernegara yang sesuai dengan tujuan Indonesia Emas 2045.

Daftar Pusaka:

wartapemeriksa.bpk.go.id, Honorer Bakal Dihapus, Bagaimana dengan BPK?

renstra.bpk.go.id

indonesia2045.go.id

Buku Statistik ASN SMT I oleh BKN

Ringkasan Eksekutif Visi Indonesia 2045

Nasution, Marihot. (2021). Hubungan Bonus Demografi, Indeks Pembangunan Manusia, dan Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan dengan Pertumbungan Ekonomi. Jurnal Budget Vol 6, No. 1, 2021

12/08/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Peran BPK dalam Upaya Meningkatkan Pengelolaan Keuangan Negara untuk Mencapai Tujuan Negara

by admin2 26/07/2024
written by admin2

Oleh: Abdul Aziz, Pengolah Data dan Informasi di BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Tengah

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah satu-satunya lembaga di Indonesia yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Kewenangan tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar Pasal 23E ayat (1). Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK tidak terbatas pada laporan keuangan, tetapi pemeriksaan juga dilakukan atas Sistem Pengendalian Intern dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Laporan keuangan merupakan wujud dari pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta bentuk pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 dijelaskan bahwa Pengelolaan Keuangan Negara merupakan keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Kewenangan yang dimiliki BPK inilah yang diharapkan meningkatkan pengelolaan keuangan negara. Sehingga tujuan negara yang terdapat di pembukaan UUD Negara RI 1945 dapat tercapai.

Program Pemeriksaan yang dilaksanakan oleh BPK mengacu pada Rencana Strategis. Renstra adalah suatu proses yang fundamental sebagai pedoman organisasi dalam melaksanakan tugas pokoknya. BPK juga mempertimbangkan dokumen anggaran khususnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional. Renstra BPK memuat strategi, kebijakan, dan program pemeriksaan yang dapat mendorong pengelolaan keuangan negara mencapai tujuan negara. Dari renstra kemudian dijabarkan menjadi dua arah kebijakan. Arah kebijakan pertama yaitu peningkatan sinergi dan kolaborasi dalam pemeriksaan dan penyelesaian ganti kerugian negara secara berkelanjutan. Arah kebijakan kedua yaitu peningkatan sinergi dan tata kelola organisasi. Adanya renstra merupakan upaya yang dilakukan oleh BPK untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan agar memberikan manfaat yang lebih besar dalam peningkatan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

Wujud dari peran BPK dalam upaya peningkatan pengelolaan keuangan negara dapat dilihat dari tugas pokoknya yaitu pemeriksaan. Terdapat 3 jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Hasil pemeriksaan Tahun Anggaran 2023 atas 84 Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (termasuk LK BPK yang diperiksa oleh Akuntan Publik) dan 1 Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara, terdapat 80 LKKL dan 1 LKBUN yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan 4 LKKL yang memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2023 terdapat ikhtisar dari 651 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang terdiri atas 1 LHP keuangan yang mencakup 0,15% dari total pemeriksaan, 288 LHP kinerja (44,24%), dan 362 LHP dengan tujuan tertentu (55,61%). Secara lebih rinci dapat dilihat dari gambar berikut.

Hasil pemeriksaan tersebut menyatakan bahwa terdapat 6.197 temuan yang berisi mengenai 8.869 permasalahan. Permasalahan yang ditemukan diantaranya permasalahan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI), permasalah ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, serta permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan. Permasalahan ketidakpatuhan dapat mengakibatkan kerugian negara, potensi kerugian keuangan negara, dan kekurangan penerimaan negara. Dari temuan tersebut, BPK memberikan rekomendasi kepada pimpinan entitas terkait agar menetapkan dan/atau menarik kerugian, memungut kekurangan penerimaan, dan menyetorkannya ke kas negara/daerah/Perusahaan, serta mengupayakan potensi kerugian tidak menjadi kerugian.

Rekomendasi yang telah disampaikan oleh BPK diharapkan dapat dilaksanakan oleh pemerintah atau entitas yang telah diperiksa oleh BPK. Berdasarkan hasil pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan (TLRHP) per 31 Desember 2023 atas LHP yang diterbitkan 2005-2023, secara kumulatif sampai dengan 2023 entitas telah menyerahkan aset dan/atau menyetorkan uang ke kas negara/ daerah/ perusahaan sebesar Rp136,88 triliun. Secara lebih rinci dapat dilihat pada gambar berikut.

Pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan merupakan sarana untuk mengawal proses peningkatan pengelolaan negara agar pengendalian intern yang dilakukan pemerintah atau entitas yang telah diperiksa semakin efektif, program/kegiatan yang dilaksanakan dapat semakin ekonomis, efektif, dan efisien, kerugian negara dapat dipulihkan atau dihindari, dan penerimaan atau entitas yang telah diperiksa dapat ditingkatkan. Rekomendasi BPK wujud dari peran BPK untuk mengawal pengelolaan keuangan negara agar dilaksanakan sesuai peraturan yang ada, tertib, mengedepankan prinsip efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Sehingga terjadi peningkatan tata kelola keuangan negara yang berkualitas dan bermanfaat sesuai dengan tujuan Renstra BPK 2020-2024. Muara dari Renstra BPK 2020-2024 yaitu menjadi lembaga pemeriksa yang berperan aktif dalam mewujudkan tata kelola keuangan negara yang berkualitas dan bermanfaat untuk mencapai tujuan negara.

26/07/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan Urgensi Kolaborasi Nasional
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025

    04/07/2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama

    02/07/2025
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan...

    01/07/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id