WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Friday, 4 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Category:

Suara Publik

BeritaBPK BekerjaSuara Publik

Benarkah Laporan Keuangan Pemerintah untuk Konsumsi Masyarakat Umum?

by admin2 18/06/2025
written by admin2

Oleh: M. iqbal Haridh, Pemeriksa pada Ditjen PKN VII BPK RI

Semua pihak mungkin sepakat dengan pernyataan bahwa salah satu fungsi Laporan Keuangan adalah untuk memberikan informasi kepada para pemangku kepentingan, diantaranya adalah masyarakat umum. Informasi dalam Laporan Keuangan penting untuk menjaga kepercayaan publik pada institusi tersebut. Lantas bagaimana cara menyusun laporan keuangan? Akuntansi diyakini oleh berbagai pihak media yang bertanggung jawab pada penyusunan Laporan Keuangan. Karena peran itulah akuntansi juga sering disebut sebagai “bahasa bisnis”.

Di sektor swasta, jamak ditemui perusahaan dengan model tertutup, yang tidak menyampaikan Laporan Keuangan ke publik. Bagaimana dengan entitas pemerintah? Berdasarkan regulasi yang berlaku, entitas pemerintah wajib menyusun laporan keuangan. Setelah diaudit dan mendapatkan opini atas laporan keuangan tersebut, Laporan Keuangan selanjutnya disampaikan kepada publik.

Maka dapat kita simpulkan bahwa Laporan Keuangan disampaikan kepada publik, sehingga masyarakat dapat membaca Laporan Keuangan tersebut.

Tapi, apakah benar begitu? Mari kita lihat bersama-sama.

Pola Pelaporan Keuangan

Regulasi yang mengatur pola pelaporan keuangan pemerintah di Indonesia tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Layaknya sebuah standar akuntansi, regulasi tersebut juga menyertakan Kerangka Konseptual. Meskipun tidak membahas pernyataan standar akuntansi secara rinci, Kerangka Konseptual memuat banyak hal penting yang harus diperhatikan, yang mencakup: ruang lingkup, pengguna dan kebutuhan informasi para pengguna, peranan dan tujuan pelaporan keuangan, asumsi dasar pelaporan keuangan, karakteristik kualitatif laporan keuangan, prinsip akuntansi, kendala informasi yang relevan, serta unsur laporan keuangan.

Mari kita coba lihat bersama, bagaimana penyampaian informasi Laporan Keuangan diatur dalam Kerangka Konseptual.

Dalam paragraf 17, disebutkan bahwa terdapat beberapa kelompok utama pengguna laporan keuangan pemerintah, yaitu:

  1. Masyarakat;
  2. Wakil rakyat, lembaga pengawas, dan lembaga pemeriksa;
  3. pihak yang memberi atau berperan dalam proses donasi, investasi, pinjaman;
  4. pemerintah.

Berdasarkan paragraf 17, dapat kita lihat bahwa masyarakat merupakan satu dari beberapa kelompok pengguna utama laporan keuangan. Dalam daftar tersebut, kelompok masyarakat bahkan berada di urutan pertama. Hal ini menyiratkan seolah-olah masyarakat adalah kelompok pengguna laporan keuangan paling penting, meskipun urutan kepentingan kelompok pengguna laporan keuangan tidak disebutkan dalam Kerangka Konseptual dimaksud. Hal ini terbilang wajar, karena pemerintah beroperasi dalam wadah publik, serta mendapatkan pendanaan dari publik. Sehingga dapat dikatakan bahwa institusi pemerintahan adalah institusi dengan tingkat akuntabilitas publik paling tinggi.

Selain paragraf 17, paragraf 25 juga mendukung hal ini. Paragraf 25 menyebutkan bahwa setiap entitas pelaporan mempunyai kewajiban untuk melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan serta hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan terstruktur pada suatu periode pelaporan untuk kepentingan, antara lain: akuntabilitas. Maka berdasarkan paragraf 25, kita mengetahui bahwa paling tidak, ada peran yang diemban oleh pelaporan keuangan terkait dengan akuntabilitas. Mari kita coba kupas lebih dalam.

Laporan Keuangan Pemerintah harus memiliki asas akuntabilitas, yaitu mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik. Karena entitas pemerintah didanai oleh publik, maka bentuk pengelolaan sumber daya sudah seharusnya dilaporkan kepada publik. Lantas bagaimana mekanisme pelaporannya? Laporan keuangan berperan penting dalam menjalankan peran akuntabilitas tersebut. Melalui pelaporan keuangan yang akuntabel, pengelolaan sumber daya diharapkan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.

Maka berdasarkan Kerangka Konseptual Paragraf 17 dan 25, dapat disimpulkan bahwa masyarakat umum adalah salah satu pengguna utama Laporan Keuangan Pemerintah. Sehingga sudah seharusnya, masyarakat umum dapat mengakses dan membaca Laporan Keuangan Pemerintah agar peran akuntabilitas dapat terpenuhi dengan baik.

Membaca Laporan Keuangan

Saat ini, Laporan Keuangan Pemerintah boleh dikata telah tersedia bagi publik, karena cukup mudah diakses melalui media internet. Namun untuk dapat memahami informasi dari laporan keuangan, maka pengguna (dalam konteks ini adalah masyarakat) harus mampu membaca laporan keuangan. Pertanyaan penting selanjutnya adalah: apakah seluruh elemen masyarakat kita sudah mampu membaca laporan keuangan?

PP 71 tahun 2010 telah mengantisipasi hal tersebut, yaitu mengingatkan pengguna tentang cara membaca laporan keuangan. Pada lampiran I Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP) Nomor 4 tentang Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) paragraf 9, dinyatakan sebagai berikut:

“… Laporan Keuangan mungkin mengandung informasi yang dapat mempunyai potensi kesalahpahaman di antara pembacanya. Oleh karena itu, untuk menghindari kesalahpahaman, atas sajian laporan keuangan harus dibuat Catatan atas Laporan Keuangan yang berisi informasi untuk memudahkan pengguna dalam memahami Laporan Keuangan.”

Dari paragraf tersebut dapat dilihat bahwa untuk dapat memahami laporan keuangan, maka laporan keuangan harus dibaca secara utuh. Laporan keuangan yang utuh tentu tidak sedikit. Menurut standar yang berlaku saat ini, Instansi Pemerintah harus menyajikan 7 buah laporan.

PP 71 Tahun 2010 lebih lanjut menjelaskan pada paragraf 10 dan 11 di lampiran yang sama:

“Kesalahpahaman dapat saja disebabkan oleh persepsi dari pembaca laporan keuangan…”

“…pengungkapan basis akuntansi dan kebijakan akuntansi yang diterapkan akan dapat membantu pembaca menghindari kesalahpahaman dalam memahami laporan keuangan”

Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam membaca dan memahami laporan keuangan, maka pembaca harus dapat memahami basis akuntansi dan kebijakan akuntansi yang digunakan oleh entitas tersebut.

Maka pertanyaan selanjutnya adalah: apakah kita, masyarakat umum telah memahami basis akuntansi dan kebijakan akuntansi, serta membaca seluruh laporan keuangan? PP 71 tahun 2010 mengingatkan, jika tidak mengikuti cara tersebut, pembaca mungkin saja salah persepsi dalam memahami laporan keuangan.

Lantas, apakah tidak terlalu banyak bagi masyarakat umum, sehingga harus membaca sampai 7 buah laporan untuk satu entitas? Menurut saya, itu terlalu banyak. Lalu bagaimana caranya agar masyarakat umum mampu membaca dan memahami laporan keuangan?

Analisis Laporan Keuangan

Menurut saya, ada dua cara bagi masyarakat umum agar bisa memahami laporan keuangan secara utuh.

Cara pertama adalah melalui wakil rakyat. DPR, yang secara lembaga mewakili rakyat, tentu mempunyai tugas mengawasi pihak pemerintah, termasuk dari sisi keuangan. Itu sebabnya, laporan keuangan yang telah diperiksa diserahkan ke lembaga ini. Melalui DPR, masyarakat umum seharusnya bisa memahami laporan keuangan secara utuh.

Cara kedua adalah menggunakan metode, yakni Analisis Laporan Keuangan (ALK). Metode ALK merupakan bahan ajar standar yang diajarkan di Jurusan Akuntansi. Sehingga, alumnus akuntansi secara umum dapat memahami laporan keuangan secara utuh.

Yang menjadi hambatan adalah, sistem akuntansi pemerintahan belum memiliki instrumen ALK yang memadai. Selain itu, secara umum ALK belum dipahami secara luas. Agar dapat digunakan masyarakat secara umum, ALK tidak harus diajarkan di sekolah atau kampus, namun dibentuk dalam sebuah desain baku, kemudian dituangkan dalam sebuah regulasi yang dapat dibaca masyarakat luas. Cara ini tentu menuntut dukungan dari riset dan praktik akuntansi pemerintahan yang cukup luas.

Menurut hemat penulis, cara kedua layak dicoba, agar masyarakat tidak salah paham dalam membaca dan memahami Laporan Keuangan.

18/06/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Religiositas dalam Mengawal Nilai Dasar BPK

by admin2 13/03/2025
written by admin2

Oleh: Mokhamad Meydiansyah Ashari, Pemeriksa pada Ditjen PKN dan Organisasi Internasional BPK

Pernahkah kita bertanya, bagaimana nilai-nilai agama yang kita anut bisa membantu kita bekerja lebih baik? Terutama, bagi kita yang bekerja di lembaga negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) yang memiliki tanggung jawab besar dalam mengawasi keuangan negara. Sebagai bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai-nilai keagamaan memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari, termasuk dalam dunia kerja.

Momentum peringatan hari jadi BPK yang ke-78 pada 1 Januari lalu menjadi waktu yang tepat untuk melakukan refleksi. Selama 78 tahun, BPK telah menjalankan amanah konstitusi sebagai penjaga keuangan negara dengan berbagai tantangan yang dihadapi. Nilai-nilai keagamaan telah menjadi fondasi moral yang memperkuat lembaga ini dalam menghadapi dinamika perubahan zaman.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa keyakinan agama memang mempengaruhi cara kita bekerja dan hasil yang kita capai (Fernando & Jackson, 2006; Houston & Cartwright, 2007; Ongaro & Tantardini, 2024). Di Indonesia, di mana agama menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat, penting bagi kita untuk melihat bagaimana nilai-nilai keagamaan dapat memperkuat kinerja lembaga negara seperti BPK.

Ajaran agama yang menekankan kejujuran, tanggung jawab, dan kebaikan kepada sesama sebenarnya sangat selaras dengan tugas BPK sebagai penjaga keuangan negara. Kajian akademis menunjukkan bahwa orang yang memegang teguh nilai agama cenderung lebih baik dalam membuat keputusan yang etis di tempat kerja (Fernando & Jackson, 2006). Religiositas juga dapat memperkuat tiga nilai inti BPK: independensi, integritas, dan profesionalisme. Adapun penerapan nilai agama dalam mendukung ketiga hal tersebut dapat dirangkum sebagai berikut.

Ajaran agama mendorong kita untuk bersikap adil dan tidak memihak. Nilai agama bisa memotivasi seseorang untuk tetap teguh pada prinsip kebenaran dan tidak mudah dipengaruhi pihak lain (Al-Quran 5:8). Hal ini sangat penting bagi pemeriksa BPK yang harus bekerja secara objektif tanpa tekanan dari pihak mana pun.

Nilai kejujuran yang diajarkan dalam agama sangat mendukung integritas dalam bekerja. Fernando dan Jackson (2006) menemukan bahwa orang yang taat beragama lebih sadar akan pentingnya berperilaku etis. Dalam praktik pemeriksaan, religiositas akan terlihat dari bagaimana seorang pemeriksa menolak segala bentuk suap atau gratifikasi, bersikap objektif dalam menilai temuan audit, dan berani melaporkan penyimpangan tanpa takut akan konsekuensi. Inilah bentuk konkret dari pengamalan nilai-nilai agama yang jauh lebih bermakna daripada sekadar mengikuti ritual atau menampilkan simbol keagamaan. Kesadaran bahwa setiap tindakan profesional akan dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada institusi dan masyarakat, tetapi juga kepada Tuhan, akan mendorong pemeriksa untuk selalu menjunjung tinggi standar etika tertinggi dalam setiap aspek pekerjaannya.

Ajaran agama yang mendorong kita untuk bekerja dengan sungguh-sungguh dan memberikan yang terbaik sangat mendukung profesionalisme. Houston dan Cartwright (2007) menunjukkan bahwa spiritualitas membangun etika kerja yang positif. Kesadaran spiritual membuat kita lebih memperhatikan prosedur dan aturan yang berlaku. Nilai-nilai keagamaan juga membantu kita dalam hal akuntabilitas atau pertanggungjawaban. Ajaran agama mengajarkan kita untuk teliti dan menyeluruh dalam bekerja. Hal ini merupakan kualitas yang sangat penting dalam penugasan audit. Kesadaran bahwa Tuhan selalu mengawasi membuat kita lebih bertanggung jawab dalam bekerja.

Kegiatan kajian Islam mingguan yang diselenggarakan BPK adalah contoh nyata bagaimana lembaga ini memberi ruang bagi nilai-nilai keagamaan untuk tumbuh di lingkungan kerja. Melalui kajian tersebut, nilai-nilai Islam seperti amanah, kejujuran, dan tanggung jawab terus dipupuk dan diperkuat di kalangan pegawai.

Pada bulan Ramadan, kita memiliki kesempatan istimewa untuk melihat bagaimana nilai-nilai keagamaan dapat diterapkan dalam pekerjaan. Ramadan mengajarkan disiplin diri, empati, dan pembaruan komitmen untuk berperilaku etis, hal-hal yang sangat penting untuk keunggulan profesional di BPK. Kajian Islam mingguan di BPK yang akan semakin intensif di saat Ramadan menjadi wadah yang tepat untuk memperkuat nilai-nilai tersebut. Dengan usia BPK yang kini menginjak 78 tahun, momen Ramadan dan kegiatan keagamaan lainnya menjadi kesempatan untuk memperbarui komitmen dalam menjalankan amanah konstitusi dengan lebih baik lagi. Ramadan memberikan bukan hanya waktu untuk pembaruan spiritual tetapi kesempatan untuk memperkuat keselarasan antara nilai-nilai keagamaan dan keunggulan profesional yang mendefinisikan peran BPK dalam tata kelola Indonesia.

Perlu ditekankan bahwa pada akhirnya, religiositas yang bermakna tidak hanya terwujud dalam simbol atau ritual keagamaan semata, tetapi harus tergambar dalam praktik nyata penegakan nilai-nilai dasar BPK, terutama dalam kegiatan pemeriksaan. Kesalehan ritual perlu diterjemahkan menjadi kesalehan dalam profesionalisme yang terlihat dalam setiap langkah pemeriksaan, mulai dari perencanaan hingga pelaporan hasil audit. Ketika seorang pemeriksa menjalankan tugasnya dengan penuh ketelitian, kejujuran, dan keadilan, itulah bentuk nyata dari penghayatan dasar-dasar keagamaan dalam pekerjaan, selaras dengan nilai dasar BPK.

Referensi

Al-Quran. (n.d.). Al-Maidah 5:8. Diakses dari https://quran.com/al-maidah/8

Fernando, M., & Jackson, B. (2006). The influence of religion-based workplace spirituality on business leaders’ decision-making: An inter-faith study. Journal of Management & Organization, 12(1), 23-39.

Houston, D. J., & Cartwright, K. E. (2007). Spirituality and public service. Public Administration Review, 67(1), 88-102.

Ongaro, E., & Tantardini, M. (2024). Religion, spirituality, faith and public administration: A literature review and outlook. Public Policy and Administration, 39(4), 531-555.

13/03/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
SLIDERSuara PublikUncategorized

Urgensi Program BPK Goes To School dan BPK Mengajar dalam Kacamata Seorang Pendidik

by admin2 17/02/2025
written by admin2

Oleh: Bastian Febrianto, Guru SMKN 2 Yogyakarta

Senja pada hari ini akhirnya tiba juga. Mentari perlahan tenggelam di batas cakrawala, meninggalkan semburat temaram jingga yang menghiasi langit kota Yogyakarta. Setelah seharian full mengajar hari ini, saya duduk di ruang guru, menyeduh secangkir kopi, sebungkus kopi sasetan yang kemarin sore saya beli di warung dekat rumah. 

Dari balik jendela, saya melihat para siswa berbondong-bondong meninggalkan sekolah. Sebanyak 2.508 siswa saya pulang dengan wajah ceria, melangkah menuju rumah masing-masing dengan harapan, impian dan asa yang menggantung tinggi di benak mereka. Saya percaya bahwa masa depan cerah menanti mereka, dan mungkin, di antara ribuan siswa ini, ada yang kelak akan meniti karier di bidang keuangan atau bahkan mungkin bergabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Diiringi suara instrument Gending Soran khas Yogyakarta yang mengalun lembut, saya menikmati secangkir kopi sambil berselancar di dunia maya menggunakan laptop jadul yang masih setia menemani. 

Salah satu berita dari situs resmi Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta menarik perhatian saya. Pada tanggal 15 Januari 20251, BPK RI mengadakan kegiatan yang sangat menarik bagi saya sebagai seorang guru, yaitu program “BPK Mengajar.” Setelah menelusuri lebih lanjut, saya menemukan bahwa kegiatan ini bukanlah hal baru bagi BPK. Program serupa telah lama dijalankan oleh BPK di berbagai daerah. Sebagai contoh, pada 20 Januari 2025 BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur mengadakan “BPK Mengajar” di STMIK Widya Cipta Dharma2. Kemudian hal serupa juga dilakukan oleh BPK Perwakilan Provinsi Aceh3 dengan program BPK Aceh Goes to School pada 17 Desember 2024, dan masih banyak lagi ditahun-tahun sebelumnya.

Lorong-lorong kelas mulai sepi, menyisakan hening berpeluk senja. Sembari menyeruput kopi pahit ini sambil masih ditemani suara instrument tetabuhan dari Gending Soran, pikiran saya melayang dan berfikir, sebagai seorang pendidik di Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK, saya merasa sangat antusias melihat adanya program seperti ini. Saya menyadari bahwa kehadiran BPK dalam dunia pendidikan menandakan kepedulian institusi tersebut terhadap generasi muda, terutama siswa. Dunia Pendidikan Vokasi, khususnya di SMK memiliki konsep link and match, yaitu sebuah program yang menghubungkan sekolah dengan dunia kerja, dunia usaha, dan dunia industri. Tujuannya adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan vokasi dengan kebutuhan dunia kerja. Program BPK Mengajar atau BPK Goes to School ini juga menurut saya ikut andil dalam konsep ini, keterlibatan BPK dalam edukasi sekaligus literasi kepada peserta didik terkait dengan bidang keuangan, akuntabilias dan sebagainya sangatlah berharga. Di dunia SMK, terdapat istilah “guru tamu,” yaitu praktisi dari berbagai bidang yang diundang untuk mengajar dan berbagi pengalaman langsung kepada siswa. Biasanya, guru tamu berasal dari perusahaan-perusahaan yang relevan dengan jurusan yang ada di sekolah tersebut. Misalnya, di SMK yang memiliki jurusan Teknik Mesin, praktisi yang diundang biasanya berasal dari perusahaan manufaktur. Sementara itu, untuk jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV), praktisi dari dunia digital sering kali didatangkan. Dalam konteks ini, kehadiran praktisi atau ahli dari BPK tentu menjadi suatu hal yang sangat menggembirakan bagi guru dan peserta didik. Hal ini tentu sangat relevan bagi siswa SMK, terutama SMK yang mengambil kompetensi keahlian di bidang akuntansi dan administrasi keuangan. Dengan demikian, siswa tidak hanya mendapatkan teori dari buku pelajaran, tetapi juga wawasan langsung dari para profesional di bidangnya.

Kembali saya menyeruput kopi hitam yang tinggal separuh ini, kret..kret bunyi laptop butut saya menemani fikiran saya yang melayang sore ini. Saya berfikir salah satu tantangan besar yang dihadapi siswa saat ini adalah kurangnya pemahaman dalam pengelolaan keuangan pribadi. Kita tahu ada sebuah fenomena bernama fear of missing out (FOMO) atau ketakutan ketinggalan tren, dan para peserta didik juga sering kali mengalami fenomena FOMO ini yang berakibat membuat mereka tergoda untuk mengikuti gaya hidup konsumtif tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Dalam usia remaja yang penuh dengan dinamika sosial, ada saja peserta didik yang rela mengorbankan uang sakunya untuk membeli barang-barang yang sedang tren, meskipun hal tersebut tidak benar-benar dia butuhkan. Di sinilah peran BPK menjadi sangat penting. Dengan adanya program “BPK Mengajar,” peserta didik atau siswa dapat memperoleh edukasi tentang pengelolaan keuangan yang baik, memahami pentingnya menabung, serta menyadari betapa pentingnya perencanaan keuangan sejak dini. 

Dalam dunia pendidikan, terdapat konsep yang disebut hidden curriculum atau kurikulum tersembunyi. Ini adalah hasil belajar yang tidak secara eksplisit dicantumkan dalam kurikulum formal, tetapi terjadi dalam proses pendidikan sehari-hari. Apa yang dilakukan oleh BPK melalui program “BPK Goes to School” dan “BPK Mengajar” sebenarnya bisa disebuat bagian penerapan hidden curriculum yang sangat positif. Siswa mendapatkan pemahaman tentang etika dalam pengelolaan keuangan, nilai-nilai integritas, serta pentingnya akuntabilitas dalam kehidupan sehari-hari. Melalui program ini, BPK secara tidak langsung juga membantu membentuk karakter siswa agar lebih bertanggung jawab dalam menggunakan uang mereka. Dengan belajar dari pengalaman nyata para auditor BPK, peserta didik dapat memahami bahwa setiap keputusan keuangan harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan perencanaan yang matang. 

Program ini dampaknya akan sangat besar bagi dunia pendidikan. Selain itu, bagi guru seperti saya, program ini juga memberikan manfaat besar. Kehadiran praktisi dari BPK dapat menjadi inspirasi bagi para pendidik dalam mengembangkan metode pengajaran yang lebih aplikatif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, proses pembelajaran di kelas menjadi lebih dinamis dan menarik bagi siswa.

  1. https://dki.kemenag.go.id/berita/program-bpk-mengajar-membentuk-generasi-berintegritas-di-madrasah-N4tCu 
    ↩︎
  2.  https://kaltim.bpk.go.id/bpk-mengajar-membentuk-generasi-muda-berintegritas-di-kampus/
    ↩︎
  3.  https://aceh.bpk.go.id/bpk-aceh-goes-to-school/
    ↩︎
17/02/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Suara PublikUncategorized

Permasalahan Pengelolaan Dana Haji di Indonesia

by admin2 31/12/2024
written by admin2

Oleh: Abdul Aziz, Eva Dewi I., Nika Astuti (Pegawai pada BPK RI Perwakilan Prov. Kalimantan Tengah

Negara Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. Jumlah penganut agama Islam di Indonesia sebesar 241,52 juta, lebih besar daripada Pakistan yang berada di posisi kedua dengan jumlah 225,62 juta, dan India pada posisi ketiga dengan 211,62 juta1. Salah satu ajaran dalam agama Islam adalah Rukun Islam. Rukun Islam terdiri dari lima hal yang wajib dijalankan oleh seorang muslim, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, membayar zakat, puasa, dan melaksanakan ibadah haji bila mampu. Dalam pelaksanaan rukun Islam yang kelima diperlukan persiapan secara lahir maupun batin. Persiapan tersebut juga tidak terlepas dari sisi keuangan, dalam hal ini biaya perjalanan dan akomodasi dikarenakan pelaksanaan ibadah haji berada di kota Mekah dan Madinah di Arab Saudi pada bulan Zulhijah.

Di Indonesia, Pengelolaan Keuangan Haji diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 20142. Dari undang-undang tersebut lahirlah Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Pembentukan, tugas pokok, dan fungsi BPKH tersebut diatur lebih lanjut dalam Perpres Nomor 110 Tahun 2017 tentang BPKH, Keppres Nomor 101/P Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana BPKH, serta PP Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun 2014. BPKH merupakan lembaga negara yang bertugas mengelola dana haji dari calon jemaah haji secara syariah. Dana tersebut dikelola secara profesional pada instrumen syariah yang aman dan likuid dan telah diaudit oleh BPK dan dilaporkan kepada DPR dan presiden. Saldo dana haji yang dikelola BPKH pada lima tahun terakhir sebagai berikut3:

TahunDana Haji yang dikelola BPKH
2019124,3 T
2020144,9 T
2021158,8 T
2022166,5 T
2023166,7 T

(Sumber: https://bpkh.go.id/faq/curabitur-eget-leo-at-velit-imperdiet-varius-iaculis-vitaes-2/)

Dana haji yang dikelola BPKH ini bersumber dari beberapa komponen yaitu setoran BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) dan/atau BPIH Khusus, Dana Efisiensi Penyelenggaraan Ibadah Haji, Dana Abadi Umat (DAU), Nilai Manfaat Keuangan Haji dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Setiap orang dari Indonesia yang berangkat haji pada tahun 2024 membutuhkan biaya antara Rp87,3 juta hingga Rp97,8 juta tergantung pada embarkasi daerahnya4. Biaya ini disebut dengan BPIH. BPIH terdiri atas Bipih (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) ditambah dengan Nilai Manfaat. Bipih diperoleh dari Jemaah Haji, Petugas Haji Daerah (PHD), dan Pembimbing Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU). Nilai Manfaat diperoleh dari nilai manfaat Setoran Bipih Jemaah Haji Reguler dan Jemaah Haji Khusus. Besaran BPIH Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi yang bersumber dari Nilai Manfaat terdiri atas4:

  1. Nilai Manfaat untuk Jemaah Haji Reguler yang digunakan untuk membayar selisih BPIH dengan besaran Bipih sebesar Rp8.200.040.638.567,00; dan
  2. Nilai Manfaat untuk Jemaah Haji Khusus sebesar Rp 14.558.658.000,00.

Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) Semester I Tahun 2024 oleh BPK, hasil pemeriksaan DTT-Kepatuhan atas pertanggungjawaban keuangan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1444H/2023M pada Kementerian Agama menunjukkan bahwa perhitungan dan pelaporan dana efisiensi penyelenggaraan ibadah haji (PIH) tahun 1444H/2023M sebesar Rp571,14 miliar sudah sesuai aturan namun dana tersebut belum disetorkan ke Kas Haji hingga akhir pemeriksaan, juga terdapat kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan ketidakpatuhan dengan nilai sebesar  Rp613,51 miliar5. Sedangkan pada IHPS Semester II Tahun 2023, penetapan besaran Bipih Reguler belum optimal dalam mendukung keberlanjutan keuangan haji dan berkeadilan bagi jemaah haji. Subsidi BPIH pada tahun 2010 sebesar Rp4,45 juta menjadi Rp40,24 juta pada tahun 2023 atau mengalami kenaikan sebesar Rp35,78 juta (803,41%)6. BPIH mengalami kenaikan dari Rp34,50 juta menjadi Rp90,05 juta dalam kurun waktu 2010 sampai dengan 2023.  Di sisi lain, Bipih Tahun 2010 sebesar Rp30,05 juta dan Bipih Tahun 2023 sebesar Rp49,81 juta atau hanya naik sebesar Rp19,76 juta (65,78%). Dapat dikatakan bahwa kenaikan penerimaan nilai manfaat tidak sebanding dengan pengeluaran subsidi BPIH dan alokasinya ke virtual account belum mempertimbangkan asas keadilan. Kondisi ini mengakibatkan distribusi nilai manfaat tidak mencerminkan asas keadilan bagi jemaah haji tunggu, serta menimbulkan risiko likuiditas dan keberlanjutan keuangan haji di masa yang akan datang.

Permasalahan lainnya adalah mengenai kebijakan pembatasan pendaftaran haji belum sepenuhnya mendukung pemerataan. Dari Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu diketahui daftar tunggu calon haji mencapai 5.211.899 orang per 10 Oktober 2023 dengan masa tunggu dalam rentang waktu 12 s.d. 48 tahun. Masa tunggu Indonesia lebih singkat dibanding dengan Malaysia yang memiliki waktu tunggu 148 tahun7, dan sangat terasa lama jika dibandingkan dengan Inggris yang tidak memiliki waktu tunggu8.  Di Inggris, pendaftar dapat berangkat pada tahun yang sama apabila kuota masih tersedia. Kementerian Agama Indonesia membuat kebijakan pendaftaran haji sekali dalam 10 tahun. Namun peraturan ini justru belum dapat memberikan pemerataan kesempatan, terdapat 775 jemaah haji berangkat Tahun 1444H/2023M pernah berhaji dan 14.299 jemaah haji daftar tunggu sudah pernah berhaji.

Peran BPK dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, khususnya melalui pemberian rekomendasi yang konstruktif dan pemantauan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan dimaksudkan untuk mengawal dan mendorong terwujudnya tata kelola dan tanggungjawab keuangan negara yang efektif, akuntabel, dan transparan. Pada pemeriksaan DTT-Kepatuhan atas pertanggungjawaban keuangan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1444H/2023M pada Kementerian Agama, BPK menemukan penggunaan Sistem Keuangan Haji Terpadu (SISKEHAT) Gen 2 yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan belum optimal sehingga BPK merekomendasikan Kepala Badan Pelaksana (BP) dan Anggota BP BPKH terkait untuk mengidentifikasi kebutuhan yang diperlukan untuk pengembangan SISKEHAT Gen 2 sesuai System Development Life Cycle terkait dengan kode transaksi, pengklasifikasian, dan monitoring transaksi agar dapat mendukung penyusunan LK Induk dan Konsolidasi BPKH. Sementara pada pemeriksaan kinerja atas efektivitas penyelenggaraan ibadah haji tahun 1444H/2023M, BPK merekomendasikan diantaranya agar Menteri Agama melibatkan ulama untuk menyusun kajian tentang layanan haji reguler hanya diberikan sekali kepada setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu, serta melibatkan ulama dalam menyusun kajian tentang besaran alokasi nilai manfaat yang digunakan untuk menutupi BPIH dengan mempertimbangkan asas keadilan dan keberlangsungan dana haji. 

Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang mampu, baik secara fisik, mental, spiritual, sosial, maupun finansial dan sekali dalam seumur hidup. Pelaksanaan Ibadah Haji merupakan rangkaian ibadah keagamaan yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19459. Harapannya pengelolaan dana haji di masa mendatang dapat dilaksanakan dengan lebih optimal, sehingga dapat mendukung keberlanjutan keuangan haji dan memberikan keadilan yang merata bagi Jemaah. Selain itu, perlu dilaksanakan evaluasi yang memadai atas kebijakan pendaftaran haji untuk memastikan pemerataan kesempatan dalam pemberangkatan peserta ibadah haji.

Referensi:

  1. https://www.statista.com/statistics/374661/countries-with-the-largest-muslim-population/
  2. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji   
  3. https://bpkh.go.id/faq/curabitur-eget-leo-at-velit-imperdiet-varius-iaculis-vitaes-2/
  4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2024 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi yang Bersumber dari Biaya Perjalanan Ibadah Haji dan Nilai Manfaat
  5. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2024 
  6. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2023
  7. https://www.thestar.com.my/news/nation/2023/06/14/148-years-waiting-time-for-malaysians-to-perform-haj
  8. https://www.ventour.co.id/tak-ada-antrian-haji-berangkat-hajinya-dari-inggris/
  9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh
31/12/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
SLIDERSuara PublikUncategorized

Menyiasati Unintended Consequences dalam Kebijakan Publik

by admin2 12/12/2024
written by admin2

Oleh: Rifky Pratama Wicaksono, Penelaah Teknis Kebijakan pada AKN I BPK

Setiap kebijakan publik seringkali memiliki tujuan jelas, namun dampaknya tidak selalu sesuai harapan. Fenomena ini dikenal sebagai unintended consequences, yang pertama kali diperkenalkan oleh Robert K. Merton pada 1936 sebagai unanticipated consequences. Meski merupakan sebuah kondisi yang tak diinginkan, kondisi ini kerap muncul sebagai hasil dari berbagai faktor kompleks yang mengiringi proses penyusunan kebijakan publik.

Unintended consequences timbul bukan semata-mata karena tidak terprediksi, namun bisa jadi sebenarnya dampak itu sudah diperhitungkan namun diabaikan karena sejumlah kondisi, seperti tekanan politis, konservatisme, dan karakter pengambil kebijakan. Frank de Zwart menganggap bahwa istilah “unintended, but not unanticipated consequences” lebih sesuai, sebab pembuat kebijakan dianggap memiliki kapasitas untuk menakar dan seharusnya bisa mengantisipasi berbagai konsekuensi dari keputusan yang diambil, baik positif maupun negatif.

Meskipun tidak sepenuhnya terhindarkan, unintended consequences dapat membawa kerugian jika tak ditangani dengan cermat–merugikan kelompok rentan, memperumit persoalan yang ada, bahkan menimbulkan masalah baru. Kebijakan publik pun kini menghadapi tantangan besar di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity). Dalam konteks ini, sulit untuk memprediksi bagaimana setiap unsur akan bereaksi dalam situasi dinamis yang melibatkan aspek sosial, ekonomi, hingga budaya. Kompleksitas ini membuat kebijakan sangat rentan terhadap unintended consequences.

Sebagai contoh, sejumlah pasal dalam UU No. 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bertujuan untuk mencegah ujaran kebencian dan fitnah siber. Namun, keberadaannya justru menimbulkan keresahan. Banyak yang menganggapnya multitafsir antara penyampaian kritik dan pencemaran nama baik. Akibatnya, banyak orang dituntut dalam satu dekade terakhir, dan ironisnya, sebagian adalah korban kriminalisasi.

Asumsi yang tidak tepat juga dapat memicu timbulnya konsekuensi tak terduga dalam kebijakan publik. Keputusan yang dihasilkan oleh pembuat kebijakan umumnya didasarkan pada perkiraan reaksi masyarakat terhadap kebijakan yang akan diberlakukan. Namun, jika tidak dapat mengukur dengan benar, maka asumsi yang dihasilkan berisiko meleset, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kebijakan tidak efektif.

Misalkan, wacana perubahan kebijakan subsidi BBM menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) bertujuan untuk memastikan bantuan yang lebih tepat sasaran bagi kelompok masyarakat miskin. Namun, rendahnya tingkat pendidikan serta maraknya judi online berpotensi membuat bantuan disalahgunakan. Di sisi lain, seiring dengan meningkatnya biaya hidup, penghapusan subsidi BBM berisiko menimbulkan sentimen negatif bagi kelompok kelas menengah rentan yang jumlahnya kian bertambah, menciptakan ketidakpuasan di masyarakat.

Kurang intensifnya pemanfaatan data dan informasi, serta keterbatasan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi tantangan tersendiri dalam menghasilkan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Data yang tersedia seringkali memiliki akses terbatas, kurang mutakhir. Pengelolaannya yang berbeda antar lembaga, menyebabkan data berpotensi bias. Kondisi ini menghambat pemerintah dalam mencapai target yang ditetapkan.

Hasil pemeriksaan kinerja BPK atas upaya pemerintah daerah untuk menanggulangi kemiskinan TA 2021 menemukan bahwa 32 dari 34 pemerintah provinsi belum sepenuhnya menggunakan data kependudukan yang akurat dan relevan dalam merancang kebijakan penanggulangan kemiskinan beserta mitigasi risikonya. Alhasil, program yang dilaksanakan berpotensi tidak tepat sasaran, tidak terarah, dan tidak padu, menghambat upaya penanggulangan kemiskinan di tingkat nasional.

Proses formulasi kebijakan yang memakan waktu juga berpotensi menimbulkan time lag, yakni jeda antara perumusan kebijakan dengan penerapannya serta dampak yang dihasilkan. Ketika kondisi ini terjadi, pembuat kebijakan kehilangan momentum untuk menyelesaikan masalah yang ada. Kebijakan yang berhasil diformulasi pun boleh jadi tidak relevan karena permasalahan telah menjadi lebih rumit dan menimbulkan efek domino. Dampak tak termaksud pun menjadi semakin tak terelakkan.

Melihat kondisi di atas, lantas bagaimana seharusnya unintended consequences disikapi?

Pertama, perlu dilakukan identifikasi aktor kebijakan, baik di dalam dan luar pemerintah, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang posisi, kepentingan, dan sikap pemangku kepentingan. Lebih lanjut, siklus kebijakan yang erat dengan bukti empiris, administrasi publik, dan politik menuntut pembuat kebijakan untuk mampu mencari titik temu antara ketiganya. Dengan begitu, pembuat kebijakan dapat memvisualisasi konflik potensial antaraktor serta merancang strategi negosiasi dan kolaborasi yang efektif sejak tahap agenda setting.

Penting juga untuk menghindari empat jenis bias kebijakan: elite bias, power bias, interest bias, dan purpose bias. Keputusan pada tingkat atas dapat dipengaruhi oleh bias ini, padahal kepentingan tertentu tidak selalu mewakili kepentingan umum dan bisa saja keliru. Karena itu, pembuat kebijakan perlu fokus pada nilai dan tujuan, menggali akar masalah, bersikap objektif, dan menjalin pola komunikasi yang baik.

Partisipasi publik melalui audiensi hingga lokakarya juga akan membantu seluruh stakeholder berkomunikasi dan berdiskusi dalam rangka menjembatani alur pikir. Peran integral masyarakat menuntut aktor kebijakan menjadi lebih fleksibel dan responsif dalam beragam situasi. Hal ini menjadikan kebijakan lebih relevan dengan kondisi riil, adaptif terhadap perubahan, inklusif di seluruh lapisan, dan diharapkan dapat mengatasi dan mengantisipasi masalah.

Untuk mewujudkan itu semua, peran analis kebijakan dalam menyajikan rekomendasi kebijakan menjadi krusial melalui berbagai hasil kerja, seperti policy memo, policy brief, hingga policy paper, serta mengadvokasinya secara bottom-up hingga level pengambil keputusan. Namun, analis kebijakan tak cukup hanya fokus pada policy content, namun juga pada policy actors dan policy environment. Oleh sebab itu, kemampuan melihat masalah secara multidimensional diperlukan agar dapat memberi hasil kerja yang tak hanya berbasis bukti, namun juga substansial dan tajam.

Tak bisa dinafikan, unintended consequences adalah “kejutan” dari kebijakan dalam situasi yang tak pasti. Pembuat kebijakan harus mempertimbangkan berbagai risiko dan dampak yang mungkin timbul, sebab jika salah langkah dapat merugikan masyarakat dan menghambat pencapaian tujuan negara. Political will menjadi esensial, agar risiko dan dampak tak hanya ditimbang, namun juga dimitigasi agar pencapaian tujuan tetap terkawal.

Dengan menerapkan proses penyusunan kebijakan yang berorientasi pada nilai, mengadopsi pendekatan yang agile dan evaluatif, serta melibatkan semua unsur dalam siklus kebijakan, pembuat kebijakan dapat mengurangi potensi dampak tak termaksud secara holistik, menghasilkan kebijakan yang lebih efektif, berkelanjutan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

12/12/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDERSuara Publik

Membangun Internal Tim Pemeriksa yang Kondusif melalui Komunikasi Asertif

by admin2 05/12/2024
written by admin2

Oleh: Rafiq Andhika Maulana, Pemeriksa Ahli Pertama pada BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 memberi mandat kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara. Mandat tersebut dilaksanakan oleh setiap insan pemeriksa BPK, baik di lingkup pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Petunjuk Teknis (Juknis) dan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Pemeriksaan mengatur bahwa pemeriksaan dilakukan oleh Tim Pemeriksa setelah diterbitkannya surat tugas. Tim pemeriksa terdiri atas seorang Ketua Tim dan beberapa Anggota Tim. Maka dari itu dalam rangka melaksanakan pekerjaannya, pemeriksa tidak bekerja seorang diri.

Kegiatan pemeriksaan merupakan tugas dan tanggung jawab kolektif tim pemeriksa dalam rangka menjalankan mandat Undang-Undang Dasar NKRI 1945. Tugas dan tanggung jawab kolektif tersebut mengharuskan seorang pemeriksa agar mampu mengembangkan kemampuan kerja sama tim. Pemeriksa dapat mengembangkan kemampuan kerja sama tim yang baik dengan membangun komunikasi asertif. Komunikasi asertif diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pandangan kepada orang lain secara jujur dan tegas dengan tetap menunjukan rasa hormat serta empati kepada lawan bicara (Aprilistyan, dkk, 2022).

Seseorang dengan komunikasi asertif yang baik akan melihat sudut pandang orang lain sama pentingnya dengan sudut pandang diri sendiri. Penerapan komunikasi asertif pada tim pemeriksa diperlukan agar setiap individu di dalam tim pemeriksa dapat menyampaikan pandangannya secara terbuka dan tegas dengan penuh rasa hormat, sehingga terhindar dari konflik yang disebabkan oleh ketidakcakapan dalam berkomunikasi. Individu yang asertif memiliki kemampuan pengelolaan konflik win-win solution dan melihat hambatan dari dua arah secara bijaksana dengan tujuan meningkatkan moral kerja, kinerja, produktivitas, dan kerja sama tim yang solid (Widyastuti, 2017).

Peningkatan kualitas moral, kinerja, produktivitas, serta kerja sama tim merupakan wadah agar terbentuknya keadaan tim yang kondusif. Tim pemeriksa dengan kondisi internal yang kondusif dapat tercermin dengan diterapkannya sikap asertif pada pengelolaan konflik, tujuan pemeriksaan, dan nilai-nilai dasar BPK.

Sikap Asertif di dalam Tim Pemeriksa

Komunikasi asertif timbul di saat seorang pemeriksa bersikap terbuka, tegas, dan hormat dalam mengutarakan keinginannya. Pemeriksa dengan sikap yang terbuka mampu menyampaikan tanggung jawabnya sesuai dengan kenyataan dan fakta yang ada. Sikap terbuka dibutuhkan oleh setiap individu di dalam tim pemeriksa. Sikap terbuka seorang Ketua Tim memberikan rasa aman dan kejujuran kepada Anggota Tim. Anggota Tim dengan sikap terbuka mampu meningkatkan rasa saling percaya kepada sesama Anggota Tim maupun Ketua Tim. Sikap terbuka yang terbangun dengan baik memungkinkan pemeriksa untuk bertukar pikiran ketika mengalami kendala saat perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pemeriksaan.

Kode Etik Pemeriksa mengatur dengan jelas bahwa pemeriksa harus bersikap tegas dalam mengungkap fakta pemeriksaan. Sikap tegas merupakan bentuk komunikasi asertif pemeriksa agar konsisten menyampaikan kebenaran. Ketegasan seorang Ketua Tim mencerminkan kepemimpinan yang objektif. Sikap tegas Anggota Tim melahirkan kepatuhan dan komitmen terhadap tujuan pemeriksaan.

Komunikasi asertif dapat diterapkan dengan baik apabila pemeriksa saling memahami satu sama lain. Kemampuan memahami satu sama lain merupakan sikap hormat yang ditunjukan melalui keterbukaan dan ketegasan dalam berkomunikasi. Ketua Tim menghargai dan mengarahkan Anggota Tim dengan membagi tanggung jawab tim secara adil. Anggota tim menjalankan arahan Ketua Tim sebaik-baiknya dengan penuh rasa tanggung jawab. Sikap hormat akan membentuk internal tim pemeriksa yang solid dan terbebas dari dinamika konflik.

Komunikasi Asertif terhadap Pengelolaan Konflik

Pengelolaan konflik merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk mengatur perselisihan atau sengketa yang muncul di dalam organisasi maupun kelompok, agar dapat terselesaikan dengan cepat dan lebih baik (Widyastuti, 2017). Pengelolaan konflik dapat dilakukan melalui pendekatan yang bersifat komunikatif. Pemeriksa dapat menggunakan komunikasi asertif dalam manajemen konflik konstruktif. Konflik konstruktif diartikan sebagai persoalan yang mengarah pada pencarian solusi agar kedua belah pihak yang berkonflik memperoleh kepuasan yang sama (win – win solution). Tim pemeriksa yang menghadapi konflik konstruktif memerlukan sikap terbuka setiap pemeriksa, ketegasan untuk selalu menyampaikan fakta, serta menghargai pandangan dari pemeriksa lainnya guna mencari jalan tengah yang solutif.

Sikap Asertif dalam Tujuan Pemeriksaan

Pemeriksaan bertujuan untuk memperoleh keyakinan yang memadai atas kewajaran, kesesuaian, dan kepatuhan atas bukti-bukti pemeriksaan terhadap ketentuan perundang-undangan dan praktik terbaik (benchmark). Keyakinan seorang pemeriksa dibangun di atas sikap asertif dengan mengedepankan kebenaran berdasarkan bukti-bukti pemeriksaan. Kebenaran disampaikan dengan konsisten dan penuh komitmen agar tim pemeriksa mampu mencapai tujuan pemeriksaan yang diharapkan. Hasil suatu pemeriksaan diharapkan mampu meyakinkan stakeholder (pemangku kepentingan) BPK berdasarkan fakta pemeriksaan.

Penerapan Sikap Asertif pada Nilai Dasar BPK

Nilai-nilai dasar BPK berkorelasi dengan sikap asertif setiap pemeriksa. Kondisi internal tim pemeriksa yang terbuka merupakan wujud penerapan nilai integritas. Keterbukaan merupakan sikap asertif yang menunjukan seorang pemeriksa tidak menyembunyikan kebenaran dan selalu transparan kepada pemeriksa lainnya. Tim pemeriksa menerapkan sikap tegas sebagai wujud implementasi nilai independensi. Penerapan sikap tegas merupakan komitmen dan keteguhan tim pemeriksa, agar tujuan pemeriksaan tercapai sesuai dengan harapan penugasan. Kemampuan pemeriksa untuk menghargai satu sama lain merupakan wujud penerapan nilai profesionalisme. Setiap pemeriksa menghargai tugas dan tanggung jawab yang diberikan di dalam tim pemeriksa. Pemeriksa yang bekerja secara profesional memastikan bahwa tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya dapat diselesaikan dengan baik.

Daftar Pustaka

Aprilistyan, S. Ikhwan, K. (2022). Kontribusi Komunikasi Asertif dan Kepemimpinan dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Kerja: Kajian Literatur. Transekonomika: Akuntansi, Bisnis, dan Keuangan, Vol 2 No. 6. 389 – 400.

Widyastuti Tri. (2017). Pengaruh Komunikasi Asertif terhadap Pengelolaan Konflik. Akademi Pariwisata BSI Bandung, Vol 1 No. 1. 1 – 7.

05/12/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
SLIDERSuara PublikUncategorized

Masa Depan Keberlanjutan: Kompas Baru Bagi Sektor Publik

by admin2 25/11/2024
written by admin2

Oleh: Muhammad Rafi Bakri. Pengelola Data dan Informasi di BPK

Internasional Financial Reporting Standards (IFRS) S1 dan S2 menandai era baru transparansi global dengan menetapkan baseline universal untuk sustainability reporting. Standar ini tidak hanya menandakan perubahan, tetapi juga membuka babak baru yang berani. Misi IFRS jelas dan ambisius, mengharuskan sektor privat untuk mengungkapkan wawasan penting yang memengaruhi keputusan terkait risiko dan peluang keberlanjutan. Standar ini tidak hanya tentang kepatuhan, tetapi juga memberdayakan stakeholder laporan keuangan, yaitu mereka yang mempercayakan sumber daya mereka kepada entitas ini.

IFRS S1 “General Requirements for Disclosure of Sustainability-related Financial Information” mewajibkan entitas untuk memberikan penjelasan rinci tentang risiko dan peluang terkait sustainability. Informasi ini harus disajikan di laporan keuangan untuk membantu stakeholder membuat keputusan yang tepat dalam alokasi sumber daya ke entitas tersebut. Data terkait sustainability sangat penting karena kapasitas entitas untuk menghasilkan arus kas dalam jangka pendek, menengah, atau panjang sangat terkait erat dengan hubungannya dengan para pemangku kepentingan, masyarakat luas, ekonomi, dan lingkungan alam—semuanya terhubung dalam entity’s value chain.

Lebih lanjut, IFRS S2 “Climate-Related Disclosures” mengharuskan entitas untuk mengungkapkan risiko dan peluang yang terkait dengan perubahan iklim. Tujuan pengungkapan terkait perubahan iklim adalah untuk membantu pengguna laporan keuangan memahami proses tata kelola, pengendalian, dan prosedur yang digunakan institusi untuk memantau, mengelola, dan mengawasi risiko serta peluang terkait iklim.

Kedua standar tersebut secara bertahap pasti akan diterapkan di sektor publik. International Public Sector Accounting Standards (IPSAS), yang merupakan standar akuntansi global untuk entitas publik, sangat adaptif terhadap perubahan dalam IFRS. Urgensi terkait sustainability dan perubahan iklim juga dirasakan oleh entitas publik, sehingga penyesuaian standar diperlukan. Bahkan, Dewan IPSAS (IPSASB) telah menargetkan agar standar ini selesai disusun dan ditetapkan pada tahun 2025.

Akibatnya, Pedoman Standar Akuntansi Pemerintah Indonesia (PSAP) turut mengalami perubahan. Penyesuaian ini akan mengharuskan semua entitas sektor publik, dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, untuk menyusun laporan keuangan yang mengungkapkan informasi terkait sustainability dan perubahan iklim. Ini bukan sekadar persyaratan administratif, tetapi membawa harapan besar dalam mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia. Selain itu, transparansi yang didorong oleh standar ini diharapkan dapat meminimalkan risiko green-fraud.

Proses penerapan standar baru oleh entitas sektor publik di Indonesia memunculkan kekhawatiran. Pasalnya, entitas sektor publik cenderung lebih lama dalam mengadopsi suatu pedoman baru dibanding sektor privat. Contoh yang jelas adalah adopsi accrual basis yang telat dalam sistem akuntansi pemerintah, yang baru diterapkan Indonesia pada tahun 2015—bertahun-tahun setelah banyak negara lain mulai melakukan transisi ini pada awal tahun 2000-an. Sekarang, pertanyaannya bukan lagi apakah perubahan ini diperlukan, tetapi tantangan apa yang akan dihadapi pemerintah Indonesia selama proses adopsi ini dan yang lebih penting, apakah pemerintah dapat mengatasinya?

Permasalahan pertama adalah ketersediaan dan keandalan data. Sustainability reporting bergantung pada data yang akurat dan terperinci untuk menilai risiko terkait iklim, dan sebagian besar pemerintah harus mengevaluasi seberapa baik data ini terintegrasi dengan kerangka tata kelola data yang ada. Mengidentifikasi dan mengamankan sumber data yang andal sangat penting untuk memantau dampak finansial dari kejadian cuaca ekstrem dan masalah terkait sustainability lainnya. Namun, banyak entitas sektor publik menghadapi sistem data yang terfragmentasi dan akses terbatas ke informasi berkualitas tinggi yang terstandar, yang mempersulit upaya untuk memenuhi persyaratan pelaporan yang ketat yang ditetapkan oleh standar ini.

Selanjutnya, pemerintah harus memastikan tidak hanya akurasi tetapi juga kredibilitas laporan keberlanjutan. Sustainability reporting masih dalam tahap awal, yang menimbulkan tantangan besar bagi pemerintah untuk mengembangkan proses dan pengendalian yang kuat yang terintegrasi dengan sistem data yang sebelumnya tidak termasuk dalam pelaporan keuangan tradisional. Tingkat pengawasan akan sangat besar—informasi terkait keberlanjutan harus memenuhi standar kualitas yang sama ketatnya dengan laporan keuangan dan dilaporkan secara bersamaan, memastikan tidak ada kesenjangan dalam transparansi.

Terakhir, kapasitas sumber daya manusia di dalam institusi pemerintah menjadi tantangan mendesak. Akuntan akan dihadapkan pada akun-akun baru, metode pencatatan yang tidak dikenal, dan pengungkapan yang rumit dalam proses pelaporan. Ketidakpastian yang terlibat, terutama dengan kontingensi, adalah faktor kritis. Akuntan sekarang akan ditugaskan untuk mengantisipasi skenario di mana aliran transaksi tidak dapat ditentukan dengan pasti, memaksa mereka untuk menilai risiko yang bersifat prediktif.

Dibalik tantangan yang begitu banyak, terdapat manfaat yang sangat besar apabila IFRS S1 dan S2 dapat diterapkan oleh sektor publik di Indonesia. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara terkait sustainability dan perubahan iklim akan menjadi outcome utama dari standar tersebut.

25/11/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDERSuara Publik

Pilkada : Pil Pahit Demokrasi

by admin2 14/11/2024
written by admin2

Oleh:  Junaidi Syamsuddin, Kasubag Keuangan BPK Perwakilan Provinsi Jambi

Dari Kedai Kopi ke Bilik Suara

Kopi Kerinci di gelas saya masih mengepul bersama pisang goreng crispy panas.  Kopi dari pegunungan Kerinci memiliki rasa dan karakter yang berbeda. Rasanya yang cenderung fruity ke arah rasa buah lemon yang asam segar. Aftertaste-nya sendiri cenderung lebih terasa manis yang tertinggal cukup lama. Perkebunan Kopi Kerinci tersebar di daerah pegunungan, tepatnya di Kayu Aro, Kayu Aro Barat, dan Gunung Tujuh, Provinsi Jambi. Semua perkebunan ini terletak di atas ketinggian 900-1200 mdpl. Jika dilihat dari mana kebun kopinya sudah tentu memiliki tingkat keasaman yang rendah serta karakter yang tidak terlalu banyak.

Minggu pagi ini udara Kota Jambi cukup dingin. Hujan turun gerimis. Cukup menyapu pekat udara akibat beberapa titik kebakaran lahan. Rintik hujan memang cocok untuk  menikmati secangkir kopi di Kopitiam Ancol ini. Kedai yang mirip food court. Berjejer aneka minuman dan makanan. Kedai kopi ini berada dekat bibir Sungai Batanghari membentang luas dengan panjang 503 meter dan lebar 4,5 meter. Saat menikmati tegukan kopi, kita bisa sesekali melihat lalu lalang kapal-kapal tongkang mengangkut emas hitam, batubara. Suasana ini mengingatkan saya pada Sungai Musi, di Palembang. Di atas Sungai Batanghari terbentang jembatan Gentala Arasy. Ikon kota  Jambi selain Masjid Seribu Tiang. Jembatan ini juga berada tak jauh kedai kopi. Gentala Arasy digunakan khusus untuk pejalan kaki yang menghubungkan Jambi Seberang. 

Seperti biasanya saat weekend, pengunjung kedai cukup ramai. Bahkan beberapa orang tidak mendapatkan tempat duduk. Semua orang dari perbagai kalangan tumpah ruah. Dari anak-anak sampaik kakek nenek bersama cucu. Selain hargaya murah, di kedai ini juga tersedia berbagai menu makanan nusantara mulai dari pisang goreng sampai bubur Manado. Obrolan ringan aneka topik menghias perbincangan. Mulai urusan gosip artis sampai soal dukung mendukung calon pimpinan daerah. Yang terakhir ini paling diminati. Hiruk pikuk dan euforia menyogsong Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi topik hangat.

Ditengah kepulan asap rokok, nampak seseorang pria tertawa lepas, sambil telunjuknya mengarah ke sejawat nya yang duduk didepan. Yang ditunjuk pun merespon dengan suara meninggi. Tampak benar, mukanya memerah. Sesekali terdengar sayup mereka bicara soal calon kepala daerah yang mereka dukung. Dari kejauhan obrolon pun terhenti ketika pelayan mengantarkan sepiring pisang goreng crispy panas. Diskusi boleh panas, tapi pisang goreng jangan sampai dingin. Begitulah kira-kira pikir mereka. Obrolan politik di warung kopi tentu tak sama sama dengan tongkrongan para elit partai politik yang elitis. Skenario koalisi dan konstelasi yang dirancang Jakarta, bisa saja langsung ‘dikuliti’ meja kopi. Obrolon di kedai kopi inilah bisa jadi modal menuju bilik suara.

Urgensi dan Mahalnya Biaya Pilkada 

Wajar saja riuh di kedai kopi tadi, karena perhelatan Pilkada serentak tak lama lagi digelar. Tepatnya pada Rabu, 27 November 2024 mendatang pilkada dilaksanakan di 37 Provinsi dan 508 kabupaten/kota dari 514 kabupaten/kota, sebab ada 6 kabupaten/kota administratif di DKI Jakarta yang tidak ada pilkada langsung. Ketua KPU Hasyim Asy’ari dikutip dari antaranews.com menjelaskan bahwa Pilkada Serentak 2024 hanya diikuti 37 dari 38 provinsi, karena Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak melakukan pilkada langsung.  Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) antara lain mengatur mengenai pengangkatan gubernur dan wakil gubernur DIY yang tidak dipilih melalui pemilihan umum, namun melalui proses pengukuhan.

Pilkada serentak ini memenuhi amanat dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum untuk memperkuat sistem presidensial. Sementara itu, ketentuan mengenai Pilkada digelar serentak di 2024 diatur melalui Pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) XVII di Balikpapan, Selasa (4/6/2024) menyatakan bahwa Penyelenggaraan Pilkada serentak memiliki tujuan untuk memperbaiki administrasi pemerintahan. Dengan adanya pemilihan yang paralel, diharapkan akan terjadi sinkronisasi antara visi pembangunan nasional dan daerah (www.menpan.go.id).

Tuhana dan Yudho Taruno Muryanto, dalam tulisannya Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Secara Langsung yang Efektif dan Efisien (Studi di Kabupaten Sukoharjo dan Kota Surakarta Provinsi Jawa Tengah) menyatakan bahwa pilkada langsung adalah instrumen untuk meningkatkan participatory democracy dan memenuhi semua unsur yang diharapkan. Secara normatif, pelaksanaan Pemilukada langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal. Juga membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal. Dari sisi kompetisi politik, pemilihan kepala daerah secara langsung memungkinkan munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat kandidat yang bersaing serta memungkinkan masing-masing kandidat berkompetisi dalam ruang yang lebih terbuka. Tujuan akhirnya adalah mendapatkan figur pemimpin yang aspiratif, kompeten, dan mempunyai legitimasi. 

Calon kepala daerah yang bertarung harus mengantongi tiket dari partai politik (parpol). Kader-kader terbaik parpol seyogyanya mendapatkan golden ticket. Namun ironinya, begitu sulit mendapatkan figur tersebut. Dikutip dari detik.com tanggal 11 September 2024, Plt Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin menjelaskan dalam Pilkada 2024 terdapat 41 nama calon tunggal yang bakal melawan kotak kosong. Nanti setelah pencoblosan, apabila kotak kosong yang menang maka akan ada Pilkada susulan atau lanjutan. Siap-siap APBN kantongnya dirogoh makin dalam.

Seperti yang dilansir kompas.com,  per 8 Juli 2024 berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, anggaran Pilkada Serentak 2024 ditaksir lebih dari Rp 41 triliun. Angka ini hasil kesepakatan pemerintah daerah (pemda) dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) Pilkada 2024 masing-masing bersama KPU, Bawaslu, TNI, dan kepolisian setempat.

Ketika Jerat Korupsi Menghantui 

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap ada 61 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh penegak hukum dalam dua tahun terakhir, yakni pada 2021 hingga 2023. Dikutip dari Staf Divisi Korupsi Politik ICW Seira Tamara, dari 61 kepala daerah tersebut mayoritas modusnya berkaitan dengan suap-menyuap dan penyalahgunaan anggaran belanja daerah untuk kepentingan pribadi (www.tempo.co).

Operasi Tangkap Tangan atau OTT Kepala Daerah, dari bupati, walikota, hingga gubernur, selalu membuat kita geram dan mengelus dada. Bukan sekali dua kali, tapi sering sekali berita OTT Kepala Daerah mewarnai pemberitaan. Pilkada yang diharapkan menghasilkan pemimpin ideal, masih jauh panggang dari api. 

Selain – tentu saja – sifat serakah dan hedonisme, penyebab lain terjeratnya para kepala daerah dalam kasus korupsi adalah yaitu tingginya biaya politik ketika mereka mencalonkan diri. ICW mencatat biaya politik yang tinggi terjadi karena dua hal, yaitu politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying). Kajian Litbang Kemendagri pada 2015 menyebut, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20–100 miliar. Padahal, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode.  ICW memberikan dua rekomendasi untuk mengurangi potensi korupsi kepada daerah. Pertama adalah perbaikan tata kelola partai mulai dari kaderisasi hingga pendanaan partai politik. 

Hajatan Demokrasi dan Peran BPK 

Laiknya sebuah hajatan. Pilkada ini merupakan gawe besar Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang diberi amanah dan dana besar mensukseskan hajatan demokrasi. Anggota I BPK, Nyoman Adhi Suryadnyana, mengingatkan agar kinerja KPU dalam penyelenggaraan Pilkada menjadi lebih baik, perlu untuk memperkuat sistem pengendalian intern dan mitigasi risiko dalam tahapan pemilihan dan pertanggungjawaban keuangan. “KPU diharapkan juga dapat mempersiapkan regulasi, perencanaan anggaran, sumber daya manusia dan sarana prasarana yang memadai dalam mendukung penyelenggaraan Pilkada dan memegang teguh prinsip-prinsip pemilihan yang jujur, adil, dan terbuka serta independen,” ujar Anggota I BPK. Untuk mengawal pelaksanaan Pilkada 2024, BPK saat ini sedang dilakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas Pengelolaan Keuangan Pemilu 2024. Pada tahun 2025 akan dilakukan pemeriksaan atas Laporan Keuangan KPU tahun 2024 dan PDTT atas Pengelolaan Keuangan Pilkada tahun 2024. 

Tentu saja kita semua memiliki kepentingan dan harapan besar dari perlehatan akbar ini. Anggaran dan segala sumber daya telah dikerahkan. Energi para penyelenggara, pengawas dan pelaksana pilkada terkuras. Harapan rakyat juga, begitu besar untuk perbaikan kehidupan. Mahalnya biaya dan waktu yang terkuras. Tak jadi soal. Seperti halnya obat, Pilkada ini merupakan pil pahit yang harus ditelan agar menjadikan kita sehat. Obat yang mahal yang harus dibayar. Tapi itulah konsekuensi sehuah demokrasi. Mimpi menghasilkan pemimpin ideal pun bukan hal mustahil. Semoga.

Referensi

https://www.kpu.go.id/page/read/1127/makna-pemilu-serentak

https://www.antaranews.com/berita/4037418/kpu-gelar-pilkada-serentak-2024-di-37-provinsi-dan-508-kabupaten-kota

https://nasional.kompas.com/read/2022/06/02/14514481/pemilu-dan-pilkada-serentak-2024-alasan-urgensi-dan-tantangan?page=all

https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/berita-daerah/pilkada-serentak-selaraskan-visi-pusat-dan-daerah

https://www.detik.com/jabar/pilkada/d-7535639/kpu-jelaskan-skema-41-calon-tunggal-lawan-kotak-kosong-di-pilkada-2024

https://nasional.tempo.co/read/1865207/61-kepala-daerah-jadi-tersangka-korupsi-pada-2021-2023-icw-lingkaran-setan-sejak-awal

https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220428-alasan-dan-potensi-potensi-korupsi-kepala-daerah

https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220428-alasan-dan-potensi-potensi-korupsi-kepala-daerah

wartapemeriksa.bpk.go.id- Penyelenggaraan Pilkada 2024,  BPK: KPU Perlu Perkuat SPI dan Mitigasi Risiko

Tuhana dan Yudho Taruno Muryanto, Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Secara Langsung Yang Efektif Dan Efisien (Studi di Kabupaten Sukoharjo dan Kota Surakarta Provinsi Jawa Tengah), UNS Surakarta.

Penyelenggaraan Pilkada 2024,  BPK: KPU Perlu Perkuat SPI dan Mitigasi Risiko
14/11/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
SLIDERSuara Publik

Mengenal Surat Perikatan dalam Praktik Audit Sektor Publik

by admin2 04/11/2024
written by admin2

Oleh: Mokhamad Meydiansyah Ashari, Pemeriksa Ahli Pertama pada Pusat Kemitraan Global BPK RI

Surat perikatan audit (engagement letter) merupakan salah satu dokumen kunci dalam proses audit. Dokumen ini berfungsi sebagai kesepakatan formal antara auditor dan entitas yang diaudit (auditee). International Standards on Auditing (ISA) 210 dan International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 1210 yang berjudul Agreeing the Terms of Audit Engagements mengatur komponen utama surat perikatan audit mencakup tujuan audit, ruang lingkup, tanggung jawab auditor dan auditee, serta jangka waktu pelaksanaan. 

Kedua standar audit juga menekankan pentingnya surat perikatan audit dalam memperjelas tanggung jawab auditor dan auditee, serta memastikan pemahaman yang jelas tentang tujuan dan batasan audit (IFAC, 2022). Sejalan dengan ini, laporan Joint Inspection Unit (JIU) yang merupakan unit pengawasan eksternal lintas organisasi pada Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), menegaskan bahwa peraturan keuangan dan aturan setiap organisasi harus secara jelas dan formal mendefinisikan mandat, wewenang, dan tanggung jawab kegiatan audit eksternal melalui perjanjian tertulis, surat perikatan, atau kontrak (Zahran et al., 2010). 

Laporan JIU tersebut juga memberikan rekomendasi tentang elemen-elemen yang harus tercakup dalam surat perikatan, antara lain: sifat, cakupan, dan tanggung jawab,fungsi audit eksternal, independensi dan akses terhadap catatan, personel, dan aset, serta standar profesional dan etika yang harus diterapkan oleh Supreme Audit Institution (SAI) yang menjadi eksternal auditor di PBB. Tentunya implementasi surat perikatan pada antara auditor dengan organisasi PBB merupakan salah satu contoh penerapan dalam audit sektor publik di dunia internasional.

Surat perikatan audit dapat meminimalkan perbedaan interpretasi dengan mendokumentasikan persyaratan dan ruang lingkup audit yang telah disepakati sehingga berperan penting dalam mengurangi kesalahpahaman antara auditor dan auditee (Carey et al., 1996).  Tentunya hal ini sangat relevan dalam konteks audit sektor publik, di mana berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan masyarakat, terlibat dalam pengawasan penggunaan dana publik. Dalam konteks audit sektor publik, transparansi dan akuntabilitas menjadi dua aspek utama yang sangat diperhatikan, dan surat perikatan audit memainkan peran kunci dalam memastikan hal tersebut. Surat perikatan audit sering mencakup pengungkapan risiko yang teridentifikasi sebelum audit dimulai. Hackenbrack et al. (2014) mengemukakan bahwa surat perikatan sering digunakan untuk mengungkap risiko khas pada klien tersebut, memungkinkan kedua belah pihak untuk mempersiapkan diri secara memadai. Pengungkapan risiko ini penting dalam audit sektor publik karena membantu auditor mempersiapkan prosedur audit yang tepat dan memungkinkan auditee melakukan tindakan mitigasi.

Komponen krusial dalam surat perikatan salah satunya adalah ruang lingkup audit. Di sektor publik, ini sering mencakup evaluasi program-program yang melibatkan penggunaan anggaran negara. Carey et al. (1996) didalam jurnal ilmiahnya menulis bahwa klien sering kali meremehkan pentingnya ruang lingkup dalam surat perikatan, sementara auditor memandangnya sebagai bagian penting dari proses komunikasi. Maka sudah seharusnya tanggung jawab auditor dan auditee harus diuraikan secara rinci dalam surat perikatan audit sehingga terdapat kesepahaman yang sama diantara kedua belah pihak. 

Penerapan pada Sektor Publik di Indonesia

Audit sektor publik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebagai badan yang menjaga akuntabilitas keuangan negara, maka mayoritas dari kegiatan pemeriksaan dilaksanakan oleh dan atas nama BPK. Kegiataan ini  mencakup pemeriksaan laporan keuangan, pinjaman dan hibah luar negeri, tidak luput kepatuhan dalam kontrak karya pengelolaan sumber daya alam. 

Di Indonesia, penerapan audit telah mengikuti standar dan praktik internasional, namun disesuaikan dengan konteks lokal dan kebutuhan spesifik lembaga-lembaga pemerintah dalam bentuk Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). BPK, sebagai lembaga audit tertinggi di Indonesia, menggunakan Surat Tugas yang didalamnya mencakup nomor surat, nama pemeriksa, objek pemeriksaan, jangka waktu pemeriksaan, entitas yang diperiksa, serta pemberi tugas. Surat tugas memang sedikit berbeda dengan surat perikatan, namun hal ini dikarenakan dalam menjalankan tugasnya, BPK dipayungi oleh mandat konstitusional yakni Undang-Undang (UU) Dasar 1945 dan diperkuat dengan UU Paket Keuangan Negara sehingga wewenang tersebut sifatnya mutlak dan hanya dapat dibatasi oleh UU yang lain. Hal ini berimplikasi bahwa auditee yang merupakan pemerintah pusat maupun daerah, kementerian/lembaga, maupun badan usaha tidak dapat menolak pemeriksaan yang dilaksanakan BPK.

Adapun saat BPK mengaudit organisasi internasional seperti International Atomic Energy Agency (IAEA), International Maritime Organization (IMO), dan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF), dan yang terbaru World Intelectual Property Organization maka BPK menggunakan surat perikatan audit sebagaimana diamanatkan oleh ISA. Hal ini disebabkan standar audit yang diminta lembaga multinasional tersebut mengacu kepada standar tersebut. Selain itu, untuk membantu memastikan efektivitas audit dalam organisasi yang kompleks serta melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan juga menerangkan mengenai independensi BPK, maka surat perikatan audit menjadi alat penting untuk mengatasi tantangan tersebut.

Sejalan dengan praktik internasional dan wacana revisi SPKN, BPK juga perlu melakukan peninjauan ataupun diskusi terkait urgensi pengaturan surat perikatan audit baik dalam pemeriksaan di Indonesia maupun pemeriksaan internasional. Meskipun surat tugas sudah dipandang memadai. Namun, hal ini penting untuk memastikan relevansi dengan perkembangan terbaru dalam standar dan praktik audit terbaik (best practices), mengakomodasi perubahan dalam struktur dan operasi organisasi yang diaudit, meningkatkan efektivitas audit, dan mempertahankan kesesuaian dengan peraturan dan standar yang terus berkembang.

Kesimpulan

Surat perikatan audit merupakan elemen penting dalam memastikan transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas audit sektor publik. Dokumen ini memfasilitasi pemahaman bersama antara auditor dan auditee mengenai ruang lingkup audit, tanggung jawab masing-masing pihak, dan risiko potensial. Pengalaman BPK dalam mengaudit organisasi internasional menegaskan peran surat perikatan audit dalam meminimalkan kesalahpahaman dan meningkatkan efektivitas audit.

Di Indonesia, meskipun BPK menggunakan Surat Tugas berdasarkan mandat konstitusional, penggunaan surat perikatan audit dalam konteks internasional menunjukkan fleksibilitas dan adaptabilitas lembaga ini terhadap standar global. Ke depan, BPK perlu membahas fisibilitas dan manfaat surat perikatan audit dalam konteks nasional.

Implementasi yang baik dari surat perikatan audit dapat meningkatkan perlindungan hukum bagi auditor dan memperkuat kepercayaan publik terhadap proses audit di sektor publik. Dengan terus mengikuti perkembangan standar internasional dan melakukan penyesuaian yang diperlukan, BPK dapat mempertahankan perannya sebagai lembaga audit yang kredibel dan efektif dalam menjaga akuntabilitas keuangan negara.

Referensi:

Carey, P. J., Clarke, B., & Smyrnios, K. X. (1996). An empirical investigation into the audit engagement letter: Use, content and effectiveness. Australian Accounting Review, 6(2), 64-69.

Hackenbrack, K., Jenkins, N. T., & Pevzner, M. (2014). Relevant but delayed information in negotiated audit fees. Review of Accounting Studies, 19, 456-489.

International Federation of Accountants (IFAC). (2022). Handbook of International Quality Control, Auditing, Review, Other Assurance, and Related Services Pronouncements, Volume I. IFAC.

International Organization of Supreme Audit Institutions. (2010). ISSAI 1210 – Agreeing the terms of audit engagements. https://www.issai.org/pronouncements/issai-1210/Zahran, M. M., Chulkov, N. V., & Inomata, T. (2010). The audit function in the United Nations system (JIU/REP/2010/5). Joint Inspection Unit, United Nations

04/11/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Generasi Muda, Harapan Masa Depan BPK

by admin2 24/10/2024
written by admin2

Oleh: Sigit Rais, Pengembang Teknologi Pembelajaran Pertama pada Badiklat PKN BPK RI

“Kita tidak selalu bisa membangun masa depan untuk generasi muda, tapi kita dapat membangun generasi muda untuk masa depan.”

(Franklin D. Roosevelt)

Manusia adalah figur sentral dalam kehidupan berorganisasi. Sebagai motor utama, sumber daya manusia adalah unsur yang harus dilestarikan. Di sinilah letak pentingnya regenerasi dan kaderisasi.

Regenerasi adalah proses pembaruan dalam berorganisasi, sedangkan kaderisasi adalah upaya yang dilakukan untuk mempersiapkan figur-figur penerus yang lahir dari proses regenerasi. Jika regenerasi dan kaderisasi dalam suatu organisasi kurang memadai, bisa jadi organisasi yang sebelumnya kokoh berdiri mengalami kemunduran atau bahkan tiba-tiba runtuh.

Selama ini, generasi penerus atau kader diproyeksikan sebagai laskar perubahan dan menjadi penerus roda organisasi di masa depan. Hal tersebut menandakan adanya kesadaran dalam setiap generasi bahwa kejayaan yang mereka genggam tersebut tidaklah abadi dan harus diwariskan. Oleh karena itu, regenerasi dan kaderisasi mutlak dilakukan demi keberlangsungan organisasi.

Partanto (dalam Syahputra, 2020) mengemukakan, kader dalam kamus ilmiah popular adalah orang yang dididik untuk menjadi pelanjut tongkat estafet suatu partai atau organisasi: tunas muda.

Mangkubumi (dalam Syahputra, 2020), mengemukakan bahwa kaderisasi sebagai suatu siklus yang berputar terus dengan gradasi yang meningkat dan dapat dibedakan menjadi tiga komponen utama, yaitu: 1) Pendidikan kader: disampaikan berbagai pengetahuan yang dibutuhkan; 2) Penugasan kader: mereka diberi kesempatan untuk melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan organisasi sebagai latihan pematangan dan pendewasaan; 3) Pengerahan karir kader: diberi tanggung jawab lebih besar dalam berbagai aspek petjuangan sesuai potensi dan kemampuan yang ada.

Terkait hal tersebut, generasi penerus adalah produk dari sebuah proses regenerasi yang akan melanjutkan perjuangan cita-cita dari generasi pendahulunya. Dari pengertian tersebut, tergambar dengan jelas bahwa generasi muda adalah pewaris dari sepak terjang para generasi pendahulunya. Bahkan, generasi penerus merupakan kelompok yang akan menanggung berbagai konsekuensi dari pilihan-pilihan yang ditentukan oleh generasi pendahulu mereka.

Selain itu, dapat dikatakan juga bahwa generasi penerus adalah peniru perilaku generasi sebelumnya. Generasi penerus juga dapat menjadi pantulan cermin dari tingkah polah generasi pendahulu, serta jadi bayang-bayang yang mengikuti gerak-gerik kepemimpinan generasi pendahulu.

Zaccaro (2001:453) mengemukakan bahwa proses kepemimpinan diarahkan dalam mendefinisikan, menetapkan, mengidentifikasi, atau menerjemahkan arahan untuk pengikut mereka dan memfasilitasi atau memungkinkan proses organisasi yang seharusnya menghasilkan pencapaian tujuan. Tujuan dan arah organisasi menjadi jelas dalam banyak hal, termasuk melalui misi, visi, strategi, tujuan, rencana, dan tugas.

Terkait hal tersebut, memberi teladan kepemimpinan yang baik adalah tugas wajib bagi para generasi pendahulu. Meskipun masa depan organisasi berada dalam genggaman tangan generasi terkini, generasi pendahulu memiliki tanggung jawab besar dalam memupuk generasi penerusnya agar bisa menjadi generasi yang lebih baik. Dalam hal ini, generasi terdahulu berperan besar dalam membentuk karakter generasi selanjutnya dengan cara memberikan contoh yang baik.

**

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang lahir pada 1 Januari 1947 merupakan salah satu wujud organisasi yang terus bergulir dan beregenerasi. Sejak kali pertama didirikan hingga kini, semangat dan cita-cita BPK RI terus diwariskan secara estafet dan turun-temurun kepada generasi-generasi penerus beriringan dengan perubahan zaman.

Selama rentang waktu tersebut, BPK RI mengalami dinamika dan berbagai peristiwa. Hal ini menjadikan BPK semakin kuat berdiri, menjadi satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara di Indonesia, yang berdiri di atas undang-undang, serta berpegang teguh pada tiga nilai dasar, yaitu independensi, integritas, dan profesionalisme.

Seperti pada organisasi lainnya, proses regenerasi dan kaderisasi di BPK menjadi hal penting dalam menjaga kelestarian organisasi. Di sini, regenerasi dan kaderisasi merupakan salah satu titik strategis penentu masa depan. Dalam hal ini, berdatangan pegawai-pegawai baru yang mengisi berbagai posisi, untuk melanjutkan tugas para pegawai yang telah purnabakti.

Sekat Antargenerasi

Dalam proses regenerasi dan kaderisasi begitu banyak kendala yang menghadang. Faktor-faktor penyebabnya, antara lain perbedaan sudut pandang, pola kerja, latar belakang zaman, dan karakter khas dalam menjalankan organisasi. Selain itu, kemajuan teknologi dan perubahan iklim budaya pun membuat setiap generasi memiliki warna dan ciri tersendiri dalam menjalankan laju organisasi. Jika tidak disikapi dengan baik, hal tersebut dapat menimbulkan sekat antargenerasi yang dapat membuat proses regenerasi dan kaderisasi tidak mencapai kondisi ideal.

Sekat antargenerasi adalah kendala yang dapat menghambat regenerasi dan kaderiasi. Sekat antargenerasi tersebut antara lain disebabkan oleh: 1) sikap dari masing-masing generasi yang merasa dirinya lebih unggul dibanding generasi lain dan meremehkan generasi lain; 2) kurangnya komunikasi antargenerasi; 3) kurangnya knowledge transfer; dan 4) generasi terdahulu yang kaku dan menutup diri dari kebaruan; dan 5) arogansi generasi muda. Jika dibiarkan, hal-hal tersebut akan menimbulkan retak-retak dalam tubuh organisasi.

Pada suatu proses regenerasi dan kaderisasi yang ideal, masing-masing generasi sadar akan tanggung jawab dan fungsi masing-masing. Generasi pendahulu sebagai figur teladan perlu memberikan contoh yang baik dan membuka diri bagi perubahan zaman. Sementara, generasi penerus perlu banyak belajar dari pengalaman generasi pendahulu dan menyelaraskannya dengan kemutakhiran zaman.

Sekat antargenerasi tercipta karena kurangnya komunikasi yang baik di antara generasi terdahulu dengan generasi penerus. Pola ini memicu timbulnya banyak kesan atau kecurigaan. Generasi pendahulu terkadang terkesan memaksakan kehendaknya untuk selalu diikuti oleh generasi penerus. Bahkan, terkadang ada kesan bahwa generasi senior kerap meng-underestimate para generasi penerus mereka. Di sisi lain, generasi penerus terkadang merasa lebih baik serta menganggap generasi terdahulu tidak ada apa-apanya dan kalah saing. Prasangka-prasangka itu sebetulnya tidak perlu terjadi jika terdapat pola komunikasi yang baik di antara setiap generasi. Tentunya, semua generasi menginginkan hal yang sama, yaitu kemajuan organisasi.

Di sinilah letak pentingnya membina komunikasi antargenerasi. Selain itu transfer pengetahuan juga menjadi hal istimewa dalam menciptakan keharmonisan di antara generasi yang berbeda. Generasi penerus jangan merasa ragu atau gengsi untuk banyak bertanya kepada senior mereka, sementara generasi pendahulu jangan pernah lelah berbagi ilmu dengan para junior yang haus akan pengetahuan. Di sinilah diperlukan juga tukar pengalaman di antara senior dan junior dimaksud.

Dengan demikian, diharapkan sekat antargenerasi dapat terkikis sehingga kedua generasi dapat bersinergi dan bekerjasama untuk mewujudkan proses regenerasi. Tentu saja dilandasi oleh keinginan untuk menggiring organisasi menuju masa depan yang lebih baik.

Kaizen

Sebagai penerima warisan dari generasi terdahulu yang akan jadi pemimpin-pemimpin di masa mendatang, generasi penerus perlu menerapkan prinsip kaizen atau continous improvement. Hakikat dari prinsip tersebut adalah pengembangan secara terus-menerus dengan memperbaiki hal-hal yang dirasa kurang baik dan perlu diperbaiki, serta membuang hal-hal yang tidak diperlukan.

Ada dua fungsi utama kaizen, yaitu pemeliharaan dan perbaikan. Pemeliharaan merupakan kegiatan yang memelihara aspek teknologi, manajemen dan standar kerja yang telah dicapai, sedangkan perbaikan merupakan kegiatan yang menuju peningkatan standar kerja tersebut.

Dalam konteks organisasi BPK, generasi penerus yang saat ini sedang dipupuk dan dibina untuk menjadi para pemimpin masa depan, perlu berkaca dari sejarah pada pendahulunya. Generasi penerus tersebut perlu mempelajari sejarah perjalanan BPK, serta mengambil saripati dari pengalaman-pengalaman para pendahulu. Kemudian, dalam upaya improvement, generasi penerus diharapkan bisa memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik dari figur yang diteladaninya. Jika melihat hal-hal kurang baik bagi organisasi yang dilakukan oleh generasi sebelumnya, generasi penerus harus bisa membuang hal tersebut.

Ambil yang baik, tinggalkan yang buruk. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan di masa lalu oleh para pendahulu sebaiknya diambil hikmahnya, lalu diperbaiki di masa mendatang oleh generasi penerus dan jangan sampai diulangi.

Jika hal tersebut dilakukan oleh seluruh elemen generasi penerus yang menempati pos-pos sesuai dengan keahliannya masing-masing, perbaikan demi perbaikan akan senantiasa mengiringi langkah BPK ke depan.

Rendah Hati

Generasi penerus selalu lahir di tengah berbagai kebaruan dibandingkan generasi terdahulu. Teknologi dan fasilitas-fasilitas mutakhir membuat generasi yang lebih muda terlihat lebih maju dibanding generasi pendahulunya. Terkadang, hal-hal tersebut memunculkan over confidence dalam diri para generasi penerus. Sikap tersebut dapat berkembang menjadi sikap yang cenderung meremehkan generasi terdahulu. Apalagi jika mereka tidak menemukan figur teladan dari generasi terdahulu. Dampak negatifnya, kita akan lupa diri, merasa berada di atas angin, dan menjadi tumbuh menjadi figur arogan yang enggan belajar karena merasa hebat.

Di sinilah letak pentingnya memelihara kerendahan hati dari para generasi muda yang masih hijau dan ingin terus belajar. Keep both of your feet on the ground. Sehebat apapun kualitas kita, semua akan kehilangan makna jika tanpa karakter kuat yang selalu membumi. Seperti yang dilontarkan oleh pengusaha Robert Kiyosaki, “orang yang humble akan belajar lebih banyak dibandingkan orang yang arogan”. Sia-sia saja jika kita dianugerahi banyak kelebihan tetapi dibalut oleh arogansi yang membahayakan. Oleh karena itu, sikap tawadlu harus senantiasa kita pelihara agar ilmu yang kita miliki akan semakin sarat makna.

Sementara, di sisi generasi pendahulu, kerendahan hati merupakan poin penting yang harus ditularkan kepada generasi penerusnya. Tunjukanlah bahwa kerendahan hati bisa menjadi penopang jalan menujugerbang kesuksesan. Selain itu, generasi pendahulu juga perlu memberi teladan tentang pentingnya keikhlasan dalam bekerja, terutama dalam peran sebagai abdi negara yang telah diberi amanat mulia.

Tanpa keikhlasan, setiap keringat yang mengucur dari tubuh kita akan terasa sebagai beban dan sama sekali tidak mendatangkan kebahagiaan.

Generasi Penerus, Pembopong Masa Depan

Generasi muda akan tumbuh menjadi pemimpin masa depan. Dalam hal ini, diperlukan pembekalan kekayaan mental yang meliputi antara lain rasa percaya diri, fokus ke depan, berkomitmen tinggi, pantang menyerah, menggagas perubahan, menerima kritik, dan mau belajar dari setiap kesalahan.

Itu adalah tanggung jawab dari generasi terdahulu. Hal-hal tersebut akan saling menguatkan dengan aspek kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi. Di punggung mereka, BPK akan dibopong dan dijaga, lalu di masa depan akan diserahkan kepada generasi selanjutnya. Begitu seterusnya seiring dengan perputaran waktu. BPK akan senantiasa berdiri kokoh menjadi lembaga yang senantiasa menjunjung tinggi independensi, integritas, dan profesionalisme karena baiknya regenerasi serta kaderisasi.

BPK sangat beruntung. Untuk mendukung proses kaderisasi dan regenerasi ini, para pegawai BPK dapat memanfaatkan berbagai wadah knowledge transfer dan media informasi, seperti penyelenggaraan seminar, Knowledge Transfer Forum, jurnal TAKEN, Warta Pemeriksa, Self  Learning dan berbagai ragam pendidikan dan pelatihan di Badiklat PKN, dan lain sebagainya. Semua itu perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam rangka peningkatan kapasitas pegawai, yang akan terus bergulir dan bergilir.

Generasi terbaik adalah generasi yang selalu berkomitmen menanam hal-hal baik demi generasi penerusnya. Mereka tidak larut dalam rasa bangga di masa jaya dan abai terhadap konsep ketakabadian segala sesuatu di dunia. Karir dan jabatan tidak akan selamanya melekat. Seiring menuanya bumi, segala sesuatu akan ditutup dengan kata akhir. Oleh karena itu, proses regenerasi dan kaderisasi yang akan terus bergulir perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga akan selalu ada masa depan yang lebih cerah menanti.

Referensi:

Al-Barry, M. Dahlan, L. LyaSofyan Yacob, (2003). Kamus Induk Istilah Ilmiah; Seri Intelektual, Target Press, Surabaya.

Imai, Masaaki. 1986. “Kaizen : The Key to Japan’s Competitive Success”. Singapore: McGraw Hill.

Syahputra, Muhammad Rizki, T. Darmansah. Fungsi Kaderisasi Dalam Meningkatan Kualitas Kepemimpinan. Journal of Education and Teaching Learning (JETL) Volume 2, Issue 3, December 2020.

Zaccaro. 2001. The Nature of Organizational Leadership. Journal of George Mason University

24/10/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan Urgensi Kolaborasi Nasional
  • Hadiri SAI20 Summit 2025, Ketua BPK Dorong Kolaborasi Global
  • BPK dan UAEAA Perkuat Kerja Sama Pemeriksaan
  • Rampungkan Pemeriksaan WIPO, BPK Sampaikan Sejumlah Rekomendasi
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama

    02/07/2025
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan...

    01/07/2025
  • Hadiri SAI20 Summit 2025, Ketua BPK Dorong Kolaborasi...

    30/06/2025
  • BPK dan UAEAA Perkuat Kerja Sama Pemeriksaan

    26/06/2025
  • Rampungkan Pemeriksaan WIPO, BPK Sampaikan Sejumlah Rekomendasi

    23/06/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id