WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Friday, 4 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Category:

Uncategorized

BeritaBPK BekerjaSLIDERUncategorized

BPK Fokus Awasi Area Strategis dalam LKPD 2024

by admin2 24/04/2025
written by admin2

DENPASAR, WARTA PEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI memulai tahap pemeriksaan terinci atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2024, menyusul telah rampungnya pemeriksaan pendahuluan dan penyerahan laporan unaudited oleh sebagian besar pemerintah daerah. Entry meeting pemeriksaan ini salah satunya digelar di lingkungan Direktorat Jenderal Pemeriksaan Keuangan Negara (Ditjen PKN) VI, di Denpasar, Bali, pada 15 April 2025.

Anggota VI BPK RI, Fathan Subchi, menegaskan bahwa pemeriksaan dilakukan mengacu pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), yang bertujuan memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan. Penilaian ini didasarkan pada empat kriteria utama, yaitu kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan informasi, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta efektivitas sistem pengendalian internal (SPI).

“Selain memberikan opini, BPK juga akan menyampaikan rekomendasi untuk perbaikan kelemahan sistem pengendalian internal dan menyelesaikan permasalahan ketidakpatuhan atas pengelolaan keuangan negara dan daerah,” ujar Anggota VI dalam sambutannya.

Anggota VI menambahkan, dalam aspek kecukupan pengungkapan, BPK akan secara khusus menguji kelengkapan informasi dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK), termasuk indikator makro daerah seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, angka kemiskinan, inflasi, dan rasio gini. 

Selain itu, BPK juga akan mencermati pemenuhan belanja wajib (mandatory spending) di sektor pendidikan, infrastruktur, serta dana transfer dan pengawasan, termasuk pemanfaatan dana otonomi khusus.

Dalam pemeriksaan kali ini, BPK mengusung pendekatan Risk-Based Audit atau audit berbasis risiko. Fokus diarahkan pada akun-akun yang memiliki risiko tinggi dan bernilai material dalam laporan keuangan. 

Beberapa akun tersebut, antara lain,  belanja bantuan sosial dan belanja tak terduga, belanja hibah serta belanja barang dan jasa untuk pihak ketiga atau masyarakat. 

Kemudian, BPK akan menelisik belanja modal melalui penunjukan langsung atau pengadaan langsung dan atau pelunasan utang belanja konstruksi, penggunaan dana pihak ketiga yang belum disahkan Bendahara Umum Daerah, Pendapatan daerah yang signifikan, belanja yang dilakukan sebelum APBD atau perubahan APBD ditetapkan, serta pembiayaan dan utang jangka panjang yang melewati masa jabatan kepala daerah.

Menutup sambutannya, Anggota VI meminta komitmen penuh dari seluruh pimpinan kementerian dan lembaga serta kepala daerah agar kooperatif dalam proses pemeriksaan ini.

“Saya meminta kepada para pimpinan kementerian/lembaga serta seluruh kepala daerah dan jajarannya, agar dapat memenuhi permintaan data dan informasi dalam pemeriksaan ini secara lengkap dan tepat waktu,” tegas Anggota VI.

Pemeriksaan terinci ini menjadi salah satu tahap penting dalam memastikan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan publik, sekaligus bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat.

24/04/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Gedung BPK
BeritaBPK BekerjaSLIDERUncategorized

Ditunjuk Jadi Pemeriksa Eksternal CTI-CFF, BPK Pastikan Audit dengan Standar Internasional

by admin2 11/04/2025
written by admin2

JAKARTA, WARTA PEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terus mendapat kepercayaan dari lembaga internasional untuk menjadi pemeriksa eksternal. Kepercayaan itu salah satunya kembali diberikan oleh lembaga Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF).

BPK ditunjuk umenjadi pemeriksa eksternal untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja dan manajemen tahun anggaran 2024 pada Sekretariat Regional CTI-CFF.

BPK akan melakukan pemeriksaan  dengan mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi sesuai dengan standar audit internasional.

Penunjukan BPK sebagai pemeriksa eksternal CTI-CFF berdasarkan persetujuan Ketua Committee of Senior Officials (CSO) CTI-CFF, sebagaimana tertuang dalam surat Direktur Eksekutif Sekretariat Regional CTI- CFF Frank Keith Griffin, kepada Ketua BPK Isma Yatun pada 24 Maret 2025.

Penunjukan ini mencerminkan pengakuan komunitas global terhadap kapabilitas BPK dalam mendorong tata kelola dan kinerja organisasi internasional.

BPK telah berperan sebagai pemeriksa Laporan Keuangan CTI-CFF sejak tahun 2023. Kepercayaan yang diberikan oleh CTI-CFF kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan kinerja dan manajemen semakin memperkuat posisi BPK di kancah internasional.

Sekretariat Regional CTI-CFF menyampaikan apresiasi atas kesediaan BPK sebagai pemeriksa eksternal. Mereka percaya bahwa kerja sama dengan BPK akan memberikan kontribusi signifikan dalam memperkuat tata kelola dan kinerja organisasi.

Penunjukan BPK menjadi langkah strategis dalam memperkuat akuntabilitas dan tata kelola CTI- CFF, sekaligus memperkokoh peran Indonesia dalam pengelolaan sumber daya kelautan yang berkelanjutan di kawasan Segitiga Terumbu Karang.

Sebagai informasi, CTI-CFF adalah inisiatif kemitraan multilateral enam negara di kawasan Segitiga Terumbu Karang, yaitu Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon dan Timor-Leste, yang bekerja sama untuk melestarikan sumber daya laut dan pesisir dengan mengatasi isu-isu penting seperti ketahanan pangan, perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati laut.

BPK Dipercaya Jadi Pemeriksa Eksternal OPCW
11/04/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDERUncategorized

BPK Perkuat Integritas Melalui Peer Review

by admin2 10/03/2025
written by admin2

JAKARTA, WARTA PEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) terus memperkuat komitmennya dalam menjalankan tugas dan fungsi dengan mengedepankan integritas. Salah satu upaya nyata yang dilakukan adalah melalui kegiatan peer review atau penelaahan sejawat yang dilaksanakan pada tahun 2024.

BPK memastikan hasil peer review tidak hanya berhenti pada rekomendasi tertulis, tetapi juga  ditindaklanjuti oleh satuan kerja terkait. Inspektorat Jenderal (Itjen) BPK telah menyusun sejumlah langkah strategis untuk menindaklanjuti rekomendasi peer review guna terus memperkuat integritas dan kualitas kinerja BPK. 

Inspektur Jenderal BPK, Suwarni Dyah Setyaningsih, menjelaskan bahwa peer review merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 tentang BPK. Pasal 33 UU tersebut menyatakan bahwa untuk menjamin mutu pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, sistem pengendalian mutu BPK harus ditelaah oleh badan pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan sedunia.

Dyah menegaskan bahwa sesuai dengan Keputusan BPK Nomor 6 Tahun 2020 tentang Enam Pilar Sistem Pengendalian Mutu BPK, salah satu pilar utama adalah Persyaratan Etika. Pilar ini mensyaratkan agar BPK menetapkan kebijakan dan prosedur yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa BPK dan seluruh Pelaksana BPK serta pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK patuh pada Kode Etik BPK dan peraturan disiplin pegawai yang berlaku.

“Pada peer review tahun 2024, BPK menetapkan etika sebagai salah satu area fokus penelaahan, dengan rekomendasi yang diharapkan dapat mendorong perbaikan dan peningkatan integritas di lingkungan BPK,” ujar Dyah. 

Untuk merespon rekomendasi peer review terkait integritas, BPK telah mengambil sejumlah langkah konkret. Pertama, melakukan diskusi dengan pereviu untuk memastikan dan menyamakan persepsi tentang permasalahan dan rekomendasinya.

Kedua, menyusun konsep rencana aksi dan mendiskusikan dengan satuan kerja yang terkait dengan rencana aksi tersebut untuk mendapat kesepakatan rencana aksi, satker penanggung jawab, satker terkait, dan jadwal tindak lanjut.

“BPK juga mendiskusikan rencana aksi dengan pereviu dan menyampaikan rencana aksi kepada seluruh satker penanggung jawab dan satker terkait untuk proses tindak lanjut,” katanya. 

Sebagai informasi, ada tiga lembaga pemeriksa yang melakukan peer review terhadap BPK, yaitu  German Federal Court of Auditors (SAI Jerman), Austrian Court of Audit (SAI Austria), dan Swiss Federal Audit Office (SAI Swiss). Penelaahan sejawat mengungkapkan bahwa BPK telah menetapkan standar tinggi di tiga area yang diperiksa dan terdapat sejumlah rekomendasi untuk penguatan BPK.

Terdapat tiga area utama yang diperiksa dalam peer review, yaitu Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM), Manajemen Etika dan Integritas, serta Teknologi Informasi. Hasil penelaahan menunjukkan bahwa BPK telah menunjukkan standar yang tinggi dalam Sistem Pengendalian Internal, khususnya pada ketiga bidang tersebut. Namun, peer review juga mengidentifikasi beberapa hal yang perlu diperbaiki dan dikembangkan lebih lanjut untuk mencapai tingkat optimal.

Tim penelaah mengakui bahwa BPK memiliki rekam jejak yang panjang dalam menjaga nilai-nilai dasar integritas dan etika. BPK telah mengembangkan berbagai instrumen untuk mencapai tujuan tersebut.

Instrumen-instrumen tersebut antara lain  penetapan Kode Etik pada tahun 2007,  penerapan Sistem Pelaporan Pelanggaran (whistleblowing) pada tahun 2011, penerapan Sistem Pengendalian Gratifikasi pada tahun 2014, dan beberapa asesmen internal dan eksternal yang dilakukan secara berkala.

Sejak tahun 2018, BPK telah berupaya mengoordinasikan berbagai instrumen Manajemen Integritas dalam satu kerangka kerja. Upaya ini semakin diperkuat dengan dimasukkannya Manajemen Integritas ke dalam Rencana Strategis BPK Tahun 2020 – 2024.

Pada tahun 2022, BPK mengembangkan sebuah kerangka konseptual manajemen integritas yang disetujui pada tahun 2023. Selanjutnya, pada tahun 2024, kerangka konseptual ini ditetapkan sebagai Kerangka Kerja Manajemen Integritas (KKMI) BPK.

Tim penelaahan sejawat mengakui bahwa Manajemen Etika dan Integritas BPK telah dibangun dengan baik. BPK juga telah menindaklanjuti rekomendasi dari penelaahan sejawat pada periode-periode sebelumnya. Secara keseluruhan, BPK telah memenuhi kriteria tentang Etika yang tercantum dalam Kerangka Kerja Pengukuran Kinerja untuk SAI (Performance Measurement Framework for Supreme Audit Institutions/SAI PMF). 

Wakil Ketua BPK: Peer Review Perkuat Kinerja dan Mutu Pemeriksaan
10/03/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
SLIDERSuara PublikUncategorized

Urgensi Program BPK Goes To School dan BPK Mengajar dalam Kacamata Seorang Pendidik

by admin2 17/02/2025
written by admin2

Oleh: Bastian Febrianto, Guru SMKN 2 Yogyakarta

Senja pada hari ini akhirnya tiba juga. Mentari perlahan tenggelam di batas cakrawala, meninggalkan semburat temaram jingga yang menghiasi langit kota Yogyakarta. Setelah seharian full mengajar hari ini, saya duduk di ruang guru, menyeduh secangkir kopi, sebungkus kopi sasetan yang kemarin sore saya beli di warung dekat rumah. 

Dari balik jendela, saya melihat para siswa berbondong-bondong meninggalkan sekolah. Sebanyak 2.508 siswa saya pulang dengan wajah ceria, melangkah menuju rumah masing-masing dengan harapan, impian dan asa yang menggantung tinggi di benak mereka. Saya percaya bahwa masa depan cerah menanti mereka, dan mungkin, di antara ribuan siswa ini, ada yang kelak akan meniti karier di bidang keuangan atau bahkan mungkin bergabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Diiringi suara instrument Gending Soran khas Yogyakarta yang mengalun lembut, saya menikmati secangkir kopi sambil berselancar di dunia maya menggunakan laptop jadul yang masih setia menemani. 

Salah satu berita dari situs resmi Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta menarik perhatian saya. Pada tanggal 15 Januari 20251, BPK RI mengadakan kegiatan yang sangat menarik bagi saya sebagai seorang guru, yaitu program “BPK Mengajar.” Setelah menelusuri lebih lanjut, saya menemukan bahwa kegiatan ini bukanlah hal baru bagi BPK. Program serupa telah lama dijalankan oleh BPK di berbagai daerah. Sebagai contoh, pada 20 Januari 2025 BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur mengadakan “BPK Mengajar” di STMIK Widya Cipta Dharma2. Kemudian hal serupa juga dilakukan oleh BPK Perwakilan Provinsi Aceh3 dengan program BPK Aceh Goes to School pada 17 Desember 2024, dan masih banyak lagi ditahun-tahun sebelumnya.

Lorong-lorong kelas mulai sepi, menyisakan hening berpeluk senja. Sembari menyeruput kopi pahit ini sambil masih ditemani suara instrument tetabuhan dari Gending Soran, pikiran saya melayang dan berfikir, sebagai seorang pendidik di Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK, saya merasa sangat antusias melihat adanya program seperti ini. Saya menyadari bahwa kehadiran BPK dalam dunia pendidikan menandakan kepedulian institusi tersebut terhadap generasi muda, terutama siswa. Dunia Pendidikan Vokasi, khususnya di SMK memiliki konsep link and match, yaitu sebuah program yang menghubungkan sekolah dengan dunia kerja, dunia usaha, dan dunia industri. Tujuannya adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan vokasi dengan kebutuhan dunia kerja. Program BPK Mengajar atau BPK Goes to School ini juga menurut saya ikut andil dalam konsep ini, keterlibatan BPK dalam edukasi sekaligus literasi kepada peserta didik terkait dengan bidang keuangan, akuntabilias dan sebagainya sangatlah berharga. Di dunia SMK, terdapat istilah “guru tamu,” yaitu praktisi dari berbagai bidang yang diundang untuk mengajar dan berbagi pengalaman langsung kepada siswa. Biasanya, guru tamu berasal dari perusahaan-perusahaan yang relevan dengan jurusan yang ada di sekolah tersebut. Misalnya, di SMK yang memiliki jurusan Teknik Mesin, praktisi yang diundang biasanya berasal dari perusahaan manufaktur. Sementara itu, untuk jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV), praktisi dari dunia digital sering kali didatangkan. Dalam konteks ini, kehadiran praktisi atau ahli dari BPK tentu menjadi suatu hal yang sangat menggembirakan bagi guru dan peserta didik. Hal ini tentu sangat relevan bagi siswa SMK, terutama SMK yang mengambil kompetensi keahlian di bidang akuntansi dan administrasi keuangan. Dengan demikian, siswa tidak hanya mendapatkan teori dari buku pelajaran, tetapi juga wawasan langsung dari para profesional di bidangnya.

Kembali saya menyeruput kopi hitam yang tinggal separuh ini, kret..kret bunyi laptop butut saya menemani fikiran saya yang melayang sore ini. Saya berfikir salah satu tantangan besar yang dihadapi siswa saat ini adalah kurangnya pemahaman dalam pengelolaan keuangan pribadi. Kita tahu ada sebuah fenomena bernama fear of missing out (FOMO) atau ketakutan ketinggalan tren, dan para peserta didik juga sering kali mengalami fenomena FOMO ini yang berakibat membuat mereka tergoda untuk mengikuti gaya hidup konsumtif tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Dalam usia remaja yang penuh dengan dinamika sosial, ada saja peserta didik yang rela mengorbankan uang sakunya untuk membeli barang-barang yang sedang tren, meskipun hal tersebut tidak benar-benar dia butuhkan. Di sinilah peran BPK menjadi sangat penting. Dengan adanya program “BPK Mengajar,” peserta didik atau siswa dapat memperoleh edukasi tentang pengelolaan keuangan yang baik, memahami pentingnya menabung, serta menyadari betapa pentingnya perencanaan keuangan sejak dini. 

Dalam dunia pendidikan, terdapat konsep yang disebut hidden curriculum atau kurikulum tersembunyi. Ini adalah hasil belajar yang tidak secara eksplisit dicantumkan dalam kurikulum formal, tetapi terjadi dalam proses pendidikan sehari-hari. Apa yang dilakukan oleh BPK melalui program “BPK Goes to School” dan “BPK Mengajar” sebenarnya bisa disebuat bagian penerapan hidden curriculum yang sangat positif. Siswa mendapatkan pemahaman tentang etika dalam pengelolaan keuangan, nilai-nilai integritas, serta pentingnya akuntabilitas dalam kehidupan sehari-hari. Melalui program ini, BPK secara tidak langsung juga membantu membentuk karakter siswa agar lebih bertanggung jawab dalam menggunakan uang mereka. Dengan belajar dari pengalaman nyata para auditor BPK, peserta didik dapat memahami bahwa setiap keputusan keuangan harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan perencanaan yang matang. 

Program ini dampaknya akan sangat besar bagi dunia pendidikan. Selain itu, bagi guru seperti saya, program ini juga memberikan manfaat besar. Kehadiran praktisi dari BPK dapat menjadi inspirasi bagi para pendidik dalam mengembangkan metode pengajaran yang lebih aplikatif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, proses pembelajaran di kelas menjadi lebih dinamis dan menarik bagi siswa.

  1. https://dki.kemenag.go.id/berita/program-bpk-mengajar-membentuk-generasi-berintegritas-di-madrasah-N4tCu 
    ↩︎
  2.  https://kaltim.bpk.go.id/bpk-mengajar-membentuk-generasi-muda-berintegritas-di-kampus/
    ↩︎
  3.  https://aceh.bpk.go.id/bpk-aceh-goes-to-school/
    ↩︎
17/02/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Uncategorized

Buku Saku Mengenal BPK Lebih Dekat

by Ratna Darmayanti 06/02/2025
written by Ratna Darmayanti
06/02/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Uncategorized

Leaflet Badan Pemeriksa Keuangan 2025

by Ratna Darmayanti 06/02/2025
written by Ratna Darmayanti

Klik pada gambar di bawah ini

06/02/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Suara PublikUncategorized

Permasalahan Pengelolaan Dana Haji di Indonesia

by admin2 31/12/2024
written by admin2

Oleh: Abdul Aziz, Eva Dewi I., Nika Astuti (Pegawai pada BPK RI Perwakilan Prov. Kalimantan Tengah

Negara Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. Jumlah penganut agama Islam di Indonesia sebesar 241,52 juta, lebih besar daripada Pakistan yang berada di posisi kedua dengan jumlah 225,62 juta, dan India pada posisi ketiga dengan 211,62 juta1. Salah satu ajaran dalam agama Islam adalah Rukun Islam. Rukun Islam terdiri dari lima hal yang wajib dijalankan oleh seorang muslim, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, membayar zakat, puasa, dan melaksanakan ibadah haji bila mampu. Dalam pelaksanaan rukun Islam yang kelima diperlukan persiapan secara lahir maupun batin. Persiapan tersebut juga tidak terlepas dari sisi keuangan, dalam hal ini biaya perjalanan dan akomodasi dikarenakan pelaksanaan ibadah haji berada di kota Mekah dan Madinah di Arab Saudi pada bulan Zulhijah.

Di Indonesia, Pengelolaan Keuangan Haji diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 20142. Dari undang-undang tersebut lahirlah Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Pembentukan, tugas pokok, dan fungsi BPKH tersebut diatur lebih lanjut dalam Perpres Nomor 110 Tahun 2017 tentang BPKH, Keppres Nomor 101/P Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana BPKH, serta PP Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun 2014. BPKH merupakan lembaga negara yang bertugas mengelola dana haji dari calon jemaah haji secara syariah. Dana tersebut dikelola secara profesional pada instrumen syariah yang aman dan likuid dan telah diaudit oleh BPK dan dilaporkan kepada DPR dan presiden. Saldo dana haji yang dikelola BPKH pada lima tahun terakhir sebagai berikut3:

TahunDana Haji yang dikelola BPKH
2019124,3 T
2020144,9 T
2021158,8 T
2022166,5 T
2023166,7 T

(Sumber: https://bpkh.go.id/faq/curabitur-eget-leo-at-velit-imperdiet-varius-iaculis-vitaes-2/)

Dana haji yang dikelola BPKH ini bersumber dari beberapa komponen yaitu setoran BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) dan/atau BPIH Khusus, Dana Efisiensi Penyelenggaraan Ibadah Haji, Dana Abadi Umat (DAU), Nilai Manfaat Keuangan Haji dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Setiap orang dari Indonesia yang berangkat haji pada tahun 2024 membutuhkan biaya antara Rp87,3 juta hingga Rp97,8 juta tergantung pada embarkasi daerahnya4. Biaya ini disebut dengan BPIH. BPIH terdiri atas Bipih (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) ditambah dengan Nilai Manfaat. Bipih diperoleh dari Jemaah Haji, Petugas Haji Daerah (PHD), dan Pembimbing Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU). Nilai Manfaat diperoleh dari nilai manfaat Setoran Bipih Jemaah Haji Reguler dan Jemaah Haji Khusus. Besaran BPIH Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi yang bersumber dari Nilai Manfaat terdiri atas4:

  1. Nilai Manfaat untuk Jemaah Haji Reguler yang digunakan untuk membayar selisih BPIH dengan besaran Bipih sebesar Rp8.200.040.638.567,00; dan
  2. Nilai Manfaat untuk Jemaah Haji Khusus sebesar Rp 14.558.658.000,00.

Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) Semester I Tahun 2024 oleh BPK, hasil pemeriksaan DTT-Kepatuhan atas pertanggungjawaban keuangan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1444H/2023M pada Kementerian Agama menunjukkan bahwa perhitungan dan pelaporan dana efisiensi penyelenggaraan ibadah haji (PIH) tahun 1444H/2023M sebesar Rp571,14 miliar sudah sesuai aturan namun dana tersebut belum disetorkan ke Kas Haji hingga akhir pemeriksaan, juga terdapat kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan ketidakpatuhan dengan nilai sebesar  Rp613,51 miliar5. Sedangkan pada IHPS Semester II Tahun 2023, penetapan besaran Bipih Reguler belum optimal dalam mendukung keberlanjutan keuangan haji dan berkeadilan bagi jemaah haji. Subsidi BPIH pada tahun 2010 sebesar Rp4,45 juta menjadi Rp40,24 juta pada tahun 2023 atau mengalami kenaikan sebesar Rp35,78 juta (803,41%)6. BPIH mengalami kenaikan dari Rp34,50 juta menjadi Rp90,05 juta dalam kurun waktu 2010 sampai dengan 2023.  Di sisi lain, Bipih Tahun 2010 sebesar Rp30,05 juta dan Bipih Tahun 2023 sebesar Rp49,81 juta atau hanya naik sebesar Rp19,76 juta (65,78%). Dapat dikatakan bahwa kenaikan penerimaan nilai manfaat tidak sebanding dengan pengeluaran subsidi BPIH dan alokasinya ke virtual account belum mempertimbangkan asas keadilan. Kondisi ini mengakibatkan distribusi nilai manfaat tidak mencerminkan asas keadilan bagi jemaah haji tunggu, serta menimbulkan risiko likuiditas dan keberlanjutan keuangan haji di masa yang akan datang.

Permasalahan lainnya adalah mengenai kebijakan pembatasan pendaftaran haji belum sepenuhnya mendukung pemerataan. Dari Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu diketahui daftar tunggu calon haji mencapai 5.211.899 orang per 10 Oktober 2023 dengan masa tunggu dalam rentang waktu 12 s.d. 48 tahun. Masa tunggu Indonesia lebih singkat dibanding dengan Malaysia yang memiliki waktu tunggu 148 tahun7, dan sangat terasa lama jika dibandingkan dengan Inggris yang tidak memiliki waktu tunggu8.  Di Inggris, pendaftar dapat berangkat pada tahun yang sama apabila kuota masih tersedia. Kementerian Agama Indonesia membuat kebijakan pendaftaran haji sekali dalam 10 tahun. Namun peraturan ini justru belum dapat memberikan pemerataan kesempatan, terdapat 775 jemaah haji berangkat Tahun 1444H/2023M pernah berhaji dan 14.299 jemaah haji daftar tunggu sudah pernah berhaji.

Peran BPK dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, khususnya melalui pemberian rekomendasi yang konstruktif dan pemantauan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan dimaksudkan untuk mengawal dan mendorong terwujudnya tata kelola dan tanggungjawab keuangan negara yang efektif, akuntabel, dan transparan. Pada pemeriksaan DTT-Kepatuhan atas pertanggungjawaban keuangan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1444H/2023M pada Kementerian Agama, BPK menemukan penggunaan Sistem Keuangan Haji Terpadu (SISKEHAT) Gen 2 yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan belum optimal sehingga BPK merekomendasikan Kepala Badan Pelaksana (BP) dan Anggota BP BPKH terkait untuk mengidentifikasi kebutuhan yang diperlukan untuk pengembangan SISKEHAT Gen 2 sesuai System Development Life Cycle terkait dengan kode transaksi, pengklasifikasian, dan monitoring transaksi agar dapat mendukung penyusunan LK Induk dan Konsolidasi BPKH. Sementara pada pemeriksaan kinerja atas efektivitas penyelenggaraan ibadah haji tahun 1444H/2023M, BPK merekomendasikan diantaranya agar Menteri Agama melibatkan ulama untuk menyusun kajian tentang layanan haji reguler hanya diberikan sekali kepada setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu, serta melibatkan ulama dalam menyusun kajian tentang besaran alokasi nilai manfaat yang digunakan untuk menutupi BPIH dengan mempertimbangkan asas keadilan dan keberlangsungan dana haji. 

Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang mampu, baik secara fisik, mental, spiritual, sosial, maupun finansial dan sekali dalam seumur hidup. Pelaksanaan Ibadah Haji merupakan rangkaian ibadah keagamaan yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19459. Harapannya pengelolaan dana haji di masa mendatang dapat dilaksanakan dengan lebih optimal, sehingga dapat mendukung keberlanjutan keuangan haji dan memberikan keadilan yang merata bagi Jemaah. Selain itu, perlu dilaksanakan evaluasi yang memadai atas kebijakan pendaftaran haji untuk memastikan pemerataan kesempatan dalam pemberangkatan peserta ibadah haji.

Referensi:

  1. https://www.statista.com/statistics/374661/countries-with-the-largest-muslim-population/
  2. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji   
  3. https://bpkh.go.id/faq/curabitur-eget-leo-at-velit-imperdiet-varius-iaculis-vitaes-2/
  4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2024 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi yang Bersumber dari Biaya Perjalanan Ibadah Haji dan Nilai Manfaat
  5. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2024 
  6. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2023
  7. https://www.thestar.com.my/news/nation/2023/06/14/148-years-waiting-time-for-malaysians-to-perform-haj
  8. https://www.ventour.co.id/tak-ada-antrian-haji-berangkat-hajinya-dari-inggris/
  9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh
31/12/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
SLIDERSuara PublikUncategorized

Menyiasati Unintended Consequences dalam Kebijakan Publik

by admin2 12/12/2024
written by admin2

Oleh: Rifky Pratama Wicaksono, Penelaah Teknis Kebijakan pada AKN I BPK

Setiap kebijakan publik seringkali memiliki tujuan jelas, namun dampaknya tidak selalu sesuai harapan. Fenomena ini dikenal sebagai unintended consequences, yang pertama kali diperkenalkan oleh Robert K. Merton pada 1936 sebagai unanticipated consequences. Meski merupakan sebuah kondisi yang tak diinginkan, kondisi ini kerap muncul sebagai hasil dari berbagai faktor kompleks yang mengiringi proses penyusunan kebijakan publik.

Unintended consequences timbul bukan semata-mata karena tidak terprediksi, namun bisa jadi sebenarnya dampak itu sudah diperhitungkan namun diabaikan karena sejumlah kondisi, seperti tekanan politis, konservatisme, dan karakter pengambil kebijakan. Frank de Zwart menganggap bahwa istilah “unintended, but not unanticipated consequences” lebih sesuai, sebab pembuat kebijakan dianggap memiliki kapasitas untuk menakar dan seharusnya bisa mengantisipasi berbagai konsekuensi dari keputusan yang diambil, baik positif maupun negatif.

Meskipun tidak sepenuhnya terhindarkan, unintended consequences dapat membawa kerugian jika tak ditangani dengan cermat–merugikan kelompok rentan, memperumit persoalan yang ada, bahkan menimbulkan masalah baru. Kebijakan publik pun kini menghadapi tantangan besar di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity). Dalam konteks ini, sulit untuk memprediksi bagaimana setiap unsur akan bereaksi dalam situasi dinamis yang melibatkan aspek sosial, ekonomi, hingga budaya. Kompleksitas ini membuat kebijakan sangat rentan terhadap unintended consequences.

Sebagai contoh, sejumlah pasal dalam UU No. 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bertujuan untuk mencegah ujaran kebencian dan fitnah siber. Namun, keberadaannya justru menimbulkan keresahan. Banyak yang menganggapnya multitafsir antara penyampaian kritik dan pencemaran nama baik. Akibatnya, banyak orang dituntut dalam satu dekade terakhir, dan ironisnya, sebagian adalah korban kriminalisasi.

Asumsi yang tidak tepat juga dapat memicu timbulnya konsekuensi tak terduga dalam kebijakan publik. Keputusan yang dihasilkan oleh pembuat kebijakan umumnya didasarkan pada perkiraan reaksi masyarakat terhadap kebijakan yang akan diberlakukan. Namun, jika tidak dapat mengukur dengan benar, maka asumsi yang dihasilkan berisiko meleset, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kebijakan tidak efektif.

Misalkan, wacana perubahan kebijakan subsidi BBM menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) bertujuan untuk memastikan bantuan yang lebih tepat sasaran bagi kelompok masyarakat miskin. Namun, rendahnya tingkat pendidikan serta maraknya judi online berpotensi membuat bantuan disalahgunakan. Di sisi lain, seiring dengan meningkatnya biaya hidup, penghapusan subsidi BBM berisiko menimbulkan sentimen negatif bagi kelompok kelas menengah rentan yang jumlahnya kian bertambah, menciptakan ketidakpuasan di masyarakat.

Kurang intensifnya pemanfaatan data dan informasi, serta keterbatasan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi tantangan tersendiri dalam menghasilkan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Data yang tersedia seringkali memiliki akses terbatas, kurang mutakhir. Pengelolaannya yang berbeda antar lembaga, menyebabkan data berpotensi bias. Kondisi ini menghambat pemerintah dalam mencapai target yang ditetapkan.

Hasil pemeriksaan kinerja BPK atas upaya pemerintah daerah untuk menanggulangi kemiskinan TA 2021 menemukan bahwa 32 dari 34 pemerintah provinsi belum sepenuhnya menggunakan data kependudukan yang akurat dan relevan dalam merancang kebijakan penanggulangan kemiskinan beserta mitigasi risikonya. Alhasil, program yang dilaksanakan berpotensi tidak tepat sasaran, tidak terarah, dan tidak padu, menghambat upaya penanggulangan kemiskinan di tingkat nasional.

Proses formulasi kebijakan yang memakan waktu juga berpotensi menimbulkan time lag, yakni jeda antara perumusan kebijakan dengan penerapannya serta dampak yang dihasilkan. Ketika kondisi ini terjadi, pembuat kebijakan kehilangan momentum untuk menyelesaikan masalah yang ada. Kebijakan yang berhasil diformulasi pun boleh jadi tidak relevan karena permasalahan telah menjadi lebih rumit dan menimbulkan efek domino. Dampak tak termaksud pun menjadi semakin tak terelakkan.

Melihat kondisi di atas, lantas bagaimana seharusnya unintended consequences disikapi?

Pertama, perlu dilakukan identifikasi aktor kebijakan, baik di dalam dan luar pemerintah, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang posisi, kepentingan, dan sikap pemangku kepentingan. Lebih lanjut, siklus kebijakan yang erat dengan bukti empiris, administrasi publik, dan politik menuntut pembuat kebijakan untuk mampu mencari titik temu antara ketiganya. Dengan begitu, pembuat kebijakan dapat memvisualisasi konflik potensial antaraktor serta merancang strategi negosiasi dan kolaborasi yang efektif sejak tahap agenda setting.

Penting juga untuk menghindari empat jenis bias kebijakan: elite bias, power bias, interest bias, dan purpose bias. Keputusan pada tingkat atas dapat dipengaruhi oleh bias ini, padahal kepentingan tertentu tidak selalu mewakili kepentingan umum dan bisa saja keliru. Karena itu, pembuat kebijakan perlu fokus pada nilai dan tujuan, menggali akar masalah, bersikap objektif, dan menjalin pola komunikasi yang baik.

Partisipasi publik melalui audiensi hingga lokakarya juga akan membantu seluruh stakeholder berkomunikasi dan berdiskusi dalam rangka menjembatani alur pikir. Peran integral masyarakat menuntut aktor kebijakan menjadi lebih fleksibel dan responsif dalam beragam situasi. Hal ini menjadikan kebijakan lebih relevan dengan kondisi riil, adaptif terhadap perubahan, inklusif di seluruh lapisan, dan diharapkan dapat mengatasi dan mengantisipasi masalah.

Untuk mewujudkan itu semua, peran analis kebijakan dalam menyajikan rekomendasi kebijakan menjadi krusial melalui berbagai hasil kerja, seperti policy memo, policy brief, hingga policy paper, serta mengadvokasinya secara bottom-up hingga level pengambil keputusan. Namun, analis kebijakan tak cukup hanya fokus pada policy content, namun juga pada policy actors dan policy environment. Oleh sebab itu, kemampuan melihat masalah secara multidimensional diperlukan agar dapat memberi hasil kerja yang tak hanya berbasis bukti, namun juga substansial dan tajam.

Tak bisa dinafikan, unintended consequences adalah “kejutan” dari kebijakan dalam situasi yang tak pasti. Pembuat kebijakan harus mempertimbangkan berbagai risiko dan dampak yang mungkin timbul, sebab jika salah langkah dapat merugikan masyarakat dan menghambat pencapaian tujuan negara. Political will menjadi esensial, agar risiko dan dampak tak hanya ditimbang, namun juga dimitigasi agar pencapaian tujuan tetap terkawal.

Dengan menerapkan proses penyusunan kebijakan yang berorientasi pada nilai, mengadopsi pendekatan yang agile dan evaluatif, serta melibatkan semua unsur dalam siklus kebijakan, pembuat kebijakan dapat mengurangi potensi dampak tak termaksud secara holistik, menghasilkan kebijakan yang lebih efektif, berkelanjutan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

12/12/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
MAJALAHUncategorized

Majalah Warta Pemeriksa Edisi Oktober 2024

by admin2 11/12/2024
written by admin2

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2024 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pembahasan mengenai IHPS I Tahun 2024 menjadi salah satu isu yang diulas dalam majalah Warta Pemeriksa edisi Oktober 2024.

IHPS I Tahun 2024 merupakan ringkasan dari 738 laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang diselesaikan BPK pada semester I tahun 2024. IHPS ini juga mengungkap hasil pemantauan BPK yang meliputi pemantauan pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan, pemantauan penyelesaian ganti kerugian negara, serta pemantauan atas pemanfaatan LHP Investigatif, penghitungan kerugian negara, dan pemberian keteranan ahli.

Selain topik IHPS Semester I Tahun 2024, Redaksi Warta Pemeriksa juga membahas hasil pemeriksaan pemenuhan ketersediaan dan keterjangkauan pangan, pemeriksaan pengelolaan kas, bedah buku “Audit Lingkungan”, serta isu perdagangan karbon pada rubrik kolom.

Baca selengkapnya di Warta Pemeriksa Edisi Oktober 2024. Selamat menikmati.

11/12/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita FotoSLIDERUncategorized

Duduk Bersama, BPK dan BAKN DPR Bahas Subsidi Listrik dan Pupuk 

by admin2 05/12/2024
written by admin2

JAKARTA, WARTA PEMERIKSA—BPK dan BAKN melaksanakan focus group discussion (FGD) membahas tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan BPK atas subsidi listrik dan pupuk. Pada kegiatan yang berlangsung di Kantor Pusat BPK, Jakarta (3/12) ini, Anggota VII BPK Slamet Edy Purnomo memaparkan temuan-temuan pemeriksaan, isu strategis, dan rencana pemeriksaan subsidi dan kompensasi oleh BPK. 

Wakil Ketua BAKN, Andreas Eddy Susetyo dalam pertemuan menyoroti soal ketidaksesuaian data dalam pengelolaan subsidi, sistem administarasi data, serta sistem tata kelola distribusi pupuk yang dianggap terlalu rumit. BAKN DPR dorong BPK manfaatkan teknologi big data analytics dalam pemeriksaan subsidi pupuk dan listrik. 

05/12/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan Urgensi Kolaborasi Nasional
  • Hadiri SAI20 Summit 2025, Ketua BPK Dorong Kolaborasi Global
  • BPK dan UAEAA Perkuat Kerja Sama Pemeriksaan
  • Rampungkan Pemeriksaan WIPO, BPK Sampaikan Sejumlah Rekomendasi
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama

    02/07/2025
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan...

    01/07/2025
  • Hadiri SAI20 Summit 2025, Ketua BPK Dorong Kolaborasi...

    30/06/2025
  • BPK dan UAEAA Perkuat Kerja Sama Pemeriksaan

    26/06/2025
  • Rampungkan Pemeriksaan WIPO, BPK Sampaikan Sejumlah Rekomendasi

    23/06/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id