WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Friday, 4 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Tag:

stunting

BeritaBPK BekerjaIHPS II 2023SLIDER

Percepat Penurunan Stunting, BPK Soroti Regulasi Pengawasan Pangan Fortifikasi

by Admin 30/09/2024
written by Admin

JAKARTA, WARTA PEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melaksanakan pemeriksaan kinerja atas upaya pemerintah dalam percepatan penurunan prevalensi stunting tahun 2022 dan 2023. Pemeriksaan itu dilaksanakan pada tiga objek pemeriksaan (obrik) di pemerintah pusat, yaitu Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta pada 44 obrik di pemda yang terdiri atas 40 pemerintah kabupaten, 3 pemerintah kota, dan 1 pemerintah provinsi beserta instansi terkait lainnya.

Dalam pemeriksaan terhadap BPOM, BPK menemukan bahwa regulasi pengawasan pangan fortifikasi belum sepenuhnya memadai. Dikutip dari IHPS II 2023, kewenangan pengawasan pangan fortifikasi oleh pemerintah kabupaten/kota yang diatur dalam Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Prevalensi Stunting bertentangan dengan peraturan di atasnya yang menyatakan kewenangan pengawasan pangan fortifikasi berada di BPOM.

Hasil Pemeriksaan BPK atas Upaya Pemerintah dalam Percepatan Penurunan Prevalensi Stunting

Selain itu, Perpres Nomor 72 Tahun 2021 belum mengatur tugas dan wewenang BPOM sebagai K/L pendukung dalam kegiatan meningkatkan kualitas fortifikasi pangan. Akibatnya, pelaksanaan pengawasan pangan fortifikasi berpotensi menjadi kurang optimal; dan risiko tidak tercapainya target persentase pengawasan produk pangan fortifikasi di tahun 2024 sesuai Perpres Nomor 72 Tahun 2021.

BPK telah merekomendasikan kepada Kepala BPOM agar mengusulkan kepada Bappenas supaya memperjelas tugas dan wewenang BPOM sebagai K/L pendukung pada Perpres Nomor 72 Tahun 2021 terkait dengan pengawasan pangan fortifikasi.

Kemudian, BPK menemukan, pelaksanaan dan evaluasi pengawasan pangan fortifikasi pada BPOM belum sepenuhnya sesuai ketentuan. Pada pelaksanaan pengawasan pangan fortifikasi terdapat permasalahan di antaranya yakni terdapat perbedaan antara target dan realisasi lokasi pengambilan sampel pangan fortifikasi, terdapat pengambilan kesimpulan sampling yang belum memiliki referensi dan belum dimonitoring, serta pengambilan kesimpulan uji pangan fortifikasi belum sesuai pedoman sampling.

Selain itu, evaluasi laporan pelaksanaan sampel pangan fortifikasi juga belum optimal di mana masih terdapat hasil pengujian sampel makanan fortifikasi yang berstatus tidak memenuhi syarat (TMS) namun belum ditindaklanjuti serta pelaksanaan tindak lanjut atas hasil evaluasi yang tidak sesuai dengan pedoman tindak lanjut pengawasan pangan.

Akibatnya, pengambilan kesimpulan uji pangan fortifikasi berpotensi belum mendukung prinsip keamanan pangan dan penurunan prevalensi stunting, adanya risiko masyarakat tetap mengonsumsi bahan pangan fortifikasi yang telah diketahui tidak memenuhi standar mutu pangan dan tidak memiliki izin edar sesuai hasil pengawasan, dan tindak lanjut hasil pemeriksaan dan pengujian pangan fortifikasi belum sepenuhnya tepat sasaran.

BPK telah merekomendasikan kepada Kepala BPOM agar menginstruksikan Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan supaya memerintahkan Direktur Pengawasan Produksi Pangan Olahan (Wasprod PO) untuk memedomani pedoman sampling dan pengujian obat dan makanan dalam pengambilan kesimpulan uji pangan fortifikasi dan menindaklanjuti hasil pengawasan pangan fortifikasi sesuai dengan pedoman tindak lanjut pengawasan pangan.

30/09/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

BPK Lakukan Pemeriksaan Kinerja Percepatan Penurunan Stunting di Kemenkes, Ini Hasilnya

by Admin 1 30/08/2024
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melaksanakan pemeriksaan kinerja atas upaya pemerintah dalam percepatan penurunan prevalensi stunting tahun 2022 dan 2023. Pemeriksaan dilaksanakan terhadap 3 objek pemeriksaan (obrik) di pemerintah pusat.
Mulai dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kemudian termasuk juga 44 obrik di pemda yang terdiri atas 40 pemerintah kabupaten, 3 pemerintah kota, dan 1 pemerintah provinsi beserta instansi terkait lainnya.

Pemeriksaan upaya pemerintah dalam percepatan penurunan prevalensi stunting dilakukan untuk mengawal pelaksanaan Prioritas Nasional (PN) 3 pembangunan sumber daya manusia. Termasuk Program Prioritas (PP) 3 – peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan, khususnya Kegiatan Prioritas (KP) 1, yaitu peningkatan kesehatan ibu, anak, keluarga berencana, dan kesehatan reproduksi.

Pemanfaatan Big Data Analytics untuk Atasi Masalah Stunting

Kemudian KP 2 – percepatan perbaikan gizi masyarakat dan KP 5 – penguatan sistem kesehatan dan POM. Selain itu, pemeriksaan ini dilakukan sebagai upaya BPK mendorong pemerintah dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), yaitu tujuan ke-2, terutama pada target 2.2.

Di sini dijelaskan, menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi, termasuk pada tahun 2025 mencapai target yang disepakati secara internasional untuk anak pendek dan kurus di bawah usia 5 tahun. Kemudian memenuhi kebutuhan gizi remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui, serta manula.

BPK mencatat terdapat upaya yang telah dilakukan Kemenkes, BKKBN, BPOM, dan pemda untuk mencapai target prevalensi stunting sebesar 14 persen di tahun 2024. Hal itu antara lain capaian indikator intervensi spesifik tahun 2022 di Kemenkes telah melebihi target yang ditetapkan pada 4 indikator.

Hal ini antara lain, persentase ibu hamil yang mengonsumsi tablet tambah darah (TTD) minimal 90 tablet, persentase ibu hamil kurang energi kronis (KEK) mengonsumsi makanan tambahan berbasis pangan lokal sesuai standar. Kemudian persentase balita gizi kurang yang mendapat makanan tambahan, dan persentase balita gizi buruk yang mendapat tata laksana.

Selain itu, realisasi atas pembayaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai 96,6 juta jiwa dari target rencana kerja sebesar 96,8 juta jiwa. Meski begitu, hasil pemeriksaan menyimpulkan masih terdapat permasalahan yang apabila tidak segera diperbaiki, maka akan memengaruhi efektivitas upaya Kemenkes, BKKBN, dukungan BPOM, dan pemda dalam percepatan penurunan prevalensi stunting.

BPK menemukan bahwa Kemenkes belum sepenuhnya menyelenggarakan kebijakan perencanaan dan penganggaran program percepatan penurunan stunting (PPS) tahun 2022 dan 2023 dengan melibatkan multipihak. Mulai dari Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri.
Salah satu tujuan Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI) yang merupakan turunan dari Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting adalah melakukan penguatan upaya konvergensi perencanaan dan penganggaran PPS tingkat pusat, daerah, desa dan pemangku kepentingan yang berkesinambungan.

“BPK pun merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan agar memerintahkan sekretaris jenderal untuk berkoordinasi dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selaku Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Pusat.”

Kemenkes melalui Permenkes Nomor 48 Tahun 2017 telah menyusun pedoman perencanaan dan penganggaran bidang kesehatan meliputi perencanaan dan penganggaran yang menggunakan APBN dan sumber dana lain yang digunakan untuk dekonsentrasi dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun demikian, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Permenkes Nomor 48 Tahun 2017 dalam hal perencanaan, penganggaran, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi (monev) kegiatan pembiayaan JKN/Kartu Indonesia Sehat (KIS) belum mengacu pada Perpres Nomor 72 Tahun 2021.

Padahal di dalamnya menjelaskan bahwa PPS di Indonesia dilakukan secara holistik, integratif, dan berkualitas melalui koordinasi antarpihak. Hal ini mengakibatkan adanya risiko pelaksanaan program kegiatan intervensi spesifik dan intervensi sensitif dalam rangka PPS di lingkungan Kemenkes tidak sesuai sasaran pada Perpres Nomor 72 Tahun 2021.

BPK pun merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan agar memerintahkan sekretaris jenderal untuk berkoordinasi dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selaku Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Pusat terkait perencanaan dan penganggaran program PPS. BPK juga menginstruksikan unit kerja terkait agar dalam menyusun perencanaan dan penganggaran terkait percepatan penurunan stunting menggunakan data Keluarga Risiko Stunting (KRS) dan sasaran Perpres Nomor 72 Tahun 2021.

BPK juga menemukan Kemenkes belum melaksanakan monitoring data rutin melalui Aplikasi Sistem Informasi Gizi (Sigizi) Terpadu dalam modul aplikasi pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-PPGBM) secara memadai. Kualitas data rutin dalam aplikasi/modul e-PPGBM belum sepenuhnya mencakup kelengkapan data, akurasi data, ketepatan waktu, dan konsistensi data. Sementara data rutin terkait gizi dan stunting belum sepenuhnya terintegrasi melalui Aplikasi Sehat IndonesiaKu (ASIK).

Selain itu, data pada aplikasi/modul e-PPGBM belum dimanfaatkan sebagai pertimbangan dalam pelaksanaan intervensi spesifik. Hal ini mengakibatkan adanya potensi tidak tercapainya tujuan dari Aplikasi Sigizi Terpadu yaitu memperoleh informasi status gizi individu dan kinerja program gizi secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan untuk penyusunan perencanaan dan perumusan kebijakan gizi untuk mendukung PPS.
BPK juga telah merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan agar memerintahkan sekretaris jenderal untuk menginstruksikan Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) mereviu hasil pekerjaan yang telah diselesaikan (product review). Termasuk pelaksanaan rilis penerapan sistem informasi (aplikasi dan basis data) ASIK.

Mayoritas Pemda Belum Masukkan Program Stunting ke dalam RPJMD

BPK juga merekomendasikan berkoordinasi dengan Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Antara lain untuk mengidentifikasi kebutuhan dan kelemahan dalam rangka mengintegrasikan data pada aplikasi/modul e-PPGBM ke ASIK. Kemudian Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat untuk melaksanakan pengendalian aplikasi yang meliputi pengendalian kelengkapan, pengendalian akurasi, dan pengendalian terhadap keandalan pemrosesan dan file data.

Rekomendasi juga memerintahkan Direktur Gizi dan KIA untuk melakukan verifikasi dan validasi secara berkala atas hasil analisis data pada aplikasi/modul e-PPGBM. Kemudian mengidentifikasi kelemahan dan kebutuhan menu pelaporan pada aplikasi/modul e-PPGBM secara lengkap untuk menjamin tersedianya data rutin yang berkualitas.

30/08/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita TerpopulerInfografikSLIDERSorotan

Hasil Pemeriksaan BPK atas Upaya Pemerintah dalam Percepatan Penurunan Prevalensi Stunting

by Ratna Darmayanti 23/07/2024
written by Ratna Darmayanti

PEMERIKSAAN kinerja atas upaya pemerintah dalam percepatan penurunan prevalensi stunting tahun 2022 dan 2023 telah dilaksanakan pada 3 obrik di pemerintah pusat, yaitu Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta pada 44 obrik di pemda yang terdiri atas 40 pemerintah kabupaten, 3 pemerintah kota, dan 1 pemerintah provinsi beserta instansi terkait lainnya. Infografis berikut ini menyajikan apa saja upaya pemerintah dalam percepatan penurunan prevalensi stunting, serta apa saja permasalahan dan rekomendasi dari hasil pemeriksaan BPK.

23/07/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita FotoBPK BekerjaSLIDER

Pemanfaatan Big Data Analytics untuk Atasi Masalah Stunting

by admin2 23/07/2024
written by admin2

BALI, WARTA PEMERIKSA-  Wakil Ketua BPK, Hendra Susanto menyampaikan pentingnya pemanfaatan big data dan data science dalam menangani masalah kesehatan global seperti stunting. Di hadapan peserta dari 12 negara yang mengikuti International Training on Big Data Analytics: Implementing Data Science with a Case Study on Stunting yang dilaksanakan di Badiklat PKN Bali (22/7), Hendra menyampaikan bahwa, “dengan memanfaatkan Big Data Analytics,  auditor dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang akar penyebab, prevalensi, dan efektivitas intervensi yang berkaitan dengan masalah stunting.” 

Pemanfaatan Big Data Analytics oleh auditor membuat rekomendasi mengenai penanganan stunting menjadi lebih akurat dan dapat ditindaklanjuti pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Hal ini menjadi kontribusi dalam peningkatan kualitas kesehatan secara keseluruhan.

23/07/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaIHPS II 2023SLIDERSorotan

Mayoritas Pemda Belum Masukkan Program Stunting ke dalam RPJMD

by Admin 1 25/06/2024
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Program pemerintah pusat dalam menurunkan prevalensi stunting perlu mendapatkan dukungan lebih dari pemerintah daerah (pemda). Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat sejumlah permasalahan yang perlu diperbaiki oleh pemda dalam menurunkan angka stunting.

Hasil temuan BPK mengungkapkan bahwa mayoritas pemda belum mengintegrasikan kebijakan percepatan penurunan stunting ke dalam dokumen perencanaan daerah. Hal tersebut terungkap dalam pemeriksaan kinerja yang dilakukan BPK atas upaya pemerintah dalam percepatan penurunan prevalensi stunting tahun 2022 dan 2023.

“Akibatnya, perencanaan pemerintah daerah untuk percepatan penurunan prevalensi stunting berpotensi tidak mendukung pencapaian target nasional.”

Pemeriksaan itu dilaksanakan pada 3 objek pemeriksaan di pemerintah pusat, yaitu Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Termasuk juga 44 obrik di pemda yang terdiri atas 40 pemerintah kabupaten, 3 pemerintah kota, dan 1 pemerintah provinsi beserta instansi terkait lainnya.

BPK menemukan bahwa pemda belum sepenuhnya mengintegrasikan kebijakan percepatan penurunan prevalensi stunting ke dalam dokumen perencanaan berupa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Hasil pemeriksaan uji petik pada 44 pemda, terdapat 40 (90,91 persen) pemda yang belum sepenuhnya mengintegrasikan kebijakan percepatan penurunan stunting dalam dokumen perencanaan daerah.

Hal tersebut di antaranya terdapat pemda yang belum memuat target penurunan prevalensi stunting pada RPJMD dan RKPD, dan target pelaksanaan intervensi spesifik maupun sensitif pada dokumen perencanaan pada pemda belum sepenuhnya selaras dengan target nasional pada RPJMN.

“Akibatnya, perencanaan pemerintah daerah untuk percepatan penurunan prevalensi stunting berpotensi tidak mendukung pencapaian target nasional,” demikian disampaikan BPK dalam IHPS II 2023.

BPK telah merekomendasikan kepada Kepala Daerah agar Kepala Bappeda, dalam menyusun Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (P-RPJMD) tahun 2021-2026 dan RKPD terkait target penurunan prevalensi stunting supaya berpedoman pada RPJMN dan Koordinator Bidang Koordinasi, Konvergensi, dan Perencanaan TPPS Kabupaten/Kota supaya melakukan langkah-langkah proaktif untuk mengoordinasikan, menyinkronisasikan, dan memastikan pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan Percepatan Penurunan Stunting antar Perangkat Daerah dan Pemerintah Desa. Terutama di lokasi intervensi prioritas lokus stunting.

Menelaah Faktor-Faktor Lambatnya Penanganan “Stunting” di Sulawesi Tenggara

Permasalahan lainnya adalah pemda belum sepenuhnya melaksanakan pencatatan dan pelaporan kegiatan percepatan penurunan stunting melalui sistem informasi secara andal. Hasil pemeriksaan uji petik pada 44 pemda menunjukkan bahwa pencatatan dan pelaporan kegiatan percepatan penurunan prevalensi stunting melalui sistem informasi e-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM), Sistem Informasi Keluarga (SIGA), Elektronik Siap Nikah dan Hamil (Elsimil), dan portal Aksi Bangda pada seluruh pemda belum menghasilkan data yang berkualitas (lengkap, akurat, konsisten dan tepat waktu).

Selain itu, data dan laporan kegiatan percepatan penurunan stunting belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk perencanaan dan penganggaran periode berikutnya dan keperluan monitoring dan evaluasi.

Akibatnya, data yang tersedia pada aplikasi e-PPGBM, Elsimil, Siga/New Siga, dan Aksi Bangda belum dapat dimanfaatkan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam melaksanakan perencanaan, penganggaran, dan monitoring evaluasi kegiatan percepatan penurunan prevalensi stunting.

Ingatkan Komitmen Daerah, BPK Ungkap Masalah Terkait Penanganan Stunting

BPK telah merekomendasikan kepada kepala daerah agar kepala Bappeda bersama dengan kepala Dinkes dan kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk melakukan verifikasi dan validasi kelengkapan, keakuratan, konsistensi data yang diinput dalam aplikasi e-PPGBM, SIGA, Elsimil, dan Aksi Bangda.

Selain itu, kepala daerah diminta memastikan ketepatan waktu penginputannya dan berkoordinasi dengan perangkat daerah terkait untuk mengidentifikasi kesenjangan data dalam aplikasi Aksi Bangda dan menyusun rencana tindak lanjutnya.

25/06/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDER

Menelaah Faktor-Faktor Lambatnya Penanganan “Stunting” di Sulawesi Tenggara

by Admin 19/04/2024
written by Admin

Ditulis oleh AM Zdavir Sapada, Pemeriksa BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara 

Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Gangguan pertumbuhan ini yditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar yang ditetapkan, sehingga berpotensi menghambat dan mengganggu tumbuh-kembang anak baik secara fisik dan kognitif (Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 dan UNICEF).

Peristiwa stunting ini disebut-sebut berpotensi terjadi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) anak, yang jika gagal ditangani, dapat mengganggu potensi SDM Indonesia. 

Dalam perjalanannya, tampaknya, penanganan stunting memperlihatkan perkembangan yang cukup menggembirakan pada skala nasional. Hal ini terlihat dari menurunnya angka stunting yang pada tahun 2018 mencapai 30,8 persen menjadi 21,6 persen pada tahun 2022 (Survei Status Gizi Indonesia/SSGI: 2022).

Penurunan (kemajuan) sebesar 9,2 persen poin ini ini mungkin berkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil yang pada tahun 2018 bertumbuh 5,17 persen dan pada tahun 2022 bertumbuh 5,53 persen (BPS). Karena besarnya perhatian pemerintah terhadap stunting melalui hadirnya berbagai program, tak heran, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) juga turut mengevaluasi program tersebut melalui laporan pemeriksaan. 

Penanganan stunting memperlihatkan perkembangan yang cukup menggembirakan

Namun demikian, sayangnya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara belum mampu mengikuti kinerja yang pesat dari berbagai provinsi lainnya. Hal ini terlihat dari data yang disajikan SSGI, dimana jumlah stunting di Sultra yang pada tahun 2018 mencapai 28,7 persen, hanya menurun 1 persen poin pada tahun 2022 menjadi 27,7 persen (op.cit).

Angka tersebut berada di atas rata-rata nasional dan membuat peringkat stunting Sultra melonjak dari peringkat 22 pada tahun 2018 menjadi peringkat 9 tertinggi nasional pada tahun 2022. Lebih jauh, kinerja pemerintah daerah dan komitmen terhadap penurunan angka stunting patut dipertanyakan, mengingat hanya terjadi penurunan sebesar 1 persen poin dalam lima tahun terakhir.

Indikator stunting dan faktor-faktor perkembangan stunting
Untuk menangani hal ini, diperlukan pemetaan terkait akar masalah mengapa Sultra tak kunjung mampu mengimbangi kinerja stunting provinsi lain. Dalam menjelaskan kinerja stunting Provinsi Sulawesi Tenggara, Laporan Indeks Khusus Penanganan Stunting/IKPS (BPS: 2021) mungkin dapat memberikan insight terkait akar masalah tersebut. Laporan IKPS menyajikan data terkait bagaimana kemajuan penanganan stunting yang dilakukan oleh masing-masing pemerintah provinsi. IKPS sendiri merupakan indeks gabungan (composite index) yang terdiri atas sejumlah indeks: Indeks Kesehatan, Indeks Gizi, Indeks Perumahan, Indeks Pangan, Indeks Pendidikan, dan Perlindungan Sosial.

Lebih mendalam lagi, masing-masing indeks ini juga terdiri dari sejumlah indikator (istilah yang digunakan Kemenkes adalah dimensi). Indikator Kesehatan misalnya, terdiri dari indikator imunisasi, penolong persalinan oleh tenkes di faskes, dan KB modern; indickator perlindungan sosial terdiri dari Kepemilikan JKN/Jaminan Kesehatan Nasional dan Penerima KPS/Kartu Perlindungan Sosial.

Ingatkan Komitmen Daerah, BPK Ungkap Masalah Terkait Penanganan Stunting

Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa IKPS Sultra hanya meningkat 3,9 persen dari tahun 2018 ke tahun 2021, dibanding peningkatan yang dialami seluruh provinsi lainnya sebesar 7,69 persen pada rentang tahun yang sama. Lambatnya kinerja IKPS Provinsi Sultra ini mungkin dapat menjelaskan akan rendahnya kinerja stunting Sultra.

Jika ditilik secara lebih mendalam, terjadi penurunan tajam pada dua indicator di Sulawesi Tenggara yang mungkin menjadi penghambat atas kemajuan penanganan stunting, dua indikator tersebut adalah “Ketidakukupan konsumsi pangan” (menurun sebesar 6,8 persen) dan “Penerima KPS” (menurun 26,5 persen poin).

Dalam penjelasannya, Indeks “Ketidakukupan konsumsi pangan” merupakan kondisi persentase penduduk dengan konsumsi makanan yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minimum energi untuk hidup sehat dan aktif sesuai umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiknya.

Lebih jauh, faktor yang mempengaruhi indikator ini mencakup kemiskinan, daya beli rumah tangga, pengetahuan gizi, ketersediaan pangan, pendapatan, dan sejumlah hal lainnya. Berbagai faktor ini diduga turut mempengaruhi atas ketidakcukupan konsumsi pangan, yang juga dapat dijelaskan pada Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) Sultra pada tahun 2018 yang mencapai 135,353, menurun menjadi 106,425 pada tahun 2021 (BPS Sultra: 2023).

Sementara itu, penjelasan logis terkait penerima KPS yang menurun tajam sebesar 26,5 persen poin adalah kian meningkatnya jumlah penduduk di tengah krisis Covid (dan pasca Covid) yang tidak mampu dijangkau melalui peningkatan KPS (baik akibat tidak adanya peningkatan jumlah KPS maupun salah salur). Hal ini diperkuat oleh berbagai temuan audit BPK-RI PWK Sultra yang menunjukkan berbagai bantuan KPS yang salah salur di berbagai kabupaten.

Bagaimana intervensi pemerintah?
Dalam upaya menurunkan angka stunting, pemerintah menetapkan stunting sebagai isu prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan target penurunan yang signifíkan dari kondisi 24,4persen pada 2021 menjadi 14persen pada 2024. Selain itu, untuk menekan angka stunting, maka pemerintah berupaya “memerangi” stunting dengan turut memprioritaskan 12 daerah yang menjadi target utama program stunting, yang mana Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi salah satu di antaranya.

Karena besarnya perhatian stunting oleh pemerintah, BPK juga turut mengevaluasi program tersebut melalui laporan pemeriksaan. Lebih jauh, Pemerintah melalui Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting menyinggung terkait upaya dan strategi dalam memerangi stunting yang dilakukan melalui berbagai upaya yang mencakup intervensi spesifik dan intervensi sensitif yang dilaksanakan secara konvergen, holistik, integratif, dan berkualitas melalui kerja sama multisektor dipusat, daerah dan desa. 

LHP Kinerja Penanganan Stunting

Dalam penjelasannya, intervensi spesifik didefinisikan sebagai kegiatan yang dilaksanakan untuk mengatasi penyebab langsung terjadinya stunting. Contoh dari tindakan (intervensi) ini adalah pemberian makanan (yang juga memperhatikan pemenuhan asupan gizi dan nutrisi) bagi ibu hamil dari kelompok miskin, suplementasi tablet tambah darah, promosi (pengayaan dan penggalakan informasi) dan konseling menyusui, MPASI dan lain sebagainya.

Sementara itu, intervensi sensitif kegiatan adalah yang dilaksanakan untuk mengatasi penyebab tidak langsung terjadinya stunting. Contoh dari tindakan ini adalah upaya pencegahan perkawinan anak dan pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan, penyediaan jaminan kesehatan, penyediaan jaminan bantuan sosial, pemenuhan ketahanan pangan keluarga miskin, dan sejenisnya. Melalui definisi dan contoh tersebut, pemerintah pusat secara jelas menunjukkan keseriusan dengan melibatkan multi-sektor dan multi-pihak agar dapat bekerja secara padu melalui kebijakan yang integrative. 

Namun demikian, komitmen pemerintah pusat jelas perlu diikuti dengan keseriusan pemerintah daerah (khususnya Sulawesi Tenggara) dalam menerapkan strategi tersebut, serta mengevaluasi kekurangan dan keterlambatan progress penanganan stunting selama ini (misal, meningkatkan penerima jumlah KPS dan juga tingkat keakuratan penyalurannya menurut data IKPS yang Pemprov Sultra gagal tangani). Karenanya, juga dibutuhkan sinkronisasi program antar-pihak agar tercapai tujuan dan kebijakan yang padu, efektif, dan efisien.

Komitmen pemerintah pusat dalam menangani stunting perlu diikuti dengan keseriusan pemerintah daerah

Untuk menggenapi upaya ini, maka pemerintah perlu penguatan dengan belajar dari kasus pengalaman negara lain maupun maupun inefektivitas dari kebijakan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Dalam berbagai penelitian, disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi berbasis target yang menyasar kelompok tertentu dapat mengurangi dan mengentaskan stunting (Mary: 2018).

Hal ini dapat dicapai melalui pelibatan kelompok miskin dalam pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan dasarnya melalui pertumbuhan produktivitas sektor tertentu (dalam hal ini, dapat berupa Sektor Pertanian, Perkebunan, dan Kelautan). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ni’mah dan Nadhiroh (2010) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara panjang badan lahir balita, riwayat ASI eksklusif, pendapatan keluarga, pendidikan ibu dan pengetahuan gizi ibu terhadap kejadian stunting pada balita. 

Akan tetapi, hambatan yang kini dihadapi oleh berbagai pihak yang mengemban amanat untuk memerangi stunting adalah hadirnya berbagai data yang berbeda, yang juga berasal dari berbagai Lembaga/badan yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari penderita stunting yang berada pada laman Kemendagri yang menunjukkan bahwa pada tahun 2018, penderita stunting di Provinsi Sultra mencapai 15 persen, dan pada tahun 2021 mencapai 18,5 persen.

Program Penurunan Stunting di Jabar Perlu Diperbaiki

Sementara itu, data yang dirilis oleh Kemenkes melalui Laporan IKHS menyebutkan bahwa stunting pada 28,7 persen, dan pada tahun 2021 mencapai 27,7 persen. Selain itu, BPS juga merilis data terakhir stunting pada tahun 2018 mencapai 10,1 persen. 

Perbedaan data ini dapat menimbulkan kebingungan dan polemik pada jajaran yang terlibat dalam menangani kasus stunting, yang berpotensi mengakibatkan kekeliruan dalam alokasi sumber daya, inefisiensi pemanfaatan sumber daya dan anggaran, dan pada akhirnya pemborosan anggaran. Padahal, dibutuhkan data yang menyeluruh, padu dan sinkron sebagai landasan dasar perumusan kebijakan. Karenanya, diperlukan satu data padu dan lengkap yang terintegrasi yang mampu mengarahkan berbagai jajaran yang terlibat terkait kondisi riil di lapangan, sehingga pemangku kebijakan dapat merumuskan kebijakan program dan penganggaran secara tepat.

Perbedaan data dapat menimbulkan kebingungan dan polemik pada jajaran yang terlibat dalam menangani kasus stunting

Untuk melakukan hal ini, Kemenkes perlu mengambil leading role, dan jajaran kementerian/lembaga lainnya perlu menyingkirkan ego sektoral. Mengingat, tercapainya tujuan penurunan stunting dapat berarti menjamin SDM Indonesia yang sehat, dan karenanya mendukung Indonesia yang lebih produktif dan sejahtera di waktu yang akan datang.

19/04/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Ilustrasi anak-anak (Sumber foto: Freepik).
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Ingatkan Komitmen Daerah, BPK Ungkap Masalah Terkait Penanganan Stunting

by Admin 1 03/08/2023
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) turut aktif mendukung upaya pemerintah dalam mengatasi stunting dengan melaksanakan sejumlah pemeriksaan. Salah satunya, pemeriksaan dilakukan atas upaya percepatan pencegahan dan penurunan stunting TA 2021 sampai triwulan III 2022 yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan (Pemkab TTS) dan instansi/pihak terkait lainnya.

BPK Terus Kawal Program Nasional, Ini Bentuknya

Kesimpulannya, masih ditemukan permasalahan yang apabila tidak segera diatasi oleh Pemkab TTS akan memengaruhi upaya percepatan pencegahan dan penurunan stunting. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, terungkap bahwa Pemkab TTS telah menetapkan tim percepatan penurunan stunting (TPPS) tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa.

Pada 2021, sebanyak 156 desa ditetapkan sebagai desa lokus melalui Keputusan Bupati TTS Nomor 256/KEP/HK/2020 tentang Penetapan Desa dan Kelurahan Lokasi Intervensi Stunting Kabupaten TTS tahun 2021. Sedangkan pada 2022, sebanyak 25 desa telah ditetapkan sebagai desa lokus melalui Keputusan Bupati TTS Nomor 121/KEP/HK/2021 tentang Penetapan Lokasi Prioritas Pencegahan dan Penanganan Stunting Terintegrasi Kabupaten TTS tahun 2022.

Dikutip dari IHPS II 2022, BPK menemukan permasalahan antara lain pelaksanaan komitmen dan visi kepemimpinan Pemkab TTS belum sepenuhnya mendukung upaya percepatan pencegahan dan penurunan stunting. Hal itu terlihat pada dokumen perencanaan berupa Renstra, RKPD Tahunan dan Renja OPD tahun 2021 dan 2022.

Hasil reviu atas dokumen perencanaan Renstra, RKPD, dan Renja terkait penurunan prevalensi stunting TA 2021 sampai triwulan III 2022 menunjukkan Pemkab TTS belum sepenuhnya mengintegrasikan program kegiatan penurunan stunting dalam dokumen RKPD tahun 2021 dan 2022. Program percepatan pencegahan dan penurunan stunting pun belum sepenuhnya terintegrasi dalam dokumen perencanaan Renstra 2019-2024 dan Renja 2021-2022 Dinas Konvergensi Kabupaten TTS.

“BPK merekomendasikan kepada Kepala Dinas Kesehatan agar menyusun Peraturan Bupati TTS tentang standar acuan pemberian makanan tambahan (PMT) pangan lokal yang memuat standar pemenuhan gizi, rekomendasi menu pangan lokal, dan standar harga PMT.”

Akibatnya, tidak terdapat penilaian indikator pencapaian atas program kegiatan yang bisa digunakan untuk menilai keberhasilan program kegiatan intervensi sensitif. Karenanya, BPK memberikan rekomendasi kepada sejumlah pihak.

Rekomendasi diberikan kepada Kepala Bappeda, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika, Kepala Dinas Sosial, Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten TTS. Yaitu agar memerintahkan pengintegrasian program pencegahan dan penurunan stunting sebagai program prioritas ke dalam dokumen Rencana Kerja OPD sehingga selaras dengan dokumen RKPD Kabupaten TTS.

Selain itu, BPK merekomendasikan kepada pihak-pihak tersebut untuk mengusulkan alokasi anggaran dan melakukan penandaan (tagging) terkait program pencegahan dan penurunan stunting. BPK juga menemukan permasalahan pelaksanaan konvergensi program pada Pemkab TTS belum mendukung upaya percepatan pencegahan dan penurunan stunting.

Program Penurunan Stunting di Jabar Perlu Diperbaiki

Program intervensi spesifik berupa cakupan pemberian makanan tambahan (PMT) kepada balita stunting dan ibu hamil kurang energi kronis (KEK) masih rendah. Akibatnya, angka capaian prevalensi stunting dari upaya intervensi sensitif berpotensi tidak mencapai target sesuai RPJMD-P Kabupaten TTS.

BPK merekomendasikan kepada Kepala Dinas Kesehatan agar menyusun Peraturan Bupati TTS tentang standar acuan pemberian makanan tambahan (PMT) pangan lokal yang memuat standar pemenuhan gizi, rekomendasi menu pangan lokal, dan standar harga PMT.

03/08/2023
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Program Penurunan Stunting di Jabar Perlu Diperbaiki

by Admin 1 23/06/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kinerja atas Efektivitas Komitmen dan Konvergensi Program dalam Percepatan Pencegahan dan Penurunan Stunting Tahun Anggaran 2019 dan 2020 pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar). LHP tersebut diserahkan bersamaan dengan penyerahan LHP Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Jabar tahun anggaran 2020 pada akhir Mei lalu.

Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono yang menyerahkan LHP tersebut menyampaikan, BPK dalam pemeriksaan kinerja menemukan masalah signifikan yang dapat mempengaruhi efektivitas upaya Pemprov Jabar dalam melaksanakan Komitmen dan Kovergensi Program dalam Percepatan Pencegahan dan Penurunan Stunting Tahun Anggaran 2019 dan 2020. Salah satu masalah tersebut, yaitu program percepatan pencegahan dan penurunan stunting belum sepenuhnya terintegrasi dalam dokumen perencanaan Pemprov Jabar.

Kemudian, Pemprov Jabar belum menyusun panduan teknis strategi pelibatan non-pemerintah dalam percepatan pencegahan dan penurunan stunting. Ketiga, Pemprov Jabar belum memberikan bantuan tenaga teknis untuk memperkuat kapasitas kabupaten/kota dalam melaksanakan Delapan Aksi Konvergensi.

“Pemeriksaan kinerja ini dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa prevalensi balita stunting di Jawa Barat pada tahun 2018 dan 2019 masing-masing mencapai 31,1 persen dan 26,2 persen, masih di atas standar WHO yaitu kurang dari 20 persen,” kata Wakil Ketua BPK.

Salah satu prioritas pembangunan daerah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018-2023 Provinsi Jawa Barat adalah Desentralisasi Layanan Kesehatan. Hal tersebut diterjemahkan melalui Program “Jabar Juara” yang disebut dengan Program Ibu dan Anak Juara.

Melalui Program Ibu dan Anak Juara, diharapkan permasalahan gizi buruk dapat diatasi sehingga pencapaian Jabar Zero Stunting dapat diwujudkan sesuai target prevalensi stunting, yaitu 19 persen pada 2023.

23/06/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail

Berita Lain

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan Urgensi Kolaborasi Nasional
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025

    04/07/2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama

    02/07/2025
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan...

    01/07/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id