pemeriksaan investigatif
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyerahkan laporan hasil pemeriksaan investigatif (LHP PI) dan penghitungan kerugian negara (PKN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kantor BPK Jakarta, Senin (15/1/2024). Pemeriksaan Investigatif dan PKN ini dilakukan BPK berdasarkan permintaan dari KPK.Â
Ada dua LHP PKN yang diserahkan BPK. Pertama, LHP PKN atas Pengadaan Sistem Proteksi Tenaga Kerja Indonesia pada Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun anggaran 2012.Â
Berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK menyimpulkan adanya penyimpangan-penyimpangan berindikasi tindak pidana yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam proses perencanaan pengadaan, pemilihan penyedia, pelaksanaan dan pembayaran hasil pekerjaan. Hal ini mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp17,68 miliar.
Kedua, LHP PKN atas Pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) Corpus Christi Liquefaction LLC pada PT Pertamina (Persero).
Berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK menyimpulkan adanya penyimpangan-penyimpangan berindikasi tindak pidana yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam proses pengadaan LNG Corpus Christi Liquefaction LLC. Penyimpangan itu mengakibatkan kerugian keuangan negara pada PT Pertamina (Persero) sebesar 113,83 juta dolar AS.
Adapun LHP ketiga yang diserahkan BPK adalah LHP Pemeriksaan Investigatif atas Kegiatan Investasi berupa Akuisisi Perusahaan Maurel & Prom (M&P) oleh PT Pertamina (Persero) melalui PT Pertamina Internasional Eksplorasi dan Produksi (PIEP) Tahun 2012-2020. Berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK menyimpulkan adanya penyimpangan-penyimpangan berindikasi tindak pidana yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam kegiatan investasi tahun 2012-2020 pada PT Pertamina (Persero) yang mengakibatkan indikasi kerugian keuangan negara pada PT Pertamina (Persero) setidaknya sebesar 60 juta dolar AS.
Penyerahan LHP dilakukan oleh Wakil Ketua BPK Hendra Susanto kepada Ketua KPK Nawawi Pomolango. “Besar harapan kami dua LHP PKN tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dalam proses penuntutan dan pengadilan kasus, dan satu LHP PI dapat dimanfaatkan untuk memproses lebih lanjut kasus terkait ke tahap penyidikan,†jelas Hendra Susanto.Â
Kegiatan penyerahan LHP juga dihadiri Ketua BPK Isma Yatun, Anggota I BPK Nyoman Adhi Suryadnyana, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, serta Tortama Investigasi BPK dan Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK.
Sebagai informasi, dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pemeriksaan Investigatif, Penghitungan Kerugian Negara/Daerah (PKN/D), dan Pemberian Keterangan Ahli (PKA), disebutkan bahwa BPK melaksanakan PI guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana dalam lingkup pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.Â
Sedangkan PKN dilakukan untuk mengungkap ada atau tidaknya kerugian negara/daerah, dan dilakukan oleh BPK dalam proses penyidikan suatu tindak pidana oleh instansi yang berwenang.
Laksanakan Pemeriksaan Investigatif, Ini Indikasi Kerugian yang Disampaikan BPK
JAKARTA, WARTAPEMERISKA — Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2023 memuat hasil pemantauan sampai dengan semester I 2023 atas pemanfaatan laporan hasil pemeriksaan investigatif (PI) dan pemeriksaan kerugian negara (PKN). Termasuk juga pemberian keterangan ahli (PKA) yang diterbitkan periode 2017-semester I 2023.
Pemantauan dilakukan terhadap pemanfaatan laporan hasil PI dalam proses penyidikan dan penyelidikan, pemanfaatan laporan hasil PKN dalam penyiapan P-21 (berkas penyidikan sudah lengkap) dan proses penyidikan. Kemudian PKA yang dihadiri BPK untuk digunakan dalam tuntutan oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Pada periode 2017-semester I 2023, BPK menyampaikan 25 laporan hasil PI dengan nilai indikasi kerugian negara/daerah sebesar Rp31,55 triliun dan 363 laporan hasil PKN dengan nilai kerugian negara/daerah sebesar Rp58,62 triliun kepada instansi yang berwenang. BPK juga telah melaksanakan PKA atas 362 kasus pada tahap persidangan.
BPK mengungkapkan, dari 25 laporan hasil PI yang sudah disampaikan, 8 laporan telah dimanfaatkan dalam proses penyelidikan, dan 17 laporan dimanfaatkan dalam proses penyidikan. Sebanyak dua laporan PI dilaksanakan pemerintah pusat, 11 laporan pemerintah daerah dan badan usaha milik daerah (BUMD), dan 12 laporan badan usaha milik negara (BUMN).
Kemudian, dari 363 laporan hasil PKN yang telah disampaikan, 56 laporan sudah dimanfaatkan dalam proses penyidikan dan 307 kasus sudah dinyatakan P-21 (berkas penyidikan sudah lengkap). Dari laporan tersebut, sebanyak 66 PKN dilaksanakan pemerintah pusat, 246 PKN pemerintah daerah dan BUMD, serta 51 PKN BUMN.
Selain itu, untuk 362 pemberian keterangan ahli di persidangan seluruhnya digunakan dalam tuntutan oleh JPU. Secara lebih detail, sebanyak 65 PKA dilakukan tingkat pemerintah pusat, 238 PKA pemerintah daerah dan BUMD, dan 59 PKA BUMN.
Ini Tata Cara Tugas Pemeriksaan Investigatif dan Penghitungan Kerugian Negara BPK
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendapatkan mandat untuk melaksanakan pemeriksaan investigatif (PI) guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Selain itu, BPK juga dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
Terkait kewenangan itu, BPK telah menyusun Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pemeriksaan Investigatif, Penghitungan Kerugian Negara/Daerah (PKN/D), dan Pemberian Keterangan Ahli (PKA).
“BPK juga dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. Keterangan ahli dilakukan oleh anggota BPK dan/atau pelaksana BPK berdasarkan penugasan BPK.”
Dalam aturan tersebut dijelaskan, BPK melaksanakan PI guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana dalam lingkup pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Pemeriksaan investigasi dapat dilakukan oleh BPK, berdasarkan permintaan dari lembaga perwakilan dan/atau instansi yang berwenang dan pengembangan hasil pemeriksaan. Atau juga hasil analisis dan/atau evaluasi atas informasi yang diterima oleh BPK mengenai adanya penyimpangan pengelolaan keuangan dan tanggung jawab keuangan negara.
Dalam pelaksanaan pemeriksaan investigatif, BPK berwenang meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan investigatif. Kemudian mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas yang menjadi objek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu. Lalu, melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen pengelolaan keuangan negara.
Selain itu, BPK juga dapat meminta keterangan dan/atau melakukan pemanggilan kepada seseorang, memotret, merekam, dan/atau mengambil bukti yang diperlukan sebagai alat bantu pemeriksaan, menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa dari luar BPK. Kemudian melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang untuk memperoleh masukan terkait dengan unsur pidana dan melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang dan/atau instansi lain untuk memperoleh bukti pemeriksaan.
BPK kemudian menyusun laporan hasil pemeriksaan investigatif setelah pemeriksaan investigatif selesai dilakukan. Laporan hasil pemeriksaan investigatif bersifat rahasia.
“Apabila dalam pemeriksaan investigatif ditemukan adanya unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang,” ungkap aturan tersebut.
Sementara, terkait penghitungan kerugian negara/daerah, dilakukan melalui pemeriksaan investigatif. Tujuannya, untuk mengungkap ada atau tidaknya kerugian negara/daerah termasuk menghitung nilai kerugian negara/daerah yang terjadi sebagai akibat dari penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah. Penghitungan kerugian negara/daerah dilakukan oleh BPK dalam proses penyidikan suatu tindak pidana oleh instansi yang berwenang.
“Dalam memberikan keterangan ahli, ahli dapat memperoleh bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dalam beleid tersebut dijelaskan, penghitungan kerugian negara/daerah dilakukan berdasarkan permintaan dari instansi yang berwenang. Instansi yang berwenang wajib menyediakan dokumen pendukung dalam rangka penghitungan kerugian negara/daerah.
Untuk melaksanakan penghitungan kerugian negara/daerah, BPK memperoleh bukti pemeriksaan melalui instansi yang berwenang. Bukti pemeriksaan dapat pula diperoleh BPK dari pihak lain sesuai kewenangan BPK.
BPK juga dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. Keterangan ahli dilakukan oleh anggota BPK dan/atau pelaksana BPK berdasarkan penugasan BPK.
Keterangan ahli diberikan berdasarkan laporan hasil pemeriksaan penghitungan kerugian negara/daerah. Dalam hal permintaan pemberian keterangan ahli tidak didasarkan pada laporan hasil pemeriksaan penghitungan kerugian negara/daerah, keterangan ahli dapat dipenuhi terkait dengan metodologi dan pengetahuan lain berkaitan dengan pemeriksaan investigatif dan penghitungan kerugian negara/daerah.
“Dalam memberikan keterangan ahli, ahli dapat memperoleh bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
BPK Laporkan 25 Pemeriksaan Investigatif, Ini Nilai Indikasi Kerugiannya
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2022 memuat hasil pemantauan atas pemanfaatan laporan hasil pemeriksaan investigatif (PI), penghitungan kerugian negara (PKN), dan pemberian keterangan ahli (PKA) yang diterbitkan pada periode 2017 hingga semester I 2022. Pemantauan dilakukan terhadap pemanfaatan laporan hasil PI dalam proses penyelidikan dan penyidikan, pemanfaatan laporan hasil PKN dalam penyiapan P-21 atau berkas penyidikan sudah lengkap dan proses penyidikan. Termasuk PKA yang dihadiri BPK untuk digunakan dalam tuntutan oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Pada periode 2017-semester I 2022, BPK menyampaikan 25 laporan hasil PI dengan nilai indikasi kerugian negara/daerah sebesar Rp31,55 triliun dan 311 laporan hasil PKN dengan nilai kerugian negara/daerah sebesar Rp57,53 triliun kepada instansi yang berwenang. BPK juga telah melaksanakan PKA atas 324 kasus pada tahap persidangan.
BPK memerinci, dari 25 laporan hasil PI yang sudah disampaikan, sembilan laporan telah dimanfaatkan dalam proses penyelidikan dan 16 laporan dimanfaatkan dalam proses penyidikan. Sebanyak dua laporan PI dilaksanakan pada pemerintah pusat, 11 laporan dari pemerintah daerah dan badan usaha milik daerah (BUMD), dan 12 laporan dari badan usaha milik negara (BUMN).
Kemudian, dari 311 laporan hasil PKN yang telah disampaikan, 46 laporan sudah dimanfaatkan dalam proses penyidikan dan 265 kasus sudah dinyatakan P-21 (berkas penyidikan sudah lengkap). Dari laporan tersebut, sebanyak 52 PKN dilaksanakan pemerintah pusat, 214 PKN pemerintah daerah dan BUMD, serta 45 PKN BUMN.
“Tingkat penyelesaian atas ganti kerugian negara/daerah dengan status telah ditetapkan melalui pengangsuran, pelunasan, dan penghapusan pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD masing-masing sebesar 65 persen, 59 persen, 37 persen, dan 36 persen.”
Selain itu, sebanyak 324 pemberian keterangan ahli di persidangan seluruhnya digunakan dalam tuntutan oleh JPU. Secara lebih detail, sebanyak 53 PKA dilakukan di tingkat pemerintah pusat, 211 PKA di pemerintah daerah dan BUMD, dan 60 PKA di BUMN.
IHPS I 2022 juga memuat hasil pemantauan penyelesaian ganti kerugian negara/daerah periode 2005-semester I 2022 dengan status telah ditetapkan. Nilai penyelesaian ganti kerugian negara/daerah tersebut tidak termasuk nilai kerugian negara/daerah dari hasil penghitungan kerugian negara atas permintaan instansi yang berwenang dalam rangka penanganan kasus tindak pidana korupsi.
Hasil pemantauan menunjukkan kerugian negara/daerah yang telah ditetapkan selama periode 2005-semester I 2022 adalah sebesar Rp4,56 triliun. Kerugian negara/daerah yang terjadi pada pemerintah daerah sebesar Rp3,33 triliun (73 persen) merupakan nilai yang terbesar dari total kerugian negara/daerah dengan status telah ditetapkan periode 2005-semester I 2022.
Adapun tingkat penyelesaian atas ganti kerugian negara/daerah dengan status telah ditetapkan melalui pengangsuran, pelunasan, dan penghapusan pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD masing-masing sebesar 65 persen, 59 persen, 37 persen, dan 36 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa pemerintah pusat memiliki persentase penyelesaian ganti rugi negara yang paling tinggi.
Oleh: Rr Maharani AW, Pegawai BPK
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan pemohon yang berupaya melemahkan kewenangan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) BPK melalui Putusan Nomor 54/PUU XVII/2019 pada 26 Oktober 2020. MK berpendapat bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan a quo. Selain itu, meskipun para pemohon memiliki kedudukan hukum quod non, MK berpendapat bahwa gugatan para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Hal tersebut menunjukkan bahwa MK menegaskan kembali PDTT merupakan wewenang konstitusional BPK sesuai amanat Undang-Undang 15/2004 dan UU Nomor 15/2006.
Pemohon yang mengajukan gugatan adalah Ahmad Redi (dosen dari Universitas Tarumanagara), Muhammad Ilham Hermawan (dosen Universitas Pancasila), dan Kexia Goutama (mahasiwa). Dosen-dosen tersebut kemudian digantikan oleh Ibnu Sina Chandranegara (dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta) dan Auliya Khasanofa (Universitas Muhammadiyah Tangerang). Gugatan tersebut diajukan para pemohon dengan alasan kewenangan PDTT merupakan inkonstitusional, dapat dijadikan sebagai instrumen penyalahgunaan dengan tendensi kepentingan (potensi abuse of power), serta frasa “tujuan tertentu†tidak memiliki kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan.
Dalam gugatan MK tersebut, para pemohon juga mengaitkan penyimpangan yang dilakukan “oknum†BPK dengan kredibilitas BPK secara “instansiâ€. Padahal jika berbicara “oknumâ€, penyimpangan juga sering terjadi di instansi lain. Karena itu seharusnya yang perlu disoroti adalah kredibilitas oknum tersebut bukan kredibilitas instansinya. Seringkali BPK juga menemukan penyimpangan yang dilakukan oknum di sebuah instansi yang diperiksanya. Maka yang bertanggung jawab adalah oknum tersebut dan yang disorot oleh masyarakat adalah oknum tersebut.
Pada gugatan MK tersebut, para pemohon juga mengajukan alasan bahwa “sudah mendapatkan status wajar tanpa pengecualian (WTP) namun mengapa tetap dilakukan PDTT?â€
Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat awam sering berkutat dengan pertanyaan “sudah WTP dari BPK namun mengapa masih ada korupsi?â€. Bahkan dari instansi yang telah diperiksa BPK juga terkadang berbangga diri dengan opini WTP dan berpuas diri seolah tidak ada lagi fraud ketika memperoleh WTP. Perlu disadari bahwa opini WTP berarti memiliki reputation risk yang melekat di situ. Namun bagaimanapun juga, reputation risk merupakan tantangan yang dihadapi BPK dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Maka BPK perlu sering melakukan edukasi ke masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Masyarakat perlu sering diingatkan bahwa opini WTP berasal dari pemeriksaan keuangan (pemeriksaan atas laporan keuangan) dan hal tersebut merupakan jenis pemeriksaan yang berbeda dengan PDTT. Masing-masing juga memiliki tujuan pemeriksaan yang berbeda. Perbedaan antara tiga jenis pemeriksaan di BPK dapat dilihat dari tabel berikut ini:
No | Jenis Pemeriksaan | Tujuan spesifik (sumber : SPKN, 2017) | Keterangan |
1 | Pemeriksaan keuangan | Untuk memperoleh keyakinan memadai sehingga pemeriksa mampu memberikan opini bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, atas kesesuaian dengan standar akuntansi, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern. | Ada 4 opini yang diberikan oleh BPK: WTP, WDP, Tidak Wajar, Tidak Memberikan Pendapat |
2 | Pemeriksaan kinerja | Untuk menguji dan menilai aspek ekonomi, efisiensi dan/atau efektivitas, serta aspek kinerja lainnya atas suatu hal pokok yang diperiksa dengan maksud untuk memberikan rekomendasi yang dapat mendorong ke arah perbaikan. | Terdapat kesimpulan atas aspek ekonomi, efisiensi dan/atau efektivitas serta rekomendasi dalam pemeriksaan kinerja |
3 | PDTT | PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. PDTT bentuk pemeriksaan kepatuhan bertujuan untuk menilai hal pokok yang diperiksa sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Sedangkan PDTT bentuk pemeriksaan investigatif bertujuan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. | Hasil pemeriksaan berbentuk kesimpulan sesuai dengan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan. Khusus PDTT berbentuk investigatif, pemeriksa tidak memberikan rekomendasi. |
Tiga jenis pemeriksaan dalam tabel tersebut masing-masing memiliki peran penting yang berbeda dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dari tabel tersebut, dapat dipahami bahwa antara opini yang dikeluarkan dalam pemeriksaan keuangan dan kesimpulan dalam pemeriksaan investigatif merupakan dua hal yang berbeda. Jadi opini WTP (dalam hal ini berasal dari pemeriksaan atas laporan keuangan) bukan merupakan standar atau jaminan bahwa di sebuah instansi tersebut bebas dari penyimpangan atau pelanggaran. Akan tetapi opini tersebut diberikan berdasarkan tingkat kewajaran atas penyajian laporan keuangan.
Meskipun pemeriksaan keuangan, kinerja dan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan seperti yang telah dijelaskan pada tabel di atas memiliki tujuan pemeriksaan yang berbeda. Seringkali hasil pemeriksaan yang diperoleh menunjukkan adanya penyimpangan yang berindikasi tindak pidana dan/atau kerugian negara/daerah.
Perlu dipahami bahwa BPK tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan sebuah penyimpangan sebagai tindak pidana. Akan tetapi, BPK memiliki kewenangan untuk menetapkan kerugian negara/daerah. Maka ketika ditemukan adanya unsur pidana dalam pemeriksaan, sesuai pasal 8 ayat (3) UU 15/2006, BPK menyampaikan ke instansi yang berwenang. Dalam hal ini pejabat penyidik yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan. Penyimpangan tersebut yang kemudian didalami oleh instansi penegak hukum dan seringkali dimintakan ke BPK untuk dilakukan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif.
Pemeriksaan investigatif hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang memadai. Sumber predikasi yang memadai dapat diperoleh dari informasi pihak internal maupun eksternal BPK, permintaan dari instansi penegak hukum, serta temuan pemeriksaan yang berindikasi kecurangan. Akan tetapi sumber tersebut diuji kelayakannya terlebih dahulu sebelum dapat dijadikan sebagai predikasi.
Seringkali instansi penegak hukum tidak hanya meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan investigatif dalam membangun konstruksi kasus yang terindikasi pidana korupsi. Namun juga terkait penghitungan kerugian negara.
BPK memiliki kewenangan untuk menilai dan menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum seperti yang diamanatkan pada pasal 10 UU Nomor 15/2006. Dalam melakukan penghitungan kerugian negara, BPK tidak hanya serta merta menerima bukti-bukti yang disampaikan oleh instansi penegak hukum. Namun juga dilakukan pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara secara independen.
Kerugian negara yang dihitung tersebut harus merupakan kerugian yang nyata dan pasti jumlahnya. Dalam hal ini bukan merupakan potensi kerugian, asumsi, perkiraan, serta bukan merupakan kelalaian administrasi. Untuk memperoleh bukti bahwa kerugian negara yang terjadi merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum yang disengaja, maka perlu dilakukan prosedur pemeriksaan investigatif. Prosedur dalam pemeriksaan investigatif dirancang khusus sebagai upaya penguatan pemberantasan korupsi dengan menerapkan standar pemeriksaan keuangan negara yang memadai.
Sebagai upaya nyata dalam mendukung pemberantasan korupsi, BPK pun telah mendirikan Auditorat Utama Investigasi tahun 2016. Auditorat ini mempunyai tugas khusus melakukan pemeriksaan investigatif. Pada periode 2017 sd 30 Juni 2020, BPK telah menyampaikan 22 laporan hasil pemeriksaan investigatif (PI) dengan nilai indikasi kerugian negara/daerah sebesar Rp8,70 triliun dan 238 laporan hasil pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara (PKN) dengan nilai kerugian negara/daerah sebesar Rp29,10 triliun kepada instansi yang berwenang.
Selain PI dan PKN, BPK juga telah melaksanakan 226 kasus pemberian keterangan ahli pada tahap persidangan. Banyak kasus besar yang ditangani BPK dalam pemeriksaan investigatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif telah memberikan hasil nyata yang memiliki peran penting dalam upaya mendorong pemberantasan korupsi.
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki peran aktif dalam memberantas korupsi di Indonesia. BPK bahkan memiliki peran yang lengkap mulai dari tahap preventif, detektif, hingga represif.
Auditor Utama Investigasi BPK Hery Subowo menjelaskan, BPK berperan dalam pencegahan berdasarkan rekomendasi hasil pemeriksaan regular. “Kemudian ada pendeteksian kecurangan dengan melakukan pemeriksaan investigasi dan mengungkap lebih detail korupsi yang terjadi. Selain itu, BPK juga menghitung kerugian negara yang muncul serta memberikan keterangan ahli apabila kasus tersebut dibawa ke persidangan,†kata Hery di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Hery menjelaskan, tindakan preventif yang dilakukan BPK berupaya mencegah agar korupsi tidak terjadi. Hal itu bisa dilakukan melalui rekomendasi hasil pemeriksaan baik pemeriksaan keuangan, kinerja, maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) non-investigatif.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), BPK akan memberikan rekomendasi untuk memperbaiki Sistem Pengendalian Intern (SPI). Apabila SPI itu diperbaiki berdasarkan rekomendasi BPK, maka peluang korupsi bisa menjadi lebih kecil.
Ia menambahkan, apabila dari hasil pemeriksaan terdapat temuan-temuan yang berindikasi pidana atau berindikasi kerugian negara, maka akan ditindaklanjuti melalui pemeriksaan investigasi. Dalam tahap itu akan diungkap unsur-unsur 5W2H atau what, who, where, when, why, how, dan how much.
“Dalam mengungkap seberapa banyak kecurangan yang dilakukan di situlah peran detektif BPK muncul,†ujarnya.
Hasil pemeriksaan investigasi BPK akan diserahkan kepada aparat penegak hukum (APH) seperti kejaksaan, kepolisian, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). APH kemudian melakukan pendalaman. Apabila sudah terdapat dua alat bukti maka kasus tersebut bisa ditingkatkan menjadi penyidikan dan penetapan tersangka.
Tindak korupsi yang menyangkut kerugian negara akan dihitung oleh auditor. BPK punya kewenangan penghitungan kerugian negara itu. Pada waktu BPK dilibatkan untuk menghitung kerugian negara, kata dia, artinya sudah masuk dalam tahap represif dan sudah dimulai proses penegakan hukum. “Maka, ketika APH melakukan penyidikan, mereka meminta kepada BPK untuk melakukan perhitungan kerugian negara,†ujar Hery.