WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Friday, 4 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Tag:

Pemberantasan Korupsi

Antikorupsi (Ilustrasi/Sumber: Freepik)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Berantas Korupsi, BPK Manfaatkan Teknologi Digital

by Admin 29/01/2024
written by Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berupaya untuk meningkatkan pemberantasan korupsi. Kepala Biro Sumber Daya Manusia BPK Gunarwanto menyampaikan, digitalisasi menjadi salah satu upaya untuk mendukung langkah tersebut.

“Saat ini, digitalisasi birokrasi merupakan suatu keharusan dan sangat mendesak untuk dilaksanakan,” ungkap Gunarwanto kepada Warta Pemeriksa.

Ini Pesan untuk Pegawai BPK Terkait Keamanan Digital

Gunarwanto menjelaskan, BPK melalui Digital Enterprise Architecture (DNA) berupaya memetakan dan membuat peta jalan digitalisasi proses bisnis birokrasi BPK. Dalam bidang pemeriksaan, berbagai aplikasi telah dikembangkan, seperti SIAP LK, SMP, SIPTL, dan lain-lain.

Dalam bidang kelembagaan, manajemen SDM telah dibantu dengan SISDM, manajemen aset telah dibantu dengan SIMAK BMN, manajemen persuratan telah dibantu oleh JASMIN, begitu pula manajemen perbendaharaan telah dibantu dengan SINTAG.

“Aplikasi-aplikasi tersebut, selain bertujuan mempercepat proses bisnis juga dapat digunakan sebagai alat kontrol dan monitoring perilaku pemeriksa dan hasil pekerjaannya,” ujar Gunarwanto.

Gunarwanto mencontohkan, SIAP LK digunakan oleh Tim Pemeriksa untuk mendokumentasikan proses pemeriksaan di lapangan, mulai dari pelaksanaan atas program pemeriksaan, hasil pemeriksaan, dan kertas kerja pemeriksaan. Data-data tersebut dapat digunakan oleh para pereviu untuk memonitor performa Tim Pemeriksaan, baik dari sisi audit coverage, initial findings, key area, dan progress report dari minggu ke minggu.

“Setiap ketidakwajaran proses dan data dapat menjadi red flag terjadinya ketidakwajaran peroses pemeriksaan,” ungkapnya.

Terkait digitalisasi birokrasi, Gunarwanto menyampaikan, hal itu sudah lama dilaksanakan BPK. Menurutnya, pada medio 2007-2009, BPK telah memperkenalkan SISKA dan Pusat Informasi Pegawai (PIP) sebagai aplikasi yang paling banyak digunakan.

BPK Terus Pacu Transformasi Digital

Di Biro SDM, manajemen SDM elektronis sudah dimulai sejak 2009 dengan pengembangan SISDM Dekstop yang kemudian diikuti dengan SISDM berbasis Web pada 2013. Pada tahun-tahun tersebut, sistem presensi dan cuti pegawai juga mulai dialihkan dari manual ke elektronik.

“Upaya-upaya tersebut telah berhasil dengan baik dan semakin berkembang. Saat ini, hampir semua layanan ke-BPK-an telah menggunakan platform digital. Bahkan layanan kepada masyarakat luas juga mulai diberikan secara elektronis,” kata Gunarwanto.

29/01/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Auditor Utama Investigasi Dr Hery Subowo saat memberikan paparan pada saat seminar virtual yang digelar bekerja sama dengan the Account Chamber of Russian Federation (ACRF).
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

BPK dan Account Chamber of Russian Federation Bahas Soal Pemberantasan Korupsi

by Admin 1 03/11/2023
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berbagi pengalaman terkait pemeriksaan atas implementasi IPSAS 41 di International Maritime Organization (IMO) dan World Intellectual Property Organization (WIPO). Hal itu disampaikan dalam rangkaian seminar bilateral BPK dengan the Account Chamber of Russian Federation (ACRF).

Seminar diselenggarakan secara virtual pada 30 Oktober 2023. Acara yang digelar dengan tema IPSAS 41: Financial Instruments dan Countering Corruption pada 30 Oktober 2023 ini merupakan bagian dari implementasi kerja sama bilateral kedua institusi.

Pemerintah Perlu Perhatikan Hal Krusial Ini dalam Pelaksanaan PC-PEN

Pengalaman BPK di IMO dan WIPO disampaikan pada sesi pertama. Materi dipaparkan oleh Kepala Bagian Pusat Kerja sama Global I, Rikha Susanti dan pemeriksa AKN I sekaligus pemeriksa eksternal IMO, Uthar Mukthadir.
Sementara itu, dari ACRF, paparan disampaikan oleh Deputy Director of The Financial Audit Department ACH Rusia, Denis Strizheusov. Dia memaparkan pengalaman implementasi IPSAS 41 di United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) dan dampaknya terhadap penyajian laporan keuangan serta pelaksanaan pemeriksaan.

Dalam sesi kedua yang mengambil tema “Countering Corruption”, paparan dari BPK disampaikan oleh Auditor Utama Investigasi Dr Hery Subowo. Dia menyampaikan tiga hal utama, yaitu BPK role in combating corruption, Impact of technology developing the implementation of anti-corruption practices, dan BPK strategy in prevention and eradication of corruption.

Sementara paparan ACRF disampaikan oleh Auditor, Member of the Board of the Accounts Chamber of the Russian Federation, Svetlana Orlova. Dia didampingi oleh Head of the Inspection, Igor Sklyarov dan Director of the Department of Public Administration Audit, Aleksey Granovkiy.

Seperti Apa Hubungan BPK dan ACH Rusia?

ACRF memaparkan perannya dalam pencegahan korupsi selama keketuaannya dalam INTOSAI melalui INTOSAI Moscow Declaration. Salah satu fokusnya yaitu countering corruption dalam tiga pilar yaitu cooperation, openness, dan capacity development pemberantasan korupsi.

Menutup acara, Tortama AUI dan Auditor ACRFa mewakili pimpinan kedua lembaga berharap kerja sama yang telah terjalin dapat terus ditingkatkan dan dikembangkan. Dengan begitu, dapat menguatkan kapasitas kedua lembaga dan kualitas kedua organisasi dalam menjalankan mandatnya.

03/11/2023
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Antikorupsi (Ilustrasi/Sumber: Freepik)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Atasi Korupsi, KPK Ajak BPK Hingga Masuk ke Sinetron

by Admin 1 26/01/2023
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan, pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu dilaksanakan secara terpadu. Kolaborasi dengan berbagai pihak, terutama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pemeriksa eksternal, diperlukan untuk mewujudkannya.

Direktur Kampanye dan Sosialisasi Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Amir Arief kepada Warta Pemeriksa mengatakan, hal itu dengan pendekatan trisula. Menurutnya, hal ini dilakukan untuk memberantas kejahatan apapun mulai dari kejahatan jalanan.

“Pertanyaan-pertanyaannya seperti, apakah pernah menerima hadiah atau serangan fajar saat dilakukan pilkada atau pilkades? Apakah Anda menilai hal itu wajar? Ada juga pertanyaan untuk ibu rumah tangga. Kalau suami Anda penghasilan sekian tapi dalam suatu hari bawa uang lebih bagaimana pendapat Anda?”

Pendekatan pertama, ujarnya, adalah pendidikan. KPK perlu mengedukasi individu untuk tahu kejahatan korupsi, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.

Kedua, pencegahan. Pendekatan itu berupaya memperbaiki tata kelola serta ekosistem di setiap instansi. “Sehingga, orang yang tadinya tidak mau juga semakin tidak leluasa untuk berbuat kejahatan. Jadi, celah-celahnya untuk melakukan kejahatan diperketat,” ujarnya.

Ketiga, penindakan. Menurutnya, perlu ada repressive law enforcement atau hukuman yang membuat jera supaya mereka takut melakukan korupsi.

Ini Andil Besar BPK dalam Pemberantasan Korupsi Menurut Jaksa Agung

Amir menegaskan, ketiga hal tersebut harus terpadu. Kolaborasi dengan BPK juga diperlukan, contohnya, mengenai reformasi birokrasi. BPK sebagai pengawas eksternal dinilai bisa menjadi jumantik. Sehingga, ketika melihat jentik-jentik korupsi harus segera ditutup dan dibersihkan.

Dalam menanamkan nilai-nilai antikorupsi, KPK memiliki indikator sasaran strategis yang diukur melalui Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK). IPAK adalah angka yang diperoleh dari survei yang dilakukan BPS setiap tahun. BPS mengukurnya dari ribuan responden.

“Pertanyaan-pertanyaannya seperti, apakah pernah menerima hadiah atau serangan fajar saat dilakukan pilkada atau pilkades? Apakah Anda menilai hal itu wajar? Ada juga pertanyaan untuk ibu rumah tangga. Kalau suami Anda penghasilan sekian tapi dalam suatu hari bawa uang lebih bagaimana pendapat Anda?” ungkap Amir.

“Kita sisipkan pesan-pesan antikorupsi dalam dialog sinetron tersebut,”

Indeks tersebut disajikan dalam angka 0 hingga 5. Amanat renstra KPK dan RPJMN adalah untuk menembus level 4. “Saat ini sudah terus membaik walau belum menembus level indeks 4. Pada 2022 itu, IPAK kita 3,93,” ujarnya.

Dari pengukuran BPS tersebut, KPK menemukan, masyarakat yang masih permisif terhadap perilaku korupsi. Contohnya, di perdesaan ternyata persepsi antikorupsinya masih lebih rendah dibanding perkotaan.

“Hal itu menjadi parameter kita dalam kampanye antikorupsi,” ujar Amir.

KPK memanfaatkan IPAK untuk menentukan pola kampanye nilai antikorupsi. Misalnya, karena dalam data IPAK disebutkan persepsi antikorupsi di perdesaan masih rendah, maka KPK mencoba untuk melakukan kampanye lewat sinetron di jam primetime.

Pencegahan Korupsi di Indonesia, BPK Bisa Apa?

“Kita sisipkan pesan-pesan antikorupsi dalam dialog sinetron tersebut,” ujarnya.

Berbeda halnya dengan strategi untuk anak-anak generasi muda. Dia mengatakan, kampanye melalui media sosial dinilai lebih efektif seperti Youtube. Amir menyampaikan, target KPK dalam setiap tahun yakni memaparkan nilai-nilai antikorupsi kepada 12 juta orang melalui berbagai media. Untuk tahun ini, ujarnya, sudah terealisasi jangkauan sebanyak 20 juta penonton.

26/01/2023
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Antikorupsi (Ilustrasi/Sumber: Freepik)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Ini Peran Strategis BPK Terkait Pemberantasan Korupsi

by Admin 1 27/05/2022
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki peran strategis untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas. Hal ini dilakukan melalui pemeriksaan pengelolaan serta pertanggungjawaban keuangan negara dan keuangan daerah.

“Persamaan persepsi dan sinergitas untuk pemberantasan tindak pidana korupsi yang menjadi tujuan penyelenggaraan acara audiensi ini perlu dilaksanakan sebagai upaya kerja sama yang konstruktif dan sinergis sesuai peran dan tanggung jawab masing-masing lembaga, dalam mewujudkan komitmen mendukung upaya pencegahan tindak pidana korupsi,” kata Kepala Perwakilan BPK Provinsi DKI Jakarta, Dede Sukarjo.

Hal tersebut dia sampaikan saat audiensi dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga pemberantasan korupsi wilayah Provinsi DKI Jakarta, beberapa waktu lalu. Audiensi digelar dalam rangka persamaan persepsi sinergitas untuk pemberantasan korupsi.

Kerja sama Sinergis antara BPK dan KPK telah dilaksanakan sesuai kesepakatan bersama yang telah ditandatangani oleh ketua BPK dan ketua KPK pada 7 Januari 2020. BPK dan KPK sepakat untuk meningkatkan sinergi dan koordinasi dalam upaya tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK yang berindikasi kerugian negara dan unsur pidana, penghitungan kerugian negara dan upaya pencegahan tindak pidana korupsi.

Pencegahan Korupsi di Indonesia, BPK Bisa Apa?

Acara ini turut dihadiri oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Reda Manthovani, Kepala Perwakilan BPKP Wilayah Provinsi DKI Jakarta Samono, perwakilan kapolda Metro Jaya, dan perwakilan ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

27/05/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Kejaksaan (Sumber: Kejaksaan.go.id)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Ini Andil Besar BPK dalam Pemberantasan Korupsi Menurut Jaksa Agung

by Admin 1 13/05/2022
written by Admin 1

JAKARTA, WARTA PEMERIKSA – Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengapresiasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang terus mempererat sinergi dengan Kejaksaan Agung dalam mengawal keuangan negara. Menurut Jaksa Agung, BPK pun semakin berperan dalam proses penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, selama berada di bawah kepemimpinan Ketua BPK Agung Firman Sampurna.

“Oleh karena itu, kesuksesan kejaksaan dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi tidak lepas dari peran BPK.”

Burhanuddin mengatakan, BPK memberikan manfaat yang luar biasa dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi kejaksaan. “Dalam fungsi penegakan hukum, BPK membantu kejaksaan dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara terhadap hasil pemeriksaan investigatif yang dilakukan kejaksaan,” kata Burhanuddin kepada Warta Pemeriksa, belum lama ini.

Jaksa Agung menambahkan, telah banyak kerja sama yang dilakukan secara bersama-sama antara Kejaksaan Agung dan BPK, khususnya dalam hal penegakan hukum. Kejaksaan dan BPK bersama-sama mengungkap kasus megakorupsi PT Jiwasraya dan PT Asabri yang menimbulkan kerugian negara sangat besar. Kerugiannya yaitu Rp16,8 triliun untuk kasus PT Jiwasraya dan sebesar Rp 22,7 triliun untuk kasus PT Asabri.

Hal tersebut merupakan bukti komitmen dan keseriusan bersama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. “Saya atas nama pribadi dan institusi mengucapkan terima kasih atas kerja keras BPK dalam menyelesaikan perhitungan kerugian negara dalam kasus tersebut.” 

Burhanuddin mengatakan, BPK juga ikut berperan dalam pembuktian terhadap unsur kerugian keuangan negara di depan persidangan terhadap tindak pidana korupsi yang ditangani oleh kejaksaan.  “Oleh karena itu, kesuksesan kejaksaan dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi tidak lepas dari peran BPK,” katanya.

Sinergi BPK untuk Usut Jiwasraya

Secara internal, BPK dinilai juga memberikan pengetahuan dan wawasan kepada para insan Adhyaksa. Hal ini dilakukan melalui koordinasi maupun pengawasan terhadap terciptanya sistem tata kelola keuangan yang baik di dalam institusi kejaksaan yang tertib, transparan, serta dapat dipertanggungjawabkan dengan baik dan benar.

Burhanuddin bersyukur karena Kejaksaan Agung berhasil mendapat predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) lima kali secara berturut-turut, yaitu dari 2016- 2020. “Semoga untuk tahun 2021 yang penilaian baru dilaksanakan awal tahun ini, kejaksaan dapat mempertahankan predikat tersebut,” katanya.

13/05/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Ini Paparan Ketua BPK Tentang Pengukuran Pemberantasan Korupsi

by Admin 1 02/03/2022
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terus berperan aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di dunia internasional. Keaktifan tersebut salah satunya diwujudkan dengan keterlibatan Ketua BPK Agung Firman Sampurna sebagai anggota Chandler Session on Integrity and Corruption.

The Chandler Sessions on Integrity and Corruption merupakan proyek yang digawangi Blavatnik School of Government, University of Oxford. Tujuannya yaitu mengembangkan strategi generasi terbaru bersama berbagai institusi untuk memerangi korupsi dan mempromosikan budaya integritas di seluruh sektor publik.

Dalam pertemuan forum yang digelar beberapa waktu lalu tersebut, misalnya, Ketua BPK memaparkan pandangannya untuk memperkuat pengukuran kinerja pemberantasan korupsi. Ia juga menjelaskan mengenai konsep tiga generasi pengukuran korupsi.

Melalui pidatonya yang bertama “Uses, Challenges and Opportunities for Strengthening Corruption Perception Index, Particularly in Indonesia” Agung memaparkan bahwa telah terjadi peningkatan kerugian negara akibat korupsi berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch. Pada semester I 2021, kerugian negara mencapai Rp26,83 triliun. Angka ini meningkat 47,6 persen dibandingkan semester I 2020 yang sebesar Rp18,17 triliun.

Pencegahan Korupsi di Indonesia, BPK Bisa Apa?

“BPK sendiri selama periode 2017 hingga 30 Juni 2021 telah melakukan 25 pemeriksaan investigatif dan menyerahkannya kepada aparat penegak hukum, melakukan 270 pemeriksaan perhitungan kerugian negara dan menjadi saksi ahli persidangan untuk 274 kasus korupsi,” kata Ketua BPK.

Ketua BPK dalam pidatonya juga memaparkan CPI Indonesia yang secara rutin dikeluarkan Transparency International. Merujuk pada data yang ada, ada perbaikan CPI dalam kurun waktu 15 tahun, antara 2004 hingga 2019. Pada 2004, CPI Indonesia berada di angka 20, sementara pada 2019 naik menjadi 40. Sayangnya, memasuki 2020, CPI Index Indonesia turun ke angka 37 dan menempatkan Indonesia di peringkat 102 di antara 180 negara.

CPI menggunakan rentang antara 0-100. Angka 0 menandakan negara yang dimaksud sangat korup. Sebaliknya, skor 100 menandakan suatu negara bersih dari korupsi. “Lalu muncul pertanyaan kritis, apakah CPI cukup valid dan andal dalam mengukur? Khususnya korupsi di Indonesia? Apalagi korupsi adalah masalah yang kompleks,” katanya.

Atas hal tersebut, ia menilai ada lima hal yang menjadi tantangan terkait CPI. Pertama, menurut Agung adalah masalah definisi. Kurangnya konsensus tentang arti istilah korupsi membuat sulit untuk memahami kriteria di balik pemeringkatan CPI. Kedua, masalah pengukuran. CPI hanya mengukur korupsi di sektor publik, sedangkan korupsi seringkali melibatkan sektor swasta.

Selanjutnya adalah mengenai metodologi. Agung menjelaskan, CPI menggunakan “persepsi”, sementara mereka tidak selalu mencerminkan kebenaran fakta tentang tingkat korupsi yang sebenarnya. Bias persepsi juga menciptakan dua masalah, yaitu komparabilitas dan perbedaan kerangka definisi oleh responden.

Keempat terkait hasil. CPI menurut Agung tidak mengungkapkan keunikan masalah yang dihadapi publik entitas. Selain itu, CPI tidak mencerminkan program pencegahan penipuan yang dilakukan oleh entitas publik, tidak menilai hasil program anti-fraud, dan tidak memberikan informasi tentang tindakan korektif yang diperlukan untuk meningkatkan program anti-fraud.

Adapun yang kelima adalah terkait dampak. Ia mengatakan, interpretasi yang salah dari CPI dapat berimplikasi pada negara-negara dengan skor rendah. Donor internasional dan lembaga bantuan telah menggunakan peringkat negara dalam CPI sebagai kunci indikator kinerja.

Menurut Ketua BPK, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memperkuat CPI. “Kita dapat mempertimbangkan konsep ‘tiga generasi pengukuran korupsi’ seperti yang dijelaskan oleh McDevitt (2011), Heinrich and Hodess (2011) untuk mengembangkan pendekatan pengukuran korupsi,” ungkapnya.

Konsep pertama, generasi pertama berupaya menempatkan negara pada peringkat korupsi dan membangun persepsi korupsi. CPI adalah contoh dari generasi ini. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran antara pembuat kebijakan dan investor. Generasi kedua berupaya menilai pengalaman masyarakat dalam menemukan korupsi, dan untuk menilai apakah suatu sistem mampu meminimalkan korupsi.

Sedangkan generasi ketiga berfokus pada penilaian risiko korupsi tertentu, dengan menggunakan pendekatan partisipatif, berfokus pada proses, data triangulasi, dan intervensi advokasi berbasis bukti. “Pengukuran korupsi harus sampai pada generasi kedua dan ketiga. Korupsi dan tindakan manajemen risiko penipuan harus dianggap sebagai bagian integral dari National Risk Management Framework (NRMF). Desain dan implementasi NRMF harus mempertimbangkan ekosistem nasional yang ada dan melibatkan kolaborasi di antara berbagai lembaga sektor publik,” katanya.

02/03/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK
BeritaBerita TerpopulerOpini

Pemeriksaan Investigatif BPK Mendorong Upaya Pemberantasan Korupsi

by Admin 1 15/03/2021
written by Admin 1

Oleh: Rr Maharani AW, Pegawai BPK

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan pemohon yang berupaya melemahkan kewenangan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) BPK melalui Putusan Nomor 54/PUU XVII/2019 pada 26 Oktober 2020. MK berpendapat bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan a quo. Selain itu, meskipun para pemohon memiliki kedudukan hukum quod  non, MK berpendapat bahwa gugatan para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Hal tersebut  menunjukkan bahwa MK menegaskan kembali PDTT merupakan wewenang konstitusional BPK sesuai  amanat Undang-Undang 15/2004 dan UU Nomor 15/2006.

Pemohon yang mengajukan gugatan adalah Ahmad Redi (dosen dari Universitas  Tarumanagara), Muhammad Ilham Hermawan (dosen Universitas Pancasila), dan Kexia Goutama (mahasiwa). Dosen-dosen tersebut kemudian digantikan oleh Ibnu Sina Chandranegara (dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta) dan Auliya Khasanofa (Universitas Muhammadiyah Tangerang).  Gugatan tersebut diajukan para pemohon dengan alasan kewenangan PDTT merupakan inkonstitusional, dapat dijadikan sebagai instrumen penyalahgunaan dengan tendensi kepentingan (potensi abuse of power), serta frasa “tujuan tertentu” tidak memiliki kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan.

Dalam gugatan MK tersebut, para pemohon juga mengaitkan penyimpangan yang dilakukan “oknum” BPK dengan kredibilitas BPK secara “instansi”. Padahal jika berbicara “oknum”,  penyimpangan juga sering terjadi di instansi lain. Karena itu seharusnya yang perlu disoroti adalah kredibilitas oknum tersebut bukan kredibilitas instansinya. Seringkali BPK juga menemukan penyimpangan yang dilakukan oknum di sebuah instansi yang diperiksanya. Maka yang bertanggung jawab adalah oknum tersebut dan yang disorot oleh masyarakat adalah oknum tersebut.

Pada gugatan MK tersebut, para pemohon juga mengajukan alasan bahwa “sudah mendapatkan status wajar tanpa pengecualian (WTP) namun mengapa tetap dilakukan PDTT?”

Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat awam sering berkutat dengan pertanyaan “sudah WTP dari BPK namun mengapa masih ada korupsi?”. Bahkan dari instansi yang telah diperiksa BPK juga terkadang berbangga diri dengan opini WTP dan berpuas diri seolah tidak ada lagi fraud ketika memperoleh WTP. Perlu disadari bahwa opini WTP berarti memiliki reputation risk yang melekat di situ. Namun bagaimanapun juga, reputation risk merupakan tantangan yang dihadapi BPK dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Maka BPK perlu sering melakukan edukasi ke masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Masyarakat perlu sering diingatkan bahwa opini WTP berasal dari pemeriksaan keuangan (pemeriksaan atas laporan keuangan) dan hal tersebut merupakan jenis pemeriksaan yang berbeda dengan PDTT. Masing-masing juga memiliki tujuan pemeriksaan yang berbeda. Perbedaan antara tiga jenis pemeriksaan di BPK dapat dilihat dari tabel berikut ini:

NoJenis  PemeriksaanTujuan spesifik  (sumber : SPKN, 2017)Keterangan
1Pemeriksaan  keuanganUntuk memperoleh keyakinan memadai sehingga pemeriksa mampu memberikan opini bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, atas kesesuaian dengan standar akuntansi, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.Ada 4 opini yang diberikan oleh BPK: WTP, WDP, Tidak Wajar, Tidak Memberikan Pendapat
2Pemeriksaan  kinerjaUntuk menguji dan menilai aspek ekonomi, efisiensi dan/atau efektivitas, serta aspek kinerja lainnya atas suatu hal pokok yang diperiksa dengan maksud untuk memberikan rekomendasi yang dapat mendorong ke arah perbaikan.Terdapat kesimpulan atas aspek ekonomi, efisiensi dan/atau efektivitas serta rekomendasi dalam pemeriksaan kinerja
3PDTTPDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. PDTT bentuk pemeriksaan  kepatuhan bertujuan untuk menilai hal pokok yang diperiksa  sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Sedangkan PDTT bentuk pemeriksaan investigatif bertujuan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.Hasil pemeriksaan berbentuk kesimpulan sesuai dengan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan. Khusus PDTT berbentuk investigatif, pemeriksa tidak memberikan rekomendasi.
Tiga jenis pemeriksaan di BPK.

Tiga jenis pemeriksaan dalam tabel tersebut masing-masing memiliki peran penting yang  berbeda dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dari tabel tersebut, dapat dipahami bahwa antara opini yang dikeluarkan dalam pemeriksaan keuangan dan kesimpulan dalam pemeriksaan investigatif merupakan dua hal yang berbeda. Jadi opini WTP (dalam hal ini berasal dari pemeriksaan atas laporan keuangan) bukan merupakan standar atau jaminan bahwa di sebuah instansi tersebut bebas dari penyimpangan atau pelanggaran. Akan tetapi opini tersebut diberikan berdasarkan tingkat kewajaran atas penyajian laporan keuangan.

Meskipun pemeriksaan keuangan, kinerja dan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan seperti yang telah dijelaskan pada tabel di atas memiliki tujuan pemeriksaan yang berbeda. Seringkali hasil pemeriksaan yang diperoleh menunjukkan adanya penyimpangan yang berindikasi tindak pidana dan/atau kerugian negara/daerah.

Perlu dipahami bahwa BPK tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan sebuah penyimpangan sebagai tindak pidana. Akan tetapi, BPK memiliki kewenangan untuk menetapkan kerugian negara/daerah. Maka ketika ditemukan adanya unsur pidana dalam pemeriksaan, sesuai pasal 8 ayat (3) UU 15/2006, BPK menyampaikan ke instansi yang berwenang. Dalam hal ini pejabat penyidik yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan. Penyimpangan tersebut yang kemudian didalami oleh instansi penegak hukum dan seringkali dimintakan ke BPK untuk dilakukan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif.

Pemeriksaan investigatif hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang memadai. Sumber predikasi yang memadai dapat diperoleh dari informasi pihak internal maupun eksternal BPK, permintaan dari instansi penegak hukum, serta temuan pemeriksaan yang berindikasi kecurangan. Akan tetapi sumber tersebut diuji kelayakannya terlebih dahulu sebelum dapat dijadikan sebagai predikasi.

Seringkali instansi penegak hukum tidak hanya meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan investigatif dalam membangun konstruksi kasus yang terindikasi pidana korupsi. Namun juga terkait penghitungan kerugian negara.

BPK memiliki kewenangan untuk menilai dan menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum seperti yang diamanatkan pada pasal 10 UU Nomor 15/2006. Dalam melakukan penghitungan kerugian negara, BPK tidak hanya serta merta menerima bukti-bukti yang disampaikan oleh instansi penegak hukum. Namun juga dilakukan pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara secara independen.

Kerugian negara yang dihitung tersebut harus merupakan kerugian yang nyata dan pasti jumlahnya. Dalam hal ini bukan merupakan potensi kerugian, asumsi, perkiraan, serta bukan merupakan kelalaian administrasi. Untuk memperoleh bukti bahwa kerugian negara yang terjadi merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum yang disengaja, maka perlu dilakukan prosedur pemeriksaan investigatif. Prosedur dalam pemeriksaan investigatif dirancang khusus sebagai upaya penguatan pemberantasan korupsi dengan menerapkan standar pemeriksaan keuangan negara yang memadai.

Sebagai upaya nyata dalam mendukung pemberantasan korupsi, BPK pun telah mendirikan Auditorat Utama Investigasi tahun 2016. Auditorat ini mempunyai tugas khusus melakukan pemeriksaan investigatif. Pada periode 2017 sd 30 Juni 2020, BPK telah menyampaikan 22 laporan hasil pemeriksaan investigatif (PI) dengan nilai indikasi kerugian negara/daerah sebesar Rp8,70 triliun dan 238 laporan hasil pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara (PKN) dengan nilai kerugian negara/daerah sebesar Rp29,10 triliun kepada instansi yang berwenang.

Selain PI dan PKN,  BPK juga telah melaksanakan 226 kasus pemberian keterangan ahli pada tahap persidangan. Banyak kasus besar yang ditangani BPK dalam pemeriksaan investigatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif telah memberikan hasil nyata yang memiliki peran penting dalam upaya mendorong pemberantasan korupsi.

15/03/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita TerpopulerOpiniSuara Publik

Pencegahan Korupsi di Indonesia, BPK Bisa Apa?

by Admin 1 12/03/2021
written by Admin 1

Oleh: Setyawan, Pegawai BPK Perwakilan Provinsi Jateng

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Sejak didirikan pada 1 Januari 1947, Badan Pemeriksa Keuangan Republik (BPK) Indonesia mengemban tugas yang jelas, yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dengan kekhasan kedudukan dan kewenangannya, BPK mustahil dilepaskan dari agenda besar pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam konteks pencegahan korupsi di Indonesia, apa yang bisa dilakukan BPK?

Tanpa debat panjang, kita sepakat menyebut korupsi sebagai salah satu masalah utama Indonesia saat ini. Cukuplah sesekali menyimak berita di televisi, membuka lembar koran atau berselancar di internet, kita akan gampang menemukan berita tentang korupsi di berbagai wilayah negeri ini. Seperti menegaskan pepatah lama, ‘mati satu, tumbuh seribu’. Yang lebih membuat miris, diam-diam kita sama-sama paham, kasus-kasus yang terungkap di media itu sekadar puncak-puncak gunung es dari seluruh persoalan yang ada.

Cerita terbaru adalah heboh penangkapan dua menteri di Kabinet Indonesia Maju. Pada Rabu (25/11/20) Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap terkait kebijakan ekspor benih lobster. Tak lama kemudian, giliran Menteri Sosial Juliari P Batubara menyusul. Pada Minggu (06/12/20), Juliari ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa bansos penanganan pandemi Covid-19.

Tertangkapnya dua menteri ini seolah ayunan godam yang mengguncang kepercayaan rakyat terhadap pejabat negerinya. Benar-benar terasa tak masuk akal karena kasus ini muncul justru saat Indonesia kelimpungan menghadapi wabah dan sebagian besar rakyat sedang didera susah. Lebih-lebih terasa biadab, sebab korupsi itu justru menyasar anggaran bantuan untuk golongan paling rentan akibat pandemi Covid-19.

Tertangkapnya dua menteri ini jadi ironi besar jelang peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang diperingati setiap 9 Desember. Padahal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2020 sengaja mengusung tema Pulih dengan Integritas (“Recover with Integrity”). Tema tersebut dipilih untuk mengampanyekan pesan penerapan langkah-langkah mitigasi korupsi yang efektif demi pemulihan pandemi yang lebih baik. Dengan pesan itu pula, PBB menekankan pemulihan pascapandemi Covid-19 hanya dapat dicapai berbekal integritas (www.kompas.com, 08/12/2020).

Sejak mula, pada dirinya sendiri, korupsi memang melekat pada sesuatu yang nista. Korupsi berakar pada kata berbahasa Latin ‘corruptio’ (kata benda) yang berarti ‘hal merusak, hal membuat busuk, pembusukan, kerusakan, kemerosotan’ atau ‘corrumpere’ (kata kerja) yang berarti  menghancurkan, merusak, membusukkan, mencemarkan, memerosotkan (Priyono, Herry B, 2018).

Definisi tentang korupsi (dan perilaku korup) memiliki percabangan dan berkembang menyesuaikan waktu dan konteks. Perilaku yang bisa dikategorikan sebagai ‘korup’ pun beragam sepanjang sejarah manusia. Namun dari beragam definisi yang ada, kita tahu, tak pernah ada kebaikan dari laku korup. Karenanya wajar kalau pada setiap zaman dan tata peradaban korupsi menjadi musuh bersama setiap elemen pemerintah maupun masyarakat. Tak terkecuali bagi BPK.

Seusai undang-undang, BPK adalah satu-satunya lembaga tinggi negara yang berewenang melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara di Indonesia. Ada beberapa jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Memperhatikan kewenangan BPK tersebut, sejak mula, mustahil melepaskan BPK dari kerja besar pemberantasan korupsi di Indonesia. Posisinya sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara – tidak bisa tidak – menempatkan BPK sebagai salah satu motor dalam perang melawan korupsi.

Di Indonesia sendiri, tren perang melawan korupsi tampaknya mengarah pada pengutamaan upaya pencegahan. Hal itu setidaknya terungkap dari pernyataan presiden dan ketua KPK, dua entitas politik dan pemerintahan yang bisa dikata paling menentukan agenda pemberantasan korupsi di negeri ini.

Presiden Joko Widodo, pada Desember 2019, mengatakan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia perlu dievaluasi. Menurutnya, penindakan itu perlu, tapi yang terpenting justru harus pembangunan sistem (www.tirto.id, 09/12/20). Sebelumnya, hal senada juga disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri. Firli mengatakan bahwa arah pemberantasan korupsi ke depan akan lebih mengutamakan pencegahan dan perbaikan sistem, sembari melakukan pendidikan masyarakat dan tetap melakukan penindakan (www.mediaindonesia.com, 19/11/20).

Sebagai salah poros utama perang melawan korupsi di Indonesia, BPK tentu tak bisa lepas dari arus besar ini. Idealnya, dengan segala kewenangannya, BPK sebisa mungkin berperan mencegah atau mengurangi terjadinya korupsi melalui pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan.

Masalahnya, pemeriksaan BPK memang lebih banyak bersifat post-audit atau pemeriksaan yang dilakukan setelah sebuah aktivitas atau kegiatan atau transaksi berlangsung. Untuk kasus pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah misalnya, yang merupakan pemeriksaan paling utama yang dimandatkan undang-undang, pemeriksaan dilaksanakan setelah laporan keuangan pemerintah selesai disusun oleh pemerintah. Kondisi ini lebih sering memposisikan BPK sebagai penyelesai masalah daripada pencegah.

Peran BPK

Meski demikian, memperhatikan aspek-aspek kelembagaan dan kewenangan BPK dalam hal pemeriksaan, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan agar BPK bisa lebih mengoptimalkan perannya memerangi korupsi di Indonesia, khususnya dalam konteks pencegahan korupsi.

Pertama, tetap menjaga profesionalisme para pemeriksa. Tak mungkin membersihkan lantai dengan sapu yang kotor. Nilai-nilai dasar BPK, yaitu integritas, independensi, dan profesionalisme, harus selalu dipegang teguh saat bertugas. Penegakan aturan dan kode etik juga jadi tuntutan yang tak bisa dihindarkan. Selain itu, kesadaran untuk bekerja sesuai standar, peraturan, dan kecakapan profesi juga harus ditekankan pada semua pemeriksa. Dengan begitu BPK lebih bisa jadi pemecah masalah, bukan penambah masalah.

Kedua, mengubahmindset tentang temuan pemeriksaan. Selama ini, harus diakui, publik seolah lebih mengapresiasi kerja BPK ketika ada temuan-temuan pemeriksaan yang sarat dengan angka-angka fantastis. Ketika laporan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan (LK) pemerintah dirilis misalnya, masyarakat dan media cenderung memperhatikan buku tiga (berisi temuan kepatuhan atas peraturan perundang-undangan) dibanding buku dua (berisi temuan-temuan atas Sistem Pengendalian Intern/SPI). Temuan terkait SPI seolah kalah ‘seksi’ dibanding temuan-temuan kepatuhan, yang biasanya memang lekat dengan rekomendasi berupa pengembalian ke kas negara/daerah.

Ironisnya, anggapan semacam ini kadang diamini para pemeriksa BPK sendiri. Pemeriksaan terasa kurang ‘wah’ ketika tidak menghasilkan temuan yang berkorelasi dengan pengembalian ke kas daerah/negara. Padahal, dalam konteks perbaikan sistem tata kelola keuangan pemerintah, temuan-temuan atas SPI inilah yang justru berpotensi memberikan dampak perbaikan yang lebih sistemik dan berjangka panjang, yang tentu tak bisa diabaikan dalam upaya pencegahan korupsi.  

Ketiga, mulai memperkuat pemeriksaan kinerja. Lepas dari tetap utamanya pemeriksaan keuangan, BPK bisa mulai menambah sumber daya untuk pemeriksaan-pemeriksaan kinerja. Berbeda dengan pemeriksaan jenis lainnya, pemeriksaan kinerja bertujuan menguji dan menilai aspek ekonomi, efisiensi, dan/atau efektivitas, serta aspek kinerja lain atas suatu hal pokok yang diperiksa. Muaranya adalah rekomendasi yang dapat mendorong ke arah perbaikan.

Pemeriksaan ini akan bermanfaat dalam kontek penyempurnaan sistem dan pencegahan terulangnya risiko-risiko buruk pada masa depan. Penguatan pemeriksaan atas kinerja bisa jadi salah satu sumbangsih BPK dalam memerangi korupsi, terutama dari sisi pencegahan korupsi.

Korupsi memang jenis kejahatan luar biasa dan karenanya memerlukan kerja tak biasa untuk mencegah dan memeranginya. Tak pernah mudah, tapi juga bukan tak mungkin dilakukan. Dengan kesungguhan, profesionalisme, dan konsistensi, kiranya BPK akan lebih mampu mengoptimalkan perannya. Demi Indonesia yang lebih membanggakan dan demi hari depan yang lebih menggembirakan.

12/03/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Jiwasraya
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Sinergi BPK untuk Usut Jiwasraya

by Admin 1 15/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki hubungan yang erat dengan para penegak hukum dalam upaya pencegahan serta pemberantasan korupsi di Tanah Air, tak terkecuali dengan Kejaksaan Agung RI. Sinergi BPK dengan Kejaksaan Agung salah satunya dilakukan pada pengungkapan kasus gagal bayar yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Menurut Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono, sinergi dengan BPK membuat penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi lebih efektif. Ali mengatakan, sinergi yang dapat dijadikan contoh dalam penyelesaian penanganan perkara tindak pidana korupsi adalah kerja sama dalam percepatan penanganan perkara tindak pidana korupsi Asuransi Jiwasraya.

Ali melalui wawancara tertulis kepada Warta Pemeriksa pada Desember lalu menjelaskan, kerja sama tim penyidik pada Jampidsus dan tim pemeriksa pada BPK dilakukan secara simultan dengan respons yang cepat, tukar menukar data yang up to date. Selain itu, dibarengi dengan koordinasi yang secara terus menerus dilakukan.

“Berkat koordinasi itu, proses penyidikan dan audit forensik serta penghitungan kerugian keuangan negara bisa dilakukan lebih efektif karena dilakukan klarifikasi bersama untuk mendapatkan alat bukti,” kata Ali.

Dalam melakukan sinergi, kata dia, tim penyidik pada Jampidsus melakukan analisa hukum dari alat bukti yang ditemukan. Di sisi lain, tim pemeriksa BPK melakukan analisis akuntansi terhadap alat bukti yang telah ditemukan oleh tim penyidik.

“Dengan demikian, kausalitas antara unsur perbuatan melawan hukum dengan unsur kerugian keuangan negara menjadi analisis yuridis yang komprehensif sebagai suatu perbuatan yang voltooid,” kata dia.

Seperti diketahui, BPK mampu menepati komitmennya untuk menyelesaikan penghitungan kerugian negara dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada awal Maret 2020. Laporan juga telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung dan diumumkan kepada publik pada 9 Maret 2020.

Pemeriksaan Investigatif dalam rangka Penghitungan Kerugian Negara atas Pengelolaan Keuangan dan Dana Investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Tahun 2008-2018 dilakukan untuk menindaklanjuti permintaan Kejaksaan Agung pada 30 Desember 2019. 

Berdasarkan perhitungan BPK. kerugian negara dalam kasus Jiwasraya sebesar Rp16,81 triliun. Kerugian negara tersebut terdiri atas kerugian dari investasi saham sebesar Rp4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi reksa dana sebesar Rp12,16 triliun.

Jauh sebelum mencuatnya kasus gagal bayar dan terkuaknya dugaan korupsi di Jiwasraya, BPK sebetulnya sudah sejak lama menemukan adanya ketidakberesan dalam tubuh perusahaan asuransi jiwa tertua di Tanah Air tersebut. Ketidakberesan itu terungkap dalam sejumlah pemeriksaan yang telah dilakukan, mulai dari pemeriksaan laporan keuangan hingga pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).

Pada 2016, misalnya, BPK melakukan PDTT atas Pengelolaan Bisnis Asuransi, Investasi, Pendapatan, dan Biaya Operasional Jiwasraya untuk tahun 2014-2015.

Ada 16 poin temuan pemeriksaan, antara lain pertanggungjawaban penggunaan dana aktivitas pada beberapa kantor Jiwasraya sebesar Rp2,5 miliar belum tertib. Kemudian, pengelolaan dan pengawasan atas properti investasi tidak sesuai ketentuan.

Sementara dalam pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern (SPI) pada tahun buku 2009- 2010 (semester I), BPK menyimpulkan rancangan dan terapan SPI Jiwasraya tidak sesuai dengan praktik good corporate governance pada badan usaha milik negara (BUMN).

15/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Gedung BPK
BeritaOpiniSuara Publik

BPK Turut Berperan dalam Mengurangi Korupsi?

by Admin 1 01/02/2021
written by Admin 1

Oleh: Mita Cahyani, BPK Perwakilan Provinsi Jawa Tengah

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Dalam beberapa kesempatan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaku sebagai lembaga yang berperan penting dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertambahan jumlah entitas yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari tahun ke tahun menjadi salah satu pendukung klaim tersebut. Benarkah demikian?

BPK adalah lembaga tinggi negara yang bertugas dan bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Salah satu pemeriksaan yang rutin dilakukan oleh BPK adalah pemeriksaan atas laporan keuangan.

Dengan perannya sebagai auditor eksternal pemerintah, BPK wajib memastikan kewajaran atas angka-angka yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara/daerah (BUMN/D), badan layanan umum (BLU) dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Kewajaran penyajian angka-angka ini nantinya akan menjadi dasar pemberian opini oleh BPK atas laporan keuangan.

Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2020 yang dikeluarkan BPK menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan atas laporan keuangan kementerian/lembaga (LKKL) dan laporan keuangan bendahara umum negara (LKBUN) tahun 2015-2019 menunjukkan perkembangan opini yang baik. Pada 2015, hanya 65% yang mendapatkan opini WTP. Akan tetapi, pada 2019, sudah 97% kementerian/lembaga di pemerintah pusat yang memperoleh opini WTP.

Untuk pemerintah daerah, perkembangan opini pun mengalami peningkatan yang baik. Pada 2015, ada 313 pemerintah daerah atau sekitar 58% yang mendapatkan opini WTP. Pada 2019, sudah 485 pemerintah daerah atau sekitar 90% berhasil memperoleh opini WTP. Angka ini adalah perhitungan secara total tanpa memperhitungkan fakta bahwa ada pemerintah pusat/daerah yang mengalami kenaikan atau penurunan opini.

Apabila opini atas laporan keuangan yang diberikan kepada suatu entitas adalah opini WTP, tentu saja kita menganggap bahwa entitas tersebut sudah melakukan pengelolaan keuangan negara/daerah dengan baik dan akuntabel. Namun, kenyataan bahwa masih ada praktik korupsi yang dilakukan oleh para pejabat meskipun laporan keuangan yang dihasilkan entitasnya telah mendapatkan opini WTP. Ini membuat kita berpikir kembali, apakah opini yang baik berarti tidak ada kemungkinan untuk terjadi korupsi atau fraud? Sayangnya tidak demikian kenyataannya.

Contoh kasus korupsi yang menjerat kepala daerah yang laporan keuangannya memperoleh opini WTP adalah bupati Indramayu yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Oktober 2019. Dia terjerat kasus dugaan suap proyek jalan di Dinas PUPR Indramayu. Kasus lain yang baru-baru ini terjadi adalah penangkapan bupati Banggai Laut karena dugaan penerimaan suap pengadaan barang dan jasa (3/12/2020). Padahal Kabupaten Banggai Laut sudah mendapat opini WTP selama tiga tahun berturut-turut sejak 2017.

Jika opini tidak dapat menjadi tolok ukur untuk melihat ada tidaknya tindak korupsi di suatu entitas, apa dampak sebenarnya dari pemeriksaan atas laporan keuangan yang dilakukan BPK? Bukankah dari laporan keuangan seharusnya kita dapat melihat bagaimana kinerja dari entitas pembuat laporan keuangan tersebut?

Kemudian jika opini atas suatu laporan keuangan adalah WTP, bukankah seharusnya laporan keuangan tersebut sudah disajikan sesuai standar. Lalu sistem pengendalian intern sudah berjalan dengan baik, sudah patuh terhadap peraturan perundang-undangan, dan sudah diungkapkan secara cukup dan wajar untuk hal-hal yang material?

Pemeriksaan atas laporan keuangan yang dilakukan secara rutin oleh BPK merupakan salah satu usaha untuk mengurangi penyalahgunaan anggaran negara/daerah. Dengan pemeriksaan rutin, kesalahan administrasi dalam pertanggungjawaban dapat ditemukan dan dikoreksi. Ketidakpatuhan atas peraturan perundang-undangan dapat ditemukan. Kelemahan dalam sistem pengendalian intern yang memungkinkan timbulnya kesempatan untuk melakukan penyalahgunaan anggaran dapat diidentifikasi dan diperbaiki untuk pengendalian yang lebih baik di tahun berikutnya.

Teori GONE oleh Jack Bologne menyatakan bahwa korupsi dapat timbul karena ada keserakahan (Greed), kesempatan (Opportunity), kebutuhan (Needs), dan pengungkapan (Exposure) (Jaka Isgiyata, Indayani, & Eko Budiyoni, 2018). Sedangkan Robert Klitgaard menyatakan bahwa korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas (ditjenpas.go.id/teori-teori-korupsi).

Dengan pemeriksaan atas laporan keuangan yang rutin dilakukan oleh BPK, faktor kesempatan dan pengungkapan dapat diminimalisasi. Apabila atas laporan keuangan pemerintah pusat/daerah diberikan opini WTP, tentunya hal itu menunjukkan bahwa sistem pengendalian intern sudah berjalan baik. Sistem pengendalian intern yang berjalan baik akan memperkecil kesempatan terjadinya penyalahgunaan uang negara/daerah.

Selain itu, dalam laporan hasil pemeriksaan, BPK mengungkapkan masalah-masalah yang terjadi pada entitas pengelola keuangan negara/daerah. Laporan tersebut dapat digunakan sebagai bukti awal apabila ditemukan tindakan yang menimbulkan kerugian negara.

Dari dua kasus yang disebutkan tadi, kepala daerah Indramayu dan Banggai Laut ditangkap karena kasus suap. Suap tersebut terjadi antara rekanan dan kepala daerah. Di satu sisi, hal tersebut tidak mempengaruhi laporan keuangan. Ini karena uang yang diserahkan adalah uang milik rekanan. Sementara angka belanja yang tercantum dalam laporan keuangan tetap sesuai dengan bukti pertanggungjawaban yang ada. Di sisi lain, dengan adanya suap tersebut tentunya kontraktor akan mengurangkan biaya suap tersebut dari lelang yang dimenangkannya dan mempengaruhi kualitas proyek yang dikerjakannya.

Dalam melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan, BPK akan menguji kewajaran angka-angka yang tersaji dan dicocokkan dengan pertanggungjawaban yang ada. BPK menguji apakah kegiatan-kegiatan yang tercantum dalam laporan keuangan sudah dilaksanakan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. BPK menguji apakah prosedur-prosedur yang harus dilalui demi terselenggaranya kegiatan yang tercantum dalam laporan keuangan sudah dilaksanakan sesuai jenjang tanggung jawabnya untuk memastikan pengendalian intern sudah berjalan dengan baik.

Untuk mendeteksi kecurangan seperti suap, Kepala Subauditorat Jawa Timur I Rusdiyanto saaat wawancara dengan Republika menyampaikan bahwa BPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan prosedur seperti penyadapan. Dengn begitu BPK tidak bisa mendeteksi apakah ada praktik suap atau tidak.

Dari sisi lain, terdapat tren kenaikan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Jika kita melihat skor indeks persepsi korupsi (IPK), saat ini (per 2019) Indonesia mendapat skor 40 dari total skor 100. Skor ini meningkat jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (pada 2015-2018 skor IPK Indonesia adalah 36, 37, 37, dan 38 dari 100).

Dari pembahasan di atas, kita bisa melihat bahwa pemeriksaan atas laporan keuangan berpengaruh baik pada peningkatan tata kelola keuangan yang mengarah semakin berkurangnya peyalahgunaan atas keuangan negara/daerah. Tren peningkatan opini WTP pun sepertinya memang menggambarkan hal ini.

Akan tetapi, ada hal-hal lain yang ternyata menyebabkan korupsi tetap terjadi dan tidak cukup diantisipasi dengan pemeriksaan atas laporan keuangan saja. Misalnya faktor keserakahan dan tidak adanya akuntabilitas yang membarengi kekuasaan. Untuk mengantisipasi hal-hal seperti ini, pemeriksaan laporan keuangan yang secara rutin dilakukan memang dapat meningkatkan pengelolaan keuangan yang lebih baik. Selain itu, BPK juga perlu meningkatkan jenis pemeriksaan lainnya dan memastikan kompetensi pemeriksanya mumpuni untuk memberikan penilaian yang tepat.

01/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan Urgensi Kolaborasi Nasional
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025

    04/07/2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama

    02/07/2025
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan...

    01/07/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id