Oleh: Akhmad Saputra Benawa, Pemeriksa pada BPK Perwakilan Prov. Lampung
Pemerintah Pusat berupaya melakukan penghematan besar terhadap APBN tahun 2025. Hal ini merupakan bagian dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, dengan target efisiensi mencapai Rp306,7 triliun yang terdiri dari pemangkasan belanja Kementerian/Lembaga sebesar Rp256,1 triliun dan penyesuaian transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp50,6 triliun. Upaya ini mencerminkan semangat reformasi fiskal nasional. Namun, hal tersebut tentu mengundang pertanyaan: seperti apa pengaruhnya bagi pemda? Dan bagaimana sebaiknya pemda merespons kondisi ini?
Meningkatkan Literasi Keuangan di Tengah Kebijakan Efisiensi
Langkah efisiensi fiskal oleh pemerintah pusat menegaskan bahwa tata kelola keuangan kini menjadi kebutuhan mendesak, bukan lagi sekadar opsi. Saat negara dituntut berhemat, pemda pun perlu lebih bijak dalam mengelola keuangan. Dampaknya bersifat langsung: potensi inflasi, persaingan kerja meningkat, serta layanan publik yang mungkin menurun. Dalam konteks ini, pemda perlu mendorong literasi keuangan berbasis data dengan memanfaatkan sumber resmi, seperti LHP BPK, Kaleidoskop Anggaran K/L dari Dirjen Perbendaharaan, data keuangan daerah dari BPS, serta publikasi instansi berwenang lainnya.
Respons Bijak: Perencanaan Keuangan Daerah yang Strategis
Keberhasilan pembangunan nasional sejatinya tak lepas dari keterlibatan aktif antara pemerintah pusat, pemda, dan masyarakat. Sinergi antara ketiganya merupakan kunci utama. Pemerintah Pusat salah satu kebijakannya telah mengesahkan PP Nomor 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional, yang bertujuan menyelaraskan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Beberapa ruang lingkup dalam regulasi ini antara lain: sinergi kebijakan fiskal, pembiayaan utang daerah, pembentukan Dana Abadi Daerah, serta kolaborasi pendanaan. Beberapa langkah implementatif yang dapat ditempuh pemda untuk menyelaraskan kebijakan fiskalnya dengan pusat antara lain:
- Integrasi Perencanaan dan Penganggaran
Pemda diwajibkan menyelaraskan dokumen KUA-PPAS dengan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal KEM-PPKF (KEM PPKF) nasional. Ini menuntut TAPD untuk aktif mengikuti pembahasan lintas kementerian dan menyinkronkan dokumen RPJMD dengan RPJMN. Selain itu, penganggaran perlu didasarkan pada proyeksi pendapatan yang realistis (berdasarkan tren penerimaan tahunan), bukan sekadar untuk pemenuhan aspirasi politik, tetapi untuk menjaga stabilitas ekonomi dan belanja yang berdampak langsung ke masyarakat serta mempertimbangkan kebijakan untuk mempersempit defisit anggaran daerah. Kolaborasi dengan Dirjen Perimbangan Keuangan (DJPK), Dirjen Anggaran (DJA), DJPb dan Bappenas diperlukan guna menyesuaikan proyeksi dan realisasi keuangan secara berkala.
- Penetapan Batas Defisit dan Pengelolaan Utang
Dengan menetapkan batas maksimal defisit APBD dan pinjaman daerah, pemda perlu melakukan kajian kelayakan atas proyek yang hendak didanai dengan utang, serta menetapkan plafon pembiayaan melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel. Seluruh pinjaman daerah harus disetujui DPRD dan disesuaikan dengan kemampuan fiskal agar tidak membebani keuangan daerah di masa depan.
- Penguatan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD dan Konsistensi Bagan Akun Standar (BAS)
Data keuangan daerah harus terintegrasi dengan SIKD dan mengikuti struktur BAS secara konsisten. Pemda juga didorong mengembangkan platform digital untuk menjaring aspirasi dan permasalahan masyarakat lintas sektor sebagai dasar penyusunan anggaran yang tepat sasaran dan berbasis kebutuhan riil. Seluruh isu yang teridentifikasi harus terhubung dalam basis data yang menjadi rujukan utama dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat OPD maupun kepala daerah. Penyediaan data keuangan, kinerja, dan transaksi pun wajib disajikan secara real-time, akurat, dan sesuai ketentuan yang berlaku.
- Pemantauan, Evaluasi, dan Skema Insentif
Melalui pemantauan digital, pemerintah pusat dapat mengevaluasi kepatuhan daerah terhadap kebijakan fiskal nasional. Daerah yang patuh dan berkinerja baik berpeluang menerima insentif fiskal, sedangkan yang tidak memenuhi kriteria dapat dikenai sanksi berupa pemotongan transfer. Oleh karena itu, penguatan sistem evaluasi internal berbasis indikator kinerja sangat penting untuk menunjang transparansi dan akuntabilitas daerah. Monitoring terhadap Key Perfomance Indicator (KPI) fiskal dan indikator kinerja daerah dapat digunakan hasilnya untuk pengendalian internal dan sebagai alat negosiasi insentif.
- Pembentukan Dana Abadi Daerah (DAD)
Kebijakan mengenai DAD masih tergolong baru, namun potensinya besar dalam menopang keuangan jangka panjang. Daerah dengan kapasitas fiskal memadai dapat membentuk DAD melalui perda, dengan sumber dana seperti SILPA atau lainnya. Pengelolaan DAD harus hati-hati dan dilakukan oleh lembaga resmi seperti BUD atau BLUD, serta diinvestasikan pada instrumen yang aman dan berkelanjutan.
- Sinergi Pendanaan dan Kemitraan
Pemda perlu menjajaki berbagai bentuk kerja sama, baik dengan sektor swasta maupun organisasi lingkup pengusaha dan masyarakat, untuk memperluas basis pembiayaan pembangunan. Di tengah kebijakan efisiensi, pendekatan kolaboratif menjadi alternatif penting untuk memastikan keberlangsungan layanan publik dan program prioritas.
Referensi:
- PP Nomor 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional.
- AntaraNews.com, Wamenkeu: Pemda Diperbolehkan Miliki Dana Abadi Daerah, 17 Maret 2022.
- djpb.kemenkeu.go.id, Efisiensi Dana Desa Memacu Kemandirian Desa, 17 Februari 2025.