WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Saturday, 5 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Tag:

Kerugian Negara

Persidangan (Ilustrasi/Sumber: Freepik)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Jadi Pemberi Keterangan Ahli, Ini Syarat yang Perlu Dimiliki Pemeriksa BPK

by Admin 1 26/10/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki peran penting dalam proses penegakan hukum terkait perkara yang menyebabkan kerugian negara. BPK memiliki kewenangan melakukan penghitungan kerugian negara dan memberikan keterangan ahli, baik dalam proses penyidikan maupun di ranah persidangan.

Kepala Subauditorat Auditorat Investigasi Keuangan Negara Pusat BPK Andi Rahmad Zubaidi mengatakan, pemberian keterangan ahli dari BPK diperlukan penyidik untuk menentukan ada tidaknya kerugian negara serta nilai kerugian tersebut. Andi mengatakan, pemilihan pemeriksa untuk mewakili BPK dalam memberikan keterangan ahli di persidangan diusulkan secara berjenjang.

BPK akan memprioritaskan pemeriksa yang memiliki penguasaan terhadap kasus tersebut. Menurut Andi, apabila menugaskan orang yang tidak memahami perkara atau kasus secara baik justru akan susah mempertahankan argumen di persidangan.

“Karena nanti dalam persidangan yang ditanyakan pasti seputar kasus itu dan bagaimana BPK menetapkan angka kerugian negara itu,” kata Andi.

Selain orang yang sangat menguasai kasus tersebut, BPK juga mempertimbangkan pemeriksa yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Andi menyampaikan, dalam sebuah tim bisa jadi ada pemeriksa yang memiliki penguasaan kasus yang baik, tapi kemampuan komunikasinya tidak sebaik yang lain.

Padahal, dia menggambarkan, Ahli yang dikirimkan BPK itu nantinya akan duduk di persidangan tanpa dibantu siapapun. Selain itu harus menerangkan hal yang ditanyakan para pihak terkait, seperti hakim, jaksa penuntut umum (JPU), penasihat hukum, bahkan terdakwa.

“Sebaiknya pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijawab BPK dan membuat hakim yakin. Makanya kemampuan komunikasi menjadi penting untuk menyampaikan hal yang ada dalam laporan hasil pemeriksaan dan menjadi dimengerti orang lain,” kata Andi.

Selain itu, ujar Andi, Ahli yang ditunjuk BPK harus memiliki ketahanan psikologis. Andi mengatakan, menjadi Ahli di persidangan memiliki tantangan karena ada banyak konsekuensi hukum yang membayangi. Apabila Ahli itu salah berbicara, bisa jadi dianggap melakukan sumpah palsu, memberikan keterangan palsu di persidangan, atau bisa dianggap melecehkan majelis pengadilan.

“Apalagi Ahli yang ditunjuk itu harus mempertahankan laporan BPK yang pasti akan dibantah oleh terdakwa atau penasihat hukumnya. Untuk menahan beban itu makanya dibutuhkan kekuatan psikologis,” ujar Andi.

Andi mengatakan, setiap laporan hasil pemeriksaan penghitungan kerugian negara (LHP PKN) terbit, maka AUI akan menunjuk pemeriksa yang akan menjadi Pemberi Keterangan Ahli. Pemeriksa itu kemudian dilatih dalam suatu simulasi persidangan.

“Jadi kita akan berlatih dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada Ahli yang ditunjuk tersebut sehingga dapat memperkuat dia jelang persidangan sesungguhnya,” kata Andi.

Pelatihan itu antara lain untuk mengasah pemilihan kata yang tepat atau menghadapi situasi yang mencekam. Andi mengatakan, hal ini dilakukan bergiliran dan diharapkan semua pemeriksa AUI dapat memberikan keterangan ahli di persidangan.

26/10/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Gedung BPK
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Pulihkan Kerugian Negara Puluhan Triliun, BPK Perkuat Tuntutan Perbendaharaan

by Admin 1 16/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tak hanya menjalankan fungsi pemeriksaan dan rekomendasi dalam mengawal dan menyelamatkan harta negara. BPK juga menjalankan fungsi kuasi yudisial.

Sesuai pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK berwenang menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

Untuk menjalankan fungsi kuasi yudisial, BPK membentuk Majelis Tuntutan Perbendaharaan (MTP). Melalui MTP, BPK melakukan proses Tuntutan Perbendaharaan (TP) yang ditujukan terhadap bendahara yang merugikan negara dan memberikan pertimbangan kepada pemerintah atas proses tuntutan ganti rugi (TGR) terhadap pegawai negeri bukan bendahara yang merugikan keuangan negara.

Kepala Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara, Blucer Wellington Rajagukguk mengatakan, pemeriksaan BPK dalam kurun waktu 2009 hingga semester I 2020 mengungkap sebanyak 257.136 permasalahan dengan nilai uang sebesar Rp501,29 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 49.548 permasalahan di antaranya atau 19,27 persen merupakan masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berindikasi kerugian negara atau daerah. “Angkanya sebesar Rp34,65 triliun dengan rata-rata kerugian sebesar Rp3 triliun per tahunnya,” kata Blucer kepada Warta Pemeriksa, beberapa waktu lalu.

Blucer mengatakan, dari nilai kerugian sebesar Rp34,65 triliun, baru sebesar Rp3,43 triliun atau 9,9 persen yang telah memperoleh penetapan dengan nilai kerugian yang telah dipulihkan sebesar Rp1,77 triliun. Artinya, ujar Blucer, hanya kerugian sebesar Rp3,43 triliun yang telah valid dan penanggung jawab kerugian telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang.

“Memang untuk penyelesaian ini menurut saya cukup memprihatinkan, karena kalau kita lihat kurang dari 10 persen dari total yang terindikasi sebagai kerugian negara,” ucap dia.

Persoalan-persoalan ini menurut dia menjadi tantangan besar karena ada potensi mengalami kedaluwarsa. Padahal angka kerugiannya mencapai triliunan rupiah. Oleh karena itu, pihaknya intensif menjalin komunikasi dengan AKN maupun kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.

Blucer menegaskan, keberadaan Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi (TP-TGR) sangat penting. Ia menjelaskan, Majelis TP-TGR menyelesaikan persoalan kerugian negara yang dilakukan bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

16/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Grafis Hasil Pemeriksaan BPK Semester I Tahun 2020
InfografikSLIDER

BPK Ungkap 13.567 Permasalahan Senilai Rp8,97 Triliun

by Admin 1 30/01/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2020 memuat ringkasan dari 680 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang terdiri atas 634 (93 persen) LHP Keuangan, 7 (1 persen) LHP Kinerja, dan 39 (6 persen) LHP Dengan Tujuan Tertentu. BPK mengungkap 7.868 temuan yang memuat 13.567 permasalahan sebesar Rp8,97 triliun.

Hal itu meliputi 6.713 (50 persen) permasalahan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI) dan 6.702 (49 persen) permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebesar Rp8,28 triliun, serta 152 (1 persen) permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan sebesar Rp692,05 miliar.

Dari permasalahan ketidakpatuhan sebanyak 6.702 permasalahan, sebanyak 4.051 (60 persen) sebesar Rp8,28 triliun merupakan permasalahan ketidakpatuhan yang dapat mengakibatkan kerugian sebanyak 2.693 (66 persen) permasalahan sebesar Rp1,79 triliun, potensi kerugian sebanyak 433 (11 persen) permasalahan sebesar Rp3,30 triliun, dan kekurangan penerimaan sebanyak 925 (23 persen) permasalahan sebesar Rp3,19 triliun.

Atas permasalahan tersebut, entitas telah menindaklanjuti dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara/daerah/perusahaan selama proses pemeriksaan sebesar Rp670,50 miliar (8 persen) di antaranya sebesar Rp384,71 miliar (57 persen) merupakan penyetoran dari pemerintah pusat, BUMN, dan badan lainnya.

Selain itu, terdapat 2.651 (40 persen) permasalahan ketidakpatuhan dalam bentuk kesalahan administrasi. Dari 152 permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan sebesar Rp692,05 miliar, terdapat 39 (25 persen) permasalahan ketidakhematan sebesar Rp222,17 miliar, satu (1 persen) permasalahan ketidakefisienan sebesar Rp426,51 miliar, dan 112 (74 persen) permasalahan ketidakefektifan sebesar Rp43,37 miliar.

30/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Ketua BPK Agung Firman Sampurna
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

BPK Tangguh Melaksanakan Oversight

by Super Admin 19/01/2021
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Untuk memberikan nilai dan manfaat BPK bagi pemangku kepentingan, BPK berupaya untuk meningkatkan peran insight dan foresight. Meskipun demikian, upaya tersebut tidak menghilangkan peran oversight BPK.

Hal itu diperkuat dengan misi BPK yang kedua dalam Renstra BPK 2020-2024, yaitu, “Mendorong pencegahan korupsi dan percepatan penyelesaian ganti kerugian negara”.

Dengan misi itu, maka selain meningkatkan peran insight dan foresight, BPK juga tetap menjalankan fungsi oversight dan diharapkan menjadi lebih tangguh lagi menjalankan fungsi tersebut.

Peran oversight ini dilakukan untuk memastikan entitas pemerintah melakukan tata kelola keuangan negara yang baik serta patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peran ini dilakukan dengan mendorong upaya pemberantasan korupsi, peningkatan transparansi, serta menjamin pelaksanaan akuntabilitas, serta peningkatan ekonomi, efisiensi, etika, nilai keadilan, dan keefektifan.

Ketangguhan BPK dalam menjalankan peran oversight ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2020. BPK menemukan permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan baik pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan badan lainnya sebesar Rp8,28 triliun. Permasalahan ini telah ditindaklanjuti oleh entitas yang diperiksa, antara lain dengan penyerahan aset atau penyetoran ke kas negara/daerah/perusahaan sebesar Rp670,50 miliar.

Peran oversight juga ditunjukkan dalam hasil pemeriksaan BPK yang mengungkapkan permasalahan koreksi subsidi energi, subsidi bunga kredit, kewajiban pelayanan umum bidang angkutan umum, serta dana kompensasi yang diajukan PT PLN dan PT Pertamina sebesar Rp4,77 triliun.

Hal ini pula yang ditegaskan Ketua BPK Agung Firman Sampurna dalam sambutan penyerahan IHPS I 2020 di Gedung DPR, Jakarta, Senin (9/11) yang menyatakan, “BPK telah membantu pemerintah untuk menghemat pengeluaran negara dengan melakukan koreksi subsidi dan dana kompensasi sebesar Rp4,77 triliun”.

Upaya BPK dalam pencegahan timbulnya kerugian negara dan pemberantasan korupsi ini telah memperoleh dukungan dari Mahkamah Konstitus(MK), yaitu dengan tidak menerima permohonan uji materi terkait dengan kewenangan BPK melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Hal ini pernah dinyatakan Kepala Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum BPK Blucer Welington Rajagukguk, “MK dalam amar putusannya menyebut, PDTT masih diperlukan untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara”.

Selain pemeriksaan, peran oversight juga dilakukan BPK, kata Blucer, antara lain dengan mendorong entitas melakukan mempercepat penyelesaian ganti kerugian negara melalui kegiatan pemantauan. Tingkat penyelesaian ganti kerugian negara/daerah pada periode 2005 sampai 30 Juni 2020 dengan status yang telah ditetapkan tercatat sebesar Rp3,43 triliun. Tingkat penyelesaian yang terjadi pada periode 2005 sampai 30 Juni 2020 menunjukkan terdapat angsuran sebesar Rp336,31 miliar (10 persen), pelunasan sebesar Rp1,33 triliun (39 persen), dan penghapusan sebesar Rp107,85 miliar (3 persen).

19/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Auditor Utama Investigasi BPK Hery Subowo
BeritaBPK Bekerja

Begini Cara BPK Menentukan Kerugian Negara

by Super Admin 18/01/2021
written by Super Admin


JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki peran penting dalam proses penegakan hukum terkait perkara yang menyebabkan kerugian negara. BPK memiliki kewenangan melakukan penghitungan kerugian negara dan memberikan keterangan ahli, baik dalam proses penyidikan maupun di ranah persidangan.

Auditor Utama Investigasi BPK Hery Subowo mengatakan, sebelum BPK menyampaikan hasil penghitungan kerugian negara dan memberikan keterangan ahli di persidangan, harus dilakukan pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan tersebut akan menentukan jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari sebuah tindak pidana korupsi atau fraud.

Dalam proses kerja tersebut, BPK bersinergi dengan aparat penegak hukum (APH) baik dari kejaksaan, kepolisian, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  “Meski kasus yang ditelusuri adalah kasus yang pernah diperiksa BPK, bisa jadi ada tambahan data lain karena ada kewenangan yang bisa dikerjakan oleh APH,” kata Hery kepada Warta Pemeriksa di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Hery mengatakan, penyidik bisa menyita, menahan, menggeledah, maupun menyadap untuk mengumpulkan alat bukti. Sementara, BPK tidak bisa melakukan itu. Data yang dimiliki penyidik kemudian dievaluasi BPK berdasarkan kriteria relevan, kompeten, dan cukup (RKC). “Meski datanya berasal dari APH, BPK tetap harus mengkritisi data itu,” kata Hery.

Hal itu, kata Hery, adalah upaya untuk mewujudkan collaborative evidence. Sehingga, bukti-bukti yang dikumpulkan kuat dan lengkap sebelum dibawa ke persidangan.

Hery menyampaikan, perbuatan melawan hukum menyangkut unsur kesengajaan. Dia mengatakan, orang melakukan fraud bisa dikarenakan lalai, tidak tahu, atau sengaja. Faktor penyebab fraud itu harus dipastikan terlebih dahulu. Sebab, kelalaian atau ketidaktahuan bukan perbuatan korupsi. Hal itu kemudian dapat diselesaikan dengan tuntutan ganti rugi melalui hukum administrasi keuangan negara.

Sementara, fraud yang disengaja itu memiliki ciri-ciri terencana. Hery mencontohkan, sejak awal pelaku fraud akan membentuk anggaran, kemudian memilih rekanan tertentu untuk pengadaan, mengurangi spesifikasi barang, dan kemudian memperoleh selisih harga atas barang yang dibeli. Selisih harga atau margin itu kemudian dibagikan dan uangnya mengalir ke berbagai pihak.

“Itu contoh rencana jahat yang dikerjakan secara berkaitan satu sama lain dan apabila penyimpangan itu terjadi berurutan itulah lambang kesengajaan. Inilah yang harus diungkap,” kata Hery.

18/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan Urgensi Kolaborasi Nasional
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025

    04/07/2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama

    02/07/2025
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan...

    01/07/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id