WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Saturday, 5 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Tag:

taspen

BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Soal Perubahan Skema Dana Pensiun, Ini Pandangan Wakil Ketua BPK

by Admin 1 02/12/2022
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Pemerintah berencana mengubah skema dana pensiun pegawai negeri sipil (PNS) dan pejabat negara dari manfaat pasti menjadi iuran pasti. Perubahan skema dianggap perlu karena beban negara dalam membayar uang pensiun terus meningkat setiap tahunnya.

Terkait rencana pemerintah tersebut, Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agus Joko Pramono menilai pengelolaan dana pensiun memang sudah seharusnya diperbaiki. Pemerintah juga patut melakukan reformasi pengelolaan dana pensiun dari sisi kelembagaan.

Ini Temuan BPK Soal Kebijakan Penetapan Kebutuhan ASN

“Penyelenggaraan program pensiun salah kaprah. Menurut saya, yang dijalankan sekarang bukan manfaat pasti dan bukan juga iuran pasti,” kata Agus saat berbincang dengan Warta Pemeriksa, belum lama ini.

Agus menjelaskan, dalam skema manfaat pasti, setiap pensiunan akan mendapatkan jumlah uang pensiun sesuai jumlah yang ditetapkan pemerintah. Dengan skema tersebut, ada porsi yang ditanggung pemberi kerja, dalam hal ini pemerintah, untuk menutupi selisih dari jumlah iuran yang disetorkan pensiunan saat masih bekerja.

Seperti diketahui, besaran iuran pensiun yang dibayar PNS setiap bulan sebesar 4,75 persen dari jumlah penghasilan pegawai (gaji pokok ditambah tunjangan istri dan anak). Dalam praktiknya, manfaat pensiun dibayarkan seluruhnya oleh pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Skema itu membuat risiko ada di pihak pemerintah.

Skema lainnya dalam penyaluran dana pensiun adalah iuran pasti. Dalam skema ini, pegawai mendapatkan uang pensiun berdasarkan nilai aset atau iuran yang sudah dikumpulkan ditambah dengan dana dari APBN. Kewajiban pemerintah pun akan lebih terukur dalam skema ini.

 “Mana yang lebih rendah risikonya bagi pemerintah? Tentu iuran pasti. Karena jumlah uang pensiun dihitung berdasarkan seberapa banyak aset (akumulasi iuran) yang dimiliki pegawai,” kata Agus.

“Dalam teori yang sekarang dilaksanakan oleh pemerintah, maka APBN harus menyisikan sejumlah uang yang secara pasti diterima pensiunan. Sedangkan uang yang dikumpulkan dari iuran, diletakkan dan dimanfaatkan oleh Taspen dan Asabri secara terpisah. Ini yang terjadi sekarang.”

Agus tak ingin memberikan pendapat mengenai skema mana yang lebih baik dilaksanakan pemerintah. Sebab, pilihan tersebut tergantung kemampuan pemerintah, dalam hal ini kemampuan APBN untuk membayar uang pensiun.

Kendati demikian, Agus berpendapat bahwa skema pembayaran pensiun yang diberlakukan saat ini bukan manfaat pasti, bukan juga iuran pasti. Alasannya, iuran pensiun yang dikumpulkan PNS diserahkan kepada PT Taspen (Persero). Adapun iuran pensiun TNI, Polri, dan PNS Kementerian Pertahanan, diserahkan kepada PT Asabri.

Meski ada iuran yang dikumpulkan di kedua lembaga tersebut, pemerintah setiap tahun harus mengalokasikan anggaran pensiun dan menanggung sepenuhnya.

“Jadi sebenarnya, ini yang mana (skema yang diterapkan), Manfaat pasti bukan, iuran pasti bukan. Yang pasti itu, pasti keluar anggaran dari APBN dalam jumlah sekian. Ini yang menurut saya salah kaprah. Saya juga sudah sampaikan kepada Kementerian Keuangan bawa penyelenggaraan pensiun salah kaprah. Bukan manfaat pasti, bukan iuran pasti. Ini karena pembayaran uang pensiun sepenuhnya ditanggung APBN,” kata Agus.

Ini Respons Pemerintah Soal Temuan BPK dalam LKPP 2021

Menurut Agus, pemerintah semestinya hanya menanggung sebagian pembayaran uang pensiun, baik itu dalam skema manfaat pasti maupun iuran pasti. Sementara dalam praktik yang dijalankan, pemerintah menanggung seluruh pembayaran uang pensiun.

“Dalam teori yang sekarang dilaksanakan oleh pemerintah, maka APBN harus menyisikan sejumlah uang yang secara pasti diterima pensiunan. Sedangkan uang yang dikumpulkan dari iuran, diletakkan dan dimanfaatkan oleh Taspen dan Asabri secara terpisah. Ini yang terjadi sekarang,” ujar Agus.

02/12/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Ilustrasi program pensiun (Sumber: Freepik)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Ini Nilai Klaim Jaminan Kematian yang Belum Dibayar Taspen

by Admin 1 28/11/2022
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melaksanaan pemeriksaan kepatuhan atas pengelolaan Program Pensiun, Program Asuransi Tabungan Hari Tua (THT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Kematian (JKM), Investasi, Pendapatan, dan Biaya Operasional Tahun Buku 2020 dan 2021 pada PT Taspen (Persero) dan anak perusahaan. Dari pemeriksaan tersebut, BPK menemukan sejumlah permasalahan.

Beberapa permasalahannya antara lain, Taspen belum optimal dalam memberikan layanan klaim program pensiun. Tak hanya itu, Taspen juga belum membayarkan klaim JKM kepada peserta aktif yang meninggal dunia sebesar Rp12,8 miliar. Selain itu, terdapat pembayaran klaim JKM yang tidak dibayarkan bersamaan dengan pembayaran THT sebesar Rp29,53 miliar.

“BPK menyatakan, terdapat 390 notas pembayaran klaim THT namun klaim JKM-nya belum dibayarkan oleh Taspen dengan perkiraan nilai klaim JKM sebesar Rp12,8 miliar. “

Dikutip dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepatuhan yang diselesaikan pada April 2022, BPK telah melaksanakan hasil analisis data klaim manfaat program THT dan JKM seluruh kantor cabang yang diunggah ke aplikasi Aplication Core Bisnis (ACB) dan/atau aplikasi Taspen Digital Enterprise Services (T-Des) tahun 2020 dan 2021 yang diperoleh dari Divisi Kepesertaan serta hasil pengecekan pada Aplikasi T-Des.

Dari analisis tersebut, diketahui bahwa terdapat peserta aktif yang meninggal dunia yang telah mendapatkan haknya berupa manfaat program THT namun belum mendapatkan haknya berupa manfaat program JKM. Berdasarkan hasil pemeriksaan data peserta aktif yang meninggal dunia yang telah mengajukan klaim THT mulai Juli 2015 sampai dengan Agustus 2021 di seluruh kantor cabang dan informasi dari aplikasi T-Des diketahui sejumlah permasalahan.

BPK menyatakan, terdapat 390 notas pembayaran klaim THT namun klaim JKM-nya belum dibayarkan oleh Taspen dengan perkiraan nilai klaim JKM sebesar Rp12,8 miliar. Kemudian, terdapat pembayaran klaim JKM atas 686 notas sebesar Rp29,53 miliar yang pembayarannya dilakukan tidak bersamaan dengan pembayaran klaim THT.

BPK Ungkap Kerugian Negara/Daerah Senilai Rp52,87 Triliun

Hal tersebut mengakibatkan 390 peserta belum mendapatkan hak dan tidak segera memanfaatkan dana klaim JKM serta 686 peserta tidak dapat segera memperoleh manfaat atas keterlambatan pembayaran JKM.

BPK mengungkapkan, hal tersebut disebabkan oleh Asisten Manajer Bidang Layanan dan Manfaat pada Kantor Cabang tidak segera memproses klaim JKM dan melakukan perhitungan hak JKM. Selain itu, Kepala Cabang kurang optimal dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan layanan manfaat klaim JKM.

Atas hal tersebut, direksi Taspen memberikan tanggapan bahwa manajer layanan dan manfaat kantor cabang telah melakukan proses dan perhitungan hak JKM sesuai ketentuan berlaku. Terhadap 390 klaim JKM telah dilakukan pembayaran sebanyak 369 klaim dan belum dilakukan pembayaran sebanyak 21 klaim.

Hal itu disebabkan rasio klaim Program JKM telah mencapai lebih dari 100 persen sejak 2018. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi dan penyesuaian tarif premi program JKM oleh Kementerian Keuangan.

Hubungan BPK-Kejaksaan Semakin Erat, Ini Harapan Jaksa Agung

Faktor lainnya yakni akibat dari poin di atas saldo dana JKM tidak mencukupi untuk pembayaran klaim akibat jumlah pembayaran klaim JKM lebih tinggi dibandingkan premi yang diterima. Taspen berkomitmen akan membayarkan manfaat THT yang menjadi hak peserta sebelum manfaat JKM dapat dibayarkan karena saldo dana JKM tidak mencukupi untuk pembayaran klaim akibat jumlah pembayaran klaim JKM lebih tinggi dibandingkan premi yang diterima.

BPK merekomendasikan kepada direksi Taspen agar memerintahkan kepala cabang untuk membayar klaim JKM kepada 390 peserta yang belum mendapatkan haknya. Kemudian meningkatkan pengawasan dan memerintahkan Kepala Bidang Layanan dan Manfaat melakukan pembayaran manfaat program JKM bersamaan dengan pembayaran manfaat program THT. Dengan begitu tidak terjadi keterlambatan pembayaran.

28/11/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita

Perbaiki Program Pensiun

by Super Admin 14/10/2020
written by Super Admin

JAKARTA, WARTA PEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Mei lalu telah menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2019. Salah satu hasil pemeriksaan yang signifikan yakni pemeriksaan kinerja atas efektivitas program pensiun PNS, TNI, dan Polri untuk menjamin perlindungan kesinambungan penghasilan hari tua tahun 2018 hingga semester I tahun 2019.

Pemeriksaan itu dilaksanakan pada Kementerian Keuangan (Kemenkeu), KemenPANRB, Badan Kepegawaian Negara (BKN), PT Taspen (Persero), dan PT Asabri (Persero). Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan, program pensiun PNS, TNI, dan Polri untuk menjamin perlindungan kesinambungan penghasilan hari tua tidak efektif. Hal itu disebabkan tata kelola penyelenggaraan jaminan pensiun PNS, TNI, dan Polri belum diatur secara lengkap dan jelas serta belum disesuaikan dengan perkembangan per­aturan perundangan yang berlaku.

Pemerintah belum menetapkan peraturan pelaksanaan terkait jaminan pensiun PNS sesuai amanat UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN yaitu paling lambat 2 tahun sejak UU diundangkan.

Sementara itu, dalam pelaksanaan pengelolaan pensiun, masih terdapat beberapa permasalahan, di antaranya belum ada peraturan yang jelas mengenai pengelola program pensiun, belum ada penunjukan dewan pengawas yang bertanggung jawab secara langsung terhadap pengelolaan program pensiun, dan belum ada penetapan besaran iuran pemerintah selaku pemberi kerja pensiun sejak tahun 1974.

Akibatnya, pertanggungjawaban pelaksanaan program pensiun PNS, TNI, dan Polri oleh Pemerintah untuk menjamin perlindungan kesinambung­an penghasilan hari tua belum transparan dan akuntabel, serta belum tercapainya tujuan reformasi program pensiun PNS, TNI, dan Polri sebagaimana diamanatkan dalam UU ASN dan sesuai dengan jaminan sosial nasional.

Pemerintah juga belum menyusun peraturan pelaksanaan terkait pengalihan program Pensiun PNS, TNI, dan Polri kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan sebagaimana amanat UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. UU tentang BPJS tersebut mengamanatkan penyelesaian pengalihan bagian program Pensiun PNS, TNI, dan Polri yang sesuai UU Nomor 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029.

Hal itu menyebabkan pelaksanaan program pensiun saat ini belum dapat menjamin kesejahteraan pensiunan PNS, TNI, dan Polri sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan UU Nomor 40 tentang SJSN.

Rekomendasi BPK

Terkait tata kelola penyelenggaraan jaminan pensiun PNS, TNI, dan Polri tersebut, BPK merekomendasikan Menteri Keuangan agar berkoordinasi dengan Menteri PANRB yang berwenang menetapkan kebijakan tentang sistem pensiun PNS serta instansi terkait lainnya.

BPK juga merekomendasikan kepada Menteri PANRB agar menyusun rencana penyelesaian peraturan pelaksanaan mengenai pengelolaan program jaminan pensiun, serta ketentuan gaji, tunjangan, dan fasilitas sesuai amanat UU Nomor 2014 tentang ASN. Selain itu, Menteri PANRB perlu menyusun rencana penyelesaian peraturan pelaksanaan terkait pengalihan program pensiun PNS, TNI, dan Polri yang sesuai kepada BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana amanat UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

Rekomendasi lainnya, Menteri Keuangan agar melakukan monitoring dan evaluasi secara periodik atas tindak lanjut pengendalian risiko dan perbaikan kinerja investasi saham yang dilakukan oleh PT Asabri dan tindak lanjut penjaminan investasi penyertaan langsung kepada PT WTR yang lebih aman dan konservatif oleh PT Taspen. Menteri Keuangan perlu pula menetapkan ketentuan sanksi atas adanya penurunan dana AIP dan/atau capaian hasil investasi AIP yang tidak mencapai target oleh badan penyelenggara.

Kemudian, Menteri Keuangan direkomendasikan agar meminta direktur PT Asabri untuk menetapkan pengendalian risiko investasi saham saat pembelian dan apabila saham mengalami penurunan nilai, serta membuat action plan dan tindak lanjut untuk memperbaiki kinerja investasi saham pada PT Asabri yang tidak memenuhi prinsip kehati-hatian dan sudah mengalami penurunan nilai.

14/10/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail

Berita Lain

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan Urgensi Kolaborasi Nasional
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025

    04/07/2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama

    02/07/2025
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan...

    01/07/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id