WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Saturday, 5 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Tag:

lkpp 2019

Bhima Yudhistira (sumber: indef.or.id)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Reviu Kemandirian Fiskal BPK Ungkap Alasan Pemda Kurang Inovatif

by Admin 1 30/04/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyampaikan Laporan Hasil Reviu atas Pelaksanaan Kemandirian Fiskal Pemerintah Daerah Tahun 2018 dan 2019. Laporan itu menjadi laporan tambahan dari hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun Anggaran 2019. Dari reviu tersebut, BPK menilai, sebagian besar pemerintah daerah belum mandiri.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyampaikan, terdapat sejumlah faktor yang membuat pemerintah daerah (pemda) masih belum mandiri secara fiskal. Hal itu antara lain, terdapat ketergantungan beberapa pemda terhadap kegiatan usaha berbasis komoditas dan pengolahan primer.

“Kondisi penerimaan daerah sangat bergantung dari fluktuasi harga komoditas global. Ini membuat ketidakpastian dalam perencanaan anggaran khususnya di luar Jawa,” ujar Bhima ketika dihubungi Warta Pemeriksa, beberapa waktu lalu.

Selain itu, menurut Bhima, pemda khususnya daerah pemekaran baru memiliki porsi belanja pegawai dan belanja barang yang sangat tinggi. Bahkan komponen belanja tersebut bisa mencapai lebih dari 80 persen terhadap total pagu belanja. Hal itu kemudian membuat ruang fiskal daerah menjadi semakin sempit.

Bhima juga menyoroti adanya kesenjangan kualitas SDM di tingkat pemda sehingga dalam tahap perencanaan anggaran cenderung berulang setiap tahun. “Sehingga, kurang ada inovasi,” ungkap Bhima.

Ruang fiskal yang sempit juga ditambah dengan kekakuan penggunaan dana transfer daerah dari pusat. Menurut Bhima, dengan serangkaian ketentuan yang ada, ruang bagi pemda untuk melakukan penyesuaian penggunaan anggaran semakin terbatas.

Hal itu juga mengakibatkan pemda semakin sulit berinovasi. Padahal, sejumlah pemda perlu mendesain insentif yang menarik agar dunia usaha di daerahnya bisa bergerak.

Atas permasalahan itu, Bhima menyarankan perlu ada perbaikan sistem. Salah satunya, yakni dengan pembatasan belanja yang sifatnya birokrasi dan fokus pada ruang pemda untuk memberikan stimulus kepada pelaku usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kemudian, peningkatan SDM juga perlu dilakukan dengan mengoptimalkan pendampingan dari pemerintah pusat.

Bhima juga menyarankan revisi regulasi yang mempersulit pemda dalam menyusun program kegiatan di daerah. “Evaluasi serta revisi Permendagri 90/2019 dan pemutakhirannya yang mengatur sangat ketat kode dan nomenklatur program,” ujar Bhima.

Reviu kemandirian fiskal daerah adalah salah satu komponen dari reviu atas desentralisasi fiskal. Reviu desentralisasi fiskal terdiri dari kriteria kualitatif dan kriteria kuantitatif. Tahun ini yang digunakan baru kriteria kuantitatif, yakni indeks kemandirian fiskal daerah (IKFD). Reviu kemandirian fiskal daerah dilakukan mencakup seluruh pemerintah daerah dengan empat level penilaian, yakni belum mandiri, mandiri, menuju kemandirian, mandiri, hingga sangat mandiri.

Dari 542 pemerintah daerah, untuk tingkat nasional hanya satu daerah yang berhasil mencapai level sangat mandiri yakni kabupaten Badung di Provinsi Bali dengan IKFD mencapai 0,8347, yang berarti 83,47 persen belanja daerah didanai oleh pendapatan yang dihasilkannya sendiri (PAD). Indeks tersebut lebih tinggi dibandingkan Kota Bandung dengan IKF 0,4024 dan bahkan lebih tinggi dari Provinsi DKI Jakarta yang memiliki kapasitas fiskal terbesar di antara seluruh daerah di Indonesia, dengan IKF sebesar 0,7107.

30/04/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Direktorat Jenderal Pajak
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

BPK Minta Piutang Pajak Dibenahi

by Super Admin 16/01/2021
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan beberapa permasalahan mengenai pengelolaan piutang dalam pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2019. Permasalahan tersebut mencakup ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan maupun permasalahan kelemahan sistem pengendalian internal (SPI).

Terkait dengan pengelolaan piutang perpajakan, khususnya piutang perpajakan yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak (DJP), BPK menemukan permasalahan dalam penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP). Dalam hal ini, DJP belum menerbitkan STP atas kekurangan setor pokok pajak sebesar Rp12,64 triliun dan keterlambatan penyetoran pajak dengan sanksi sebesar Rp2,69 triliun.

Dengan demikian, ada kekurangan penerimaan yang masih harus ditagih kepada wajib pajak (WP) per 31 Desember 2019 sebesar Rp15,33 triliun.

Permasalahan lainnya terkait pengelolaan piutang perpajakan di DJP adalah masih ditemukannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan secara manual tanpa melalui sistem informasi di DJP dan terlambat dimasukkan ke dalam sistem informasi. Permasalahan ini tentunya berdampak pada kelengkapan dan keakuratan penyajian nilai piutang perpajakan karena STP dan SKP merupakan dokumen sumber yang digunakan DJP sebagai dasar pencatatan dan penagihan piutang pajak

Terkait dengan permasalahan piutang perpajakan yang dikelola DJP ini, BPK mendorong DJP membuat sistem informasi yang andal dalam pembaruan data piutang pajak. Dengan begitu, data yang disajikan dalam laporan keuangan benar-benar merupakan angka valid dan reliable.

Selain itu, BPK juga mendorong DJP untuk melakukan sharing data dengan Mahkamah Agung (MA) terkait putusan-putusan maupun upaya hukum wajib pajak. Tujuannya untuk mengetahui apakah upaya hukum wajib pajak telah memiliki putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) atau belum dan apa saja keputusannya.

Sebagai informasi, LKPP 2019 menyajikan nilai piutang sebesar Rp358,47 triliun atau sebesar 3,42 persen dari nilai aset pemerintah pusat sebesar Rp10.467,53 triliun. Nilai piutang ini terdiri dari piutang perpajakan sebesar Rp94,69 triliun dan piutang non-perpajakan sebesar Rp263,77 triliun.

16/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail

Berita Lain

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan Urgensi Kolaborasi Nasional
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025

    04/07/2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama

    02/07/2025
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan...

    01/07/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id