WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Friday, 4 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Category:

Opini

Imigrasi (Ilustrasi) Sumber: Freepik
BeritaOpini

Risiko UU Cipta Kerja pada Pengelolaan Keuangan Negara-Kajian Klaster Imigrasi

by Admin 1 29/03/2021
written by Admin 1

Oleh: Eko Yulianto, Pegawai BPK

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang baru saja disahkan telah menyederhanakan 79 UU yang masih berlaku dan 1.203 pasal menjadi hanya 15 bab dan 186 pasal saja yang mencakup beberapa klaster. Pasal 1 Ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional. Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas pemerataan hak, kepastian hukum, kemudahan berusaha, kebersamaan dan kemandirian.

Ruang lingkup UU Cipta Kerja ini meliputi 10 klaster, yaitu peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, ketenagakerjaan, kemudahan berusaha, perlindungan, serta pemberdayaan koperasi dan UMKM, dukungan riset dan inovasi, pengadaan tanah, kawasan ekonomi, investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional, pelaksanaan administrasi pemerintahan, dan pengenaan sanksi.

Integrasi dan perubahan-perubahan yang dilakukan pada 79 UU menjadi satu UU baru sudah tentu akan memberikan berbagai konsekuensi berupa perubahan peraturan pelaksanaan dan penyesuaian pada 10 klaster tersebut. Termasuk penyesuaian di sektor keimigrasian.

Perubahan UU Keimigrasian

Sejalan dengan asas-asas yang ingin diwujudkan melalui UU Cipta Kerja, perubahan yang dilakukan pada UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dimaksudkan untuk memperluas cakupan pengaturan dan memudahkan kunjungan orang asing yang ingin berkunjung ke dan tinggal di Indonesia. Titik berat dari perubahan-perubahan ini tidak lain untuk semakin memudahkan orang asing dalam berinvestasi dan menjalankan usaha di Indonesa. Ada 8 ketentuan pasal dalam UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang mengalami perubahan melalui UU Cipta Kerja.

Pertama, visa dan izin tinggal saat ini dapat diberikan baik secara manual dan elektronik (Pasal 1 Angka 18 dan Angka 21). Kedua, visa kunjungan juga dapat diberikan kepada orang asing dalam rangka pra investasi (Pasal 38). Ketiga, Visa Izin Tinggal Terbatas (Vitas) juga dapat diberikan kepada orang asing sebagai rumah kedua (Pasal 39 huruf a) dan penambahan ketentuan huruf mengenai VITAS dimaksud selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 39 huruf c).

Keempat, pemberian Vitas tidak hanya dapat diberikan di perwakilan Indonesia di luar negeri KBRI/KJRI/KDEI (Pasal 40 Ayat (2)). Pemberian visa kunjungan dan Vitas di perwakilan Indonesia di Luar negeri dilaksanakan oleh pejabat imigrasi atau pejabat dinas luar negeri (Pasal 40 Ayat (3)).

Kelima, penambahan ketentuan ayat terkait orang asing yang mendapatkan izin tinggal terbatas di tempat pemeriksaan imigrasi tidak perlu melapor dan mengajukan permohonan ke kantor imigrasi setempat (Pasal 46 Ayat (4)). Keenam, Izin Tinggal Tetap (Itap) tidak lagi dapat diberikan kepada lansia, namun dialihkan kepada orang asing pemegang ITAS sebagai rumah kedua. Yaitu orang asing beserta keluarganya untuk tinggal menetap di Indonesia selama 5 tahun atau 10 tahun setelah memenuhi persyaratan tertentu (Pasal 54 Ayat (1) huruf a)) dan penambahan ketentuan ayat lebih lanjut mengenai ITAP diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 54 Ayat (4)).

Ketujuh, penambahan ketentuan huruf mengenai penjaminan tidak berlaku bagi pelaku usaha dengan kewarganegaraan asing yang menanamkan modal sebagai investasinya di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penanaman modal dan warga dari suatu negara yang secara resiprokal memberikan pembebasan penjaminan (Pasal 63 Ayat (4) huruf b dan huruf c)).               Kemudian penambahan ketentuan ayat pelaku usaha dengan kewarganegaraan asing yang menanamkan modal sebagai investasinya di Indonesia menyetorkan jaminan keimigrasian sebagai pengganti penjaminan (Pasal 63 Ayat (6)), serta penambahan ketentuan ayat lebih lanjut mengenai tata cara penjaminan bagi orang asing diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 63 Ayat (7)).

Kedelapan, penambahan ketentuan ayat terkait orang asing yang berada di wilayah Indonesia tidak lagi memperlihat dokumen perjalanan atau izin tinggal yang dimilikinya. Melainkan wajib menyerahkannya apabila diminta oleh pejabat imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan keimigrasian (Pasal 71 Ayat (1) huruf b)). Kemudian penambahan ketentuan ayat terkait lebih lanjut mengenai pemenuhan kewajiban diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 71 Ayat (2)).

Apabila dicermati, beberapa pasal dan ayat serta huruf dalam UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang diubah, ditambahkan, dan dihapus ini menyangkut mengenai pemberian visa dan izin tinggal, serta penjaminan bagi orang asing yang berada di wilayah Republik Indonesia. Termasuk juga penegasan akan adanya peraturan pemerintah atas UU Cipta Kerja yang mengatur mengenai beberapa perubahan dan penambahan serta penghapusan ketentuan yang ada.

Dari semua perubahan, penambahan dan penghapusan beberapa ketentuan UU Keimigrasian dalam UU Cipta Kerja ini, yang menarik adalah investor asing dapat melakukan prainvestasi di Indonesia dengan menggunakan visa kunjungan. Hal ini tentu adalah sebuah inovasi bahwa investor asing dapat menanamkan modalnya tanpa harus terlebih dahulu menggunakan Visa Izin Tinggal Terbatas (Vitas) dengan berbagai persyaratan dan alur birokrasi yang tidak hanya ditujukan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi. Melainkan juga sebelumnya ditujukan kepada beberapa instansi terkait yang berwenang dalam hal perizinan penanaman modal asing.

Hal ini juga sejalan dengan Tri Fungsi Keimigrasian yang salah satunya adalah menjadi fasilitator pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Hal itu salah satunya diejawantahkan melalui pembukaan lapangan pekerjaan. Namun, kemudahan berusaha ini tidak lantas akan menjadikan sebuah “ladang emas” bagi investor asing. Karena Imigrasi akan tetap menjalankan fungsi pengawasan dan penegakan hukum yang tegas terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran hukum keimigrasian.

Implikasi UU Cipta Kerja Terhadap Penerimaan Negara

Perubahan pengaturan terkait izin masuk, keluar, dan tinggal di Indonesia bagi orang asing pada UU Keimigrasian memiliki banyak implikasi di bidang hukum, keamanan, sosial, politik, ekonomi dan keuangan negara. Dari sisi keuangan negara, UU Cipta Kerja diharapkan memiliki dampak berupa potensi kenaikan pendapatan negara, baik dari sisi penerimaan pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Namun di balik berbagai manfaat potensial tersebut, UU ini tentu juga memunculkan risiko baru, antara lain yang berhubungan pengelolaan kedua jenis penerimaan tersebut.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan Kementerian Hukum dan HAM 2019, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melaporkan pendapatan sebesar Rp4,303 triliun. Dari jumlah tersebut 59,47% atau Rp2,559 triliun di antaranya berasal dari pendapatan terkait aktivitas keimigrasian. Penjelasannya, terdiri dari pendapatan paspor Rp1,253 triliun, pendapatan visa Rp406,73 miliar, pendapatan izin keimigrasian dan izin masuk kembali Rp716,93 miliar, dan pendapatan pelayanan keimigrasian lainnya Rp182,20 miliar. Dengan berbagai kelonggaran dalam hal kunjungan dan izin tinggal di Indonesia bagi orang asing, pendapatan yang dikumpulkan oleh Ditjen Imigrasi besar kemungkinan akan mengalami kenaikan, khususnya pada tiga pos yang disebut terakhir.

Dibandingkan dengan pendapatan negara dari sektor pajak, perolehan PNBP tersebut barangkali tidak signifikan. Namun dampak ikutan dari banyaknya orang asing yang mengunjungi, tinggal dan berinvestasi di Indonesia jelas memiliki signikansi tersendiri. Kunjungan wisatawan asing ke Indonesia menjadi salah satu sumber penggerak perekonomian sektor pariwisata. Investasi asing di Indonesia akan berdampak pada pembukaan lapangan pekerjaan baru yang dapat mendorong kenaikan penerimaan negara dari sektor pajak.

Sampai akhir 2019, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan wisatawan asing di Indonesia adalah 16,11 juta. Sementara itu, nilai investasi asing selama 2019 tercatat sebesar 28.208,8 juta dolar AS. Pemerintah berharap, hadirnya UU Cipta Kerja pada akhirnya akan mampu meningkatkan kedatangan wisatawan maupun investasi di Indonesia. Namun sejauh ini belum ada analis yang memperkirakan besaran peningkatannya karena peraturan pelaksanaan UU tersebut saat ini masih dalam penggodokan.

Sistem Informasi Keimigrasian

Terlepas dari berbagai perkiraan dampak yang akan ditimbulkan pada tahun-tahun yang akan datang, satu hal yang pasti dari UU Cipta Kerja ini adalah kenaikan arus masuk orang asing. Baik untuk keperluan kunjungan, tinggal dan berusaha di Indonesia. Dalam konteks ini, manajemen data kunjungan orang asing melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi menjadi titik yang paling krusial. Karena di samping manfaat, kemudahan akses orang asing ke Indonesia juga mengandung risiko yang dapat menimbulkan permasalahan sosial dan keamanan. Di samping itu, pengelolaan keuangan negara terkait keimigrasian juga sangat bergantung dengan manajemen data tersebut.

Dalam kaitan manajemen data tersebut, pertanyaan terpenting yang harus terjawab adalah apakah Ditjen Imigrasi telah memiliki sebuah sistem informasi terpadu yang efektif mampu menampilkan data akurat menyangkut orang asing yang telah masuk ke, sedang berada di, dan telah keluar dari Indonesia? Sistem informasi tersebut menjadi landasan penting untuk pengelolaan aspek keamanan, sosial, ekonomi, dan keuangan negara. Sistem informasi tersebut antara lain harus mencakup pengelolaan data perlintasan yang berkaitan langsung dengan pengelolaan penerimaan negara.

Dalam kaitan ini, UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian telah mengatur bahwa Direktur Jenderal Imigrasi bertanggung jawab menyusun dan mengelola Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (disingkat SIMKIM) sebagai sarana pelaksanaan fungsi keimigrasian di dalam atau di luar wilayah Indonesia. SIMKIM adalah sistem teknologi informasi dan komunikasi yang digunakan untuk mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi guna mendukung operasional, manajemen, dan pengambilan keputusan dalam melaksanakan fungsi keimigrasian. SIMKIM merupakan satu kesatuan dari berbagai proses pengelolaan data dan informasi, aplikasi, serta perangkat berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang dibangun untuk menyatukan dan menghubungkan sistem informasi pada seluruh pelaksana fungsi keimigrasian secara terpadu. Fungsi keimigrasian adalah bagian dari urusan pemerintahan negara dalam memberikan pelayanan keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat.

Kelemahan SIMKIM

Seperti telah disinggung sebelumnya, pertanyaan kunci mengenai pengelolaan data keimigrasian berbasis SIMKIM adalah apakah sistem ini mampu merekam dan menyajikan data orang asing yang telah masuk, tinggal, dan meninggalkan Indonesia secara akurat. Akurasi data ini sangat penting karena akan menjadi basis penghitungan penerimaan negara dari sektor keimigrasian dan bahan pembuatan keputusan penting lainnya. Jika SIMKIM tidak mampu memenuhi tujuan manajemen data tersebut, maka pemerintah berpotensi menerima berbagai konsekuensi mulai dari kerugian keuangan negara sampai dengan persoalan keamanan dalam negeri.

Dari aspek keuangan negara, ketidakakuratan data SIMKIM akan berakibat pada kekurangan penerimaan PNBP sektor keimigrasiaan, yang juga berarti kerugian keuangan negara. Kekurangan penerimaan tersebut bisa terjadi karena sebab-sebab berikut.

Pertama, data keimigrasian tidak lengkap. Terlepas dari tujuan keberadaan SIMKIM, potensi ketidaklengkapan data keimigrasian masih mungkin terjadi. Kelengkapan dan keakuratan data orang asing yang mengunjungi Indonesia akan bergantung pada rancangan dan pengoperasian aplikasi, khususnya terkait dengan proses perekaman dan pengintegrasian data kunjungan. Dari sisi keuangan negara, kegagalan SIMKIM dalam mengintegrasikan data kunjungan tentu berdampak pada ketidaktepatan penghitungan penerimaan PNBP dari visa dan izin tinggal.

Kedua, data keimigasian tidak mutakhir. Di samping, ketidaklengkapan dan ketidakakuratan data lalu lintas orang asing yang masuk ke dan keluar dari Indonesia, permasalahan juga bisa terjadi terkait kemutakhiran data orang asing yang tinggal di Indonesia. Apabila SIMKIM tidak mampu menampilkan data orang asing yang izin tinggalnya sudah melewati waktu yang diizinkan, dari sisi keuangan negara, risiko utamanya adalah tidak dapat diterimanya pendapatan dari izin tinggal, di samping potensi permasalahan sosial lainnya.

Sejauh ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum memiliki informasi mengenai keefektifan SIMKIM dalam menyediakan data akurat mengenai keberadaan orang asing di Indonesia. Akan tetapi, permasalahan terkait SIMKIM setidaknya telah terungkap ke publik menyusul terungkapnya masalah tidak terdeteksinya keberadaan Harun Masiku, seorang anggota DPR, yang telah kembali ke Indonesia dari luar negeri.

Pokok permasalahannya adalah data kedatangan yang bersangkutan ternyata tidak terdeteksi karena proses pemutakhiran atau sinkronisasi data SIMKIM tertunda dengan alasan yang belum diketahui. Persoalan ini menjadi sangat signifikan karena hal ini tidak hanya menyangkut anggota DPR, melainkan data lalu lintas 120 orang di terminal 2F Bandara Soekarno Hatta.

Penulis berpendapat, bahwa gambaran satu kasus terkait pengelolaan data SIMKIM tersebut setidaknya cukup memberi gambaran mengenai kelemahan pemantauan perlintasan orang masuk ke dan keluar dari Indonesia. Sampai saat ini pun, kita belum mengetahui apakah hal sama pernah terjadi di pintu masuk lainnya yang tersebar di bandara atau pelabuhan di seluruh Indonesia. Kita juga belum mengetahui secara pasti apakah persoalan terkait SIMKIM hanya soal itu. Namun demikian, satu hal yang pasti, ketidakberesan pengelolaan SIMKIM akan memunculkan risiko serius dari aspek keamanan dalam negeri, di samping risiko keuangan negara.

Kesimpulan

Tulisan ini secara singkat telah memaparkan bahwa UU Cipta Kerja telah menghadirkan risiko yang lebih besar dari berbagai aspek, termasuk keuangan negara, khususnya dari klaster imigrasi. Bila dicermati, risiko sebenarnya sudah ada sebelum UU Cipta Kerja diundangkan. Dalam konteks ini, pembahasan mengenai risiko keuangan negara pada klaster keimigrasian tidak dapat dilepaskan pada akurasi data lalu lintas orang masuk ke dan keluar dari Indonesia.

Dari data yang ada, penulis berpendapat bahwa risiko ketidakakuratan data imigrasi sudah ada sebelum UU Cipta Kerja diberlakukan. Hal ini terkait dengan kelemahan SIMKIM yang digunakan Ditjen Imigrasi saat ini. Risiko tersebut akan semakin besar pasca-UU Cipta Kerja karena kedatangan orang asing ke Indonesia untuk berwisata, tinggal, dan berinvestasi akan semakin mudah.

Dengan kata lain, UU Cipta Kerja akan memperbesar lalu lintas orang asing di Indonesia. Oleh karena itu, jika kelemahan SIMKIM tidak segera diatasi maka dampaknya pada aspek keuangan negara dan aspek lainnya tidak dapat dikendalikan.

Berangkat dari fakta belum adanya informasi menyeluruh mengenai keefektifan SIMKIM dalam mengelola data perlintasan orang masuk ke dan keluar dari Indonesia, pemeriksaan kinerja terkait SIMKIM akan lebih baik apabila segera dilakukan. Alasan utamanya adalah semakin besarnya risiko yang dihadapi Indonesia pasca-UU Cipta Kerja. Pengelolaan data lalu lintas dan keberadaan orang asing di Indonesia merupakan hal yang sangat krusial, karena tidak saja menyangkut persoalan keuangan negara, melainkan juga keamanan dalam negeri.

29/03/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Anggota V BPK RI Prof Dr Bahrullah Akbar
BeritaBerita TerpopulerOpiniSLIDER

Audit Universe: Kolaborasi Pemeriksa Intern dengan Pemeriksa Ekstern dalam Membangun Transparansi dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah

by Admin 1 23/03/2021
written by Admin 1

Oleh: Prof Dr Bahrullah Akbar, MBA, CIPM, CPA, CSFA, CFrA/Anggota V BPK RI

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Audit Universe merupakan salah satu pendekatan dalam audit yang dikembangkan sebagai usaha untuk melakukan audit yang lebih efektif berdasarkan konsep risk-based audit. Audit Universe adalah sekumpulan kompenen atau unit dalam suatu organisasi atau program kegiatan yang dapat diaudit (auditable components) untuk dapat mendukung perencanaan audit dalam mengidentifikasi cakupan pemeriksaan yang paling sesuai.

Auditable components adalah komponen dalam suatu organisasi seperti area bisnis, proses, struktur atau unit organisasi, atau kegiatan yang mengandung risiko sehingga memerlukan audit. Kriteria apakah suatu komponen tersebut auditable diantarnya adalah kontribusi dan signifikasi terhadap tujuan organisasi dan pertimbangan antara biaya dan manfaat jika dilakukan audit (CIIA, 2020).

Setiap organisasi atau kegiatan memiliki risiko yang berbeda-beda sehingga pendekatan Audit Universe harus disesuaikan dengan struktur, proses, dan tingkat maturitas risiko di organisasi tersebut. /There is no ‘one size fits all’. Oleh karena itu, auditable components dalam Audit Universe di suatu entitas bisa berisi puluhan bahkan ratusan komponen atau unit. Tergantung dari skala, kompleksitas, dan tingkat risiko dari organisasi atau area bisnis tersebut.

Audit Universe sudah banyak dipraktikkan oleh pemeriksa intern. Salah satu manfaat Audit Universe adalah kegiatan pemeriksaan menjadi jelas terkait dengan lingkup area yang harus diaudit, sehingga strategi pemeriksaan menjadi efektif. Audit Universe juga memetakan risiko, pengendalian, dan peraturan-peraturan pada setiap unit bisnis sehingga pemahaman komprehensif atas seluruh aktivitas dapat dinilai dengan baik. Audit Universe memberikan tingkat transparansi pada area yang tidak diaudit dan area yang yang berisiko yang akan diaudit, sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk menggunakan sumber daya yang optimal yang dibutuhkan dalam pelaksanaan audit.

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah diatur dalam PP No 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Sistem Pengendalian Intern Pemerintah menurut PP No 60 Tahun 2008 adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Selain itu, SPIP diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Sedangkan pengawasan intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Aparat yang melaksanakan pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada presiden adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Peran Pemeriksa Ekstern 

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah pemeriksa ekstern di Indonesia. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, tugas BPK adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2004 dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), terdapat tiga jenis audit keuangan negara, yaitu: pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

BPK di lingkup internasional dalam melaksanakan mandat, terkorelasi dengan ISSAI (International Standard Supreme Audit Institution) dengan mengikuti pola pelaksanaan mandat mengikuti model yang dikembangkan oleh INTOSAI sebagai practice noticed. Model yang dinamakan sebagai the accountability organization maturity model terdiri dari enam tingkatan yang terdiri dari (1) combating corruption; (2) enhancing transparency; (3) assuring accountability; (4) enhancing economy, efficiency, ethics, equity, and effectiveness; (5) increasing insight; dan (6) facilitating foresight. Tingkatan pertama sampai keempat merupakan pelaksanaan fungsi oversight, tingkatan kelima insight, dan tingkatan keenam pelaksanaan fungsi foresight. Secara lengkap the accountability organization maturity model dapat dilihat dalam gambar berikut ini:

Gambar 1: The Accountability Organization Maturity Model

Kolaborasi

Secara umum kolaborasi adalah hubungan kerja sama yang dilakukan oleh beberapa pihak yang menghasilkan tujuan yang sama. Kolaborasi dimaknai sebagai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, dan tanggung jawab. Pihak-pihak yang berkolaborasi memiliki tujuan yang sama, kesamaan persepsi, kemauan untuk berproses, saling memberikan manfaat, kejujuran, kasih sayang serta berbasis masyarakat, Haryono, 2012.

Menurut Abdulsyani (2007) kolaborasi adalah suatu bentuk proses social dengan aktivitas tertentu yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami aktivitas masing-masing. Sedangkan menurut Edward M Marshal (1995) kolaborasi adalah proses yang mendasar dari bentuk kerja sama yang melahirkan kepercayaan, integritas, dan terobosan melalui pencapaian konsensus, kepemilikan, dan keterpaduan pada semua aspek organisasi.

Transparansi

Transparansi adalah salah satu bagian dari karakteristik good governance yang dikemukakan oleh United Nations Development Programme (UNDP). Ada 9 (sembilan) karakteristik yang meliputi partisipasi (participation), aturan hukum (rule of law), transparansi (transparency), daya tangkap (responsiveness), berorientasi konsensus (consensus orientation), berkeadilan (equity), efektivitas dan efisien (efektiveness and efisiency), akuntabilitas (accountability), dan visi strategi (strategi vision), World Conference on Governance, UNDP, 1999.

Menurut Mardiasmo, definisi transparansi (2004:30) berarti keterbukaan (opennsess) pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi.

Sementara menurut Bappenas dan Kemendagri (2002), transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan, dan pelaksanaannya serta hasil-hasil yang dicapai.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010, transparansi adalah memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat. Ini berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatan pada peraturan perundang-undangan. Laporan keuangan adalah salah satu bentuk transparansi yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengikuti Standar Akuntansi Pemerintah.

Akuntabilitas

Akuntabilitas juga salah satu karatkteristik yang dikemukakan oleh UNDP terkait good governance. Menurut UNDP (United Nations Development Program), akuntabilitas adalah evaluasi terhadap proses pelaksanaan kegiatan/kinerja organisasi untuk dapat dipertanggungjawabkan serta sebagai umpan balik bagi pimpinan organisasi untuk dapat lebih meningkatkan kinerja organisasi pada masa yang akan datang.

Akuntabilitas mempunyai arti pertanggungjawaban yang merupakan salah satu ciri dari terapang good governance atau pengelolaan pemerintahan yang baik. Pemikiran tersebut bersumber bahwa pengelolaan administrasi publik merupakan isu utama dalam pencapaian menuju clean government (pemerintahan yang bersih), Akbar dan Nurbaya, 2000.

Bentuk akuntabilitas di pemda dapat dilihat pada UU Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 8 ayat (1). Beleid ini menjelaskan bahwa pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan urusan pemerintah oleh daerah provinsi dilaksanakan oleh menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian. Sementara ayat (2) menjelaskan, pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah kabupaten/kota dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Kemudian ayat (3) menjelaskan, pembinaan dan pengawasn sebagimana ayat (1) dan ayat (2) secara nasional dikoordinasikan oleh menteri.

Lebih lanjut terakait pembinaan dan pengawasan pemerintahan daerah, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pemerintahan Daerah. Berdasarkan PP Nomor 12 tahun 2017 pasal 3 ayat 1 pembinaan penyelenggaraan pemerintah daerah provinsi, dilaksanakan oleh: menteri dan menteri teknis/kepala lembaga pemerintah nonkementerian, untuk pembinaan teknis. Kabupaten/kota, dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk pembinaan umum dan teknis.

Sedangkan, pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah pasal 10 ayat 1 menjelaskan bahwa untuk provinsi dilaksanakan oleh menteri untuk pengawasan umum dan menteri teknis/kepala lembaga pemerintah nonkementerian untuk pengawasan teknis.

Untuk kabupaten/kota, dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk pengawasan umum dan teknis. Sesuai PP Nomor 12 tahun 2017 pengawasan yang dilakukan DPRD bersifat kebijakan. Pengawasan tersebut meliputi (Pasal 20 ayat 2): pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah; pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan Iaporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Tiga tujuan utama

Pendekatan risk-based audit dalam Audit Universe mengandung arti bahwa pelaksanaan audit berdasarkan penilaian risiko audit sehingga dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan audit lebih difokuskan pada area penting terjadinya kecurangan atau penyimpangan. Tiga tujuan utama audit yang menggunakan pendekatan ini adalah untuk mengurangi risiko audit, meningkatkan efisiensi pelaksanaan audit, dan memastikan pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Risiko-risiko yang perlu mendapat perhatian adalah risiko strategis terkait dengan risiko pencapaian tujuan, risiko kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, risiko operasional yaitu kendala implementasi kebijakan karena kompleksitas sistem, risiko keuangan, dan risiko kecurangan serta penyalahgunaan wewenang.

Kerangka risk based audit dalam rangka membangun kolaborasi antara pemeriksa intern dan pemeriksa ekstern dibutuhkan langkah-langkah pemahaman tentang lingkungan kapabilitas pemeriksa intern dan lokus pelaksanaan pemeriksaan di pemda tentang data Hasil Laporan Keuangan Pemda dan Data Laporan Keuangan yang berbasis IT. Pembahasan merujuk praktik best practices pemeriksaan Covid-19 di BPK terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selanjutnya mengenai langkah kolaborasi melalui analisis residual risk; big data analytics; dan akselarasi, transparansi dan akuntabilitas keuangan pemda hubungan pemeriksa intern dan ekstern.

Best Practices 

Penerapan Audit Universe pada audit eksternal pemerintah telah digagas oleh BPK melalui Pemeriksaan Tematik Nasional Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dalam Penanganan Covid-19. Universe atau “semesta” yang dibangun dalam audit tersebut adalah penggunaan clustering risiko dalam beberapa auditable components, yaitu berdasarkan sektor, sumber anggaran, proses perencanaan, penganggaran, implementasi, monitoring, evaluasi, pengawasan, serta pelaporan dan pertanggungjawaban. Komponen semesta ini dikelompokan berdasarkan sumber-sumber anggaran yang terdiri dari sumber dana APBN, APBD, dana BI, dana LPS, dan dana BUMN. Kemudian juga dilihat secara komprehensif dari para pelaksana, yaitu seluruh kementerian dan lembaga terkait, dan masyarakat (lihat gambar di bawah ini).

Gambar 2: Audit Universe

Audit Universe penanganan Covid-19 bersifat menyeluruh dengan cakupan yang luas dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien melalui pendekatan risk-based comprehensive audit, yaitu dengan melakukan identifikasi dan penilaian risiko mendalam dari tata kelola penanganan audit Covid-19. Pandemi Covid-19 telah memunculkan risiko-risiko baru yang biasanya tidak muncul saat kondisi normal. Seperti menurunnya pendapatan asli daerah dan dana transfer pemerintah pusat ke pemerintah daerah, peningkatan belanja daerah yang sifatnya darurat seperti belanja untuk kesehatan, dampak sosial ekonomi, dan jaring keamanan social, dengan jumlah uang yang mencapai Rp695,2 triliun atau mecapai ¼ dari total APBN (lihat gambar 3). Risiko-risiko ini bisa menjadi perpasive yang saling kait mengait dalam lintas sektor pertanggungjawaban publik yang merupakan bagian peta risiko yang dapat dideteksi lebih dini melalui aparat pemeriksa ekstern dan pemeriksa intern. Audit Universe merupakan pendekatan yang sangat tepat karena tidak hanya melihat dari sisi keuangan dan pertanggungjawaban keuangan, tetapi dari tata kelola dan kinerja entitas secara keseluruhan.

Residual risk

Ke depan, keberhasilan penerapan Audit Universe di pemerintahan daerah (pemda) sangat ditentukan oleh kolaborasi antara pemeriksa internal dan eksternal. (APIP) sebagai third line

Sumber: Panduan Praktis Peningkatan Kapabilitas APIP Dalam Pencegahan Tindak Penyimpangan (2018)

dalam three lines of defense melalui kegiatan pengawasan dan pemantuan dapat membantu pemeriksa BPK dalam mengelola pemeriksaan melalui risiko yang masih tersisa (residual risk). Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP menjelaskan fungsi APIP sebagai penyelenggara assurance dan early warning activites. Pendekatan holistik dalam Audit Universe yang dilakukan oleh pemeriksa intern dalam memetakan risiko di berbagai area bisnis dapat membantu BPK dalam merancang pemeriksan yang efektif dan efisien.

Pemeriksaan BPK yang efektif dan efisien dengan kontribusi APIP yang memainkan peran secara maksimal tentu saja dapat mengakselarasi transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Ini karena BPK dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk melaksanakan cakupan pemeriksaan yang lebih luas, lebih banyak, dan lebih menyeluruh, serta menghindarkan tumbang tindih pemeriksaan.

Kolaborasi Audit Universe antara pemeriksa intern dan pemeriksa ekstern akan meningkatkan transparansi karena adanya pertukaran informasi peta risiko dan area-area kunci sehingga penentuan objek audit lebih transparan dan objektif. Pemeriksa intern dan ekstern dapat menjelaskan kepada publik proses dan hasil verifikasi pilar-pilar governance secara komprehensif sehingga keterbukaan informasi suatu organisasi atau program kegiatan atas hasil pengawasan dan pemeriksaan dapat diakses dan dimanfaatkan oleh publik secara komprehensif, tidak hanya parsial di area-area tertentu.

Dalam penanganan Covid-19 oleh pemda, informasi paripurna terhadap evaluasi atas penggunaan dana-dana pusat atau dana yang bersumber dari pemda, maupun sumber sumber lain yang sah dapat terdeteksi untuk membangun dan meningkatkan kepercayaan publik. Inti utama melihat pemeriksaan melalui follow the money and follow the function adalah kunci utama dari transparansi dengan menyediakan informasi yang terbuka bagi para pemangku kepentingan dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Tabel 1

Anggaran dan Realisasi Penanganan Pandemi Covid-19 per 15 November 2020 pada Pemerintah Daerah (dalam jutaan rupiah)

BidangAnggaran (Rp)Realisasi (Rp)%
Kesehatan36.308.659,2121.572.852,7959,42
Sosial34.491.132,6422.769.663,3966,02
Penanganan Dampak Ekonomi10.143.849,153.729.772,3936,77
Lainnya2.679.168,61784.840,4029,29
Jumlah83.622.809,6148.857.128,9758,43
Sumber:  Hasil pengumpulan data dan informasi yang telah diinput dan divalidasi pada   portal covid.bpk.go.id diakses pada 19 Januari 2021 untuk 523 pemda.

BPK memberikan opini laporan keuangan merupakan bentuk transparansi dan untuk menilai akuntabilitas pemda. Pemeriksaan terhadap pemda dilaksankan atas 541 (99%) LKPD Tahun 2019 dari 542 pemerintah daerah yang wajib menyusun laporan keuangan tahun 2019. Sebanyak 1 pemda belum menyampaikan laporan keuangan kepada BPK, yaitu Pemerintah Kabupaten Waropen di Provinsi Papua. Terhadap 541 LKPD Tahun 2019 tersebut, BPK memberikan 485 opini WTP (90%), 50 opini WDP (9%), dan 6 opini TMP (1%).

Berdasarkan tingkat Pemerintahan, opini WTP dicapai oleh seluruh pemerintah provinsi di Indonesia (100%), 364 dari 415 pemerintah kabupaten (88%), dan 87 dari 93 pemerintah kota (94%). Sedangkan pada tahun 2018 terhadap 542 LKPD, BPK memberikan 443 opini WTP (82%), 86 opini WDP (16%), dan 13 opini TMP (2%). Berdasarkan tingkat pemerintahan, opini WTP dicapai oleh 32 dari 34 pemerintah provinsi (94%), 327 dari 415 pemerintah kabupaten (79%), dan 84 dari 93 pemerintah kota (90%). Hal ini mengindikasikan semakin meningkatnya transparansi dan akuntabilitas di pemda.

Peningkatan perbaikan tata kelola keuangan daerah yang cukup signifikan, tidak terlepas dari peran BPKP sebagai pengawas intern pemerintah. Hal ini antara lain dapat dilihat dari penggunaan sistem aplikasi pertanggungjawaban keuangan daerah berbasis IT di seluruh pemerintahan propinsi dan pemerintahan kota/kabupaten. Secara rinci BPK melakukan pemeriksaan kinerja atas penggunaan aplikasi pemda tahun 2019 menunjukan sebagai berikut:

Penggunaan Aplikasi Perencanaan Daerah/e-planning

Hingga semester I Tahun 2019 hanya terdapat empat pemda (0,74%) yang menggunakan aplikasi perencanaan dari Kemendagri. Sebanyak 22 pemda (4,05%) menggunakan aplikasi perencanaan yang dibangun sendiri, 145 pemda (26,75%) menggunakan aplikasi dari pihak ketiga lainnya, 88 pemda (16,24%) menggunakan aplikasi dari BPKP. Sisanya sebanyak 283 pemda (52,21%) tidak diketahui menggunakan sistem aplikasi atau tidak.

Penggunaan Aplikasi Pengelolaan Keuangan Daerah

Hingga semester 1 Tahun 2019, terdapat 78 pemda (14,39%) yang menggunakan aplikasi SIPKD. Sebagian besar, yaitu sebanyak 377 pemda (69,56%) menggunakan aplikasi SIMDA dari BPKP. Sedangkan sisanya sebanyak 78 pemda (14,63%) menggunakan aplikasi dari pihak ketiga lainnya, sebanyak 2 pemda (0,37%) menggunakan aplikasi SIPKD dan SIMDA secara bersamaan, dan sebanyak 7 pemda (1,29%) tidak diketahui apakah menggunakan sistem aplikasi atau tidak. Sampai dengan 30 Juni 2020 Penggunaan aplikasi SIMDA, telah diimplemetasikan pada 440 dari 542 pemda atau 81,18% (http://www.bpkp.go.id/sakd/konten/333/versi-2.1.bpkp).

Big data analytics

Pelaksanaan perkembangan teknologi dalam Audit Universe harus didukung oleh langkah big data analytics. Big data analytics adalah suatu proses untuk menelusuri, mentransformasi, dan melakukan modelling big data sehingga menjadi informasi yang berguna yang diperlukan dalam pengambilan keputusan. Audit Universe erat kaitan dengan bagaimana pemeriksa mampu mengidentifikasi risiko kunci sehingga ditemukan auditable area. Big data analytics dapat membantu mengidentifikasi dan menilai risiko bisnis yang dapat diaudit dengan mengolah data-data yang tersedia melalui algoritma kecerdasan buatan.

Pada era teknologi digital seperti saat ini, data yang tersedia begitu berlimpah. Bahkan hanya dengan desk dan remote audit, kita dapat menelusuri data menjadi sebuah tren, pola hubungan yang terkait yang dapat kita gunakan dalam pengambilan keputusan.

Implementasi big data analytics ke dalam Audit Universe untuk meningkat kolaborasi antara pemeriksa intern dan ekstern, antara lain; bagaimana menyeragamkan pemahaman data atas laporan keuangan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota untuk dapat diterjemahkan menjadi program terarah dan terukur antara pemeriksa intern dan ekstern. Kemudian diperlukan capacity building pemeriksa intern dan ekstern dari traditional audit mindset.

Pemeriksa harus dilengkapi dengan digital litteracy yang mumpuni. Audit adalah konsep mengumpulkan kecukupan, keandalan, dan relevansi bukti untuk mendukung kesimpulan pemeriksaan. Kecukupan bukti yang didapatkan oleh para pemeriksa ekstern dari laporan pemeriksa intern akan menjadi pendukung informasi tambahan.

Selain dari pemeriksa intern untuk dapat dimanfaatkan, pada era teknologi informasi seperti sekarang ini, informasi tambahan tersedia luas secara digital. Contoh, penggunaan big data analytics dalam pemeriksaan penanganan Covid-19 yang kompleks dan luas dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas analisis data yang besar, beragam, dan terus bergerak selama pemeriksaan.

Langkah studi penggunaan big data analytics dalam pelaksaan pemeriksaan Covid-19 di pemda berpotensi menimbulkan adanya perubahan data yang besar, beragam, dan terus bergerak. Dengan demikian, pendekatan big data analytics dapat dibangun melalui tiga lapisan yang didukung oleh Sistem Aplikasi Pemeriksaan (SIAP), lapisan konsolidasi yang didukung oleh portal covid, dan selanjutnya lapisan analytics yang disajikan dalam â€œIntelligence Dashboard Covid”. Oleh karena itu, merujuk dari best practise penangan Covid-19 oleh BPK di tingkat nasional merupakan hal yang mutlak. Komunikasi dan koordinasi inten juga menjadi bagian yang mutlak dilakukan oleh pemeriksa intern dan ekstern. Ini menjadi jejaring remote audit dan penyusunan alternative prosedur pemeriksaan.

Akselarasi, transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah

BPK saat ini tengah melakukan shifting paradigma audit menjadi lebih komprehensif dan mempunyai nilai (audit value). Sehingga ke depan BPK dapat melaksanakan pemeriksaan laporan keuangan pemda menjadi pemeriksaan komprehensif yaitu menggabungkan pemeriksaan yang menggabungkan aspek-aspek pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.

Hal ini, sesuai dengan practice notes International Standard of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 1770 yang menyatakan bahwa tujuan pemeriksaan keuangan sektor publik lebih luas dari sekadar menyatakan opini mengenai penyajian laporan keuangan, dalam semua hal yang material termasuk kecukupan pengungkapan. Akan tetapi juga dibutuhkan tambahan laporan yang menekankan kepada aspek kinerja atas program utama dari suatu pemerintah.

Pemeriksaan komprehensif atau integrated audit atau yang kita kenal juga dengan istilah “Long Form Audit Report”(LFAR) bertujuan agar pemerintah tidak lagi mengejar opini WTP. Tetapi juga mengelola sumber daya yang ada semaksimal mungkin dalam melaksanakan program pembangunan yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Tujuan ini kongruen dengan ISSAI 12: The Value and Benefits of Supreme Audit Institutions – making a difference to the lives of citizens. Dalam hal ini adalah BPK yang dapat memberikan nilai tambah dan manfaat kepada masyarakat.

Kolaborasi peran oversight antara BPK dan pemeriksa internal ditujukan agar BPK dapat mampu melaksanakan pemeriksaan secara efektif dan efisien dalam siklus audit sesuai dengan mandatorinya. Kolabotrasi dimaksud di antaranya dalam (1) fase perencanaan audit dimana BPK memanfaatkan secara maksimal hasil laporan APIP dan kerangka residual risk.  (2) Pada tahap pelaksanaan audit, selama ini BPK contracting out dengan Kantor Akuntan Pulik (KAP) dalam memeriksa laporan keuangan pemda. Oleh karena itu, dapat dimungkinkan dalam hal ini BPK dan BPKP dapat melaksankan pemeriksaan terhadap pemda. (3) Fase pelaporan dan pascahasil pelaporan pemeriksaan dapat juga menjadi bagian untuk penggunaan evaluasi dan monitoring peran BPKP.

Kesimpulan

Pertama, Audit Universe yang diterapkan oleh pemeriksa intern di organisasnya akan sangat membantu Audit Universe yang dilaksanakan oleh pemeriksa eksternal. Audit yang dilakukan oleh pemeriksa ekstern akan dapat mengandalkan hasil dari pemerikaan internal sebagai early warning system dan analysis residual risk.

Kedua, Audit Universe yang dikombinasikan dengan big data analytics merupakan keniscayaan di tengah pesatnya perkembangan informasi digital pada era revolusi industri 4.0 dan kondisi pandemik Covid-19 pada saat ini. Big data analytics akan menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan pelaksanaan Audit Universe.

Penggunaan big data analytics yang berkolaborasi dengan BPKP membantu meningkatkan efektivitas analisis bukti pemeriksaan yang telah dikelompokkan dalam cluster risiko-risiko yang saling berhubungan. Pemeriksa juga dapat melakukan remote dan desk audit dengan mengumpulkan bukti pemeriksan tanpa harus mengandalkan interaksi langsung dengan para auditee dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Ketiga, Audit Universe yang komprehensif dapat mengakselarasi transparansi dan akuntabilitas keuangan negara dan daerah. Audit Universe dapat meningkatkan transparansi dimulai sejak perencanaan audit dimana terdapat evaluasi menyeluruh terhadap area-area mana yang akan diaudit dan area-area mana yang tidak diaudit berdasarkan risiko yang melingkupinya.

Kolaborasi Audit Universe antara pemeriksa internal dengan pemeriksa ekstern akan meningkatkan transparansi karena terjadi pertukaran informasi area-area kunci sehingga pemilihan area-area yang akan diaudit lebih transparan dan objektif. Selain transparansi, Audit Universe juga dapat meningkatkan akuntabilitas karena dapat memberikan informasi secara semesta yang tidak saja terkait dengan akuntabilitas keuangan teapi juga akuntabilitas non-keuangan.

Keberhasilan kolaborasi antara pemeriksa intern dan pemeriksa ekstern diharapkan ikut mendorong budaya organisasi pemda agar transparan dan akuntabel, dengan dukungan Kemendagri terkait dengan fungsi pembinaan dan pengawasan pemda.

23/03/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK
BeritaBerita TerpopulerOpini

Pemeriksaan Investigatif BPK Mendorong Upaya Pemberantasan Korupsi

by Admin 1 15/03/2021
written by Admin 1

Oleh: Rr Maharani AW, Pegawai BPK

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan pemohon yang berupaya melemahkan kewenangan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) BPK melalui Putusan Nomor 54/PUU XVII/2019 pada 26 Oktober 2020. MK berpendapat bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan a quo. Selain itu, meskipun para pemohon memiliki kedudukan hukum quod  non, MK berpendapat bahwa gugatan para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Hal tersebut  menunjukkan bahwa MK menegaskan kembali PDTT merupakan wewenang konstitusional BPK sesuai  amanat Undang-Undang 15/2004 dan UU Nomor 15/2006.

Pemohon yang mengajukan gugatan adalah Ahmad Redi (dosen dari Universitas  Tarumanagara), Muhammad Ilham Hermawan (dosen Universitas Pancasila), dan Kexia Goutama (mahasiwa). Dosen-dosen tersebut kemudian digantikan oleh Ibnu Sina Chandranegara (dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta) dan Auliya Khasanofa (Universitas Muhammadiyah Tangerang).  Gugatan tersebut diajukan para pemohon dengan alasan kewenangan PDTT merupakan inkonstitusional, dapat dijadikan sebagai instrumen penyalahgunaan dengan tendensi kepentingan (potensi abuse of power), serta frasa “tujuan tertentu” tidak memiliki kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan.

Dalam gugatan MK tersebut, para pemohon juga mengaitkan penyimpangan yang dilakukan “oknum” BPK dengan kredibilitas BPK secara “instansi”. Padahal jika berbicara “oknum”,  penyimpangan juga sering terjadi di instansi lain. Karena itu seharusnya yang perlu disoroti adalah kredibilitas oknum tersebut bukan kredibilitas instansinya. Seringkali BPK juga menemukan penyimpangan yang dilakukan oknum di sebuah instansi yang diperiksanya. Maka yang bertanggung jawab adalah oknum tersebut dan yang disorot oleh masyarakat adalah oknum tersebut.

Pada gugatan MK tersebut, para pemohon juga mengajukan alasan bahwa “sudah mendapatkan status wajar tanpa pengecualian (WTP) namun mengapa tetap dilakukan PDTT?”

Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat awam sering berkutat dengan pertanyaan “sudah WTP dari BPK namun mengapa masih ada korupsi?”. Bahkan dari instansi yang telah diperiksa BPK juga terkadang berbangga diri dengan opini WTP dan berpuas diri seolah tidak ada lagi fraud ketika memperoleh WTP. Perlu disadari bahwa opini WTP berarti memiliki reputation risk yang melekat di situ. Namun bagaimanapun juga, reputation risk merupakan tantangan yang dihadapi BPK dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Maka BPK perlu sering melakukan edukasi ke masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Masyarakat perlu sering diingatkan bahwa opini WTP berasal dari pemeriksaan keuangan (pemeriksaan atas laporan keuangan) dan hal tersebut merupakan jenis pemeriksaan yang berbeda dengan PDTT. Masing-masing juga memiliki tujuan pemeriksaan yang berbeda. Perbedaan antara tiga jenis pemeriksaan di BPK dapat dilihat dari tabel berikut ini:

NoJenis  PemeriksaanTujuan spesifik  (sumber : SPKN, 2017)Keterangan
1Pemeriksaan  keuanganUntuk memperoleh keyakinan memadai sehingga pemeriksa mampu memberikan opini bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, atas kesesuaian dengan standar akuntansi, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.Ada 4 opini yang diberikan oleh BPK: WTP, WDP, Tidak Wajar, Tidak Memberikan Pendapat
2Pemeriksaan  kinerjaUntuk menguji dan menilai aspek ekonomi, efisiensi dan/atau efektivitas, serta aspek kinerja lainnya atas suatu hal pokok yang diperiksa dengan maksud untuk memberikan rekomendasi yang dapat mendorong ke arah perbaikan.Terdapat kesimpulan atas aspek ekonomi, efisiensi dan/atau efektivitas serta rekomendasi dalam pemeriksaan kinerja
3PDTTPDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. PDTT bentuk pemeriksaan  kepatuhan bertujuan untuk menilai hal pokok yang diperiksa  sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Sedangkan PDTT bentuk pemeriksaan investigatif bertujuan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.Hasil pemeriksaan berbentuk kesimpulan sesuai dengan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan. Khusus PDTT berbentuk investigatif, pemeriksa tidak memberikan rekomendasi.
Tiga jenis pemeriksaan di BPK.

Tiga jenis pemeriksaan dalam tabel tersebut masing-masing memiliki peran penting yang  berbeda dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dari tabel tersebut, dapat dipahami bahwa antara opini yang dikeluarkan dalam pemeriksaan keuangan dan kesimpulan dalam pemeriksaan investigatif merupakan dua hal yang berbeda. Jadi opini WTP (dalam hal ini berasal dari pemeriksaan atas laporan keuangan) bukan merupakan standar atau jaminan bahwa di sebuah instansi tersebut bebas dari penyimpangan atau pelanggaran. Akan tetapi opini tersebut diberikan berdasarkan tingkat kewajaran atas penyajian laporan keuangan.

Meskipun pemeriksaan keuangan, kinerja dan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan seperti yang telah dijelaskan pada tabel di atas memiliki tujuan pemeriksaan yang berbeda. Seringkali hasil pemeriksaan yang diperoleh menunjukkan adanya penyimpangan yang berindikasi tindak pidana dan/atau kerugian negara/daerah.

Perlu dipahami bahwa BPK tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan sebuah penyimpangan sebagai tindak pidana. Akan tetapi, BPK memiliki kewenangan untuk menetapkan kerugian negara/daerah. Maka ketika ditemukan adanya unsur pidana dalam pemeriksaan, sesuai pasal 8 ayat (3) UU 15/2006, BPK menyampaikan ke instansi yang berwenang. Dalam hal ini pejabat penyidik yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan. Penyimpangan tersebut yang kemudian didalami oleh instansi penegak hukum dan seringkali dimintakan ke BPK untuk dilakukan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif.

Pemeriksaan investigatif hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang memadai. Sumber predikasi yang memadai dapat diperoleh dari informasi pihak internal maupun eksternal BPK, permintaan dari instansi penegak hukum, serta temuan pemeriksaan yang berindikasi kecurangan. Akan tetapi sumber tersebut diuji kelayakannya terlebih dahulu sebelum dapat dijadikan sebagai predikasi.

Seringkali instansi penegak hukum tidak hanya meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan investigatif dalam membangun konstruksi kasus yang terindikasi pidana korupsi. Namun juga terkait penghitungan kerugian negara.

BPK memiliki kewenangan untuk menilai dan menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum seperti yang diamanatkan pada pasal 10 UU Nomor 15/2006. Dalam melakukan penghitungan kerugian negara, BPK tidak hanya serta merta menerima bukti-bukti yang disampaikan oleh instansi penegak hukum. Namun juga dilakukan pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara secara independen.

Kerugian negara yang dihitung tersebut harus merupakan kerugian yang nyata dan pasti jumlahnya. Dalam hal ini bukan merupakan potensi kerugian, asumsi, perkiraan, serta bukan merupakan kelalaian administrasi. Untuk memperoleh bukti bahwa kerugian negara yang terjadi merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum yang disengaja, maka perlu dilakukan prosedur pemeriksaan investigatif. Prosedur dalam pemeriksaan investigatif dirancang khusus sebagai upaya penguatan pemberantasan korupsi dengan menerapkan standar pemeriksaan keuangan negara yang memadai.

Sebagai upaya nyata dalam mendukung pemberantasan korupsi, BPK pun telah mendirikan Auditorat Utama Investigasi tahun 2016. Auditorat ini mempunyai tugas khusus melakukan pemeriksaan investigatif. Pada periode 2017 sd 30 Juni 2020, BPK telah menyampaikan 22 laporan hasil pemeriksaan investigatif (PI) dengan nilai indikasi kerugian negara/daerah sebesar Rp8,70 triliun dan 238 laporan hasil pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara (PKN) dengan nilai kerugian negara/daerah sebesar Rp29,10 triliun kepada instansi yang berwenang.

Selain PI dan PKN,  BPK juga telah melaksanakan 226 kasus pemberian keterangan ahli pada tahap persidangan. Banyak kasus besar yang ditangani BPK dalam pemeriksaan investigatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif telah memberikan hasil nyata yang memiliki peran penting dalam upaya mendorong pemberantasan korupsi.

15/03/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita TerpopulerOpiniSuara Publik

Pencegahan Korupsi di Indonesia, BPK Bisa Apa?

by Admin 1 12/03/2021
written by Admin 1

Oleh: Setyawan, Pegawai BPK Perwakilan Provinsi Jateng

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Sejak didirikan pada 1 Januari 1947, Badan Pemeriksa Keuangan Republik (BPK) Indonesia mengemban tugas yang jelas, yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dengan kekhasan kedudukan dan kewenangannya, BPK mustahil dilepaskan dari agenda besar pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam konteks pencegahan korupsi di Indonesia, apa yang bisa dilakukan BPK?

Tanpa debat panjang, kita sepakat menyebut korupsi sebagai salah satu masalah utama Indonesia saat ini. Cukuplah sesekali menyimak berita di televisi, membuka lembar koran atau berselancar di internet, kita akan gampang menemukan berita tentang korupsi di berbagai wilayah negeri ini. Seperti menegaskan pepatah lama, ‘mati satu, tumbuh seribu’. Yang lebih membuat miris, diam-diam kita sama-sama paham, kasus-kasus yang terungkap di media itu sekadar puncak-puncak gunung es dari seluruh persoalan yang ada.

Cerita terbaru adalah heboh penangkapan dua menteri di Kabinet Indonesia Maju. Pada Rabu (25/11/20) Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap terkait kebijakan ekspor benih lobster. Tak lama kemudian, giliran Menteri Sosial Juliari P Batubara menyusul. Pada Minggu (06/12/20), Juliari ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa bansos penanganan pandemi Covid-19.

Tertangkapnya dua menteri ini seolah ayunan godam yang mengguncang kepercayaan rakyat terhadap pejabat negerinya. Benar-benar terasa tak masuk akal karena kasus ini muncul justru saat Indonesia kelimpungan menghadapi wabah dan sebagian besar rakyat sedang didera susah. Lebih-lebih terasa biadab, sebab korupsi itu justru menyasar anggaran bantuan untuk golongan paling rentan akibat pandemi Covid-19.

Tertangkapnya dua menteri ini jadi ironi besar jelang peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang diperingati setiap 9 Desember. Padahal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2020 sengaja mengusung tema Pulih dengan Integritas (“Recover with Integrity”). Tema tersebut dipilih untuk mengampanyekan pesan penerapan langkah-langkah mitigasi korupsi yang efektif demi pemulihan pandemi yang lebih baik. Dengan pesan itu pula, PBB menekankan pemulihan pascapandemi Covid-19 hanya dapat dicapai berbekal integritas (www.kompas.com, 08/12/2020).

Sejak mula, pada dirinya sendiri, korupsi memang melekat pada sesuatu yang nista. Korupsi berakar pada kata berbahasa Latin ‘corruptio’ (kata benda) yang berarti ‘hal merusak, hal membuat busuk, pembusukan, kerusakan, kemerosotan’ atau ‘corrumpere’ (kata kerja) yang berarti  menghancurkan, merusak, membusukkan, mencemarkan, memerosotkan (Priyono, Herry B, 2018).

Definisi tentang korupsi (dan perilaku korup) memiliki percabangan dan berkembang menyesuaikan waktu dan konteks. Perilaku yang bisa dikategorikan sebagai ‘korup’ pun beragam sepanjang sejarah manusia. Namun dari beragam definisi yang ada, kita tahu, tak pernah ada kebaikan dari laku korup. Karenanya wajar kalau pada setiap zaman dan tata peradaban korupsi menjadi musuh bersama setiap elemen pemerintah maupun masyarakat. Tak terkecuali bagi BPK.

Seusai undang-undang, BPK adalah satu-satunya lembaga tinggi negara yang berewenang melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara di Indonesia. Ada beberapa jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Memperhatikan kewenangan BPK tersebut, sejak mula, mustahil melepaskan BPK dari kerja besar pemberantasan korupsi di Indonesia. Posisinya sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara – tidak bisa tidak – menempatkan BPK sebagai salah satu motor dalam perang melawan korupsi.

Di Indonesia sendiri, tren perang melawan korupsi tampaknya mengarah pada pengutamaan upaya pencegahan. Hal itu setidaknya terungkap dari pernyataan presiden dan ketua KPK, dua entitas politik dan pemerintahan yang bisa dikata paling menentukan agenda pemberantasan korupsi di negeri ini.

Presiden Joko Widodo, pada Desember 2019, mengatakan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia perlu dievaluasi. Menurutnya, penindakan itu perlu, tapi yang terpenting justru harus pembangunan sistem (www.tirto.id, 09/12/20). Sebelumnya, hal senada juga disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri. Firli mengatakan bahwa arah pemberantasan korupsi ke depan akan lebih mengutamakan pencegahan dan perbaikan sistem, sembari melakukan pendidikan masyarakat dan tetap melakukan penindakan (www.mediaindonesia.com, 19/11/20).

Sebagai salah poros utama perang melawan korupsi di Indonesia, BPK tentu tak bisa lepas dari arus besar ini. Idealnya, dengan segala kewenangannya, BPK sebisa mungkin berperan mencegah atau mengurangi terjadinya korupsi melalui pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan.

Masalahnya, pemeriksaan BPK memang lebih banyak bersifat post-audit atau pemeriksaan yang dilakukan setelah sebuah aktivitas atau kegiatan atau transaksi berlangsung. Untuk kasus pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah misalnya, yang merupakan pemeriksaan paling utama yang dimandatkan undang-undang, pemeriksaan dilaksanakan setelah laporan keuangan pemerintah selesai disusun oleh pemerintah. Kondisi ini lebih sering memposisikan BPK sebagai penyelesai masalah daripada pencegah.

Peran BPK

Meski demikian, memperhatikan aspek-aspek kelembagaan dan kewenangan BPK dalam hal pemeriksaan, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan agar BPK bisa lebih mengoptimalkan perannya memerangi korupsi di Indonesia, khususnya dalam konteks pencegahan korupsi.

Pertama, tetap menjaga profesionalisme para pemeriksa. Tak mungkin membersihkan lantai dengan sapu yang kotor. Nilai-nilai dasar BPK, yaitu integritas, independensi, dan profesionalisme, harus selalu dipegang teguh saat bertugas. Penegakan aturan dan kode etik juga jadi tuntutan yang tak bisa dihindarkan. Selain itu, kesadaran untuk bekerja sesuai standar, peraturan, dan kecakapan profesi juga harus ditekankan pada semua pemeriksa. Dengan begitu BPK lebih bisa jadi pemecah masalah, bukan penambah masalah.

Kedua, mengubahmindset tentang temuan pemeriksaan. Selama ini, harus diakui, publik seolah lebih mengapresiasi kerja BPK ketika ada temuan-temuan pemeriksaan yang sarat dengan angka-angka fantastis. Ketika laporan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan (LK) pemerintah dirilis misalnya, masyarakat dan media cenderung memperhatikan buku tiga (berisi temuan kepatuhan atas peraturan perundang-undangan) dibanding buku dua (berisi temuan-temuan atas Sistem Pengendalian Intern/SPI). Temuan terkait SPI seolah kalah ‘seksi’ dibanding temuan-temuan kepatuhan, yang biasanya memang lekat dengan rekomendasi berupa pengembalian ke kas negara/daerah.

Ironisnya, anggapan semacam ini kadang diamini para pemeriksa BPK sendiri. Pemeriksaan terasa kurang ‘wah’ ketika tidak menghasilkan temuan yang berkorelasi dengan pengembalian ke kas daerah/negara. Padahal, dalam konteks perbaikan sistem tata kelola keuangan pemerintah, temuan-temuan atas SPI inilah yang justru berpotensi memberikan dampak perbaikan yang lebih sistemik dan berjangka panjang, yang tentu tak bisa diabaikan dalam upaya pencegahan korupsi.  

Ketiga, mulai memperkuat pemeriksaan kinerja. Lepas dari tetap utamanya pemeriksaan keuangan, BPK bisa mulai menambah sumber daya untuk pemeriksaan-pemeriksaan kinerja. Berbeda dengan pemeriksaan jenis lainnya, pemeriksaan kinerja bertujuan menguji dan menilai aspek ekonomi, efisiensi, dan/atau efektivitas, serta aspek kinerja lain atas suatu hal pokok yang diperiksa. Muaranya adalah rekomendasi yang dapat mendorong ke arah perbaikan.

Pemeriksaan ini akan bermanfaat dalam kontek penyempurnaan sistem dan pencegahan terulangnya risiko-risiko buruk pada masa depan. Penguatan pemeriksaan atas kinerja bisa jadi salah satu sumbangsih BPK dalam memerangi korupsi, terutama dari sisi pencegahan korupsi.

Korupsi memang jenis kejahatan luar biasa dan karenanya memerlukan kerja tak biasa untuk mencegah dan memeranginya. Tak pernah mudah, tapi juga bukan tak mungkin dilakukan. Dengan kesungguhan, profesionalisme, dan konsistensi, kiranya BPK akan lebih mampu mengoptimalkan perannya. Demi Indonesia yang lebih membanggakan dan demi hari depan yang lebih menggembirakan.

12/03/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Peta Indonesia (Ilustrasi)
BeritaBerita TerpopulerOpiniSLIDER

Pandemi tak Halangi BPK Periksa Implementasi SDGs

by Admin 1 18/02/2021
written by Admin 1

Oleh: Pemeriksa Madya BPK Tjokorda Gde Budi Kusuma

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terus mengawal program “Sustainable Development Goals” (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Proses pemeriksaan telah memasuki tahapan pemeriksaan implementasi SDGs.

Pandemi Covid-19 yang sedang melanda tak menghalangi BPK untuk tetap melakukan pemeriksaan SDGs. Tak bisa dipungkiri, pandemi memang memunculkan tantangan baru dalam pemeriksaan SDGs. Akan tetapi, BPK sejak lama sebelum adanya pandemi telah memiliki perangkat berupa mobile audit.

Pada saat pemeriksaan SDGs preparedness pada tahun 2018, penggunaan mobile audit belum jadi prioritas. Namun pada saat kondisi pandemi, mobile audit menjadi alat yang sangat relevan. BPK juga menyiapkan portal audit SDGs sebagai bentuk komprehensif dari tools mobile audit.

Selain itu, BPK memanfaatkan teknologi geospasial melalui aplikasi arcGIS dalam melakukan pemeriksaan SDGs. Aplikasi arcGIS merupakan tulang punggung analisis spasial dalam membantu tim pemeriksa. Kegunaannya sangat bervariasi.

Dari sisi dimensi ekonomi, bisa digunakan untuk memeriksa revaluasi aset. Dari sisi dimensi sosial, aplikasi itu bisa digunakan untuk melakukan audit pendidikan. Lalu untuk dimensi lingkungan, digunakan saat memeriksa cetak sawah, audit tambang, audit hutan, hingga audit daerah aliran sungai.

Saat ini, semakin banyak Auditorat Keuangan Negara (AKN) di BPK yang menggunakan aplikasi tersebut untuk membantu proses analisis pemeriksaan. BPK sudah cukup lama menggunakan aplikasi arcGIS. Sejak 2008, aplikasi arcGis digunakan khususnya untuk mengaudit kehutanan, daerah aliran sungai dan pertambangan. Dahulu, aplikasi tersebut memang belum berkembang pesat karena teknologi geospasial dengan citra satelit sangat mahal.

Namun, dengan perkembangan teknologi, khususnya drone, pemetaan kondisi terkini yang dihasilkan bisa digunakan untuk memeriksa cetak sawah, program pemulihan lingkungan di sektor tambang dan hutan dengan biaya yang lebih terjangkau.

Sebagai informasi, BPK saat ini merupakan salah satu lembaga pemeriksa (SAI) yang terdepan dalam mengawal implementasi SDGs, baik di level regional seperti ASEAN maupun global. Sebelumnyam BPK telah menghasilkan Laporan Hasil Pemeriksaan SDGs terkait kesiapan SDGs yang mengacu pada VNR (Voluntary National Review) 2017 dan implementasi SDGs yang mengacu VNR 2019. Pemeriksaan SDGs Indonesia oleh BPK diharapkan bisa menjadi acuan SAI lain dalam melakukan pemeriksaan terkait SDGs.

18/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Sustainable Development Goals (SDGs)
BeritaBerita TerpopulerOpiniSLIDER

Cara BPK Mengawal Implemetasi SDGs

by Admin 1 17/02/2021
written by Admin 1

Oleh: Pemeriksa Madya BPK Tjokorda Gde Budi Kusuma

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terus mengawal program “Sustainable Development Goals” (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Proses pemeriksaan telah memasuki tahapan pemeriksaan implementasi SDGs.

Pemeriksaan implementasi SDGs berpedoman pada INTOSAI Development Initiative SDGs Audit Model (ISAM). Mengacu pada ISAM, maka prioritas pemeriksaan dimulai dari target nasional yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Setelah itu, baru dikaitkan dengan target SDGs di level global. Kendati demikian, Rencana Strategis (Renstra) BPK telah menjadikan target-target pembangunan dalam RPJMN sebagai dasar penyusunannya, maka target yang diperiksa dalam SDGs, bisa searah dengan target yang ada dalam Renstra BPK.

Dalam melakukan pemeriksaan SDGs, BPK menggunakan multistakeholders approach. BPK memeriksa pemerintah, utamanya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai Sekretariat Nasional SDGs dan dilanjutkan ke level Kementerian dan pemda dalam tahap implementasinya. Selain itu, BPK bekerja sama dengan SDGs center yang ada di perguruan tinggi, hingga non-state actors seperti UNDP Indonesia untuk meningkatkan pemahaman SDGs sebagai hal pokok pemeriksaan.

Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono pernah menyampaikan bahwa audit implementasi SDGs adalah audit implementasi dari serangkaian kebijakan yang berkontribusi pada pencapaian nationally agreed target (target yang disepakati secara nasional) terkait dengan satu atau lebih target SDGs. Audit yang dilakukan ini adalah untuk menyimpulkan hal-hal terkait upaya untuk menuju pencapaian target yang telah disepakati secara nasional.

Kemudian, untuk mengetahui bagaimana kemungkinan target akan dicapai berdasarkan tren saat ini, dan kecukupan target nasional dibandingkan dengan target SDGs yang sesuai. Audit implementasi SDGs dilakukan dengan menggunakan pendekatan whole of government karena BPK perlu menyimpulkan sejauh mana koherensi dan integrasi dalam implementasi kebijakan. Selain itu, pemeriksaan sedapat mungkin mencakup tujuan dan pertanyaan yang memungkinkan pemeriksa untuk menyimpulkan leave no one behind atau tidak ada orang yang tertinggal dalam proses pembangunan.

Sesuai dengan mandat yang dimiliki BPK, pemeriksaan multistakeholder fokus pada pemeriksaan atas upaya pemerintah untuk dapat menjangkau dan melibatkan banyak pemangku kepentingan dalam pengaturan dan pelaksanaan target yang disepakati secara nasional terkait dengan SDGs. Pemeriksa juga dapat memeriksa apakah pemerintah dapat menciptakan kondisi yang baik untuk proses pelibatan, tingkat keterlibatan para pemangku kepentingan, pelibatan pemangku kepentingan yang kritis, dan kecukupan interaksi dalam prosesnya.

Dalam mempertimbangkan kecukupan interaksi, pemeriksa dapat mempertimbangkan apakah terdapat saluran komunikasi yang memungkinkan untuk adanya sistem umpan balik yang terbuka dan jujur; apakah sistem umpan balik dapat diakses dan tidak rumit untuk para pemangku kepentingan, dan apakah sistem umpan balik memungkinkan adanya dialog yang berimbang antar para pihak.

Sebagai informasi, BPK saat ini merupakan salah satu lembaga pemeriksa (SAI) yang terdepan dalam mengawal implementasi SDGs, baik di level regional seperti ASEAN maupun global. Sebelumnya, BPK telah menghasilkan Laporan Hasil Pemeriksaan SDGs terkait kesiapan SDGs yang mengacu pada VNR (Voluntary National Review) 2017 dan implementasi SDGs yang mengacu VNR 2019. Pemeriksaan SDGs Indonesia oleh BPK diharapkan bisa menjadi acuan SAI lain dalam melakukan pemeriksaan terkait SDGs.

17/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Gedung BPK
BeritaOpiniSuara Publik

BPK Turut Berperan dalam Mengurangi Korupsi?

by Admin 1 01/02/2021
written by Admin 1

Oleh: Mita Cahyani, BPK Perwakilan Provinsi Jawa Tengah

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Dalam beberapa kesempatan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaku sebagai lembaga yang berperan penting dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertambahan jumlah entitas yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari tahun ke tahun menjadi salah satu pendukung klaim tersebut. Benarkah demikian?

BPK adalah lembaga tinggi negara yang bertugas dan bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Salah satu pemeriksaan yang rutin dilakukan oleh BPK adalah pemeriksaan atas laporan keuangan.

Dengan perannya sebagai auditor eksternal pemerintah, BPK wajib memastikan kewajaran atas angka-angka yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara/daerah (BUMN/D), badan layanan umum (BLU) dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Kewajaran penyajian angka-angka ini nantinya akan menjadi dasar pemberian opini oleh BPK atas laporan keuangan.

Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2020 yang dikeluarkan BPK menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan atas laporan keuangan kementerian/lembaga (LKKL) dan laporan keuangan bendahara umum negara (LKBUN) tahun 2015-2019 menunjukkan perkembangan opini yang baik. Pada 2015, hanya 65% yang mendapatkan opini WTP. Akan tetapi, pada 2019, sudah 97% kementerian/lembaga di pemerintah pusat yang memperoleh opini WTP.

Untuk pemerintah daerah, perkembangan opini pun mengalami peningkatan yang baik. Pada 2015, ada 313 pemerintah daerah atau sekitar 58% yang mendapatkan opini WTP. Pada 2019, sudah 485 pemerintah daerah atau sekitar 90% berhasil memperoleh opini WTP. Angka ini adalah perhitungan secara total tanpa memperhitungkan fakta bahwa ada pemerintah pusat/daerah yang mengalami kenaikan atau penurunan opini.

Apabila opini atas laporan keuangan yang diberikan kepada suatu entitas adalah opini WTP, tentu saja kita menganggap bahwa entitas tersebut sudah melakukan pengelolaan keuangan negara/daerah dengan baik dan akuntabel. Namun, kenyataan bahwa masih ada praktik korupsi yang dilakukan oleh para pejabat meskipun laporan keuangan yang dihasilkan entitasnya telah mendapatkan opini WTP. Ini membuat kita berpikir kembali, apakah opini yang baik berarti tidak ada kemungkinan untuk terjadi korupsi atau fraud? Sayangnya tidak demikian kenyataannya.

Contoh kasus korupsi yang menjerat kepala daerah yang laporan keuangannya memperoleh opini WTP adalah bupati Indramayu yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Oktober 2019. Dia terjerat kasus dugaan suap proyek jalan di Dinas PUPR Indramayu. Kasus lain yang baru-baru ini terjadi adalah penangkapan bupati Banggai Laut karena dugaan penerimaan suap pengadaan barang dan jasa (3/12/2020). Padahal Kabupaten Banggai Laut sudah mendapat opini WTP selama tiga tahun berturut-turut sejak 2017.

Jika opini tidak dapat menjadi tolok ukur untuk melihat ada tidaknya tindak korupsi di suatu entitas, apa dampak sebenarnya dari pemeriksaan atas laporan keuangan yang dilakukan BPK? Bukankah dari laporan keuangan seharusnya kita dapat melihat bagaimana kinerja dari entitas pembuat laporan keuangan tersebut?

Kemudian jika opini atas suatu laporan keuangan adalah WTP, bukankah seharusnya laporan keuangan tersebut sudah disajikan sesuai standar. Lalu sistem pengendalian intern sudah berjalan dengan baik, sudah patuh terhadap peraturan perundang-undangan, dan sudah diungkapkan secara cukup dan wajar untuk hal-hal yang material?

Pemeriksaan atas laporan keuangan yang dilakukan secara rutin oleh BPK merupakan salah satu usaha untuk mengurangi penyalahgunaan anggaran negara/daerah. Dengan pemeriksaan rutin, kesalahan administrasi dalam pertanggungjawaban dapat ditemukan dan dikoreksi. Ketidakpatuhan atas peraturan perundang-undangan dapat ditemukan. Kelemahan dalam sistem pengendalian intern yang memungkinkan timbulnya kesempatan untuk melakukan penyalahgunaan anggaran dapat diidentifikasi dan diperbaiki untuk pengendalian yang lebih baik di tahun berikutnya.

Teori GONE oleh Jack Bologne menyatakan bahwa korupsi dapat timbul karena ada keserakahan (Greed), kesempatan (Opportunity), kebutuhan (Needs), dan pengungkapan (Exposure) (Jaka Isgiyata, Indayani, & Eko Budiyoni, 2018). Sedangkan Robert Klitgaard menyatakan bahwa korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas (ditjenpas.go.id/teori-teori-korupsi).

Dengan pemeriksaan atas laporan keuangan yang rutin dilakukan oleh BPK, faktor kesempatan dan pengungkapan dapat diminimalisasi. Apabila atas laporan keuangan pemerintah pusat/daerah diberikan opini WTP, tentunya hal itu menunjukkan bahwa sistem pengendalian intern sudah berjalan baik. Sistem pengendalian intern yang berjalan baik akan memperkecil kesempatan terjadinya penyalahgunaan uang negara/daerah.

Selain itu, dalam laporan hasil pemeriksaan, BPK mengungkapkan masalah-masalah yang terjadi pada entitas pengelola keuangan negara/daerah. Laporan tersebut dapat digunakan sebagai bukti awal apabila ditemukan tindakan yang menimbulkan kerugian negara.

Dari dua kasus yang disebutkan tadi, kepala daerah Indramayu dan Banggai Laut ditangkap karena kasus suap. Suap tersebut terjadi antara rekanan dan kepala daerah. Di satu sisi, hal tersebut tidak mempengaruhi laporan keuangan. Ini karena uang yang diserahkan adalah uang milik rekanan. Sementara angka belanja yang tercantum dalam laporan keuangan tetap sesuai dengan bukti pertanggungjawaban yang ada. Di sisi lain, dengan adanya suap tersebut tentunya kontraktor akan mengurangkan biaya suap tersebut dari lelang yang dimenangkannya dan mempengaruhi kualitas proyek yang dikerjakannya.

Dalam melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan, BPK akan menguji kewajaran angka-angka yang tersaji dan dicocokkan dengan pertanggungjawaban yang ada. BPK menguji apakah kegiatan-kegiatan yang tercantum dalam laporan keuangan sudah dilaksanakan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. BPK menguji apakah prosedur-prosedur yang harus dilalui demi terselenggaranya kegiatan yang tercantum dalam laporan keuangan sudah dilaksanakan sesuai jenjang tanggung jawabnya untuk memastikan pengendalian intern sudah berjalan dengan baik.

Untuk mendeteksi kecurangan seperti suap, Kepala Subauditorat Jawa Timur I Rusdiyanto saaat wawancara dengan Republika menyampaikan bahwa BPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan prosedur seperti penyadapan. Dengn begitu BPK tidak bisa mendeteksi apakah ada praktik suap atau tidak.

Dari sisi lain, terdapat tren kenaikan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Jika kita melihat skor indeks persepsi korupsi (IPK), saat ini (per 2019) Indonesia mendapat skor 40 dari total skor 100. Skor ini meningkat jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (pada 2015-2018 skor IPK Indonesia adalah 36, 37, 37, dan 38 dari 100).

Dari pembahasan di atas, kita bisa melihat bahwa pemeriksaan atas laporan keuangan berpengaruh baik pada peningkatan tata kelola keuangan yang mengarah semakin berkurangnya peyalahgunaan atas keuangan negara/daerah. Tren peningkatan opini WTP pun sepertinya memang menggambarkan hal ini.

Akan tetapi, ada hal-hal lain yang ternyata menyebabkan korupsi tetap terjadi dan tidak cukup diantisipasi dengan pemeriksaan atas laporan keuangan saja. Misalnya faktor keserakahan dan tidak adanya akuntabilitas yang membarengi kekuasaan. Untuk mengantisipasi hal-hal seperti ini, pemeriksaan laporan keuangan yang secara rutin dilakukan memang dapat meningkatkan pengelolaan keuangan yang lebih baik. Selain itu, BPK juga perlu meningkatkan jenis pemeriksaan lainnya dan memastikan kompetensi pemeriksanya mumpuni untuk memberikan penilaian yang tepat.

01/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono
BeritaBerita TerpopulerOpiniSLIDER

Mencari Formulasi Defisit Anggaran

by Admin 1 18/01/2021
written by Admin 1

Oleh: Agus Joko Pramono, Wakil Ketua BPK

Kita selama ini kerap dihadapkan pada perdebatan mengenai jumlah defisit anggaran yang layak dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Perdebatan ini terjadi karena jumlah defisit erat kaitannya dengan pembiayaan yang harus diambil pemerintah.

Dalam konteks membangun negara, defisit merupakan hal wajar. Hampir semua negara meng­alaminya. Defisit terjadi apabila pendapatan negara lebih kecil dari belanja yang akan dieksekusi. Suatu negara menetapkan defisit karena ada manfaat lebih besar yang bisa diperoleh dari ang­garan belanja, misalnya untuk menunjang pembangunan, sementara pendapatan negara tidak mencukupi kebutuhan.

Perhitungan defisit dibuat untuk menjaga kestabilan ekonomi makro. Juga untuk menghasilkan kinerja fiskal yang sehat dan berkesinambungan. Bukan hanya sehat pada satu atau dua masa, tapi sehat secara berkesinambungan karena ada kaitannya dengan kemampuan membayar. Untuk itulah pemerintah melakukan pengendalian jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD, serta jumlah kumulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Berapa angka defisit yang tepat?

Defisit biasanya dibiayai dari utang. Karena ada utang yang ditarik, maka terbentuklah akumulasi jumlah utang. Oleh karena itu, selain defisit tahunan, akumulasi utang juga dikendalikan. Dengan begitu, ada dua hal yang dikendalikan: jumlah defisit anggaran dan jumlah total utang untuk menutup defisit.

Lalu, berapa angka defisit yang tepat? Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, defisit APBN dibatasi maksimal 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sedang­kan jumlah pinjaman pemerintah pusat dibatasi maksimal 60 persen dari PDB.

Untuk pemerintah daerah, defisit APBD dibatasi maksimal 3 persen dari produk regional bruto (PRB) daerah yang bersang­kutan. Adapun jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari PRB daerah yang bersangkutan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Pendapatan Belanja Daerah, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam pasal 4 beleid tersebut ditetapkan bahwa jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3 persen dari PDB tahun bersangkutan.

Melalui PP ini, batasan defisit pemerintah pusat dan daerah ditetapkan digabung menjadi 3 persen terhadap PDB. Tujuannya agar defisit anggaran tidak membawa dampak negatif terhadap kestabilan ekonomi makro dalam jangka pendek dan jangka menengah. Selain itu, agar sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik dalam pe­ngelolaan fiskal.

Dengan ketetapan itu, setiap daerah harus meminta izin terlebih dahulu kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) jika ingin membentuk defisit anggaran. Izin itu diajukan untuk meminta persetujuan Peraturan Daerah (Perda) tentang APBD. Setelah itu, Kemendagri berkoordinasi de­ngan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Jumlah kumulatif pinjaman juga diatur dalam pasal 4 PP 23 Tahun 2003. Sama seperti halnya defisit, jumlah kumulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah digabung dan dibatasi tidak melebihi 60 persen dari PDB. Sehingga, kita sekarang dihadapkan pada satu ukuran standar, ya­itu 3 persen untuk defisit dan 60 persen untuk total utang. Ini pengertian menurut undang-undang kita.

Dalam standar akuntansi internasional, defisit salah satunya diatur dalam International Public Sector Accounting Standard (IPSAS) 3 tentang “Net Surplus or Deficit for Period, Fundamental Errors, and Changes in Accounting Policies” (Surplus atau Defisit Bersih untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi).  Ada dua hal yang dibahas terkait dengan positioning defisit.

Intinya mirip dengan praktik di Indonesia. Perbedaannya, IPSAS mengatakan defisit mau dilihat dari mana, apakah mau dilihat dari cash flow atau dilihat dari laporan operasional (income statement). Jika dilihat dari cash flow, maka defisit betul-betul dilihat dari jumlah kekurangan uang.

Sementara jika dilihat dari income statement yang berbasis akrual, bukan berbasis kas, bisa jadi antara jumlah beban yang dibayarkan dengan uang yang dikeluarkan berbeda. Di dalam konteks ini, IPSAS tidak mendefinisikan secara spesifik. Kita sendiri yang memitigasi. Bahwa, defisit untuk periode tertentu adalah kaitan dengan menjaga akuntabilitas dan positioning dari laporan keuangan.

Meningkatkan value

Perhitungan defisit tentu memiliki tujuan. Bagi Pemerintah Indonesia, ini menjadi suatu burden atau batasan. Pemerintah tidak boleh melewati batasan tersebut. Jika PDB Indonesia sebesar Rp14 ribu triliun, maka batasan defisit 3 persen seperti yang diatur dalam UU adalah sekitar Rp420 triliun. Maka, selisih antara pendapatan dan belanja tidak boleh lebih dari Rp420 triliun.

Perhitungan defisit juga memiliki manfaat dalam bidang perencanaan. Contoh sederhananya, jika kita ingin membangun namun tidak punya uang, kita bisa merencanakan mencari sumber pendanaan untuk menutupi kekurangan uang.

Apakah dengan menjual barang, melakukan pinjaman, kerja sama dengan pihak ketiga, atau yang lainnya. Tapi, yang paling populer tentu adalah melakukan pinjam­an. Jadi, manfaat defisit dalam perencanaan adalah meningkatkan value yang lebih besar daripada resources yang dimiliki. Caranya dengan menyerap sumber pendanaan lain selain yang kita miliki.

Sebenarnya, bagaimana formulasi perhitungan defisit APBN saat ini? APBN menyatakan bahwa pendapatan dikurangi belanja adalah defisit. Metode pencatatan transaksi akuntansi yang digunakan adalah cash basis atau berbasis kas. Artinya, uang yang masuk akan diakui sebagai pendapatan apabila dana benar-benar sudah masuk ke kas negara. Begitu pula dalam hal belanja. Pengeluaran akan diakui sebagai belanja apabila uang sudah keluar.

Dengan metode cash basis, maka jika ada pembelanjaan terhadap suatu barang dan barang itu sudah dipakai namun belum digunakan, secara definisi itu belum dikategorikan sebagai belanja. Walaupun nilai dari pembelanjaan barang itu sudah digunakan dan dimanfaatkan, pemerintah tidak menganggap itu sebagai belanja karena belum dibayar. Dengan demikian, belanja menjadi unsur yang diskresif, terserah pemerintah. Dampaknya, kontrol terhadap defisit menjadi kurang bermanfaat.

Jika defisit sudah atau akan melewati batasan, pemerintah bisa memutuskan untuk tidak melakukan pembayaran terhadap belanja yang sudah dilakukan. Pembayarannya ditahan terlebih dahulu. Semakin banyak yang ditahan, semakin kecil nilai defisitnya. Ini yang sebenarnya legalize, tapi tidak tepat kemanfaatannya.

Dalam hal pendapatan pun demikian. Seperti diketahui, pemerintah setiap tahun mengembalikan kelebihan pembayaran pajak yang dibayarkan wajib pajak atau restitusi. Kalau kelebihan pajak dikembalikan, maka pendapatan pemerintah akan turun. Oleh karena itu, ada kalanya restitusi ditahan terlebih dahulu dan dibayarkan tahun berikutnya.

Hal itu pula yang membuat restitusi yang belum dibayar dari tahun ke tahun meng­alami peningkatan. Belanja yang belum dibayar dari tahun ke tahun pun naik. Jadi, angka perhitungan nilai defisit menjadi tidak terlalu valid karena ada intervensi.

Kendati demikian, seberapa besar tidak validnya perhitungan nilai defisit belum bisa kita simpulkan, karena kita belum menguantisasi secara formal. Saya pun tidak mau memunculkan perhitungan yang berbeda. Tetapi kalau analisis semata, bukan nilai formal, bisa ditinjau dari jumlah utang yang tidak dibayar. Kita bisa melihat dana bagi hasil (DBH) yang belum dibayar. Itu seharusnya menambah jumlah defisit. Kemudian juga jumlah subsidi yang tidak dibayar.

Agar perhitungan defisit tidak diintervensi, caranya sederhana. Yaitu dengan mengembalikan unsur-unsur yang sudah dimanfaatkan. Unsur yang sudah dipakai tapi belum dibayar, dimasukkan lagi ke dalam unsur defisit. Hal ini yang sebenarnya juga menjadi permintaan BPK. Memasukkan unsur yang belum dibayar menjadi usulan BPK agar perhitungan defisit benar-benar riil.

Saat ini pun ada belanja yang sebenarnya bukan belanja pemerintah pusat, yaitu transfer ke daerah. Pemerintah sebenarnya hanya menggeser bagian dari pendapatannya menjadi pendapatan pemerintah daerah. Dalam teori yang sebenarnya, yang disebut dengan belanja adalah apabila kita mendapatkan manfaat dari resources yang dikorbankan, bukan orang lain yang justru mendapat­kan manfaatnya. Biasanya, positioning dalam hal ini agak berbeda. Namun, untuk menyeragamkan, pemerintah tidak membuat tinjauan khusus terha­dap transfer. Idealnya, perhitungan defisit adalah pendapatan dikurangi jumlah transfer dan belanja dikurangi jumlah transfer.

Kesinambungan fiskal

Perhitungan defisit sejatinya bisa bermanfaat pula dalam pengambilan kebijakan untuk menjaga kesinambungan fiskal. Untuk memaksimalkan tujuan ini, pemerintah perlu juga meningkatkan mitigasi terhadap defisit daerah. Selama ini, mitigasi itu belum optimal. Penyebabnya, sistem informasi pemerintah daerah berada di bawah Kemendagri. Sementara, yang menjadi bendahara negara adalah Kementerian Keuangan. Belum ada sistem informasi yang secara langsung mewajibkan daerah meminta izin terkait jumlah utang kepada Kemenkeu.

Lalu, apa kaitannya defisit dengan kebutuh­an utang dalam periode yang sama? Logika sederhananya, jumlah defisit akan sama dengan jumlah penambahan utang. Tetapi ternyata tidak demikian. Penambahan utang bisa lebih besar daripada jumlah defisitnya. Sebab, ada utang jatuh tempo yang harus dibayar.

Jadi, kalau batasan defisit sebesar Rp420 triliun, maka utang yang ditarik bisa lebih dari Rp420 triliun karena kita butuh cash untuk membayar utang jatuh tempo. Oleh karena itu, risiko dari jumlah pinjaman juga sangat penting untuk dimitigasi. Sebab, jika seandainya semakin lama jarak antara pendapatan dan belanja semakin besar, maka secara normatif kemampuan kita untuk membayar secara jangka panjang akan berkurang.

Untuk itulah Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia membuat batasan debt service coverage ratio. IMF menetapkan jumlah maksimal pembayaran utang jatuh tempo dan bunga sekitar 36 persen dari pendapatan suatu negara. Sedangkan pembayaran bunganya saja maksimal 10 persen dari pendapatan. Dan, Indonesia sudah melewati batasan itu.

Banyak yang bertanya, mengapa rasio defisit dan jumlah utang dikaitkan dengan PDB? Seperti kita ketahui, PDB secara sederhana adalah nilai dari barang yang diproduksi di suatu negara. Semakin besar PDB, maka semakin besar pajak yang diperoleh. Jika PDB tumbuh, pendapatan negara pun akan naik karena ada unsur penerimaan perpajakan. Atas alasan itulah jumlah utang dikaitkan dengan PDB. Semakin besar PDB, maka semakin besar kemampuan membayar.

Permasalahannya, rasio perpajakan di Indonesia semakin turun. Itu artinya, relasi antara PDB dan kemampuan membayar semakin rendah. Dengan demikian, meningkatnya nilai PDB belum tentu dapat meningkatkan pendapatan negara. Inilah yang terjadi di Indonesia.

Fiscal sustainability report

Merujuk pada data yang disampaikan Kementerian Keuangan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2021, rasio perpajakan Indonesia pada 2015 sebesar 10,76 persen terhadap PDB. Pada 2016 turun menjadi 10,36 persen dan turun lagi menjadi 9,89 persen pada 2017. Rasio perpajakan sempat naik menjadi 10,24 persen pada 2018. Namun, pada 2019, kembali turun menjadi 9,76 persen.

Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat fiscal sustainability report dalam jangka panjang dengan membuat proyeksi-proyeksi tertentu, lalu memasukkan unsur defisit dan utang. Dengan lapor­an tersebut, kita akan mengetahui bagaimana kemampuan kita membayar dan menyerap utang. Sehingga, ukurannya tidak hanya mengaitkan dengan PDB.

Hal ini yang belum terlihat secara detail dalam pola perhitungan pemerintah. Dalam laporan itu bisa dibuat bagaimana kondisi APBN selama 30 tahun ke depan. Saat ini, kita lebih merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang hanya lima tahunan.

Yang perlu saya tekankan, pandangan terkait defisit ini tidak ada kaitannya dengan kondisi yang kita hadapi sekarang, yaitu ketika pandemi Covid-19. Saya bicara ini dalam konteks normal. Di tengah pandemi Covid-19 yang masih belum terlihat ujungnya, kita memang sedang membutuhkan uang. Semua perusahaan terdampak. Hampir semua negara pun defisitnya meningkat. Biarkan pemerintah bekerja untuk memperbaiki perekonomian. BPK sebagai lembaga pemeriksa negara, akan mengawal akuntabilitas dan transparansi setiap kebijakan yang dibuat pemerintah.

18/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan Urgensi Kolaborasi Nasional
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025

    04/07/2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama

    02/07/2025
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan...

    01/07/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id