WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Friday, 4 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Category:

Opini

BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Keuangan Berkelanjutan di Indonesia, Perlukah?

by admin2 05/06/2024
written by admin2

Oleh: Sherlita Nurosidah, Penelaah Teknis Kebijakan di Biro SDM BPK RI

Keuangan berkelanjutan atau yang lebih dikenal dengan sustainable finance merupakan pendekatan keuangan (ekonomi) yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan (sosial) dan ramah lingkungan. Indonesia merupakan salah satu penghasil carbon footprints terbesar di dunia. Adanya Paris Agreement membuat Indonesia menetapkan target untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% dengan pendanaan dari keuangan negara di tahun 2030.[1] Tekanan terhadap pemenuhan target tersebut membuat Indonesia berburu pendanaan dan menciptakan berbagai regulasi yang menunjang.

Sejak tahun 2014, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan dua roadmap yang berkaitan dengan keuangan berkelanjutan, yakni tahun 2015-2019 dan 2021-2025. Beberapa agenda yang diusung dalam rencana tersebut, antara lain adanya indeks hijau, obligasi hijau, produk ramah lingkungan, transportasi hijau, energi terbarukan, konservasi energi, pariwisata ramah lingkungan, dan pertanian organik. Dengan semakin besarnya perhatian dunia pada ketiga sektor tersebut, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan, keberadaan keuangan berkelanjutan dianggap dapat memperkuat tujuan, fungsi, dan tugas pokok sektor keuangan di Indonesia.


Keuangan berkelanjutan tidak terlepas dari pendanaan yang bertujuan untuk menanggulangi krisis perubahan iklim. Misalnya, green climate fund, adaptation fund, dan climate investment fund. Tidak hanya itu, investasi juga diarahkan pada proyek yang berkecimpung dalam pengurangan emisi karbon.[2] Meskipun demikian, sektor keuangan di Indonesia masih terpusat pada kategori tertentu dan belum sepenuhnya berkembang.[3]

Sejak adanya program sustainable banking dengan melibatkan 8 bank komersil, berbagai kegiatan dilaksanakan untuk mengembangkan kapasitas partisipannya. Di tahun 2018, Indonesia menjadi negara pertama yang menerbitkan sukuk hijau senilai 1,25 milyar USD. Meskipun demikian, gebrakan tersebut dipandang kurang efektif awalnya karena tidak adanya insentif atas kepatuhan bahkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan 51/2017 dipandang hanya bersifat simbolistik serta tidak cukup mumpuni untuk mendorong terlaksananya keuangan berkelanjutan. Hal tersebut terjadi karena keterbatasan sumber daya dan kemampuan teknis para pembuat kebijakan untuk memproyeksikan implementasi roadmap yang telah dibuat.

Untuk dapat menerapkan konsep keuangan berkelanjutan dengan baik, diperlukan setidaknya ketepatan informasi dan kepatutan manajemen risiko. Ketepatan informasi yang dimaksud, yakni dengan adanya insentif yang jelas tidak hanya untuk lembaga keuangan, namun juga untuk pengembang proyek sehingga semakin membuka peluang permintaan proyek sejenis. Selain itu, perlu adanya penyeragaman indikator dalam kategorisasi atas interpretasi proyek hijau. Sehingga portofolio pelaksanakan keuangan berkelanjutan tidak lagi hanya bersifat ad hoc, sporadis, dan tidak terdokumentasi dengan baik.

Pada dasarnya, Indonesia telah memiliki peraturan terkait dengan pengaturan manajemen risiko, sejak 1998 dengan mengharuskan Bank untuk melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk pembiayaan besar atau risiko tinggi. Selain itu, Bank Indonesia juga harus mempertimbangkan rating Public Disclosure Program for Environmental Compliance (PROPER) dari bakal calon peminjam. Pada tahun 2021, sesuai penilaian PROPER, dari 2.548 perusahaan yang dinilai, 75% telah masuk dalam kategori taat dan 25% tidak taat. Namun, pada praktiknya, tidak semua bank mempublikasikan dan mengimplementasikan kebijakan peminjaman berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG) tersebut. Keberadaan PROPER sebagai acuan masih menjadi perdebatan karena kurang jelasnya mekanisme kepatuhan yang dimiliki dalam menguji perusahaan. Selain itu, untuk perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit, regulasi menyebutkan adanya kewajiban untuk menampilkan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) namun senyatanya tidak demikian. Dengan menunjukkan surat keterangan akan melakukan sertifikasi telah dianggap mumpuni. Analisis sosial dan lingkungan lanjutan masih dipandang jarang dilakukan oleh bank-bank tersebut. Oleh karena itu, ke depannya, perlu adanya pengawasan lebih lanjut atas penerapan regulasi yang telah ada.

Tata kelola yang baik dalam pembuatan kebijakan dan instrumen lainnya dibutuhkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan. Integrasi sektor keuangan dengan mempertimbangkan dampaknya tidak hanya dalam perekonomian namun juga sosial masyarakat dan lingkungan sekitar membuat keuangan berkelanjutan sangat perlu didorong penerapannya di Indonesia. Terobosan tersebut akan berdampak baik tidak hanya dalam waktu dekat namun juga dalam jangka panjang.


[1] Anantharajah, K., dan Gunningham, N, Mobilising Private Climate Finance in Emergence Asia, 2018 http://www.climatefinanceinitiative.org/wp-content/uploads/2019/07/Working-Paper-1-Emerging-Asia.pdf

[2] Abidah B. Setyowati, Governing sustainable finance: insights from Indonesia, 2020, Climate Policy https://doi.org/10.1080/14693062.2020.1858741

[1] Prischa Listiningrum, et.al., Regulating Biogas Power Plant from Palm Oil Mill Effluent (POME): A Challenge to Indonesia’s Just Energy Transition, 2022, Yustisia Jurnal Hukum https://doi.org/10.20961/yustisia.v11i2.56421

05/06/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDER

Menelaah Faktor-Faktor Lambatnya Penanganan “Stunting” di Sulawesi Tenggara

by Admin 19/04/2024
written by Admin

Ditulis oleh AM Zdavir Sapada, Pemeriksa BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara 

Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Gangguan pertumbuhan ini yditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar yang ditetapkan, sehingga berpotensi menghambat dan mengganggu tumbuh-kembang anak baik secara fisik dan kognitif (Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 dan UNICEF).

Peristiwa stunting ini disebut-sebut berpotensi terjadi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) anak, yang jika gagal ditangani, dapat mengganggu potensi SDM Indonesia. 

Dalam perjalanannya, tampaknya, penanganan stunting memperlihatkan perkembangan yang cukup menggembirakan pada skala nasional. Hal ini terlihat dari menurunnya angka stunting yang pada tahun 2018 mencapai 30,8 persen menjadi 21,6 persen pada tahun 2022 (Survei Status Gizi Indonesia/SSGI: 2022).

Penurunan (kemajuan) sebesar 9,2 persen poin ini ini mungkin berkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil yang pada tahun 2018 bertumbuh 5,17 persen dan pada tahun 2022 bertumbuh 5,53 persen (BPS). Karena besarnya perhatian pemerintah terhadap stunting melalui hadirnya berbagai program, tak heran, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) juga turut mengevaluasi program tersebut melalui laporan pemeriksaan. 

Penanganan stunting memperlihatkan perkembangan yang cukup menggembirakan

Namun demikian, sayangnya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara belum mampu mengikuti kinerja yang pesat dari berbagai provinsi lainnya. Hal ini terlihat dari data yang disajikan SSGI, dimana jumlah stunting di Sultra yang pada tahun 2018 mencapai 28,7 persen, hanya menurun 1 persen poin pada tahun 2022 menjadi 27,7 persen (op.cit).

Angka tersebut berada di atas rata-rata nasional dan membuat peringkat stunting Sultra melonjak dari peringkat 22 pada tahun 2018 menjadi peringkat 9 tertinggi nasional pada tahun 2022. Lebih jauh, kinerja pemerintah daerah dan komitmen terhadap penurunan angka stunting patut dipertanyakan, mengingat hanya terjadi penurunan sebesar 1 persen poin dalam lima tahun terakhir.

Indikator stunting dan faktor-faktor perkembangan stunting
Untuk menangani hal ini, diperlukan pemetaan terkait akar masalah mengapa Sultra tak kunjung mampu mengimbangi kinerja stunting provinsi lain. Dalam menjelaskan kinerja stunting Provinsi Sulawesi Tenggara, Laporan Indeks Khusus Penanganan Stunting/IKPS (BPS: 2021) mungkin dapat memberikan insight terkait akar masalah tersebut. Laporan IKPS menyajikan data terkait bagaimana kemajuan penanganan stunting yang dilakukan oleh masing-masing pemerintah provinsi. IKPS sendiri merupakan indeks gabungan (composite index) yang terdiri atas sejumlah indeks: Indeks Kesehatan, Indeks Gizi, Indeks Perumahan, Indeks Pangan, Indeks Pendidikan, dan Perlindungan Sosial.

Lebih mendalam lagi, masing-masing indeks ini juga terdiri dari sejumlah indikator (istilah yang digunakan Kemenkes adalah dimensi). Indikator Kesehatan misalnya, terdiri dari indikator imunisasi, penolong persalinan oleh tenkes di faskes, dan KB modern; indickator perlindungan sosial terdiri dari Kepemilikan JKN/Jaminan Kesehatan Nasional dan Penerima KPS/Kartu Perlindungan Sosial.

Ingatkan Komitmen Daerah, BPK Ungkap Masalah Terkait Penanganan Stunting

Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa IKPS Sultra hanya meningkat 3,9 persen dari tahun 2018 ke tahun 2021, dibanding peningkatan yang dialami seluruh provinsi lainnya sebesar 7,69 persen pada rentang tahun yang sama. Lambatnya kinerja IKPS Provinsi Sultra ini mungkin dapat menjelaskan akan rendahnya kinerja stunting Sultra.

Jika ditilik secara lebih mendalam, terjadi penurunan tajam pada dua indicator di Sulawesi Tenggara yang mungkin menjadi penghambat atas kemajuan penanganan stunting, dua indikator tersebut adalah “Ketidakukupan konsumsi pangan” (menurun sebesar 6,8 persen) dan “Penerima KPS” (menurun 26,5 persen poin).

Dalam penjelasannya, Indeks “Ketidakukupan konsumsi pangan” merupakan kondisi persentase penduduk dengan konsumsi makanan yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minimum energi untuk hidup sehat dan aktif sesuai umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiknya.

Lebih jauh, faktor yang mempengaruhi indikator ini mencakup kemiskinan, daya beli rumah tangga, pengetahuan gizi, ketersediaan pangan, pendapatan, dan sejumlah hal lainnya. Berbagai faktor ini diduga turut mempengaruhi atas ketidakcukupan konsumsi pangan, yang juga dapat dijelaskan pada Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) Sultra pada tahun 2018 yang mencapai 135,353, menurun menjadi 106,425 pada tahun 2021 (BPS Sultra: 2023).

Sementara itu, penjelasan logis terkait penerima KPS yang menurun tajam sebesar 26,5 persen poin adalah kian meningkatnya jumlah penduduk di tengah krisis Covid (dan pasca Covid) yang tidak mampu dijangkau melalui peningkatan KPS (baik akibat tidak adanya peningkatan jumlah KPS maupun salah salur). Hal ini diperkuat oleh berbagai temuan audit BPK-RI PWK Sultra yang menunjukkan berbagai bantuan KPS yang salah salur di berbagai kabupaten.

Bagaimana intervensi pemerintah?
Dalam upaya menurunkan angka stunting, pemerintah menetapkan stunting sebagai isu prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan target penurunan yang signifíkan dari kondisi 24,4persen pada 2021 menjadi 14persen pada 2024. Selain itu, untuk menekan angka stunting, maka pemerintah berupaya “memerangi” stunting dengan turut memprioritaskan 12 daerah yang menjadi target utama program stunting, yang mana Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi salah satu di antaranya.

Karena besarnya perhatian stunting oleh pemerintah, BPK juga turut mengevaluasi program tersebut melalui laporan pemeriksaan. Lebih jauh, Pemerintah melalui Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting menyinggung terkait upaya dan strategi dalam memerangi stunting yang dilakukan melalui berbagai upaya yang mencakup intervensi spesifik dan intervensi sensitif yang dilaksanakan secara konvergen, holistik, integratif, dan berkualitas melalui kerja sama multisektor dipusat, daerah dan desa. 

LHP Kinerja Penanganan Stunting

Dalam penjelasannya, intervensi spesifik didefinisikan sebagai kegiatan yang dilaksanakan untuk mengatasi penyebab langsung terjadinya stunting. Contoh dari tindakan (intervensi) ini adalah pemberian makanan (yang juga memperhatikan pemenuhan asupan gizi dan nutrisi) bagi ibu hamil dari kelompok miskin, suplementasi tablet tambah darah, promosi (pengayaan dan penggalakan informasi) dan konseling menyusui, MPASI dan lain sebagainya.

Sementara itu, intervensi sensitif kegiatan adalah yang dilaksanakan untuk mengatasi penyebab tidak langsung terjadinya stunting. Contoh dari tindakan ini adalah upaya pencegahan perkawinan anak dan pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan, penyediaan jaminan kesehatan, penyediaan jaminan bantuan sosial, pemenuhan ketahanan pangan keluarga miskin, dan sejenisnya. Melalui definisi dan contoh tersebut, pemerintah pusat secara jelas menunjukkan keseriusan dengan melibatkan multi-sektor dan multi-pihak agar dapat bekerja secara padu melalui kebijakan yang integrative. 

Namun demikian, komitmen pemerintah pusat jelas perlu diikuti dengan keseriusan pemerintah daerah (khususnya Sulawesi Tenggara) dalam menerapkan strategi tersebut, serta mengevaluasi kekurangan dan keterlambatan progress penanganan stunting selama ini (misal, meningkatkan penerima jumlah KPS dan juga tingkat keakuratan penyalurannya menurut data IKPS yang Pemprov Sultra gagal tangani). Karenanya, juga dibutuhkan sinkronisasi program antar-pihak agar tercapai tujuan dan kebijakan yang padu, efektif, dan efisien.

Komitmen pemerintah pusat dalam menangani stunting perlu diikuti dengan keseriusan pemerintah daerah

Untuk menggenapi upaya ini, maka pemerintah perlu penguatan dengan belajar dari kasus pengalaman negara lain maupun maupun inefektivitas dari kebijakan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Dalam berbagai penelitian, disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi berbasis target yang menyasar kelompok tertentu dapat mengurangi dan mengentaskan stunting (Mary: 2018).

Hal ini dapat dicapai melalui pelibatan kelompok miskin dalam pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan dasarnya melalui pertumbuhan produktivitas sektor tertentu (dalam hal ini, dapat berupa Sektor Pertanian, Perkebunan, dan Kelautan). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ni’mah dan Nadhiroh (2010) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara panjang badan lahir balita, riwayat ASI eksklusif, pendapatan keluarga, pendidikan ibu dan pengetahuan gizi ibu terhadap kejadian stunting pada balita. 

Akan tetapi, hambatan yang kini dihadapi oleh berbagai pihak yang mengemban amanat untuk memerangi stunting adalah hadirnya berbagai data yang berbeda, yang juga berasal dari berbagai Lembaga/badan yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari penderita stunting yang berada pada laman Kemendagri yang menunjukkan bahwa pada tahun 2018, penderita stunting di Provinsi Sultra mencapai 15 persen, dan pada tahun 2021 mencapai 18,5 persen.

Program Penurunan Stunting di Jabar Perlu Diperbaiki

Sementara itu, data yang dirilis oleh Kemenkes melalui Laporan IKHS menyebutkan bahwa stunting pada 28,7 persen, dan pada tahun 2021 mencapai 27,7 persen. Selain itu, BPS juga merilis data terakhir stunting pada tahun 2018 mencapai 10,1 persen. 

Perbedaan data ini dapat menimbulkan kebingungan dan polemik pada jajaran yang terlibat dalam menangani kasus stunting, yang berpotensi mengakibatkan kekeliruan dalam alokasi sumber daya, inefisiensi pemanfaatan sumber daya dan anggaran, dan pada akhirnya pemborosan anggaran. Padahal, dibutuhkan data yang menyeluruh, padu dan sinkron sebagai landasan dasar perumusan kebijakan. Karenanya, diperlukan satu data padu dan lengkap yang terintegrasi yang mampu mengarahkan berbagai jajaran yang terlibat terkait kondisi riil di lapangan, sehingga pemangku kebijakan dapat merumuskan kebijakan program dan penganggaran secara tepat.

Perbedaan data dapat menimbulkan kebingungan dan polemik pada jajaran yang terlibat dalam menangani kasus stunting

Untuk melakukan hal ini, Kemenkes perlu mengambil leading role, dan jajaran kementerian/lembaga lainnya perlu menyingkirkan ego sektoral. Mengingat, tercapainya tujuan penurunan stunting dapat berarti menjamin SDM Indonesia yang sehat, dan karenanya mendukung Indonesia yang lebih produktif dan sejahtera di waktu yang akan datang.

19/04/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Pemeriksaan Laporan Keuangan: Tidak Cukup Sekadar Analisis Dokumen

by admin2 22/02/2024
written by admin2

Oleh: Meri Oktorita, Pranata Hubungan Masyarakat Muda pada BPK Perwakilan Prov. Sumatera Barat

Laporan keuangan pemerintah daerah menggambarkan kondisi keuangan dan memberikan ukuran kinerja sebuah pemerintah daerah. Ini bisa menunjukkan apakah keuangan pemerintah daerah tersebut berada dalam keadaan yang sehat atau tidak. Laporan keuangan juga merupakan cara bagi pemerintah daerah untuk bertanggung jawab kepada masyarakat atas pengelolaan keuangan daerah yang telah dipercayakan kepada mereka.

Untuk menjamin tercapainya good government dan clean government, pemeriksaan terhadap keuangan negara yang meliputi evaluasi terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan diperlukan. Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, BPK memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan tersebut.

Di antara ketiga jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan BPK, pemeriksaan laporan keuangan merupakan jenis pemeriksaan yang bersifat mandatory, sehingga harus dilaksanakan secara teratur setiap tahun di setiap pemerintah daerah. Karena pemeriksaan ini menghasilkan opini, maka pemeriksaan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah mendapatkan perhatian lebih besar dari pemerintah daerah, media, dan masyarakat dibandingkan dengan jenis pemeriksaan lainnya. Bagi pemerintah daerah, opini yang diberikan oleh BPK merupakan evaluasi atas kinerja mereka selama satu tahun anggaran.

Namun, apakah yang terbayang bagi anda ketika mendengar Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah? Mungkin anda akan mengatakan bahwa memeriksa bukti Surat Pertanggungjawaban (SPJ) dengan prosedur yang biasa dilakukan yaitu tracing dan vouching. Anda mungkin telah sering mendengar istilah tersebut. Sebelum ke pembahasan selanjutnya, ada baiknya kita singgung sedikit definisi tracing dan vouching. Prosedur tracing, adalah prosedur pengujian dengan cara menelusur dari bukti transaksi ke bukti pembukuan. Prosedur vouching, adalah prosedur pengujian dengan cara menelusur dari bukti pembukuan ke bukti transaksi. Kedua teknik tersebut bermuara pada jurnal koreksi.

Namun, hal tersebut merupakan bagian kecil dari pemeriksaan laporan keuangan. Selain teknik pemeriksaan di atas ada tahapan pemeriksaan yang harus pemeriksa lalui ketika melakukan pemeriksaan. Untuk tidak berlama-lama mari kita bahas secara mendetil.

Pemeriksaan laporan keuangan, hasil akhirnya berupa opini atas Laporan Keuangan entitas yang diperiksa. Pemeriksaan Laporan Keuangan biasanya diawali dengan pemahaman entitas yang diperiksa. Adapun pemahaman entitas dapat dilakukan dengan mewawancarai auditee, menyebar kuisioner, atau dengan membaca produk hukum yang dihasilkan oleh entitas tersebut. Perlu anda ketahui bahwa Produk Hukum Daerah antara lain Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Peraturan Bersama Kepala Daerah, Keputusan Bersama Kepala Daerah, Keputusan Kepala Daerah dan Instruksi Kepala Daerah dalam rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Selanjutnya kita dapat memasuki tahapan berikutnya memeriksa SPJ entitas yang diperiksa. Selain menggunakan Teknik Sampling, Profesional Judgement juga sangat dibutuhkan dalam melihat sampel SPJ karena tidak mungkin kita memeriksa populasi dalam waktu lebih kurang satu bulan.

Menurut Setiawan (2005), sampling adalah proses pengambilan atau seleksi sejumlah n elemen atau objek dari populasi yang berukuran N. Biasanya, teknik yang digunakan pemeriksa adalah stratified random sampling, di mana populasi dibagi menjadi sub-populasi atau strata, dengan tujuan membentuk kelompok-kelompok yang homogen dalam hal nilai variabel tertentu. Dari setiap strata tersebut, sampel dipilih secara acak melalui proses simple random sampling.

Professional judgment adalah penggunaan pengetahuan dan pengalaman yang sesuai dalam bidang auditing, akuntansi, dan standar etika untuk membuat keputusan yang sesuai dalam berbagai situasi selama proses pemeriksaan. Ini melibatkan kemampuan personal yang mencakup kemampuan untuk membuat keputusan yang baik dalam konteks tertentu. Meskipun setiap pemeriksa dapat memiliki pendapat yang berbeda, pelatihan dan pengalaman bertujuan untuk menghasilkan konsistensi dalam penggunaan judgment. Kesesuaian judgment yang dilakukan oleh pemeriksa sangat memengaruhi kualitas hasil pemeriksaan dan opini yang diberikan. Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap profesi pemeriksa juga bergantung pada kemampuan pemeriksa untuk membuat judgment yang tepat dan akurat.

Disamping itu, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Pasal 17 menyatakan bahwa Penyerahan LHP atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Daerah, disampaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah BPK menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat/daerah. Waktu yang singkat dan personel yang terbatas, hal itulah yang mengobrak-abrik kemampuan pemeriksa dalam melaksanakan tugasnya. Pemeriksa harus mengeluarkan berbagai keahlian dalam satu waktu.

Untuk memeriksa sebuah akun belanja modal seperti pembangunan jalan dan jembatan, pemeriksa harus melakukan Teknik Sampling dan Profesional Judgement untuk memilih sampel dari populasi paket pekerjaan. Kemudian dilanjutkan dengan cek fisik lapangan dengan menge-core jalanan yang dilakukan bersama tenaga ahli, disaksikan PPK/PPTK dan pihak ketiga. Hal tersebut mungkin bukan perkara mudah karena target waktu yang dikejar.

Teknik cek fisik lapangan juga sering dilakukan pada saat memeriksa aset seperti persediaan, rumah dinas dan kendaraan dinas. Biasanya dilakukan untuk melihat apakah aset yang dicatat sesuai spek dan jumlah dengan aset yang ada.

Contoh selanjutnya, ketika memeriksa belanja bantuan sosial (bansos) atau hibah. Selain melihat kelengkapan bukti audit, pemeriksa harus mengkonfirmasi kepada pihak yang menerima hibah atau bansos dan jika ada fisik yang dibangun maka harus dilakukan cek fisik apakah bangunan telah selesai sampai tahun anggaran berakhir.

Selain tahapan di atas, ada satu lagi teknik pemeriksaan yang sering dilakukan seorang pemeriksa yaitu wawancara. Wawancara adalah proses komunikasi dua arah antara dua atau lebih individu, di mana satu pihak (pewawancara) bertanya dan mendapatkan informasi dari pihak lain (responden atau narasumber) dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang suatu topik, memperoleh informasi spesifik, atau memecahkan masalah. Wawancara dapat dilakukan dalam berbagai konteks, baik formal maupun informal, dan dapat melibatkan berbagai jenis pertanyaan, mulai dari pertanyaan terbuka hingga pertanyaan tertutup, sesuai dengan tujuan dan kebutuhan komunikasi.

Secara umum, proses wawancara melibatkan persiapan sebelumnya, yaitu merencanakan pertanyaan yang akan diajukan berdasarkan tujuan dan konteks wawancara, kemudian menyampaikan pertanyaan secara sistematis kepada narasumber, mendengarkan dengan saksama tanggapan narasumber, dan menggali lebih dalam jika diperlukan. Wawancara sering kali mencakup interaksi verbal, tetapi juga dapat melibatkan bahasa tubuh dan ekspresi non-verbal lainnya. Seorang pemeriksa akan mewawancarai pejabat terkait, misalnya bendahara untuk menilai apakah realisasi telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Akhirnya, kita berharap pemerintah daerah yang good government dan clean government dapat terwujud dengan adanya Pemeriksaan Laporan Keuangan. Pemeriksaan Laporan Keuangan yang dilaksanakan setiap tahun, menuntut komitmen yang tinggi Pemerintah Daerah untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus dalam mengelola keuangan daerah. Semoga.

Referensi:

Jurnal

Budiman, Rizal Y., Sondakh, Julie J., Pontoh, Winston. 2015. Pelaksanaan Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah oleh Anggota Tim Yunior pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Riset Akuntansi , Vol. 10, No. 1.

Buku

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Nugraha, Setiawan. 2005. Teknik Sampling. Bogor: Departemen Pendidikan Nasional Inspektorat Jenderal.

Internet

https://bantuan.simpkb.id/books/panduan-pgp-asesor/ch03/3-wawancara.html, diakses tanggal 9 Februari 2024

22/02/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita TerpopulerOpiniSLIDERSuara Publik

Berlakunya Permenpan Nomor 1 Tahun 2023, Akankah Jabatan Fungsional Pemeriksa BPK Tetap Menjadi Primadona bagi Para Pegawai?

by Achmad Anshari 07/03/2023
written by Achmad Anshari

Oleh: Romi Suryana, Pemeriksa Ahli Madya pada Auditorat Utama Keuangan Negara VII

Selamat Tinggal DUPAK

Arahan Presiden Jokowi dalam program prioritas kerjanya tentang reformasi birokrasi telah dinyatakan dengan jelas bahwa: 1) birokrasi harus berubah menjadi birokrasi yang berdampak (langsung dirasakan oleh masyarakat); 2) bukan merupakan tumpukan kertas; 3) harus mampu bergerak dengan lincah dan cepat. Prioritas tersebut kemudian oleh Kementerian PAN dan RB dijawab dengan kebijakan pemangkasan birokrasi menjadi 2 eselon, dan peralihan jabatan struktural menjadi fungsional. Tetapi ternyata, upaya tersebut dirasa belum optimal karena setelah beralih menjadi fungsional, para pegawai masih dihadapkan pada urusan administratif angka kredit yang ribet dan tidak simpel. Kemudian untuk mengatasi permasalahan itu kementerian PAN RB membuat gebrakan pada awal tahun 2023 dengan menetapkan Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional sebagai pengganti Permenpan 13 Tahun 2019.

Perubahan pokok yang diusung aturan baru tersebut, jika dibandingkan dengan aturan yang lama, akan terlihat pada tabel berikut.

Permenpan 13 Tahun 2019Permenpan 1 Tahun 2023
Jabatan dibedakan berdasarkan penyelarasan butir kegiatan dan SKPJabatan berdasarkan ruang lingkup tugas dan ekspektasi kinerja
Perpindahan Jabatan hanya dilakukan dalam satu rumpunPerpindahan jabatan dapat dilaksanakan lintas rumpun untuk memudahkan talent mobility
Penetapan target angka kredit di awal tahun disusun sesuai butir kegiatan dalam SKP untuk kemudian dijumlahkan untuk mencapai batas minimal angka kredit yang harus dikumpulkan per tahun.Target berupa nilai koefisien angka kredit tahunan sesuai jenjang jabatan. JF Pertama koefisiennya 12,5, JF Muda 25, JF Madya 37,5, dan JF Utama 50.
Cara mengevaluasi kinerja pegawai adalah menilai angka kredit per butir kegiatan dan pengajuan DUPAKTidak ada lagi DUPAK, evaluasi berdasarkan hasil penilaian pemenuhan ekspektasi kinerja.
Kenaikan Pangkat Luar Biasa hanya untuk Jabatan Pimpinan Tinggi dan Jabatan Administrator.Kenaikan pangkat istimewa juga diberikan bagi Pejabat Fungsional yang memiliki penilaian kinerja dan keahlian yang luar biasa dalam menjalankan tugas.
Instansi Pembina memiliki 19 tugas yang utamanya: Pendidikan dan pelatihan, formasi, standar kompetensi, uji kompetensi, dan koordinasiInstansi Pembina hanya bertugas menyusun konten pembelajaran dan menyusun strategi/program pengembangan kompetensi

Dari tabel tersebut terlihat adanya simplifikasi dalam penyusunan target dan evaluasi kinerja pegawai yang menduduki jabatan fungsional. Cara mengukur evaluasi kinerja pegawai pun hanya dilakukan dengan mengalikan angka koefisien per jenjang, dengan prosentase tertentu. Jika Penilaian Sangat Baik, maka angka koefisien dikalikan dengan 150%, Jika Baik dikalikan 100%, Butuh Perbaikan dikalikan dengan 75%, Kurang dikalikan dengan 50%, dan Buruk dikalikan dengan 25%. Jadi misalnya ada seorang Pemeriksa Muda yang SKP nya dinilai Sangat Baik oleh atasan, maka angka kredit tahunan yang diperolehnya adalah sebanyak 37,5 (150% x 25). Jika pada waktu itu seorang pegawai demi membuktikan memperoleh angka kredit 37,5 diharuskan melampirkan berbagai macam dokumen yang mendukung butir-butir kegiatan selama satu periode ke dalam aplikasi untuk dijumlahkan senilai 37,5, maka tidak untuk aturan yang baru ini. 

Mulai Kapan Diberlakukan?

Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023 mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2023. Di mana pada tanggal tersebut semua ketentuan mengenai unsur dan subunsur kegiatan, butir kegiatan, dan angka kreditnya, tim penilai angka kredit, sampai dengan ketentuan mengenai kenaikan pangkat dan jabatan fungsional dalam Permenpan 49 Tahun 2018 tentang Jabatan Fungsional Pemeriksa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebagai tambahan Peraturan Sekjen BPK Nomor 5 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pemeriksa di BPK yang merupakan aturan pelaksanaan Permenpan 49 Tahun 2018, masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diubah dengan Permenpan 1 Tahun 2023. 

Dari informasi tersebut, setidaknya pegawai masih harus mengajukan DUPAK ke dalam aplikasi terkait kepegawaian atas kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada periode Tahun 2022. Peraturan JF yang baru mewajibkan Biro SDM untuk melakukan proses penilaian terakhir atas DUPAK para pegawai paling lambat 30 Juni 2023. Hal yang penting untuk kita ketahui adalah, penilaian angka kredit JF berdasarkan konversi predikat evaluasi kinerja tahunan mulai diberlakukan untuk periode kinerja mulai 1 Januari s.d 31 Desember 2023.

Bagaimana Pegawai Menyikapinya?

Setiap pegawai seharusnya diuntungkan dengan adanya kebijakan baru terkait penghapusan angka kredit ini. Pemeriksa hanya fokus melaksanakan tugas pemeriksaan yang diberikan pimpinan, tanpa harus mengalokasikan waktu khusus untuk menginput DUPAK ke dalam aplikasi yang biasanya menyita energi para pegawai. Selain itu, pegawai yang juga dapat berpindah jabatan fungsional lainnya yang ada di BPK untuk menyesuaikan dengan passion dan talent yang dimilikinya. Misalnya seorang pegawai dengan jabatan fungsional pemeriksa dengan pangkat III/d, tetapi merasa sudah jenuh di posisi sekarang, dapat mengajukan pindah jabatan ke JF Analis Hukum dengan mengikuti proses uji kompetensi yang diperlukan. Peluang itu tetap ada dan selalu difasilitasi oleh BPK.

Dalam Permenpan yang baru, dinyatakan bahwa jika formasi jenjang jabatan untuk naik pangkat sudah terisi penuh, maka pegawai yang sudah memenuhi angka kredit kumulatif dapat diberikan kenaikan pangkat satu tingkat lebih tinggi, tetapi dengan catatan tetap menjalankan tugas pada jenjang yang lama. Jadi misalnya seorang pemeriksa muda (III/d) telah mencapai angka kredit untuk naik pangkat ke IV/a tetapi formasi pemeriksa madya sudah terisi penuh, maka dapat dinaikkan pangkatnya ke IV/a tetapi tetap menjalankan tugas sebagai pemeriksa muda. Selain itu, dalam Permenpan juga menyatakan jika pemeriksa memiliki penilaian kinerja dan keahlian luar biasa dalam menjalankan tugas pemeriksaan, dapat diberikan penghargaan berupa kenaikan pangkat istimewa.

Jadi, pilihan untuk berkarir menjadi pemeriksa di BPK tetap menjadi target yang masuk akal bagi seluruh pegawai BPK pada khususnya dan para job seeker di Indonesia pada umumnya. Apalagi dengan adanya kemudahan yang sudah diberikan oleh kementerian PAN dan RB tentang aturan Jabatan Fungsional ini, tentunya akan menjadikan birokrasi di BPK semakin efektif, efisien, dan bersih, agile, adaptif agar setara dengan birokrasi kelas dunia.

07/03/2023
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita TerpopulerOpiniSLIDERSuara Publik

Hasil Pemeriksaan BPK tak Berhenti di Opini WTP

by Admin 1 04/08/2022
written by Admin 1

Oleh Fitri Yuliantri P, Pranata Humas Muda BPK

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2021. Tren pemerolehan opini WTP untuk LKPP ini sudah terjadi sejak LKPP tahun 2016.

Tren opini WTP tidak hanya diperoleh pemerintah pusat. Hal ini bisa dilihat dari jumlah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang mendapat opini WTP juga semakin meningkat.

Pada tahun 2016, ada 378 LKPD dengan opini WTP dan pada tahun 2020 terdapat 486 LKPD dengan opini WTP (Sumber: Siaran Pers BPK).

Mendapat opini WTP dari BPK memang sebuah prestasi, sehingga tak jarang dirayakan oleh instansi yang memerolehnya. Meskipun begitu, perlu diingat bahwa opini WTP pada dasarnya adalah laporan keuangan entitas yang diperiksa BPK dan dinilai telah menyajikan secara wajar dalam semua hal. Baik secara material, posisi keuangan, hasil usaha, maupun arus kas entitas. Seluruhnya telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia (Sumber: Ruang Edukasi BPK).

“Di Ibu Kota, semester pertama 2021 BPK mendapatkan 71 temuan senilai Rp256,1 miliar dan memberikan 138 rekomendasi. Pemprov DKI pun telah melakukan tindak lanjut. Akan tetapi, hanya 21 atau sekitar 15,2% yang sesuai dengan rekomendasi BPK. Sisanya, sebanyak 29 (21%) belum sesuai rekomendasi, dan 88 (63,8%) belum dilakukan tindak lanjut.”

Jadi, dapat dikatakan bahwa mendapatkan opini WTP adalah kewajiban bagi semua instansi atau entitas yang diperiksa BPK. Selain itu, meskipun sebuah entitas mendapatkan opini WTP, dalam keadaan tertentu BPK biasanya memberikan catatan dalam bentuk rekomendasi yang harus ditindaklanjuti.

Setelah itu, BPK akan mengeluarkan laporan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan (TLRHP) atas laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang telah diterbitkan sebelumnya. Dengan demikian, pemeriksaan BPK tak berhenti setelah sebuah institusi mendapatkan opini WTP. Masih ada kewajiban lain yang harus ditindaklanjuti pihak-pihak terkait sebagai auditee atau terperiksa.

Sebagai contoh, pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2021, BPK masih mencatat ada beberapa permasalahan. Karenanya, BPK pun mengeluarkan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat.

Dalam kondisi ini, auditee harus aktif menindaklanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan BPK. Tindak lanjut rekomendasi diperlukan untuk memperbaiki sistem pengendalian internal (SPI) dan kepatuhan terhadap perundang-undangan.

Secara nasional, hasil pemeriksaan terhadap pelaksanaan TLRHP atas LHP yang telah diterbitkan per semester pertama 2021 mencapai 76,9%. Artinya, masih ada sekitar 23,1% kewajiban tindak lanjut yang belum atau tak dapat ditindaklajuti oleh entitas yang diperiksa BPK.

Di antara institusi yang telah melaksanakan rekomendasi BPK secara penuh adalah Mahkamah Agung (MA). Sampai dengan semester kedua 2021, hasil pemantauan terhadap pelaksanaan TLRHP di MA telah mencapai 100 persen.

Selain MA, entitas lain di pusat yang juga telah melaksanakan tindak lanjut rekomendasi BPK mencapai 100% adalah lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan Sekretariat Kabinet (SETKAB).

Wow, Tiga Entitas Naik Kelas Jadi WTP

Antara Jabar dan DKI Jakarta

Bagaimana dengan tindak lanjut yang dilakukan pemerintah daerah setelah memeroleh opini WTP? Sebagai contoh akan dibahas apa yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Tahun lalu, Pemprov Jawa Barat mendapatkan opini WTP dari BPK. Pencapaian kesebelas berturut-turut ini tentunya merupakan prestasi yang cukup baik untuk sebuah laporan keuangan. Akan tetapi, setelah mendapatkan WTP tersebut, apakah Pemprov Jabar juga menindaklanjuti rekomendasi BPK?

Pada semester pertama tahun 2021, BPK RI mendapatkan 28 temuan dan memberikan 62 rekomendasi yang nilainya mencapai Rp23,5 miliar. Akan tetapi, Pemprov Jabar baru menindaklanjuti sebanyak 11 item (17,7%) yang sesuai rekomendasi BPK, sisanya 51 item (82,3%) belum sesuai rekomendasi BPK.

Bagaimana dengan DKI Jakarta? Di Ibu Kota, semester pertama 2021 BPK mendapatkan 71 temuan senilai Rp256,1 miliar dan memberikan 138 rekomendasi. Pemprov DKI pun telah melakukan tindak lanjut. Akan tetapi, hanya 21 atau sekitar 15,2% yang sesuai dengan rekomendasi BPK. Sisanya, sebanyak 29 (21%) belum sesuai rekomendasi, dan 88 (63,8%) belum dilakukan tindak lanjut.

Dengan melihat angka-angka di atas, berarti pada semester pertama tahun 2021 belum banyak rekomendasi BPK yang diselesaikan Pemprov Jabar dan DKI Jakarta.

Aspek Hukum Rekomendasi BPK

Secara hukum, pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam LHP dan wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi tersebut. Hal ini sebagaimana termuat dalam Peraturan BPK RI No 2 Tahun 2017 tentang Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan.

Pada pasal 6 Peraturan BPK RI No 2 tahun 2017, secara tegas disebutkan, bahwa:

(1) BPK menelaah jawaban atau penjelasan yang diterima dari pejabat untuk menentukan apakah tindak lanjut telah dilakukan sesuai dengan rekomendasi BPK.

(2) Penelaahan terhadap jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh BPK dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.

(3) Dalam proses penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BPK dapat:

a. meminta klarifikasi atas jawaban atau penjelasan pejabat;

b. melakukan pembahasan dengan pejabat; dan/atau

c. melakukan prosedur penelaahan lainnya.

Sementara mengenai dampak hukum atas rekomendasi yang telah diberikan BPK tertuang dalam pasal 9 dan pasal 10 Peraturan BPK RI No 2 Tahun 2017.

Meski Kaltim Sudah WTP, BPK Beri Rekomendasi Terkait Kemiskinan

– Pasal 9

(1) Apabila klasifikasi tindak lanjut menunjukkan tindak lanjut belum sesuai dengan rekomendasi atau rekomendasi belum ditindaklanjuti, pejabat wajib melaksanakan tindak lanjut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penetapan status diterima entitas.

(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) klasifikasi tindak lanjut belum sesuai dengan rekomendasi atau rekomendasi belum ditindaklanjuti, BPK dapat melaporkan kepada instansi yang berwenang.

– Pasal 10

Penyelesaian tindak lanjut tidak menghapuskan tuntutan pidana.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mendapatkan opini WTP bukan segala-galanya. Opini WTP tidak menghilangkan kewajiban lain seperti yang telah direkomendasikan BPK. Ingat, ada sanksi pidana bagi pejabat yang lalai menindaklanjuti rekomendasi dalam batas waktu tertentu.

04/08/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Program Indonesia Pintar (Sumber: Kemdikbud.go.id)
BeritaBerita TerpopulerOpiniSuara Publik

Hilangnya Hak Anak dalam Sengkarut Program Indonesia Pintar

by Admin 1 19/07/2021
written by Admin 1

Oleh: Fitri Yuliantri P, Pranata Humas Muda BPK

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Lebih dari 2,4 juta siswa pemilik Kartu Indonesia Pintar (KIP) terancam kehilangan kesempatan dalam mengakses Program Indonesia Pintar (PIP) yang telah dicanangkan pemerintah. Secara detail, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut angkanya mencapai 2.455.174 siswa. Jumlah tersebut didapatkan dari hasil pemeriksaan BPK atas PIP periode 2018 hingga semester I tahun 2020.

Seperti diketahui, siswa pemilik KIP berasal dari keluarga kurang mampu peserta Program Keluarga Harapan (PKH) dan pemilik Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Kalangan yang selama ini dinilai mempunyai keterbatasan dalam mengakses pendidikan.

Sengkarut atas pelaksanaan program yang sudah ada sejak tahun 2014 ini tampaknya belum bisa diatasi oleh pemerintah hingga saat ini. Masalah keterlambatan memasukkan data penerima, salah sasaran, atau hambatan pencairan dana, masih terus terjadi dalam pelaksanaan PIP.

Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan dasar hingga menengah, harus bisa memastikan semua anak mendapat hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya (UU HAM Pasal 60 ayat 1).

Sekilas PIP dan KIP

PIP adalah program pemerintah untuk menjamin hak pendidikan anak dari kelompok rentan. PIP dirancang untuk membantu anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin dan rentan miskin, untuk tetap mendapatkan layanan pendidikan sampai tamat pendidikan menengah.

Pendidikan yang dijamin pemerintah tersebut bisa melalui jalur pendidikan formal (mulai SD/MI hingga anak lulus SMA/SMK/MA) maupun pendidikan non-formal (Paket A hingga Paket C serta kursus terstandar). Selain untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, PIP juga diberikan pada jenjang pendidikan tinggi.

Melalui program ini pemerintah berupaya mencegah peserta didik dari kemungkinan putus sekolah dan diharapkan dapat menarik siswa putus sekolah agar kembali melanjutkan pendidikannya. PIP merupakan kerja sama tiga kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Sosial (Kemensos), dan Kementerian Agama (Kemenag).

Setiap anak didik sasaran PIP diberikan Kartu Indonesia Pintar (KIP).  Kartu tersebut diberikan sebagai penanda atau identitas penerima bantuan pendidikan.

Sengkarut PIP

Kemendikbud mengklaim bahwa PIP telah menekan jumlah anak putus sekolah secara signifikan. Tapi, klaim kesuksesan ini bukan berarti PIP tidak ada persoalan. Di lapangan, masih banyak ditemukan permasalahan.

Hasil audit BPK atas PIP pada tahun 2018 hingga Semester I 2020 menyimpulkan bahwa pengelolaan PIP pada periode tersebut telah sesuai tapi dengan pengecualian. Sebab, temuan pemeriksaan menunjukkan bahwa perencanaan PIP belum dilaksanakan secara memadai. Selain itu, pelaksanaan penyaluran dan pencairan PIP juga tidak memadai. BPK juga menemukan bahwa penyaluran Bidikmisi belum dilakukan secara optimal.

Akibatnya, sebanyak 2.455.174 peserta didik pemilik KIP yang berasal dari keluarga peserta PKH/KKS menjadi kehilangan kesempatan karena tidak diusulkan dalam SK penerimaan bantuan PIP. Selain itu, penyaluran dana PIP kepada 5.364.986 siswa atau sebesar Rp2,86 triliun tidak tepat sasaran. Ini terjadi karena bantuan dana tersebut diberikan kepada siswa yang tidak layak menerima.

Tak hanya itu, proses penyaluran dan pencairan dana PIP pun terhambat. Terdapat dana PIP tahun 2019 dan 2020 yang mengendap selama lebih dari 105 hari di bank penyalur. Dana tersebut mencapai Rp1,98 triliun. Dana mengendap ini berpotensi memberikan penerimaan jasa giro sebesar Rp167,90 miliar tetapi tidak dapat ditagih.

Sengkarut juga terjadi pada program Bidikmisi. Penyaluran yang tak tepat menyebabkan dana Bidikmisi tidak dapat dimanfaatkan oleh penerima. Juga terjadi kelebihan pembayaran atas penyaluran Bidikmisi kepada mahasiswa yang tidak terdaftar dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD-Dikti).

BPK sudah memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan tersebut. Kemendikbud dan instansi terkait diminta segera menyelesaikan sengkarut pada PIP. Sejatinya program PIP ini adalah wujud kehadiran negara untuk memenuhi pendidikan bagi anak Indonesia.

Permasalahan di lapangan yang langsung dialami oleh pelaksana dan penerima program, serta hasil audit BPK harus menjadi perhatian oleh Kemendikbud dan instansi terkait. Audit sudah dilakukan BPK. Masyarakat pun dapat turut mengawasi pelaksanaan PIP dan melaporkan ke instansi berwenang jika mendapati penyimpangan.

Sengkarut pada PIP yang terus berlarut, jangan sampai menghilangkan hak anak untuk mendapat pendidikan. Negara harus memastikan hak pendidikan anak Indonesia terpenuhi. 

Selamat Hari Anak Nasional, 23 Juli 2021.

19/07/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Pandemi Covid-19 di Amerika Serikat (Ilustrasi)
BeritaBerita TerpopulerOpiniSLIDER

Temuan Penyelewengan Dana Kompensasi Pengangguran Pandemi Covid 2020 di Negara Bagian California AS

by Admin 1 21/06/2021
written by Admin 1

Oleh: Wahyudi/Kasubaud IV BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Sampai pertengahan Juni 2021, Amerika Serikat (AS) mencatat kasus lebih dari 33 juta orang terinfeksi Covid-19 dengan jumlah korban meninggal mencapai 590.000 orang. Dengan jumlah penduduk mencapai 39,5 juta jiwa, negara bagian California menduduki urutan teratas kasus Covid-19 di AS dengan 3,8  juta orang terinfeksi dan 64.000 orang meninggal dunia. Selama 2020 Pemerintah Federal AS menyediakan program dukungan senilai 2,6 triliun dolar AS bantuan langsung kepada para warga, sektor, seluruh negara bagian, dan pihak- pihak yang terdampak pandemi di seluruh AS. Di antaranya program Unemployment Insurance (UI) senilai 394,3 miliar dolar AS, dan program Pandemic Unemployment Assistance (PUA) senilai 352,2 miliar dolar AS.

Pada awal 2021, Auditor of the State of California (ASC) menerbitkan laporan hasil pemeriksaan atas pengelolaan penyaluran UI atau jaminan/kompensasi pengangguran, sebuah skema manfaat yang diberikan pemerintah federal AS kepada para pengangguran sehubungan dampak pandemi Covid-19. Di negara bagian California, dana UI disalurkan oleh Employment Development Department (EDD) sebagai bagian dari entitas negara bagian. EDD juga mengelola sejumlah dana pemerintah federal terkait perluasan manfaat UI di wilayah California. Tujuan pemeriksaan ini adalah mengevaluasi upaya EDD dalam pencegahan upaya penipuan terkait penyaluran dana bantuan/manfaat program UI.

Program UI memberikan manfaat penggantian sebagian upah kepada para pengangguran warga negara bagian California yang memenuhi syarat. Secara umum penerimanya harus memenuhi sejumlah persyaratan, seperti menjadi pengangguran bukan karena keinginan sendiri, memiliki kemampuan kerja dan bersedia untuk bekerja (jika tersedia kembali lowongan). Calon penerima juga harus menyampaikan beberapa informasi terkait Social Security Number (SSN) dan informasi mengenai pekerjaan sebelumnya, termasuk menyampaikan perkiraan penghasilannya yang akan digunakan EDD menghitung besaran wajar nilai pembayaran kompensasi yang akan diterimanya.

Sebagai perbandingan pada praktik bantuan sejenis di Indonesia, calon penerima Bantuan Subsidi Upah (BSU) nasional berjumlah 15,7 juta orang. Data calon penerima BSU diambil dari data BPJS Ketenagakerjaan. Data tersebut dilakukan verifikasi dan validasi oleh BPJS Ketenagakerjaan sesuai kriteria dan persyaratan yang ditentukan. BSU disalurkan Kemnaker sebesar Rp 600 ribu per bulan, yang diberikan setiap dua bulan sekali melalui transfer ke rekening bank penerima.

EDD menghadapi potensi penipuan pada penyaluran dana program UI yang terdiri dari penipuan pembayaran (benefit fraud) dan pemalsuan identitas penerima (impostor fraud) menggunakan hasil pencurian indentitas milik orang lain. Penipuan pembayaran terjadi saat individu melaporkan secara tidak benar jumlah penghasilannya atau informasi tentang pekerjaan mereka. Misalnya, individu yang telah kembali memperoleh pekerjaan tidak melaporkan update statusnya tersebut sehingga terus dikirimi pembayaran kompensasi oleh program UI.

Modus penipuan kedua adalah penggunaan informasi milik  orang lain untuk  memperoleh kompensasi pembayaran UI. Modus ini sebenarnya bukan hal baru, misalnya, pada 2019, EDD menyelidiki 61 kasus penipuan pembayaran UI dengan potensi kerugian sekitar 24,4 juta dolar AS. Termasuk 14 kasus penggunaan identitas orang lain dengan nilai pembayaran 5,5 juta dolar AS. EDD juga menemukan lebih dari 110.000 kasus kelebihan bayar senilai 116,8 juta dolar AS, 2,3 persen dari total pembayaran manfaat 4,9 miliar dolar AS pada 2019. Kepolisian wilayah Beverly Hills pada September 2020 telah menangkap 44 orang yang bertanggung jawab atas pencurian identitas yang merugikan EDD senilai lebih dari 2,5 juta dolar AS.

Pada November 2020, EDD menerima laporan bahwa banyak individu menerima e–mail dari EDD yang ditujukan kepada addressee atau nama orang lain. E–mail ini merupakan bukti adanya praktik penipuan untuk mendapatkan manfaat/pembayaran UI. Ada juga misalnya laporan dari seseorang yang baru saja pindah ke sebuah rumah baru dimana ia menerima lebih dari 65 buah surat dari EDD yang ditujukan alamat rumahnya untuk sedikitnya 15 nama orang yang berbeda. Selain itu banyaknya surat EDD yang dikembalikan juga menunjukkan prevalensi modus kasus ini. Pada November 2020 jaksa negara bagian menyurati gubernur tentang kasus penipuan UI yang terjadi di beberapa penjara.

Salah satu cara yang sering dilakukan EDD mencegah penipuan penggunaan informasi orang lain adalah dengan memverifikasi identitas penerima. Proses ini dilakukan melalui verifikasi otomatis dasar seperti pencocokan data SSN dengan data SIM yaitu antara informasi yang dimiliki oleh US Social Security Administration dengan California Dept of Motor Vehicles. Jika proses ini mendeteksi adanya perbedaan, EDD akan menempuh proses verifikasi secara manual untuk meyakini apakah si penerima adalah pemilik sebenarnya dari identitas tersebut.

Saat proses manual ini dimulai, sistem EDD akan menghentikan sementara pembayaran kompensasi kepada si penerima tersebut. Selanjutnya pada Oktober 2020, EDD memperkenalkan alat verifikasi identitas online baru yaitu ID.me, yang dapat membantu mempermudah para penerima memverifikasi identitas mereka, mengurangi loading pekerjaan manual oleh staf EDD, dan secara signifikan mencegah penggunaan informasi orang lain untuk permohonan pembayaran UI.

ASC menemukan kelemahan signifikan dalam pendekatan EDD mencegah penipuan yang telah merugikan negara miliaran dolar dari pembayaran manfaat UI yang tidak semestinya. EDD tidak segera mengambil tindakan substantif untuk mendeteksi penipuan tersebut yang mengakibatkan pembayaran 10,4 miliar dolar AS atas permohonan yang telah dicurigai palsu karena EDD tidak dapat memverifikasi identitas penerimanya.

EDD membutuhkan waktu sekitar empat bulan untuk mengaktifkan sistem otomatis antipenipuan, mengambil tindakan yang tidak tuntas terhadap permohonan yang diajukan dari alamat yang mencurigakan, dan menghapus sistem perlindungan utama terhadap pembayaran yang tidak semestinya tanpa pemahaman utuh atas pentingnya perlindungan. Selanjutnya EDD tidak dapat mengelola dua situasi penting terkait penipuan UI selama 2020. Yaitu pada September 2020, karena masalah penipuan, EDD meminta Bank of America membekukan 344.000 kartu debit (rekening) yang digunakan untuk penyaluran kompensasi. Namun ternyata EDD tidak memiliki prosedur untuk mengaktifkan kembali rekening yang setelahnya terbukti dimiliki oleh penerima yang sah.

EDD juga tidak mampu mencegah penipuan pembayaran permohonan yang diajukan atas nama penerima yang berstatus dipenjara (terpidana) sekitar 810 juta dolar AS karena belum memiliki sistem untuk mencocokkan datanya dengan data dari lembaga pemasyarakatan setempat. Sistem kerja EDD menimbulkan risiko tinggi karena mengandalkan informasi dan teknik terputus-putus dalam mencegah dan mendeteksi penipuan penyaluran dana program UI. Misalnya, EDD belum menetapkan unit terpusat yang bertanggung jawab mengelola upaya pencegahan dan pendeteksian penipuan, dan tidak memantau atau menilai efektifitas berbagai alat pencegahan dan pendeteksian penipuan. Akibatnya EDD diindikasi menggunakan teknik pencegahan dan deteksi penipuan yang tidak efektif, yang berimbah pada potensi penundaan pembayaran kepada penerima yang sah.

ASC menemukan dua faktor utama yang membuat program UI sangat rentan terhadap penipuan selama pandemi adalah peningkatan mendadak dan besar dalam permohonan manfaat UI, dan perluasan kriteria yang signifikan untuk menerima manfaat. Sejak mulai pandemi dan pemberlakuan PSBB, tingkat pengangguran di wilayah California melonjak dari 4,3 persen pada Februari 2020 menjadi 16,2 persen pada April 2020. Fenomena ini menciptakan peningkatan dramatis dalam jumlah permohonan manfaat UI yang diajukan individu.

EDD menerima hampir 2,4 juta permohonan manfaat UI pada April 2020, sekitar 13 kali lipat dari yang diterima pada April 2019. Peningkatan besar ini telah mempersulit EDD melakukan upaya deteksi penipuan yang umum. Selanjutnya pada akhir Maret 2020, Pemerintah Federal AS memberlakukan UU baru, Cares Act (Coronavirus Aid, Relief, and Economic Security), yang memperluas manfaat UI dan melonggarkan beberapa persyaratannya. Cares Act memperluas cakupan pemberian Pandemic Unemployment Assistance (PUA) kepada individu tertentu yang tidak memenuhi syarat untuk menerima tunjangan pengangguran reguler, seperti sebagai individu yang telah wiraswasta dan tidak memiliki majikan atau pihak ketiga yang melaporkan upah mereka atau memvalidasi status pengangguran mereka.

Cares Act menambahkan jumlah manfaat 600 dolar AS per pekan berdasarkan hukum negara bagian antara Maret dan Juli 2020. Kemenaker AS juga menetapkan tanggal mundur permohonan PUA terhitung sejak Februari 2020. Ini berarti jumlah uang yang diperoleh penerima menjadi lebih besar karena memperhitungkan tanggal sebelum permohonan diajukan. Faktor-faktor inilah yang diindikasi berkontribusi meningkatkan risiko penipuan, karena penerima tidak perlu memberikan informasi yang dapat diverifikasi mengenai riwayat pekerjaan mereka.

Atas temuan dan rekomendasi pemeriksaan tersebut, EDD antara lain menindaklanjutinya dengan menyatakan bahwa sejak Maret 2020, lebih dari 112 miliar dolar AS dana UI telah dibayarkan dari 18,8 juta permohonan yang diproses. Dari jumlah tersebut EDD mengidentifikasi 10,4 miliar dolar AS sebagai penipuan dimana sekitar 92% di antaranya merupakan permohonan PUA. EDD juga telah menandai tambahan 19,5 miliar dolar AS sebagai pembayaran yang mencurigakan yang akan dipertimbangkan penghentian pembayarannya, memverifikasi identitas atas 1,2 juta permohonan dan verifikasi kriteria kelayakan lainnya atas lebih dari 150.000 permohonan. Selain itu, EDD berhasil mengidentifikasi 1,6 juta permohonan sebagai berpotensi penipuan dan menghentikan proses pembayarannya.

Sumber:

1. https://www.auditor.ca.gov/reports/2020-628.2/index.html

2. https://bantuan.kemnaker.go.id/support/solutions/articles/43000597404-bagaimana- mekanismenya-pemberian-bsu-

21/06/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Laporan Keuangan Pemerintah Federal AS tahun 2020
BeritaBerita TerpopulerOpini

Penyajian Informasi Beban Penanganan Pandemi Covid, Posisi Utang, dan Keberlangsungan Fiskal Pada LK 2020 Pemerintah Federal AS

by Admin 1 12/05/2021
written by Admin 1

Oleh: Wahyudi, Kasubaud IV BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Pada 25 Maret 2021, US Department of Treasury merilis Laporan Keuangan Pemerintah Federal AS tahun 2020 yang telah diaudit oleh US Government Accountability Office (GAO). Laporan Keuangan (LK) tersebut menyajikan gambaran umum komprehensif posisi dan hasil keuangan Pemerintah Federal AS, termasuk efek dari respons terhadap kondisi pandemi Covid-19 dan program dukungan senilai 2,6 triliun dolar AS bantuan langsung kepada warga, sektor, negara bagian dan pihak-pihak yang terdampak.

LK juga menyajikan tren jangka panjang utama yang memengaruhi keberlangsungan fiskal (fiscal sustainability) pemerintah AS. LK menyajikan dua laporan, yaitu Accrual-based Financial Statement dan Sustainability Financial Statements. Seperti 22 tahun terakhir, GAO mengeluarkan opini disclaimer (TMP) atas Accrual-based Financial Statement  TA 2020 disebabkan kelemahan material tertentu dalam pengendalian internal atas pelaporan keuangan dan batasan lain pada lingkup pemeriksaan. GAO juga mengeluarkan opini disclaimer atas Sustainability Financial Statements karena ketidakpastian signifikan terkait pencapaian pengurangan yang diproyeksikan dalam pertumbuhan biaya Medicare dan batasan tertentu lainnya.

Accrual-based Financial Statement TA 2020 melaporkan biaya operasional bersih (net operating cost) akrual berjumlah 3,8 triliun dolar AS (ekuivalen Rp55.100 triliun, pada asumsi kurs rata-rata 1 dolar AS= Rp14.500). Defisit anggaran (cash-basis) dolar AS 3,1 triliun (ekuivalen Rp44.950 triliun). Selisih 696,9 miliar dolar AS antara defisit anggaran dan net operating costs sebagian besar disebabkan biaya yang masih harus dibayar, terutama terkait peningkatan perkiraan kewajiban actuarial, peningkatan piutang pajak, dan lain-lain.

Defisit anggaran tersebut meningkat 2,1 triliun dolar AS (218,2%) dari defisit 984 miliar dolar AS pada tahun 2019, dan net operating cost meningkat 2,4 triliun dolar AS (164,7%) dari 1,446 triliun dolar AS tahun 2019. Selama TA 2020, utang federal yang dimiliki publik meningkat 25 persen menjadi 21,1 triliun dolar AS (ekuivalen Rp305.950 triliun). Total aset 2020 sebesar 6,0 triliun dolar AS jika dibandingkan dengan total kewajiban 32,7 triliun dolar AS, maka terdapat posisi bersih ekuitas negatif sebesar 26,8 triliun dolar AS (ekuivalen negatif Rp388.600 triliun).

Sustainability Financial Statements menyajikan SLTFP (Statements of Long-Term Fiscal Projections) terkait present value (PV) pengeluaran non-bunga termasuk jaminan sosial, Medicare, Medicaid, pertahanan, dan pendidikan, dan lain-lain selama 75 tahun ke depan yang diproyeksikan melebihi PV total penerimaan sebesar 79,5 triliun dolar AS. Disajikan pula Statements of Social Insurance (SOSI) terkait PV pengeluaran pemerintah untuk jaminan sosial dan perawatan kesehatan dan program asuransi sosial diproyeksikan melebihi PV pendapatan asuransi sosial sekitar 65,5 triliun dolar AS. Untuk mencegah peningkatan rasio utang terhadap PDB selama periode dimaksud, diperlukan langkah pengurangan belanja non-bunga dan peningkatan penerimaan rata-rata 5,4 persen dari PDB. Fiscal gap sebesar minus 5,4% menggambarkan 30,2 persen dari PV penerimaan dan 23,8 persen dari PV belanja non-bunga dalam kurun 75 tahun ke depan.

Adapun ringkasan data keuangan dimaksud adalah sebagai berikut:

Efek Pandemi terhadap Posisi Keuangan

Sejak dinyatakan sebagai keadaan darurat nasional AS awal Maret 2020, Kongres mengesahkan serangkaian CARES Act untuk mengurangi beban keuangan pada warga negara dan lembaga terkait, meminimalkan kerugian bisnis dan pekerjaan, serta meningkatkan likuiditas sistem keuangan AS. Adapun pendanaan untuk program pemulihan dampak pandemi Covid sebesar 2,6 triliun dolar AS terdiri dari skema, pertama, 670,3 miliar dolar AS Paycheck Protection Program bagi usaha kecil untuk mempertahankan karyawan (tidak di-PHK) melalui pengampunan hutang (loan forgiveness) pada pengeluaran untuk payroll, benefit costs, bunga hipotek, sewa, dan utilitas.

Kedua, 500 miliar dolar AS Economic Stabilization and Assistance to Severely Distressed Sectors of the U.S. Economy, berupa penyediaan pinjaman langsung dan jaminan pinjaman untuk berbagai bisnis dan pemerintah negara bagian dan local. Ketiga Unemployment Insurance 394,3 miliar dolar AS berupa skema dukungan untuk memperluas kemampuan negara bagian menyediakan kompensasi bagi pekerja yang terkena dampak pandemik.

Keempat, Economic Impact Payment 282 miliar dolar AS insentif pajak berupa pemberian kredit pajak yang dapat dikembalikan, recovery rebate, termasuk penangguhan pembayaran bagian perusahaan atas Social Security taxes hingga Desember 2020. Kelima, Public Health and Social Services Emergency Fund 231,7 miliar dolar AS untuk dukungan penggantian dana kepada entitas penyedia layanan kesehatan atas biaya atau pendapatan yang hilang yang disebabkan dampak pandemi, dan dukungan untuk pengembangan dan pembelian vaksin, perawatan, pengujian, dan perlengkapan medis.

Keenam, Coronavirus Relief sebesar 150 miliar dolar AS bantuan kepada negara bagian, lokal, dan tribal pemerintah suku untuk pengeluaran terkait pandemic. Ketujuh, 405,3 miliar dolar AS program pendanaan lainnya kepada lembaga dan program lain untuk bantuan sistem transportasi, lembaga pendidikan, dan dana bantuan bencana.

Adapun jumlah alokasi anggaran (appropriation), jumlah yang segera harus dicairkan (obligations incurred) dan jumlah yang telah disalurkan (gross outlays) per instansi/kementerian adalah sebagai berikut:

Berikut ini adalah detail anggaran dan distribusi kementerian dari program dimaksud:

  • US Treasury Department menerima alokasi 975,0 miliar dolar AS. Jumlah ini termasuk 500 miliar dolar AS subsidi kredit investasi dan pinjaman untuk mendukung bisnis, negara bagian, dan kota yang mengalami kerugian akibat pandemi. Per 30 September 2020, US Treasury memiliki 107,9 miliar dolar AS investasi ekuitas pada special purpose vehicle (SPV) yang didirikan untuk meningkatkan likuiditas sistem keuangan AS. Kerugian bersih dari investasi SPV sebesar 4,5 miliar dolar AS masuk dalam net cost dari US Treasury. Pendanaan ini termasuk 32 miliar dolar AS bantuan kepada maskapai penerbangan dan vendornya untuk dukungan penggajian kepada pekerja penerbangan selama pandemi. Net cost termasuk 28,2 miliar dolar AS terkait dukungan ini.
  • Alokasi Small Business Administration (SBA) 751,8 miliar dolar AS untuk program Economic Injury Disaster Loan berupa pinjaman kepada pemilik usaha kecil. Piutang pinjaman SBA meningkat 182,9 miliar dolar AS terutama dari program ini, dengan net cost 5,4 miliar dolar AS.
  • Alokasi pada Department of Labor (DOL) 394,3 miliar dolar AS termasuk untuk program FPUC (Federal Pandemic Unemployment Compensation) berupa tambahan tunjangan pengangguran mingguan 600 dolar AS), program PUA (Pandemic Unemployment Assistance) berupa tunjangan sementara bagi individu yang tidak memenuhi syarat tunjangan reguler atau jaminan konvensional pengangguran), program Pandemic Emergency Unemployment Compensation (klaim manfaat tambahan), program Kompensasi Jangka Pendek (alternatif selain PHK bagi pemberi kerja). Net cost terkait tunjangan pengangguran ini berjumlah 352,2 miliar dolar AS.
  • Department of Health and Human Services (HHS) menangani 250,4 miliar dolar AS untuk PHSSEF (Public Health and Social Services Emergency Fund) guna membantu entitas penyedia layanan kesehatan dengan kompensasi biaya terkait perawatan kesehatan atau hilangnya pendapatan terkait pandemi; pinjaman dan hibah untuk usaha kecil, penyedia layanan kesehatan dan rumah sakit; dan pengujian Covid-19. Net cost HHS meningkat 115,2 miliar dolar AS terutama dari peningkatan PHSSEF. HHS juga memberikan uang muka program penanganan pandemi sebagai uang muka di neraca 103,6 miliar dolar AS.
  • Department of Agriculture (USDA) menerima alokasi 73,2 miliar dolar AS untuk program pangan domestik termasuk Program Gizi Anak, Supplemental Nutrition Assistance Program, dan Program Emergency Food Assistance. Net cost USDA meningkat 49,9 dolar AS untuk kegiatan ini.
  • Department of Homeland Security (DHS) menerima alokasi tambahan 45,9 miliar dolar AS, untuk respons dan pemulihan bencana besar domestik dan keadaan darurat yang mengganggu sumber daya negara bagian, terutama kompensasi hilangnya gaji kepada individu dan anggota komunitas kesukuan. Kenaikan net cost 49,7 miliar dolar AS di DHS terutama disebabkan oleh aktifitas penanganan ini.
  • Department of Transportation (DOT) menerima 36,0 miliar dolar AS untuk pemeliharaan dan kelanjutan operasional dan bisnis sistem transportasi dalam menanggapi pandemi, termasuk Hibah Bantuan untuk Bandara dari Administrasi Penerbangan Federal. Net cost DOT meningkat 22,5 miliar dolar AS untuk aktivitas penanganan ini.
  • Department of Education (DOE) menerima alokasi 31,0 miliar dolar AS program hibah pendidikan, termasuk untuk mendanai perubahan kontrak penundaan pembayaran pendidikan siswa dan fasilitas penangguhan pinjaman pendidikan lainnya.
  • Department of Veteran Affairs (VA) menerima alokasi 19,6 miliar dolar AS. Sebesar 18,6 miliar dolar AS digunakan untuk program layanan medis, TI, dan Medical Community Care. Pendanaan juga digunakan untuk akses para veteran memiliki ke peralatan telehealth dan perumahan darurat serta bantuan pencegahan tunawisma bagi keluarga veteran yang berpenghasilan sangat rendah. Kenaikan biaya kotor 21,6 miliar dolar AS di VA terutama disebabkan aktivitas ini.
  • Department of Housing and Urban Affairs (HUD) mendapat alokasi 12,4 miliar dolar AS untuk Program Perencanaan dan Pengembangan Komunitas, Perumahan penduduk asli Indian; dan Perumahan untuk Lansia dan Penyandang Disabilitas. Disediakan juga moratorium sementara penyitaan bagi hipotek yang dijamin pemerintah dan hak menahan pembayaran pinjaman bagi pemilik rumah yang mengalami kesulitan keuangan. HUD telah mencairkan 2,3 miliar dolar AS dari jumlah yang dialokasikan.

Posisi Utang Pemerintah

Utang pemerintah federal yang dipegang publik terdiri dari Marketable securities (Treasury bills, Treasury notes, Treasury bonds), Nonmarketable securities, Agency securities dan utang bunga yang masih harus dibayar. Publik terdiri dari individu, perusahaan, pemerintah negara bagian dan lokal, Federal Reserve Banks, pemerintah asing, dan entitas lain di luar pemerintah federal. Sesuai Public Debt Act tahun 1941, Kongres dan Presiden menetapkan plafon batas Treasury debt obligations sebesar 65 miliar dolar AS untuk satu waktu.

Akan tetapi, Kongres dan Presiden menangguhkan batas utang hingga 31 Juli 2021. Setiap tahun, triliunan dolar utang jatuh tempo dan diterbitkan utang baru menggantikannya. Pada TA 2020, pinjaman baru mencapai 19,0 triliun dolar AS, dan pembayaran utang jatuh tempo 14,8 triliun dolar AS. Utang federal yang dipegang/ dimiliki publik meningkat 4,2 triliun dolar AS (25 persen) menjadi 21,1 triliun dolar AS (ekuivalen Rp305.950 triliun). Saat ini posisi utang federal yang seharusnya tunduk pada batas tersebut berjumlah 26,92 triliun dolar AS (ekuivalen Rp390.340 triliun). Posisi utang ini diukur dari persentase dari PDB. Rasio utang tersebut mencapai 100 persen dari PDB pada akhir TA 2020 (bandingkan dengan rasio 79 persen pada akhir TA 2019). Padahal sejak 1940, rata-rata rasio hutang terhadap PDB adalah 48 persen.

Keberlangsungan Fiskal

Proyeksi fiskal jangka panjang pada Sustainability Financial Statements didasarkan pada asumsi ekonomi yang digunakan pada laporan Social Security Trustees dan digunakan pada data per 1 Januari 2020, sebelum terjadinya penurunan ekonomi. Saat ini, manajemen tidak dapat memperkirakan secara wajar potensi dampak pandemi Covid-19 pada proyeksi atau upaya sustainability lainnya yang mungkin signifikan. Asumsi ekonomi dan demografis yang tidak mencerminkan efek pandemi Covid-19, meningkatkan ketidakpastian proyeksi fiskal jangka panjang tahun ini.

Fiscal-gap measure mengukur seberapa besar defisit primer (non-interest spending vs receipts) harus dikurangi selama 75 tahun ke depan agar kebijakan fiskal sustainable. Perkiraan kesenjangan fiskal pada tahun 2020 adalah 5,4 persen dari PDB (dibandingkan dengan 3,8 persen untuk 2019). Perkiraan ini menyimpulkan bahwa membuat kebijakan fiskal berkelanjutan selama 75 tahun ke depan akan membutuhkan beberapa kombinasi pengurangan pengeluaran dan peningkatan penerimaan setara dengan rata-rata 5,4 persen dari PDB selama 75 tahun ke depan.

Kesenjangan fiskal ini adalah 30,2 persen dari present value (PV) penerimaan dan 23,8 persen dari belanja non-bunga PV dalam kurun 75 tahun. Rasio utang terhadap PDB pemerintah diperkirakan akan meningkat selama periode proyeksi 75 tahun dan seterusnya, jika kebijakan saat ini dipertahankan. Proyeksi menyimpulkan bahwa kebijakan saat ini tidak sustainable. Jika perubahan dalam kebijakan fiskal segera tidak dilaksanakan sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan jika perubahan kebijakan tersebut tidak diterapkan lebih awal, maka perubahan yang diperlukan pada pendapatan dan/atau pengeluaran semakin kecil untuk mengembalikan ke jalur fiskal yang sustainable.

GAO merekomendasikan rencana fiskal jangka panjang memperhitungkan aturan dan target fiskal, seperti target rasio utang terhadap PDB. Kongres harus menyelaraskannya dengan anggaran tahunan untuk penyusunan strategi yang konsisten. Akan tetapi, GAO juga memberi rekomendasi agar Kongres mempertimbangkan pendekatan alternatif terhadap atas utang saat ini. Karena batas utang bukan aturan fiscal, namun merupakan batasan pada otoritas keuangan untuk meminjam guna mendanai keputusan yang telah ditetapkan oleh Kongres dan Presiden.

Kombinasi dari likuiditas, kedalaman, dan keamanan pasar surat utang pemerintah AS yang tidak tertandingi di pasar global membuat surat utang pemerintah AS menjadi investasi unik dan penting bagi investor. Banyak investor rela menerima imbal hasil rendah karena menganggap surat utang ini sebagai salah satu aset teraman di dunia. Pembatasan utang pemerintah akan mengancam kepercayaan investor pada surat utang Pemerintah AS. Ketidakpastian batas utang akan dinaikkan atau ditangguhkan akan menyebabkan peningkatan biaya pinjaman dan mengganggu pasar surat utang pemerintah federal AS.

Kesimpulan

Pendanaan program pemulihan dampak pandemi Covid TA 2020 berjumlah 2,6 triliun dolar AS untuk 7 program pada 11 instansi/kementerian. Defisit anggaran TA 2020 adalah 3,1 triliun dolar AS. Posisi utang federal berjumlah 26,92 triliun dolar AS, dan rasio utang federal mencapai 100 persen dari PDB. Total aset 6,0 triliun dolar AS dan kewajiban 32,7 triliun dolar AS, sehingga posisi bersih ekuitas negatif sebesar 26,8 triliun dolar AS.

Present value (PV) pengeluaran non-bunga selama 75 tahun ke depan diproyeksikan melebihi PV total penerimaan 79,5 triliun dolar AS. PV pengeluaran Jaminan Sosial dan Perawatan Kesehatan dan program asuransi sosial diproyeksikan melebihi PV pendapatan asuransi sosial 65,5 triliun dolar AS. Diperlukan pengurangan belanja non-bunga dan peningkatan penerimaan rata-rata 5,4 persen dari PDB. Fiscal gap sebesar minus 5,4% menggambarkan 30,2 persen dari PV penerimaan dan 23,8 persen dari PV belanja non-bunga dalam kurun dimaksud. Proyeksi menyimpulkan bahwa kebijakan saat ini tidak sustainable.

GAO mengeluarkan opini disclaimer atas Sustainability Financial Statements disebabkan ketidakpastian signifikan pada asumsi yang dipergunakan manajemen, termasuk perkiraan dampak potensial dari pandemi Covid-19 sehingga laporan keuangan mungkin tidak menyajikan secara wajar, dalam semua hal material, informasi tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di AS.

Sumber: https://www.fiscal.treasury.gov/reports-statements/financial-report/current-report.html

 
12/05/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita TerpopulerOpiniSLIDER

LFAR dan Peran Profesi Akuntan Sektor Publik dalam Penguatan Fungsi Pemeriksaan Keuangan Negara

by Admin 1 07/05/2021
written by Admin 1

Oleh: Prof Dr Bahrullah Akbar, MBA, CIPM, CPA, CSFA, CFrA, CGCAE/Anggota V BPK RI

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Long Form Audit Report (LFAR) merupakan pendekatan pemeriksaan yang menggabungkan pemeriksaan keuangan dengan pemeriksaan kinerja agar para pemangku kepentingan dapat memiliki pemahaman komprehensif terkait dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pemahaman komprehensif ini tidak hanya memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan saja tetapi juga penilaian atas tingkat keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan program-program pembangunan yang berdampak pada kesejahteraan rakyat yang dilihat dari aspek ekonomis, efisiensi, dan efektivitasnya, maupun indikator kinerja lain.

Direktorat Litbang BPK RI (2018), istilah LFAR belum didefinisikan secara eksplisit di dalam standar pemeriksaan keuangan baik di Indonesia maupun pada lingkup internasional. Namun, istilah long atau short form report telah disinggung dalam standar pemeriksaan kepatuhan yang tertera dalam the International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 400: “Fundamental Principles of Compliance Auditing”. ISSAI 400 memberikan gambaran umum tentang sifat, unsur, dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam pemeriksaan kepatuhan yang dilakukan oleh supreme audit institutions (SAI). Berdasarkan ISSAI 400, pelaporan untuk pemeriksaan kepatuhan dapat berbentuk singkat (short form) berupa satu pernyataan tertulis tentang pendapat atas level kepatuhan entitas, atau berbentuk panjang (long form) berupa penjelasan yang rinci dan menyeluruh atas beberapa pertanyaan audit kepatuhan yang spesifik.

Dalam praktik, konsep LFAR telah diimplementasikan dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor eksternal terhadap beberapa lembaga PBB. Salah satu contohnya adalah pemeriksaan atas Badan Atom Dunia atau International Atomic Energy Agency (IAEA) yang dilakukan oleh BPK. Selain melakukan pemeriksaan keuangan, pada periode yang bersamaan, ada tim lain yang melakukan Pemeriksaan Kinerja, sehingga laporan yang dihasilkan adalah gabungan dari Laporan Pemeriksan Keuangan dan Laporan Pemeriksaan Kinerja.

Pada tahun 2020 BPK telah melaksanakan LFAR pada 5 (lima) perwakilan di Indonesia bagian barat sebagai pilot project dengan beragam tema pemeriksaan kinerja, antara lain; infrastruktur, otonomi khusus, pencegahan bencana, dan pencemaran udara.  LFAR yang telah dilaksanakan oleh BPK pada 2020 menghasilkan laporan yang terdiri dari 4 (empat) buku. Laporan itu terdiri dari Buku I Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah/LHP LKPD tentang Opini; Buku II LHP Sistem Pengendalian Intern; Buku III LHP Kepatuhan, dan ditambah satu Buku IV tentang LHP Kinerja hasil pemeriksaan yang merupakan pelaksaan pilot project di 5 (lima) provinsi.

Selain empat buku LHP tersebut, BPK menyajikan simpulan eksekutif dari Pemeriksaan LKPD dan Kinerja Pemerintah Provinsi yang berupa Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Daerah (IHPD) Provinsi di wilayah Barat (lihat Tabel: 1) yang melingkupi seluruh pemeriksaan BPK pada kota dan kabupaten. Dalam LFAR tersebut, BPK menyajikan kesimpulan atas efektifitas pelaksanaan suatu program dan kegiatan oleh suatu entitas, serta kaitannya dengan opini atas Laporan Keuangan yang diperoleh entitas, dalam hal ini pada entitas tingkat provinsi.

Tabel 1

Daftar Pemeriksaan BPK Wilayah Barat pada Provinsi, Kota dan Kabupaten

Pada tingkat provinsi selain keempat buku LHP, BPK memberikan buku IHPD yang memuat profil dan kapasitas daerah dan kebijakan pemeriksaan serta memuat gabungan hasil Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerja, dan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) yang dilakukan atas tahun bersamaan yang dilakukan oleh BPK Perwakilan setempat, maupun Pemeriksaan Tematik BPK yang dilaksanakan oleh BPK Pusat, terhadap objek pemeriksaan tingkat provinsi, kota, dan kabupaten. Tujuan pemeriksaan LFAR dan memberikan IHPD agar menjadi rujukan kebijakan pemerintah provinsi mencapai tujuan entitas sesuai APBD provinsi dan menginformasikan pelaksaan pertanggungjawaban APBD tingkat kota dan kabupaten. Sehingga, diharapkan pemerintah provinsi mendapat gambaran yang lebih jelas dan rinci tentang hasil-hasil pemeriksaan dalam rangka perbaikan kebijakan serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas.       

Pelaksanaan LFAR dengan 5 (lima) objek pemeriksaan kinerja memberikan masukan IHPD pada tingkat provinsi membawa dampak terjadinya pergeseran paradigma pemeriksaan yang selama ini membedakan pemeriksaan secara parsial dan jenisnya. Hal tersebut yaitu Pemeriksaan Keuangan menghasilkan laporan opini dan Pemeriksaan Kinerja mengeluarkan simpulan dan rekomendasi. Penggabungan dua pemeriksaan ini membutuhkan perubahan mind-set para pemeriksa sektor publik karena pada saat bersamaan harus mampu melakukan Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja yang masing-masing mempunyai filosofi, metodologi, dan pendekatan pemeriksaan yang berbeda.

Profesi akuntan

Profesi akuntan di Indonesia telah berkembang secara dinamis mulai dari zaman Prakolonial hingga era setelah Reformasi. Para akademisi telah membahas profesi akuntan di Indonesia dengan menggunakan beragam kerangka teori. Salah satunya adalah Abdoelkadir (1983) yang menyimpulkan bahwa perkembangan profesi akuntan di Indonesia memiliki kaitan yang erat dengan program pendidikan akuntan yang didukung oleh organisasi donor internasional. Selain itu, Sukoharsono dan Gaffikin (1993) dan Sukoharsono (1995) menggunakan konsep power/knowledge dari Michel Foucault dalam mendalami profesi akuntan di Indonesia yang menyoroti bagaimana profesi akuntan yang pada awalnya didominasi oleh warga negara keturunan asing untuk kemudian didominasi oleh para akuntan pribumi.

Irmawan (2010) menggunakan teori globalisasi dan “historical structure” dari Robert Cox berpendapat bahwa perkembangan profesi akuntan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh-pengaruh kapitalis barat dan dinamika sosio-politik yang terjadi di sepanjang rezim pemerintahan di Indonesia. Lebih lanjut, Irmawan (2010) menyatakan bahwa perkembangan profesi akuntan di Indonesia dimulai pada awal kemerdekaan Indonesia ketika ekspansi kaum kapitalis memiliki pengaruh dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 34 tahun 1954 tentang Pemakaian Gelar Akuntan.

Namun demikian, pengaruh kapitalis ini ditentang oleh Sukarno dengan ide-ide sosialis nasionalisnya. Sehingga pada masa pemerintahannya, perkembangan profesi akuntan sedikit melambat. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Soeharto, kapitalisme mulai subur berkembang. Profesi akuntan juga tidak begitu berkembang seperti yang diharapkan karena adanya konglomerasi keluarga sehingga akuntabilitas dan transparansi menjadi hal yang kurang signifikan dalam pengambilan keputusan. Perkembangan profesi akuntan menjadi profesi modern seperti saat ini dimulai pada saat Indonesia memasuki masa transisi menuju reformasi. Ketika itu pemerintah tidak dapat menahan pengaruh dan tekanan perkembangan global dan organisasi donor internasional untuk memodernisasi dan mereformasi profesi akuntan.

Berdasarkan studi di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan profesi akuntan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan praktik-praktik terbaik global yang dimulai oleh negara-negara maju. Saat ini, implementasi LFAR telah diterapkan oleh para pemeriksa eksternal di lembaga-lembaga di PBB dan oleh negara-negara seperti Australia dan Selandia Baru.

Kerangka Yuridis dan Empiris LFAR

Standar Pemeriksaan Internasional (ISSAI) ISSAI 400 menyatakan bahwa SAI dapat menyajikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dalam bentuk singkat atau panjang. LHP berformat panjang dapat diartikan bahwa sebuah LHP menyajikan jawaban lebih dari satu pertanyaan audit atas kepatuhan yang terkait dengan proses bisnis. LFAR merupakan penyajian laporan untuk menjawab dan menggabungkan secara komprehensif dari pertanyaan Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja pada periode tertentu.

Penjelasan UU Nomor 17 Tahun 2003 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Prestasi Kerja” adalah bentuk akuntabilitas kementerian/lembaga (K/L) dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam merealisasikan anggaran berbasis prestasi kerja dalam bentuk program atau kegiatan. BPK memegang tugas strategis untuk memberikan assurance bahwa program dan kegiatan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat seperti yang diamanatkan dalam ISSAI 12. Jadi, SAI dituntut untuk memberikan nilai tambah dan manfaat bagi rakyat dengan cara “making a difference to the lives of citizens” dengan cara melakukan pemeriksaan yang relevan dengan aspirasi masyarakat, parlemen, dan pemangku kepentingan lainnya.

Untuk menunjang tugas BPK sebagai SAI, BPK memiliki kebebasan untuk menentukan isi laporan pemeriksaan seperti yang diatur dalam Principle 1 Point 6 ISSAI 1200. Dengan demikian, inisiatif BPK untuk berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat dengan memasukkan komponen pemeriksaan kinerja ke dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan (LK) yang merupakan kewajiban BPK sebagai anggota lembaga pemeriksa internasional, lihat Practice Note to ISSAI 1200 Overall Objectives of Independent Auditor and Conduct of an Audit in Accordance with International Standards on Auditing.

Untuk dapat memasukan elemen pemeriksaan kinerja dalam LHP atas LK, perlu dikaji lebih jauh bagaimana mengukur istilah “prestasi kerja” K/L dan SKPD. Termasuk bagaimana menyinkronisasikan dengan opini atas kewajaran yang diberikan BPK atas LK K/L dan SKPD. Maksud dari klausa “prestasi kerja” yang tercantum dalam Penjelasan UU Nomor 17 tahun 2003 pada dasarnya adalah “prestasi kerja yang dicapai atas penggunaan anggaran”. Dengan kata lain, “prestasi kerja” dapat ditafsirkan sebagai keberhasilan instansi dalam merealisasikan anggaran berbasis kinerja. Oleh karena itu, penilaian atau pengukuran terhadap “prestasi kerja” adalah suatu bentuk pengukuran akuntabilitas kinerja K/L atau SKPD. Caranya, dengan menilai capaian output dan sasaran strategis K/L, pemda atau SKPD, yang outcome-nya secara langsung maupun tidak langsung, dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dari setiap uang yang dianggarkan.

Aspek output dan outcome dari program atau kegiatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akuntabilitas publik pemerintahan yang diatur dalam Perpres Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Dengan adanya SAKIP, pengukuran elemen kinerja dalam LHP atas LK seharusnya mengacu pada SAKIP sebagai indikator kinerja pelayanan (service performance). Bukan berdasarkan indikator kinerja keuangan (financial performance). Karena, kinerja keuangan tidak berkaitan erat dengan kesejahteraan rakyat. Sehingga tidak disarankan untuk mengukur kinerja K/L dan pemda dengan menggunakan indikator kinerja keuangan, seperti rasio laporan keuangan, pencapaian target keuangan di CALK, dan analisis tren lainnya, serta analisis pertumbuhan akun-akun di laporan keuangan.

Direktorat Litbang BPK (2018), mengindentifikasi kendala-kendala yang dihadapi BPK jika mengacu pada SAKIP untuk memasukkan aspek kinerja pada LHP atas Laporan Keuangan K/L dan pemda, seperti:

  1. Belum adanya ketentuan pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang mengatur penggabungan aspek kinerja pada LK instansi pemerintah;
  2. Belum adanya ketentuan yang mengharuskan K/L dan SKPD untuk menyampaikan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) kepada BPK;
  3. Ketidaksinkronan waktu penyampaian LAKIP dan LK;
  4. Tidak adanya sumber daya BPK yang memadai untuk memeriksa LAKIP;

Memenuhi amanat UU Nomor 17 Tahun 2003, BPK dapat tetap mengacu kepada SAKIP untuk mengukur aspek kinerja. Berdasarkan pertimbangan bahwa terlepas dari kendala-kendala di atas, BPK dapat menentukan isi laporan pemeriksaan dengan menggabungkan aspek kinerja ke dalam LHP atas LK. Selain itu, dapat dilaksanakan dengan koordinasi dan komunikasi yang baik dengan pihak yang diperiksa. BPK dapat menilai seluruh atau hanya mereviu sebagian program atau kegiatan dalam LAKIP, yang mendapat perhatian lebih dari rakyat dan pemangku kepentingan lain. Hal ini sesuai dengan ISSAI 12, SAI diharapkan dapat memberikan manfaat kepada rakyat dengan cara memeriksa isu-isu yang menjadi tantangan bagi kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Dalam tataran praktis, BPK dapat mereviu LAKIP hanya atas program-program yang menjadi pusat perhatian masyarakat dan parlemen. Seperti program-program yang sering diberitakan di media masa, media sosial, maupun yang sering muncul di diskursus antarmasyarakat. Pemilihan program yang direviu dapat dilakukan dengan melakukan, misalnya, analisis matrix. Pendekatan ini menitikberatkan pada kesejahteraan masyarakat, kesinambungan lingkungan dan perhatian parlemen. Untuk mewujudkan pendekatan ini BPK dapat mengacu pada variabel-variabel yang ada pada indeks kesejahteraan rakyat yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan indeks kualitas lingkungan hidup yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.

Landasan hukum merupakan landasan paling kuat dalam pengejawantahan praktik administrasi publik. Berdasarkan studi komparasi yang dilakukan oleh Direktorat Litbang BPK (2018), SAI Selandia Baru telah mengaplikasikan model pelaporan kinerja dalam hasil pemeriksaan laporan keuangannya. Sejak 1989, Selandia Baru mengamanatkan adanya pelaporan informasi kinerja dalam laporan keuangan melalui Undang-Undang Keuangan Publik mereka (Public Finance Act 1989). Indonesia dan Selandia Baru sama-sama memiliki landasan kuat untuk “memaksa” pemerintahan di kedua negara untuk mencantumkan informasi kinerja/prestasi kerja dalam pelaporan keuangannya. Walaupun telah memiliki undang-undang yang mengamanatkan adanya informasi kinerja dalam pelaporan keuangan sejak 1989, Selandia Baru baru mengeluarkan standar akuntansi pada tahun 2017 atau 28 tahun kemudian. Jika Indonesia mampu mengeluarkan standar akuntansi mengenai kinerja instansi pemerintah dalam waktu dekat terkait integrated dan/atau comprehensive audit pada sektor publik, maka Indonesia tentu akan dinilai mampu membuat lompatan kemajuan yang luar biasa dalam bidang pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara.

Konsep dan Implementasi LFAR

Mandat BPK melaksanakan pemeriksaan atas  pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang mencakup Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerja, dan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu berdasarkan amanat pasal 23E ayat (1) UUD Tahun 1945 dan dituangkan lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara jo Pasal 6 ayat (3) UU BPK Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan yang bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) apakah LK telah disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Pemeriksaan Keuangan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Pencapaian opini WTP setiap tahun membaik dan meningkat dari opini WTP tahun 2018 sebanyak 443 (82%) dan tahun 2019 menjadi 485 (0%). Sedangkan menurut ISSAI 200, Pemeriksaan Kinerja merupakan jenis pemeriksaan atas Efisiensi dan Efektivitas Kegiatan, Program Organisasi Pemerintah, dengan memperhatikan aspek ekonomi (3E), dengan tujuan untuk mendorong ke arah perbaikan. 

LFAR dalam konteks pemeriksaan komprehensif (comprehensive audit) dan/atau integrative audit adalah penggabungan Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja yang dilaksanakan pada saat bersamaan dan pada periode yang sama. Tujuannya untuk memberikan opini atas Laporan Keuangan dan memberikan penilaian atas kinerja entitas atas aspek 3E. Menurut kajian Litbang BPK (2018), ada 2 (dua) syarat pelaporan keuangan untuk memenuhi amanah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara terkait informasi kinerja layanan, yaitu adanya pelaporan informasi kinerja layanan entitas. Dalam hal ini, seharusnya tercantum dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan adanya standar akuntansi mengenai pelaporan informasi kinerja demi keseragaman bentuk dan isi. Jika dua syarat tersebut terpenuhi maka dapat memberikan nilai tambah berupa informasi pencapaian kinerja pemerintah dalam mengelola dana publik. LRA tidak hanya berisi realisasi penyerapan anggaran semata, tetapi juga pencapaian kinerja/prestasi kerja atas penggunaan anggaran tersebut.

Pada praktiknya, bentuk dan isi LRA yang berisi pencapaian kinerja/prestasi kerja dalam bentuk keluaran (output), hasil (outcome), efisiensi dan efektivitas belum diatur dalam Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 2 (PSAP 02) tentang LRA Berbasis Kas. Selain itu, PSAP 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) yang merupakan sarana penyajian dan pengungkapan segala informasi yang dibutuhkan oleh pengguna untuk memahami laporan keuangan, ternyata juga belum memberikan pengaturan yang menekankan pada pencapaian kinerja organisasi.

Oleh karena standar dan peraturan LFAR secara eksplisit belum ditetapkan, menurut Litbang BPK (2018) terdapat beberapa alternatif penerapan yaitu, yang pertama, mempertajam pengujian atas kecukupan pengungkapan dalam CaLK. Pengungkapan yang memadai yang menjadi salah satu kriteria dalam opini audit sesuai dengan ketentuan dalam PSAP 04 yang mengatur tentang CaLK dapat memasukkan informasi tentang kebijakan fiskal dan ekonomi makro, serta ikhtisar pencapaian target keuangan selama tahun pelaporan berikut kendala dan hambatan yang dihadapi dalam pencapaian target tersebut. Mayoritas entitas pelaporan pemerintah, baik di pusat maupun daerah, belum mengungkapkan informasi pencapaian target program/kegiatan dalam laporan keuangan baik atas tahun anggaran berjalan maupun pencapaian periode sebelumnya secara lengkap dan komprehensif.  

Jika dalam CaLK tersebut telah disajikan informasi, BPK dapat melakukan pengujian validitas atas keandalan data yang disajikan untuk kemudian dinilai prestasi kerjanya. Apakah telah mencapai hasil keluaran yang direncanakan (outcome) dari output anggaran yang dibelanjakan dan sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat atas program-program atau kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sepanjang tahun pelaporan.

Alternatif kedua adalah penekanan aspek kinerja terutama terhadap permasalahan yang menjadi temuan berulang atau berlarut-larut penyelesaiannya. Entitas yang belum memperoleh opini WTP, pemeriksaan dapat diarahkan pada hal-hal yang menyebabkan pengecualian pada opini LK untuk perbaikan opini tahun berikutnya. Di lain pihak, entitas yang sudah memperoleh opini WTP, pemeriksaan ditujukan untuk peningkatan 3E untuk sektor-sektor yang perlu dibenahi yang tujuannya dapat meningkatkan kinerja entitas secara keseluruhan. Alternatif ketiga adalah penekanan aspek kinerja pada pencapaian target program/kegiatan utama entitas atau penilaian atas indikator kinerja utama dari entitas tersebut seperti tidak tercapainya suatu output tertentu, tidak efektifnya suatu kegiatan, atau pemborosan atau inefisiensi terkait pencapaian target program/kegiatan utama entitas.

Alternatif keempat adalah penekanan aspek kinerja berdasarkan isu tematik lokal (BPK Perwakilan Provinsi). Tematik dapat bersifat lokal dengan tema-tema tertentu di pada lingkup Perwakilan BPK yang menjadi Sasaran Objek Pemeriksaan (obrik) entitas ataupun perhatian publik dan bervariasi di antara entitas SKPD atau organisasi perangkat daerah (OPD). Tema-tema lokal ini dapat menjadi pilihan area kunci kinerja atau menjadi subject matter yang dinilai oleh tim pemeriksaan keuangan tentang hal-hal yang menjadi tema pemeriksaan kinerja paralel dengan Pemeriksaan Keuangan. Contoh pemilihan tematik, yaitu jika suatu provinsi sedang memiliki program prioritas pengembangan pariwisata dan lingkungan hidup, maka tim tersebut dapat berfokus pada tema pengembangan pariwisata dan lingkungan hidup dalam menilai aspek kinerja entitas.

Implementasi LFAR

International Organization of Sumpreme Audit Institutions (INTOSAI) telah menetapkan International Standard of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 12 tentang The Value and Benefits of Supreme Audit Institutions-making a difference to the lives of citizens. ISSAI Nomor 12 menyatakan bahwa lembaga pemeriksa harus bisa memberikan nilai tambah dan manfaat kepada masyarakat. Sebagai salah satu anggota INTOSAI, BPK perlu turut serta menerapkan prinsip tersebut melalui fungsinya sebagai lembaga pemeriksa tertinggi di Indonesia. BPK perlu mengembangkan pemeriksaan Laporan Keuangan yang memperhatikan/menekankan aspek kinerja yang dicapai oleh pemerintah daerah (pemda). Dengan begitu pemda diharapkan tidak hanya mengejar opini WTP terkait penyajian laporan keuangan saja, tetapi juga mendorong peningkatan kinerja.

Untuk pemeriksaan Laporan Keuangan dengan model LFAR yang dilaksanakan oleh Auditor Keuangan Negara V untuk tahun anggaran atas LK Pemda 2019 menggunakan model pendekatan penekanan atas aspek kinerja terhadap pencapaian target program/kegiatan entitas OPD. Pemeriksaan ini tidak mengukur overall kinerja pemda. Pendekatan ini diambil dengan pertimbangan upaya pencapaian target program/kegiatan utama tertentu (certain area) yang dapat dianggap mewakili populasi dan merefleksikan pencapaian program/kegiatan sebagian dan/atau keseluruhan.

Implementasi pemeriksaan dengan pendekatan LFAR di BPK telah dilaksanakan tahun 2020 dalam bentuk pilot project yang dilaksanakan pada 5 (lima) kantor perwakilan BPK, yaitu Aceh, Lampung, Banten, DKI, dan Jawa Timur. Dengan demikian pemeriksaan atas LKPD pada 5 (lima) daerah tersebut disertai dengan pemeriksaan kinerja pada area tertentu. BPK selain memberikan opini atas Laporan Keuangan. Pada saat yang bersamaan, BPK juga memberikan penilaian atas keberhasilan atau ketidakefektifan pemda dalam merancang dan melaksanakan program-program pembangunan yang berdampak pada pengukuran peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Topik pemeriksaan ditentukan dengan kriteria adalah program utama/prioritas entitas. Setelah program utama/prioritas entitas sudah diperoleh, selanjutnya dilakukan pemilihan topik pemeriksaan dengan mempertimbangkan jumlah anggaran yang dikelola/materialitas keuangan, kepentingan publik/masyarakat, auditabilitas, dan dampak terhadap lingkungan. Hasil proses pemilihan topik pemeriksaan tersebut adalah untuk BPK Perwakilan Provinsi Aceh, Lampung, dan Jawa Timur dengan topik pemeriksaan infrastruktur. Kemudian DKI Jakarta dengan topik pemeriksaan lingkungan dan Banten dengan topik pemeriksaan penanggulangan bencana alam.

Pemeriksaan LKPD dengan dengan penekanan aspek kinerja pada 5 (lima) entitas menunjukkan hasil pemeriksaan sebagai berikut:

  • Pemerintah Aceh

Laporan Keuangan Pemerintah Aceh tahun 2019 memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sementara hasil pemeriksaan kinerja atas efektivitas program pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dari dana otonomi khusus (otsus) tahun anggaran (TA) 2019 menyimpulkan bahwa upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh masih kurang efektif dalam mencapai target program pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dari dana otsus TA 2019.

  • Provinsi Lampung

Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Lampung Tahun 2019 memperoleh opini WTP. Sementara hasil pemeriksaan kinerja atas efektivitas upaya pemerintah daerah untuk mencapai target kemantapan jalan dalam mendukung pergerakan orang dan barang tahun 2019 menyimpulkan bahwa upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Lampung kurang efektif dalam mencapai target kemantapan jalan untuk mendukung pergerakan orang dan barang tahun 2019.

  • Provinsi Banten

Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2019 memperoleh opini WTP. Sementara hasil pemeriksaan kinerja atas efektivitas kegiatan penanggulangan bencana tahap prabencana tahun anggaran (TA) 2019 menyimpulkan bahwa Pemerintah Provinsi Banten belum efektif dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana tahap prabencana TA 2019.

  • Provinsi DKI Jakarta

Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2019 memperoleh opini WTP. Sementara hasil pemeriksaan kinerja atas pengendalian pencemaran udara dari sektor transportasi darat tahun anggaran 2019 menyimpulkan bahwa upaya Pemprov DKI Jakarta untuk melaksanakan pengendalian pencemaran udara dari sektor transportasi darat masih perlu ditingkatkan.

  • Provinsi Jawa Timur

Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur Tahun 2019 memperoleh Opini WTP. Sementara hasil pemeriksaan kinerja atas Efektivitas Program Pembangunan dan Pemeliharaan Jalan dan Jembatan TA 2019 menyimpulkan bahwa upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur cukup efektif dalam mencapai target kemantapan jalan TA 2019.

Hasil pemeriksaan LKPD dengan penekanan aspek kinerja pada 5 (lima) entitas pilot project menunjukkan bahwa sebagian besar hasil pemeriksaan LKPD tidak berkorelasi positif dengan hasil Pemeriksaan kinerja. Dari lima entitas sebagai pilot project, LKPD memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Akan tetapi penilaian atas kinerja atas pelaksanaan program/kegiatan prioritas pemerintah daerah belum efektif.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa melalui pemeriksaan dan pelaporan dengan model pendekatan aspek kinerja pada area tertentu, BPK dapat memberikan penilaian secara lebih utuh mengenai kualitas pelaporan keuangan dan penggunaan keuangannya. Selain itu, pembaca laporan BPK juga mendapat simpulan yang lebih lengkap dan dapat lebih dipahami secara komprehensif oleh para pemangku kepentingan. Sehingga menjadi lebih akurat sebagai dasar dalam pengambilan keputusan atau dalam menyusun perencanaan.

Manfaat LFAR

Penerapan LFAR sangat dirasakan manfaatnya oleh para stakeholders karena opini WTP tidak semata-mata dijadikan patokan keberhasilan pemerintah. Akan tetapi juga dari aspek efektivitas, efisiensi, dan ekonomis penggunaan keuangannya. LFAR diharapkan mengurangi kecenderungan kepala daerah atau pimpinan entitas menjadikan opini WTP sebagai tolok ukur utama keberhasilan. LFAR secara langsung atau tidak langsung mengkonfirmasikan antara pelaporan keuangan dengan pencapaian kinerja.

Menurut Solikin (2006), Informasi Kinerja yang disampaikan kepada publik merupakan pertanggungjawaban penerima amanat kepada pemberi amanat yang dapat digunakan untuk perbaikan kinerja pemerintah. Selama ini LK hanya berfokus pada hal-hal keuangan saja, bukan pada pencapaian outcome atau yang membawa dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.  Oleh karena itu, pengukuran kinerja kuantitatif yang bersifat non-keuangan menjadi sangat penting. Seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam “Government and Results ACT of 1993″ (GPRA). Di situ jelas, terdapat satu saja laporan akuntabilitas yang mencakup informasi program dan informasi keuangan serta ukuran-ukuran kinerja yang dapat menggambarkan kinerja dalam mencapai tujuan organisasi. Sebagai perbandingan, menurut Christensen & Yoshimi (2001), negara bagian New South Wales (NSW) di Australia menggunakan data dalam pelaporan SEA (service efforts and accomplishments) yang menghubungkan antara Laporan Kinerja dengan siklus anggaran dan menggunakannya sebagai dasar perencanaan. Pelaporan SEA mencakup pelaporan efficiency, outcomes, dan inputs.

Lebih lanjut, Parry (2000) menyebutkan bahwa pemeriksaan atas komponen keuangan dan kinerja yang terintegrasi memberikan manfaat dengan meningkatnya transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas hasil audit.  Institut of Internal Auditors (2012) menjelaskan bahwa pendekatan audit terintegrasi dapat meningkatkan kredibilitas audit internal, peningkatan cakupan pemeriksaan, peningkatan pelaporan dan penilaian risiko, serta perencanaan pemeriksaan yang lebih efektif.

Dwiputrianti (2011) menyebutkan bahwa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) berpengaruh dalam tata kelola keuangan negara. LHP yang dihasilkan bermanfaat untuk menilai hasil kinerja, output, manfaat, dan dampak organisasi sektor publik baik dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang dalam meningkatkan perekonomian negara. Laporan Pemeriksaan memberikan informasi yang berguna dalam menilai efisiensi dan efektivitas program negara. Laporan juga membantu para pemangku kepentingan dalam lebih memahami hasil pemeriksaan yang dilakukan BPK dan fungsinya dalam akuntabilitas publik. Informasi yang disajikan oleh pemeriksa dalam laporan audit LFAR sangat dibutuhkan oleh entitas dalam mengambil langkah untuk mengurangi gap yang terjadi dan juga untuk pengambilan keputusan (Dobija, Cieślak, Iwuć, 2016).

Perubahan Pendekatan Pemeriksaan dengan LFAR

Secara umum LFAR merupakan laporan pemeriksaan yang menggabungkan Hasil Pemeriksaan Keuangan dan Kinerja. Dalam praktiknya, pelaksanaan pemeriksaan setidaknya dibatasi sumber daya yang ada yang dapat berupa waktu, biaya, dan/atau tenaga kerja. Oleh karena itu, pemeriksaan untuk menghasilkan LFAR juga memerlukan pendekatan yang sedikit berbeda. Pendekatan tersebut bisa dilihat dari beberapa sisi:

  • Pertimbangan lingkup dalam menghasilkan LFAR

Leclerc et al (1996) menyebutkan bahwa secara umum dalam suatu pemeriksaan, pemeriksa perlu mempertimbangkan lingkup yang merujuk pada keluasan dan kedalaman pemeriksaan, tingkat assurance yang diinginkan yang merujuk pada keyakinan pemeriksa akan ketepatan opini yang disajikan dalam laporan, dan ambang signifikansi ditetapkan yang merujuk pada keputusan pemeriksa untuk memilih mana yang akan dimuat dalam laporan. Demikian halnya dengan pemeriksaan yang menghasilkan LFAR. Memang belum ada bentuk laporan baku dari LFAR. Tetapi selain memuat opini laporan keuangan, LFAR juga memuat opini/penilaian atas program/kegiatan prioritas suatu entitas. Oleh karena itu, untuk menghasilkan LFAR yang bagus perlu mempertimbangkan ketiga ukuran tersebut terutama lingkup pemeriksaan.

Salah satu kajian Direktorat Litbang (2018) memuat alternatif-alternatif solusi dalam penerapan LFAR, di antaranya adalah tematik lokal. Penerapan LFAR dengan pendekatan ini merupakan salah satu wujud dari pembatasan lingkup. Sesuai dengan namanya, tematik lokal adalah tema-tema pemeriksaan yang diangkat oleh kantor perwakilan BPK sesuai dengan konteks atau sasaran entitas atau perhatian publik dari setiap daerah. Tema-tema lokal ini dapat menjadi area kinerja yang dinilai oleh tim pemeriksa LKPD di kantor perwakilan. 

Sebagai contoh, suatu provinsi memiliki program prioritas pengembangan pariwisata. Kantor BPK Perwakilan provinsi tersebut dapat berfokus pada tema pengembangan pariwisata dalam menilai aspek kinerja dalam pemeriksaan keuangan atas pemerintah provinsi tersebut.  Tim pemeriksa dapat menganalisis kondisi penganggaran yang dilakukan satuan kerja terkait apakah mereka telah menganggarkan kegiatan untuk menyukseskan program utama dari entitas. Selanjutnya tim dapat menelaah apakah realisasi dari kegiatan yang telah dilakukan sepanjang tahun relevan dan berkontribusi bagi pencapaian sasaran pengembangan pariwisata. Hal ini sekaligus menjadi bentuk pengujian apakah anggaran berbasis kinerja memang benar-benar telah diaplikasikan oleh provinsi tersebut.

  • Pemeriksa harus menguasai subject matter dan bisa menggunakan tenaga ahli

Setiap entitas yang diperiksa memiliki program prioritas yang berbeda-beda. Leclerc et al (1996) menyatakan bahwa dengan beragamnya entitas dengan program prioritas yang berbeda-beda maka akan sangat mungkin pemeriksa dihadapkan pada subject matter yang beragam. Ketika subject matter telah ditentukan, maka pemeriksaan harus didukung oleh pemeriksa yang memahami proses bisnis dari tema tersebut dan dalam kondisi tertentu dapat menggunakan ahli untuk menghasilkan LFAR yang memuat rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti.   

  • Penerapan standar pemeriksaan yang akan dipakai

Pendekatan dalam LFAR mempertimbangkan standar pemeriksaan  yang akan diterapkan. Karena LFAR menerapkan pemeriksaan keuangan dan sekaligus melakukan pemeriksaan kinerja, sehingga diperlukan standar pemeriksaan yang akan diterapkan pada tahapan jenis pemeriksaan dimaksud. ISSAI 400 Compliance auditing in combination with performance auditing poin 26 menyebutkan bahwa ketika pemeriksaan kepatuhan merupakan bagian dari pemeriksaan kinerja, maka kepatuhan dipandang sebagai salah satu aspek ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Ketidakpatuhan dapat menjadi penyebab, penjelasan, atau konsekuensi dari keadaan aktivitas yang menjadi subjek pemeriksaan kinerja. Dalam penggabungan pemeriksaan semacam ini, pemeriksa harus menggunakan pertimbangan profesional mereka untuk memutuskan apakah kinerja atau kepatuhan merupakan fokus utama pemeriksaan yang berguna tidak hanya pada entitas saja, melainkan membawa dampak terhadap penggunaan anggaran belanja dan kegiatan terhadap tujuan entitas. Banyak pertanyaan tentang ISSAI 400 terkait dengan definis LFAR yang perlu menjadi pertimbangan kesesuaian pelaksaan pemeriksaan dengan standar pemeriksaan. 

Pengaruh LFAR Terhadap Tugas dan Fungsi Akuntan Sektor Publik

Konsep LFAR Akan mengurangi dikotomi antara Pemeriksaan Keuangan dengan Pemeriksaan Kinerja. Oleh karena itu, akuntan sektor publik perlu memahami dengan baik konsep ini agar pelaksanaan pemeriksaan dapat berjalan dengan baik. Penggabungan 2 (dua) pemeriksaan ini membutuhkan perubahan mindset para pemeriksa karena masing-masing pemeriksaan memiliki filosofi, metodologi, dan pendekatan yang berbeda. Australian National Audit Office (ANAO), memisahkan fungsi pemeriksaan berdasarkan jenis pemeriksaan. Dalam struktur organisasi, dipisahkan antara yang menangani Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Sehingga terjadi spesialisasi profesi pemeriksa berdasarkan jenis pemeriksaan. Pemeriksaan keuangan dilakukan oleh pemeriksa yang berlatar belakang akuntan sedangkan pemeriksaan kinerja dapat dilakukan oleh pemeriksa dari berbagai macam latar belakang ilmu dan pendidikan.

Pada kondisi seperti ini, perlu dilakukan penyesuaian yang cukup lama jika ingin menerapkan LFAR karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Pemeriksa Keuangan terhadap pelaksanaan kinerja dan sebaliknya. Namun, spesialisasi seperti ini tidak terjadi di BPK. Mengapa? Karena di BPK, pembagian unit kerja berdasarkan jenis objek pemeriksaan, sehingga setiap pemeriksa diharapkan mampu melakukan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Tentunya selama ini mereka dibekali pengetahuan tentang pemeriksaan keuangan dan pengukuran kinerja organisasi.

Walaupun pemeriksa BPK tidak mengenal pemisahan berdasarkan jenis pemeriksaan dan terbiasa melakukan keduanya, tetapi pemeriksaan tersebut dilakukan pada waktu yang tidak bersamaan. Penggabungan pemeriksaan keuangan dan kinerja pada saat yang bersamaan tetap diperlukan penyesuaian dan perubahan metode kerja.

Dobija, CieÅ›lak, Iwuć (2016) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa LFAR sangat berdampak terhadap tugas dan fungsi pemeriksa sektor publik. Di antaranya, pertama, pemeriksa lebih banyak membutuhkan informasi atau data tambahan dalam pelaksanaan penugasan pemeriksaan. Ruang dan luas lingkup pemeriksaan menjadi sangat luas karena hasil 2 (dua) tujuan pemeriksaan diintegrasikan menjadi satu laporan audit yang memuat penjelasan yang rinci dan menyeluruh. Kedua, proses penyusunan laporan pemeriksaan membutuhkan waktu (time consume and  time constrain). Ketiga, perubahan ini membawa dampak pada strategi dan perencanaan audit yang disusun dan disiapkan oleh lembaga pemeriksa. Selain di tingkat institusi, di tingkat pemeriksa juga mempunyai dampak. Proses pemeriksaan dilaksanakan lebih lama dari biasanya karena cakupan yang lebih luas dan bukti pemeriksaan yang lebih banyak dalam pelaksanaan pemeriksaan. Keempat, keengganan para pemeriksa keuangan untuk melakukan pemeriksaan LFAR karena akan merasa dibebani pekerjaan tambahan. Semua hal ini harus dimitigasi oleh lembaga pemeriksa.

Perubahan di atas akan mempengaruhi lembaga diklat dan pemeriksa. Termasuk juga para regulator dan standard-setter yang harus mampu membuat standar dan prosedur, guidance, dan pedoman juklak/juknis LFRA. Tujuannya agar para auditor dapat memiliki arah dalam pemeriksaan, menjaga Quality assurance dan quality control. BPK berdasarkan Undang-Undang No 15 Tahun 2006 dapat memberikan pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, pemerintah pusat/pemerintah daerah, lembaga negara lain, Bank Indonesia, badan usaha milik negara (BUMN), badan layanan umum (BLU), badan usaha milik daerah (BUMD), yayasan, dan lembaga atau badan lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

BPK dapat memberikan pendapat kepada pemerintah untuk menambahkan informasi mengenai prestasi kerja atau kinerja layanan masing-masing entitas pelaporan dalam LK yang disusun sebagai langkah awal untuk menerapkan General Purpose Financial Reports (GPFRs) dan pemeriksaan keuangan dengan penekanan pada aspek kinerja. Berdasarkan hal ini, para regulator dan standard-setter di antaranya Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Institut Akuntan Indonesia (IAPI), dan Kementerian Keuangan dapat mulai menyusun agenda untuk memasukkan LFAR dalam standar, pedoman, dan panduan yang mereka hasilkan. Sehingga apa yang dilakukan BPK, entitas sektor publik mempunyai kewajiban yang terstruktur dalam pencapaian kinerja atau prestasi kerja. 

Selain itu, IAI sebagai lembaga profesi para akuntan Indonesia dapat melakukan pengembangan kompetensi. Sehingga anggotanya tidak hanya terkait dengan materi dari pemeriksaan keuangan saja, tetapi juga pemeriksaan kinerja. Caranya, dengan mengangkat pemeriksaan kinerja ke dalam tatanan keahlian baru yang disandingkan dengan pemeriksaan keuangan oleh profesi akuntan. Selain lembaga profesi, lembaga pemeriksa perlu mengembangkan metodologi pemeriksaan LFAR sebagai praktik, kompetensi, keahlian, dan ilmu baru sehingga dapat diintegrasikan dengan pengembangan pendidikan pemeriksa secara berkelanjutan. Lembaga pemeriksa perlu mendesain pola perekrutan, pelatihan, dan pengembangan individu para auditornya yang disesuaikan dengan keahlian baru ini.

Kesimpulan dan Saran

Long Form Audit Report (LFAR) merupakan pendekatan pemeriksaan yang menggabungkan pemeriksaan keuangan dengan pemeriksaan kinerja agar para pemangku kepentingan dapat memiliki pemahaman komprehensif terkait dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Walaupun LFAR belum didefinisikan secara eksplisit di dalam standar pemeriksaan keuangan baik di Indonesia maupun lingkup internasional, tetapi konsep LFAR telah diimplementasikan dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, SAI Australia, SAI Selandia Baru, dan pemeriksa eksternal beberapa lembaga PBB.

Penerapan LFAR sangat dirasakan manfaatnya oleh para stakaholders karena opini WTP tidak semata-mata dijadikan patokan keberhasilan pemerintah, tetapi juga dari aspek efektivitas, efisiensi, dan ekonomis penggunaan keuangannya. Selain itu, pemeriksaan atas komponen keuangan dan kinerja yang terintegrasi memberikan manfaat dengan meningkatnya transparansi, akuntabilitas dan juga kredibilitas hasil audit. 

LFAR menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma pemeriksaan yang selama ini membedakan secara tegas berdasarkan jenisnya yaitu, pemeriksaan keuangan yang menghasilkan opini dan pemeriksaan kinerja yang mengeluarkan simpulan dan rekomendasi. Penggabungan dua pemeriksaan ini membutuhkan perubahan mindset para pemeriksa karena masing-masing pemeriksaan memiliki filosofi, metodologi, dan pendekatan yang berbeda. Selain itu penerapan LFAR menyebabkan pemeriksa lebih banyak membutuhkan informasi atau data tambahan dalam pelaksanaan penugasan pemeriksaan dan proses penyusunan laporan hasil pemeriksaan.

Lembaga diklat dan pemeriksa, regulator, dan standard-setter diharapkan dapat duduk bersama merumuskan dan menyusun standar dan prosedur, guidance, serta pedoman juklak/juknis LFRA. Dengan begitu para pemeriksa memiliki arah serta konsisten dalam bekerja secara profesional dan proporsional, due professional care.  Lembaga profesi seperti IAI, IAPI, IPKN, BPKP dan satuan pengawasan internal BUMN/BUMD harus memiliki kolaborasi dalam menyusun kurikulum pendidikan berkelanjutan bagi para pemeriksa eksternal, pemeriksa internal maupun akuntan pada Kantor Akuntan Publik. Tujuannya, agar implementasi LFAR dapat berjalan dengan baik.

07/05/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BPK-ANAO
BeritaOpini

BPK-ANAO Bahas Pendekatan Pemeriksaan Entitas

by Admin 1 09/04/2021
written by Admin 1

Oleh: Tyas Dibyantari dan Damar Wijanarko, Pegawai Biro Humas dan KSI BPK

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bekerja sama dengan Australian National Audit Office (ANAO) mengadakan acara bertajuk “Roundtables Discussion on Financial Audit”. Rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara virtual ini merupakan salah satu implementasi kerja sama bilateral antara BPK dan ANAO untuk tahun 2021.

Kegiatan diskusi peer to peer ini bertujuan menjalin networking antara tim pemeriksa laporan keuangan dari BPK dan ANAO, terutama untuk tim-tim yang memeriksa entitas yang sama/serupa di Indonesia dan Australia. Lewat kegiatan ini, tim pemeriksaan atas entitas yang serupa di kedua intitusi saling berbagi pengetahuan dan pengalaman terkait pendekatan kontemporer dalam pemeriksaan keuangan.

Kegiatan yang dijadwalkan berlangsung selama tiga sesi pertemuan ini telah dimulai pada Maret 2021. Diskusi sesi pertama diikuti tiga tim pemeriksaan keuangan BPK terpilih, yaitu tim pemeriksaan laporan keuangan Mahkamah Agung (MA), Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), dan pemeriksa laporan keuangan Kementerian Tenaga Kerja. Adapun sebagai peer team dari ANAO adalah tim pemeriksa Australia Consolidated Financial Statements, High Court of Australia, dan Department of Education, Skills, and Employment (DESE).

Dalam roundtables discussion sesi pertama yang telah digelar pada Maret 2021, tiga tim pemeriksaan keuangan terpilih tersebut berdiskusi dengan tim ANAO mengenai entitas yang mereka periksa dan seputar tantangan yang relevan, serta risiko pemeriksaan pada area pemeriksaan keduanya. Bertindak sebagai moderator dalam acara diskusi ini adalah Senior Advisor ANAO untuk BPK, Kristian Gage.

Pada 19 Maret, tim pemeriksaan laporan keuangan Mahkamah Agung dari AKN III BPK berdiskusi dengan tim pemeriksa ANAO untuk High Court of Australia. Rio Andalas Soekotjo selaku ketua tim pemeriksaan laporan keuangan Mahkamah Agung (MA) TA 2020 menyampaikan paparan mengenai entitas pemeriksaan, meliputi struktur organisasi, anggaran, serta proses bisnis MA. Selain itu, Rio menjelaskan mengenai risiko, metodologi, serta lingkup pemeriksaan. Dalam kesempatan tersebut, BPK menjelaskan bahwa jumlah satuan kerja pada MA berlokasi di 34 provinsi. Adapun jumlah total satker yang ada sebanyak 917 satker. Sementara, entitas pelaporan di lingkungan pengadilan MA mencapai 1.820 entitas.

Tim AKN III juga memaparkan mengenai risiko pemeriksaan. Ada sedikitnya enam risiko yang telah dipetakan. Pertama adalah jumlah satker di MA yang sangat besar, yaitu sebanyak 1.827 satuan pelaporan akuntansi. Kedua, program dan proses sinkronisasi data belum dilaksanakan secara baik akibat pemanfaatan teknologi informasi/aplikasi. Ketiga, proses teknis peradilan dan pelayanan masyarakat yang berubah akibat pandemi Covid-19. Kemudian, risiko mengenai program penanganan dan penanggulangan pandemni Covid-19 pada lingkungan MA. Risiko kelima adalah rekonsiliasi laporan dengan jumlah data, transaksi, dan ukuran file yang cukup besar. Sedangkan risiko terakhir berupa tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan atas pandemi Covid-19. 

Diskusi kemudian dilanjutkan dengan mendengar paparan dari perwakilan ANAO, yaitu Rahul Tejani selaku engagement executive yang didampingi oleh Peter Kerr selaku signing officer dalam tim pemeriksa ANAO untuk High Court of Australia. Tim pemeriksa ANAO memaparkan mengenai struktur organisasi entitas, karakteristik laporan keuangan, area kunci serta risiko pemeriksaan, dan beberapa hasil temuan pemeriksaan pada High Court of Australia. Rahul Tenjani dalam paparannya mengungkapkan sejumlah risiko pemeriksaan yang dihadapi timnya, seperti risiko saat penilaian aset dan risiko pengendalian intern.

Dari diskusi ini, dapat diambil kesimpulan bahwa antara Mahkamah Agung dan High Court of Australia memiliki kesamaan sebagai lembaga peradilan tertinggi negara yang sifatnya independen. Meskipun demikian, dari pemaparan oleh tim pemeriksa dari BPK dan ANAO, diketahui bahwa terdapat berbagai perbedaan dari sisi pemeriksaannya mulai dari segi lingkup entitas pemeriksaan, fokus serta risiko pemeriksaan, dan juga metodologi pemeriksaannya.

Masih dalam rangkaian sesi pertama, giliran tim pemeriksaan LKPP dari AKN II BPK yang berdiskusi dengan tim pemeriksa ANAO untuk Australia Consolidated Financial Statements. Diskusi tersebut digelar pada 23 Maret 2021. Serupa seperti pelaksanaan kegiatan untuk tim pemeriksaan sebelumnya, acara dimulai dengan paparan mengenai entitas yang diperiksa serta metodologi pemeriksaan oleh kedua tim dari BPK dan ANAO.

Dalam kesempatan pertama, Bola Oyetunji selaku engagement executive dalam pemeriksaan Consolidated Financial Statements di Australia memaparkan mengenai pemeriksaan yang dijalankan di ANAO. Bola menyampaikan bahwa Laporan Konsolidasi Commonwealth of Australia, seperti halnya di Indonesia juga ditandatangani oleh Menteri Keuangan.

Bola menjelaskan bahwa ANAO menetapkan beberapa klasifikasi atas entitas yang diperiksa pada audit laporan keuangan konsolidasi, yang terdiri atas General Government Sector (sektor pemerintahan umum atau entitas pemerintahan yang menjalankan kegiatan sehubungan dengan layanan publik). Kemudian Public Non-Financial Corporations (entitas dan perusahaan persemakmuran yang menjalankan fungsi utamanya dalam penyediaan barang dan jasa), dan Public Financial Corporations (entitas persemakmuran yang memperdagangkan aset dan liabilitas keuangan dan beroperasi secara komersial di pasar keuangan).

Menyambung paparan dari ANAO, acara dilanjutkan dengan paparan dari Hary Ryadin selaku ketua tim pemeriksaan LKPP dari AKN II BPK. Dalam paparannya, Hary menjelaskan terkait praktik-praktik pemeriksaan laporan keuangan konsolidasi di tingkat pemerintah pusat di BPK.

Hary menjelaskan gambaran umum proses manajemen pemeriksaan LKPP. Menurutnya, pemeriksaan LKPP melibatkan tim besar melibatkan auditor dari AKN I hingga 7 BPK yang berjumlah hampir 1.000 auditor. Pemeriksaan LKPP dilakukan oleh beberapa tim pemeriksaan, yaitu Tim Pemeriksaan LKPP, Tim Pemeriksaan LK BUN (Bendahara Umum Negara), dan Tim Pemeriksaan LKKL (Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga).

Dia juga menyampaikan beberapa risiko signifikan yang telah diidentifikasi pada pemeriksaan LKPP 2020. Risiko itu antara lain, pertama adanya temuan signifikan tahun lalu yang dinilai tidak berdampak pada opini dan belum selesai ditindaklanjuti oleh pemerintah. Kedua, kebijakan pemerintah yang diambil dalam rangka penanganan Covid-19, termasuk instrumen belanja, instrumen biaya, instrumen investasi BUMN melalui pemberian insentif perpajakan, dan program bantuan selama pandemi yang nilainya cukup material. Ketiga, defisit APBN yang timbul akibat dari dampak pandemi Covid-19.

Untuk pelaksanaan diskusi pada tanggal 24 Maret, tim pemeriksaan laporan keuangan Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) dari AKN III BPK berkesempatan untuk bertemu dengan tim pemeriksa ANAO untuk Department of Education, Skills and Employment (DESE). Cicilia Riau Ekowati selaku ketua tim pemeriksaan LK Kemnaker dalam kesempatan diskusi menyampaikan apresiasinya terhadap ANAO yang telah memberikan berbagai masukan kepada tim pemeriksa BPK.

Selain menyampaikan paparan mengenai profil entitas Kemnaker, anggaran dan belanja yang diperiksa, metode sampling, lingkup dan juga mengenai risiko pemeriksaan, Cicilia juga menjelaskan terkait pemaksimalan dukungan TI sebagai bentuk strategi tim dalam pengumpulan data pemeriksaan selama kondisi pandemi Covid-19.

Selain diikuti tim pemeriksa BPK dari AKN II dan III, acara yang difasilitasi Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK ini juga mengundang Direktorat Litbang sebagai narasumber sekaligus observer. Beberapa hal yang menjadi perhatian dalam diskusi Direktorat Litbang dengan ANAO pada sesi diskusi adalah mengenai penentuan materialitas dan risiko pemeriksaan yang dilaksanakan oleh ANAO.

Menanggapi pertanyaan terkait materialitas pemeriksaan, Kristian Gage dari ANAO  menyampaikan mengenai juklak pemeriksaan yang ada di ANAO yang mengatur tentang penentuan materialitas dalam pemeriksaan ANAO dan membagikan tautan-tautan pada laman resmi ANAO yang dapat diakses oleh tim pemeriksa BPK sebagai bahan referensi.

Sebagai kelanjutan dari sesi pertama rangkaian kegiatan roundtables discussion antara BPK dan ANAO ini, sesi kedua dan ketiga direncanakan akan dilaksanakan pada April 2021 atau sesuai kesepakatan antara Tim Pemeriksa BPK dan ANAO.Pada sesi kedua dan ketiga nanti, diskusi roundtable ini akan lebih berfokus pada pendekatan pemeriksaan, khususnya dalam situasi pandemi Covid-19 serta membahas mengenai isu-isu terkini dalam pemeriksaan keuangan.

09/04/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan Urgensi Kolaborasi Nasional
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025

    04/07/2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama

    02/07/2025
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan...

    01/07/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id