WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Thursday, 10 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Author

Admin

Video

Ada Apa di Gelora Bung Karno?

by Admin 07/05/2021
written by Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Selama ini, Gelora Bung Karno (GBK) dikenal oleh masyarakat sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan olah raga, tempat berkumpul dengan teman-teman, atau sebagai tempat rekreasi. Dalam hal ini, GBK tentunya memiliki sistem pengelolaan sehingga pengoperasiannya dapat terlaksana dengan baik.

Terkait hal tersebut, BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksaan keuangan negara, tak luput melakukan pemeriksaan juga terhadap pengelolaan GBK.

Menghadirkan narasumber Prof. Bambang Pamungkas selaku Tortama KN III BPK, Podcast Swara BPK yang dipandu oleh Kepala Biro Humas dan KSI, Selvia Vivi Devianti akan mengupas tuntas mengenai pengelolaan Gelora Bung Karno.

Seperti apa sejarah dan pengelolaan GBK selama ini? Bagaimanakah hasil pemeriksaan BPK terhadap pengelolaan GBK?

07/05/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita

Mencari Formulasi Defisit Anggaran

by Admin 14/10/2020
written by Admin

Oleh Agus Joko Pramono, Wakil Ketua BPK

Perhitungan defisit sejatinya bisa bermanfaat pula dalam pengambilan kebijakan untuk menjaga kesinambungan fiskal. Untuk memaksimalkan tujuan ini, pemerintah perlu juga meningkatkan mitigasi terhadap defisit daerah.

Kita selama ini kerap dihadapkan pada perdebatan mengenai jumlah defisit anggaran yang layak dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Perdebatan ini terjadi karena jumlah defisit erat kaitannya dengan pembiayaan yang harus diambil pemerintah.

Dalam konteks membangun negara, defisit merupakan hal wajar. Hampir semua negara meng­alaminya. Defisit terjadi apabila pendapatan negara lebih kecil dari belanja yang akan dieksekusi. Suatu negara menetapkan defisit karena ada manfaat lebih besar yang bisa diperoleh dari ang­garan belanja, misalnya untuk menunjang pembangunan, sementara pendapatan negara tidak mencukupi kebutuhan.

Perhitungan defisit dibuat untuk menjaga kestabilan ekonomi makro. Juga untuk menghasilkan kinerja fiskal yang sehat dan berkesinambungan. Bukan hanya sehat pada satu atau dua masa, tapi sehat secara berkesinambungan karena ada kaitannya dengan kemampuan membayar. Untuk itulah pemerintah melakukan pengendalian jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD, serta jumlah kumulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Berapa angka defisit yang tepat?

Defisit biasanya dibiayai dari utang. Karena ada utang yang ditarik, maka terbentuklah akumulasi jumlah utang. Oleh karena itu, selain defisit tahunan, akumulasi utang juga dikendalikan. Dengan begitu, ada dua hal yang dikendalikan: jumlah defisit anggaran dan jumlah total utang untuk menutup defisit.

Lalu, berapa angka defisit yang tepat? Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, defisit APBN dibatasi maksimal 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sedang­kan jumlah pinjaman pemerintah pusat dibatasi maksimal 60 persen dari PDB. Untuk pemerintah daerah, defisit APBD dibatasi maksimal 3 persen dari produk regional bruto (PRB) daerah yang bersang­kutan. Adapun jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari PRB daerah yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Pendapatan Belanja Daerah, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam pasal 4 beleid tersebut ditetapkan bahwa jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3 persen dari PDB tahun bersangkutan.

Melalui PP ini, batasan defisit pemerintah pusat dan daerah ditetapkan digabung menjadi 3 persen terhadap PDB. Tujuannya agar defisit anggaran tidak membawa dampak negatif terhadap kestabilan ekonomi makro dalam jangka pendek dan jangka menengah. Selain itu, agar sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik dalam pe­ngelolaan fiskal.

Dengan ketetapan itu, setiap daerah harus meminta izin terlebih dahulu kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) jika ingin membentuk defisit anggaran. Izin itu diajukan untuk meminta persetujuan Peraturan Daerah (Perda) tentang APBD. Setelah itu, Kemendagri berkoordinasi de­ngan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Jumlah kumulatif pinjaman juga diatur dalam pasal 4 PP 23 Tahun 2003. Sama seperti halnya defisit, jumlah kumulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah digabung dan dibatasi tidak melebihi 60 persen dari PDB. Sehingga, kita sekarang dihadapkan pada satu ukuran standar, ya­itu 3 persen untuk defisit dan 60 persen untuk total utang. Ini pengertian menurut undang-undang kita.

Dalam standar akuntansi internasional, defisit salah satunya diatur dalam International Public Sector Accounting Standard (IPSAS) 3 tentang “Net Surplus or Deficit for Period, Fundamental Errors, and Changes in Accounting Policies” (Surplus atau Defisit Bersih untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi).  Ada dua hal yang dibahas terkait dengan positioning defisit.

Intinya mirip dengan praktik di Indonesia. Perbedaannya, IPSAS mengatakan defisit mau dilihat dari mana, apakah mau dilihat dari cash flow atau dilihat dari laporan operasional (income statement). Jika dilihat dari cash flow, maka defisit betul-betul dilihat dari jumlah kekurangan uang.

Sementara jika dilihat dari income statement yang berbasis akrual, bukan berbasis kas, bisa jadi antara jumlah beban yang dibayarkan dengan uang yang dikeluarkan berbeda. Di dalam konteks ini, IPSAS tidak mendefinisikan secara spesifik. Kita sendiri yang memitigasi. Bahwa, defisit untuk periode tertentu adalah kaitan dengan menjaga akuntabilitas dan positioning dari laporan keuangan.

 

Meningkatkan value

Perhitungan defisit tentu memiliki tujuan. Bagi Pemerintah Indonesia, ini menjadi suatu burden atau batasan. Pemerintah tidak boleh melewati batasan tersebut. Jika PDB Indonesia sebesar Rp14 ribu triliun, maka batasan defisit 3 persen seperti yang diatur dalam UU adalah sekitar Rp420 triliun. Maka, selisih antara pendapatan dan belanja tidak boleh lebih dari Rp420 triliun.

Perhitungan defisit juga memiliki manfaat dalam bidang perencanaan. Contoh sederhananya, jika kita ingin membangun namun tidak punya uang, kita bisa merencanakan mencari sumber pendanaan untuk menutupi kekurangan uang, apakah dengan menjual barang, melakukan pinjaman, kerja sama dengan pihak ketiga, atau yang lainnya. Tapi, yang paling populer tentu adalah melakukan pinjam­an. Jadi, manfaat defisit dalam perencanaan adalah meningkatkan value yang lebih besar daripada resources yang dimiliki. Caranya dengan menyerap sumber pendanaan lain selain yang kita miliki.

Sebenarnya, bagaimana formulasi perhitungan defisit APBN saat ini? APBN menyatakan bahwa pendapatan dikurangi belanja adalah defisit. Metode pencatatan transaksi akuntansi yang digunakan adalah cash basis atau berbasis kas. Artinya, uang yang masuk akan diakui sebagai pendapatan apabila dana benar-benar sudah masuk ke kas negara. Begitu pula dalam hal belanja. Pengeluaran akan diakui sebagai belanja apabila uang sudah keluar.

Dengan metode cash basis, maka jika ada pembelanjaan terhadap suatu barang dan barang itu sudah dipakai namun belum digunakan, secara definisi itu belum dikategorikan sebagai belanja. Walaupun nilai dari pembelanjaan barang itu sudah digunakan dan dimanfaatkan, pemerintah tidak menganggap itu sebagai belanja karena belum dibayar. Dengan demikian, belanja menjadi unsur yang diskresif, terserah pemerintah. Dampaknya, kontrol terhadap defisit menjadi kurang bermanfaat.

Jika defisit sudah atau akan melewati batasan, pemerintah bisa memutuskan untuk tidak melakukan pembayaran terhadap belanja yang sudah dilakukan. Pembayarannya ditahan terlebih dahulu. Semakin banyak yang ditahan, semakin kecil nilai defisitnya. Ini yang sebenarnya legalize, tapi tidak tepat kemanfaatannya.

Dalam hal pendapatan pun demikian. Seperti diketahui, pemerintah setiap tahun mengembalikan kelebihan pembayaran pajak yang dibayarkan wajib pajak atau restitusi. Kalau kelebihan pajak dikembalikan, maka pendapatan pemerintah akan turun. Oleh karena itu, ada kalanya restitusi ditahan terlebih dahulu dan dibayarkan tahun berikutnya. Hal itu pula yang membuat restitusi yang belum dibayar dari tahun ke tahun meng­alami peningkatan. Belanja yang belum dibayar dari tahun ke tahun pun naik. Jadi, angka perhitungan nilai defisit menjadi tidak terlalu valid karena ada intervensi.

Kendati demikian, seberapa besar tidak validnya perhitungan nilai defisit belum bisa kita simpulkan, karena kita belum menguantisasi secara formal. Saya pun tidak mau memunculkan perhitungan yang berbeda. Tetapi kalau analisis semata, bukan nilai formal, bisa ditinjau dari jumlah utang yang tidak dibayar. Kita bisa melihat dana bagi hasil (DBH) yang belum dibayar. Itu seharusnya menambah jumlah defisit. Kemudian juga jumlah subsidi yang tidak dibayar.

Kesinambungan fiskal

Agar perhitungan defisit tidak diintervensi, caranya sederhana. Yaitu dengan mengembalikan unsur-unsur yang sudah dimanfaatkan. Unsur yang sudah dipakai tapi belum dibayar, dimasukkan lagi ke dalam unsur defisit. Hal ini yang sebenarnya juga menjadi permintaan BPK. Memasukkan unsur yang belum dibayar menjadi usulan BPK agar perhitungan defisit benar-benar riil.

Saat ini pun ada belanja yang sebenarnya bukan belanja pemerintah pusat, yaitu transfer ke daerah. Pemerintah sebenarnya hanya menggeser bagian dari pendapatannya menjadi pendapatan pemerintah daerah. Dalam teori yang sebenarnya, yang disebut dengan belanja adalah apabila kita mendapatkan manfaat dari resource yang dikorbankan, bukan orang lain yang justru mendapat­kan manfaatnya. Biasanya, positioning dalam hal ini agak berbeda. Namun, untuk menyeragamkan, pemerintah tidak membuat tinjauan khusus terha­dap transfer. Idealnya, perhitungan defisit adalah pendapatan dikurangi jumlah transfer dan belanja dikurangi jumlah transfer.

Perhitungan defisit sejatinya bisa bermanfaat pula dalam pengambilan kebijakan untuk menjaga kesinambungan fiskal. Untuk memaksimalkan tujuan ini, pemerintah perlu juga meningkatkan mitigasi terhadap defisit daerah. Selama ini, mitigasi itu belum optimal. Penyebabnya, sistem informasi pemerintah daerah berada di bawah Kemendagri. Sementara, yang menjadi bendahara negara adalah Kementerian Keuangan. Belum ada sistem informasi yang secara langsung mewajibkan daerah meminta izin terkait jumlah utang kepada Kemenkeu.

Lalu, apa kaitannya defisit dengan kebutuh­an utang dalam periode yang sama? Logika sederhananya, jumlah defisit akan sama dengan jumlah penambahan utang. Tetapi ternyata tidak demikian. Penambahan utang bisa lebih besar daripada jumlah defisitnya. Sebab, ada utang jatuh tempo yang harus dibayar.

Jadi, kalau batasan defisit sebesar Rp420 triliun, maka utang yang ditarik bisa lebih dari Rp420 triliun karena kita butuh cash untuk membayar utang jatuh tempo. Oleh karena itu, risiko dari jumlah pinjaman juga sangat penting untuk dimitigasi. Sebab, jika seandainya semakin lama jarak antara pendapatan dan belanja semakin besar, maka secara normatif kemampuan kita untuk membayar secara jangka panjang akan berkurang.

Untuk itulah Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia membuat batasan debt service coverage ratio. IMF menetapkan jumlah maksimal pembayaran utang jatuh tempo dan bunga sekitar 36 persen dari pendapatan suatu negara. Sedangkan pembayaran bunganya saja maksimal 10 persen dari pendapatan. Dan, Indonesia sudah melewati batasan itu.

Banyak yang bertanya, mengapa rasio defisit dan jumlah utang dikaitkan dengan PDB? Seperti kita ketahui, PDB secara sederhana adalah nilai dari barang yang diproduksi di suatu negara. Semakin besar PDB, maka semakin besar pajak yang diperoleh. Jika PDB tumbuh, pendapatan negara pun akan naik karena ada unsur penerimaan perpajakan. Atas alasan itulah jumlah utang dikaitkan dengan PDB. Semakin besar PDB, maka semakin besar kemampuan membayar.

Permasalahannya, rasio perpajakan di Indonesia semakin turun. Itu artinya, relasi antara PDB dan kemampuan membayar semakin rendah. Dengan demikian, meningkatnya nilai PDB belum tentu dapat meningkatkan pendapatan negara. Inilah yang terjadi di Indonesia.

Fiscal sustainability report

Merujuk pada data yang disampaikan Kementerian Keuangan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2021, rasio perpajakan Indonesia pada 2015 sebesar 10,76 persen terhadap PDB. Pada 2016 turun menjadi 10,36 persen dan turun lagi menjadi 9,89 persen pada 2017. Rasio perpajakan sempat naik menjadi 10,24 persen pada 2018. Namun, pada 2019, kembali turun menjadi 9,76 persen.

Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat fiscal sustainability report dalam jangka panjang dengan membuat proyeksi-proyeksi tertentu, lalu memasukkan unsur defisit dan utang. Dengan lapor­an tersebut, kita akan mengetahui bagaimana kemampuan kita membayar dan menyerap utang. Sehingga, ukurannya tidak hanya mengaitkan dengan PDB. Hal ini yang belum terlihat secara detail dalam pola perhitungan pemerintah. Dalam laporan itu bisa dibuat bagaimana kondisi APBN selama 30 tahun ke depan. Saat ini, kita lebih merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang hanya lima tahunan.

Yang perlu saya tekankan, pandangan terkait defisit ini tidak ada kaitannya dengan kondisi yang kita hadapi sekarang, yaitu ketika pandemi Covid-19. Saya bicara ini dalam konteks normal. Di tengah pandemi Covid-19 yang masih belum terlihat ujungnya, kita memang sedang membutuhkan uang. Semua perusahaan terdampak. Hampir semua negara pun defisitnya meningkat. Biarkan pemerintah bekerja untuk memperbaiki perekonomian. BPK sebagai lembaga pemeriksa negara, akan mengawal akuntabilitas dan transparansi setiap kebijakan yang dibuat pemerintah.

 

14/10/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita

BPK: Waspadai Risiko Fiskal Jangka Panjang

by Admin 14/10/2020
written by Admin

WARTA PEMERIKSA—Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengingatkan pemerintah memperhatikan risiko fiskal dalam jangka panjang. Sebab, beberapa indikator kerentanan utang telah melampaui batas praktik terbaik yang direkomendasikan lembaga internasional.

Hal tersebut tertera dalam Laporan Hasil Reviu atas Kesinambungan Fiskal No. 9e/LHP/XV/06/2020 yang disampaikan BPK dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2019. LKPP itu sendiri diserahkan Ketua BPK Agung Firman Sampurna kepada Presiden Joko Widodo di Jakarta, Juli lalu.

“Indikator kerentanan utang yang meliputi rasio debt service terhadap penerimaan, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan, dan rasio utang terhadap penerimaan sebagai bagian dari pengelolaan fiskal telah melampaui batas praktik yang direkomendasikan lembaga internasional,” kata Agung.

Laporan Hasil Reviu atas Kesinambungan Fiskal itu menyebut berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003, pemerintah memiliki dua batasan terkait dengan pengelolaan fiskal. Defisit dibatasi maksimal 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) dan jumlah utang dibatasi maksimal 60% terhadap PDB.

Pembiayaan dilaksanakan sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, mempertahankan kesinambungan fiskal melalui pengendalian defisit, menurunkan rasio utang dan meningkatkan kualitas belanja melalui efektivitas dan efisiensi pembiayaan dalam negeri.

Sesuai dengan RPJMN, penentuan capaian kesinambungan ditetapkan dalam tiga hal. Pertama, menjaga rasio utang pemerintah di bawah 30% dan terus diperkirakan menjadi 20% pada 2019. Kedua, mengupayakan keseimbangan primer menurun dan menjadi positif pada 2019.

Ketiga, menjaga defisit anggaran di bawah 3% dan pada 2019 menjadi 1% terhadap PDB. Ketiga target tersebut tidak tercapai. Rasio utang 2019 berada pada kisaran 30%, keseimbangan primer negatif, dan defisit anggaran 2019 tidak menjadi 1%, tetapi melebar menjadi 2,20% terhadap PDB.

Meski target RPJMN tidak tercapai, pemerintah berhasil menjaga defisit APBN terhadap PDB di bawah 3% pada 2015-2018 dengan stok utang di bawah 30%. Adapun rasio defisit terhadap PDB tahun 2019 mencapai 2,20% dengan rasio utang 30,23%, di bawah batas maksimal UU No. 17/2003.

Dalam jangka panjang, nilai primary balance diharapkan positif. Keseimbangan primer merupakan selisih pendapatan dan belanja selain bunga utang. Kondisi sustainability dipertahankan jika primary balance positif, yang berarti bunga utang dibayar pendapatan negara, bukan dengan utang baru.

Keseimbangan primer 2015 mencapai minus Rp142,49 triliun dan menjadi minus Rp73,13 triliun pada 2019. “Nota Keuangan Tahun 2019 mengisyaratkan pengendalian defisit dan keseimbangan primer menuju positif, tetapi capaiannya menunjukkan sebalikny,” ungkap laporan tersebut.

Target Meleset

Agung mengungkapkan keseimbangan primer 2019 yang minus Rp73,13 triliun, semakin jauh dari sebelumnya minus Rp11,49 triliun. Dengan demikian, rasio utang terhadap PDB, defisit dan primary balance 2015-2019 meleset dari target RPJMN 2014-2019.

Konsekuensinya, timbul risiko fiskal dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan proyeksi dan target yang ditetapkan dalam RPJMN merupakan komitmen yang perlu dicapai oleh pemerintah untuk menjamin kesinambungan pengelolaan keuangan negara di masa depan.

Beberapa indikator kerentanan pengelolaan utang telah melampaui rekomendasi ISSAI 5411. Rasio debt service meningkat pada 2013-2018, dan melampaui rekomendasi  International Monetary Fund (IMF) 35% pada 2018, meski masih di bawah rekomendasi International Debt Relief (IDR).

Hal itu mengindikasikan peningkatan penerimaan tidak sebesar peningkatan pembayaran utang. Rasio bunga terhadap penerimaan juga mengalami tren peningkatan. Bahkan, sejak 2013, rasio bunga terhadap penerimaan mencapai 7,86%, melampaui batas rekomendasi IDR, yaitu 6,%.

Rekomendasi IMF 10% terlampaui pada 2015 karena rasio tahun itu 10,3%. Itu berarti, peningkatan belanja bunga tidak diiringi dengan penerimaan. Ada pula peningkatan rasio saldo utang terhadap penerimaan 2013-2018. Sejak 2014, rasio di atas batas yang direkomendasikan IMF dan IDR. (rd)

14/10/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita

BPK Akan Pertajam Pemeriksaan

by Admin 14/10/2020
written by Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan mempertajam pemeriksaan dengan meningkatkan fokus ke akun berisiko tinggi, baik di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan fokus tersebut yakni terhadap pinjaman daerah, belanja bantuan sosial dan hibah, belanja modal, dan manajemen kas.

“Kita akan back to standard. Kita akan melakukan pemeriksaan secara tajam terhadap berbagai hal,” katanya dalam rapat koordinasi pelaksana BPK di Jakarta, belum lama ini.

Agung menambahkan untuk pinjaman daerah, selain prosedur standar yang umum dilakukan, pemeriksa perlu mencermati variasi praktik pinjaman daerah yang lain.

“Jangan hanya berpedoman pada definisi formal pinjaman. Misalnya pemda melakukan pekerjaan yang belum dianggarkan pada tahun berjalan, tahun depan diakui sebagai pinjaman,” katanya.

Akun berikutnya yang perlu diperhatikan, sambung Agung, adalah belanja hibah dan bantuan sosial (bansos). Hal itu terutama perlu dicermati dengan adanya Pemilu serentak pada 2019.

Asersi laporan keuangan yang paling signifikan untuk akun belanja hibah dan bansos adalah asersi keterjadian transaksi benar telah terjadi dan berkaitan dengan entitas.

“Pemeriksa perlu memastikan hibah dan bansos tidak dilakukan terus menerus ke pihak yang sama, dokumen pertanggungjawaban lengkap, dan memberikan manfaat,” kata Agung.

Belanja Modal

Untuk belanja modal, Ketua BPK menyampaikan uji petik tidak harus selalu diarahkan pada belanja modal bernilai besar. Hal ini perlu dilakukan untuk menutup fraud pada belanja modal rendah.

Agung mengatakan BPK juga akan meningkatkan fokus perhatian terhadap manajemen kas. Sama halnya dengan belanja modal, seluruh asersi laporan keuangan akun kas penting dicermati pemeriksa.

Selain pengujian pengendalian dan pengujian substantif yang rutin dilaksanakan, sambungnya, ada satu prosedur khusus yang perlu diterapkan untuk pemeriksaan tahun 2020.

“Yaitu cash opname secara mendadak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Ini untuk mencapai tujuan utama cash opname tersebut, yaitu melihat kualitas manajemen kas entitas,” katanya.

Pada bidang nonpemeriksaan, BPK akan melanjutkan implementasi Supreme Audit Institution Performance Measurement Framework (SAI PMF) yang dimulai tahun lalu.

Agung berharap, SAI PMF dapat dilembagakan sebagai penilaian kinerja kelembagaan BPK. Salah satunya komunikasi, seperti dengan slogan ‘Akuntabilitas untuk Semua’ atau ‘Accountability for All’.

Hal ini dimaksudkan agar publik semakin memahami arti penting akuntabilitas keuangan negara. “Saya mengharapkan slogan ini dapat diwujudkan, melalui berbagai kegiatan,” kata Agung. (Rd)

14/10/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita

Menjaga Akuntabilitas Pembangunan Infrastruktur Konektivitas

by Admin 14/10/2020
written by Admin

WARTA PEMERIKSA – Pemerintah terus melakukan pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan konektivitas. Untuk menjaga akuntabilitas pelaksanaan pembangunan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui Auditorat Keuangan Negara I telah melaksanakan pemeriksaan terkait konektivitas.

Melalui pemeriksaan pada Kementerian Perhubungan, AKN I memberikan sumbangsih dalam memeriksa akuntabilitas dan keuangan negara pada kepelabuhanan, kebandarudaraan, maupun perkeretaapian. “Pemeriksaan yang telah dilakukan di antaranya konektivitas tol laut dan infrastruktur transportasi darat, udara, dan perkeretaapian,” kata Anggota I/Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara I BPK Hendra Susanto kepada Warta Pemeriksa, beberapa waktu lalu.

Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menjadikan konektivitas sebagai salah satu prioritas. Di dalamnya, Kementerian Perhubungan turut serta sebagai pelaksana dalam beberapa proyek prioritas strategis, seperti kereta api kecepatan tinggi di Jawa, jaringan pelabuhan utama terpadu, sistem angkutan umum massal perkotaan, serta jembatan udara 37 rute di Papua.

Hendra mengatakan, pemeriksaan yang dilakukan AKN I ke depannya akan menitikberatkan pada proyek prioritas strategis tersebut. Meski begitu, Hendra mengatakan, akan disusun sejumlah pemeriksaan tematik terkait konektivitas yang melibatkan seluruh auditorat dengan masing-masing portofolio.

Salah satu pemeriksaan mengenai konektivitas yang telah dilaksanakan pada Kementerian Perhubungan yaitu Pengelolaan dan Penyelenggaraan Tol Laut, dengan simpulan masih belum optimal. Salah satunya terkait keberadaan basis data pelabuhan.

Selain itu, terdapat fokus tentang Penguatan Konektivitas Nasional Darat, Udara, Dan Perkeretaapian dengan simpulan masih belum optimal. Hal itu terutama terkait mekanisme perencanaan, sarana prasarana dan infrastruktur transportasi, serta penetapan rute pelayanan kegiatan subsidi.

BPK juga melakukan pemeriksaan laporan keuangan Kementerian Perhubungan dengan menyoroti di antaranya, pemeriksaan belanja barang dan belanja modal serta denda keterlambatan pekerjaan pada tujuh Eselon I Kementerian Perhubungan. Selain itu, BPK melakukan pemeriksaan PNBP atas biaya penggunaan prasarana perkeretaapian atau track access charge (TAC) pada Ditjen Perkeretaapian.

“Sasaran pemeriksaan tersebut tidak didesain secara langsung untuk mengukur konektivitas alur transportasi, namun BPK menyoroti kesesuaian perencanaan dan pelaksanaan program Kementerian Perhubungan,” kata Hendra.

Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2018, BPK telah melakukan pemeriksaan kinerja atas pengelolaan konsesi pelabuhan pada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kementerian Perhubung­an (Kemenhub), Badan Usaha Pelabuh­an (BUP), yaitu PT Pelindo II (Persero) dan PT Pelindo III (Persero), dan instansi terkait lainnya di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sejak 2016 hingga semester I 2017.

Pemeriksaan bertujuan untuk menilai efektivitas pengelolaan konsesi pelabuhan, terkait dengan aspek perencanaan strategis konsesi pelabuhan, penentuan tarif dan jangka waktu konsesi pela­buhan, pelaksanaan tanggung jawab Kemenhub dan Otoritas Pelabuhan (OP) dalam penerapan konsesi, dan penatausahaan PNBP atas konsesi.

Sasaran pemeriksaan dalam pemeriksaan kinerja tersebut adalah kegiat­an perencanaan konsesi, penyusunan perjanjian konsesi pelabuhan, dan implementasi konsesi. BPK menyimpulkan, pengelolaan konsesi pelabuh­an belum efektif ditinjau dari aspek perencanaan strategis, penentuan tarif dan jangka waktu konsesi, pelaksanaan tanggung jawab Kemenhub, dan penatausahaan PNBP konsesi.

BPK kemudian merekomendasikan kepada Menteri Perhubungan agar meninjau kembali besaran tarif konsesi melalui studi kelayakan untuk memastikan tarif konsesi sesuai de­ngan prinsip keadilan, menguntungkan semua pihak, dan mencerminkan persaingan yang sehat.

Menurut Hendra, tujuan umum peningkatan konektivitas adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas baik dari segi biaya dan waktu. Selain itu, ujarnya, tujuan utama konektivitas adalah percepatan dan pemerataan pembangunan untuk seluruh rakyat Indonesia.

Dia mengatakan, BPK mendukung upaya pemerintah melalui RPJMN 2020-2024 dengan melakukan pemeriksaan sesuai dengan visi BPK yaitu Menjadi Lembaga Pemeriksa Tepercaya yang Berperan Aktif dalam Mewujudkan Tata Kelola Keuangan Negara yang Berkualitas dan Bermanfaat untuk Mencapai Tujuan Negara. “BPK dalam rancangan teknokratik telah mengarah­kan program pemeriksaan sesuai RPJMN melalui pemeriksaan kinerja tematik untuk menilai kinerja program pemerintah yang salah satu­nya adalah konektivitas,” kata Hendra.

 

14/10/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita

Dana Otsus Belum Terarah

by Admin 14/10/2020
written by Admin

WARTA PEMERIKSA — Pemerintah berencana memperpanjang dana otonomi khusus (otsus) untuk Provinsi Papua dan Papua Barat yang sedianya berakhir pada 2021. Lalu, bagaimana sebenarnya efektivitas pemanfaatan Dana Otsus selama ini?

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan pemeriksaan kinerja atas Dana Otsus tahun anggaran 2017, 2018, dan kuartal I 2019. Pemeriksaan dilakukan pada Pemprov Papua dan Papua Barat. Pemeriksaan juga dilakukan pada pemkab/pemkot di wilayah Papua dan Papua Barat serta instansi terkait lainnya.

Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, masih terdapat permasalahan yang apabila tidak segera diatasi dapat memengaruhi efektivitas penggunaan Dana Otsus dalam mendukung upaya pencapaian tujuan pelaksanaan otsus sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Otonomi Khusus.

Auditor Utama Keuangan Negara VI BPK Dori Santosa menyampaikan, pemeriksaan Dana Otsus pada Pemprov Papua menemukan bahwa regulasi terkait penggunaan dana yang diamanat­kan UU Otsus belum sepenuhnya memadai. “Turunan dari undang-undang ini, yaitu Perdasi (Per­aturan Daerah Provinsi) dan Perdasus (Peraturan Daerah Khusus), belum semuanya diterbitkan,” kata Dori pada April lalu.

Pemprov Papua saat ini telah memiliki 9 Perdasus dan 16 Perdasi yang mengatur 25 dari 31 substansi yang diamanatkan oleh UU Otsus. Dori mengungkapkan, Perdasi dan Perdasus tentang kewenangan daerah belum disusun. Penyusunan aturan turunan itu terkendala perbedaan cara pandang antara Pemprov Papua dan pemerintah pusat terhadap kewenangan yang dimiliki pemda dalam rangka otsus. Sehingga, kewenangan yang dimiliki oleh Pemprov Papua hanya mengacu pada regulasi secara umum, yaitu UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Hal ini mengakibatkan kewenangan Pemprov Papua dalam penggunaan Dana Otsus hanya bersifat umum seperti pemprov lainnya. “Pemprov Papua ingin agar Dana Otsus total dita­ngani mereka, sementara pemerintah ingin agar dana ini tetap diawasi dan bisa dikontrol pusat,” kata Dori.

Permasalahan lainnya adalah perencanaan penggunaan Dana Otsus yang belum seluruhnya memadai. Pemprov Papua dan pemkab/pemkot belum memiliki perencanaan penggunaan Dana Otsus. Selain itu, pemda tak memiliki program/kegiatan yang berkelanjutan dan terukur. Akibatnya, sasaran yang ingin dicapai dari Dana Otsus tidak dapat diukur dan dievaluasi setiap tahapnya dan belum dapat dinilai keberhasilannya.

Kendati demikian, Dori menegaskan BPK tak mengecilkan upaya yang sudah dilakukan pemerintah pusat maupun derah terkait penggunaan Dana Otsus.

Permasalahan penggunaan Dana Otsus di Papua Barat tak jauh berbeda. Hasil pemeriksaan BPK menemukan bahwa Perdasus dan Perdasi yang terkait langsung dengan ketentuan penggunaan dana belum ditetapkan, yang antara lain memuat substansi terkait kewenangan pemprov dan masing-masing pemkab/pemkot; ketentuan pembagian penerimaan dalam rangka pelaksanaan otsus; pembangunan pendidikan; kesehatan dan perbaikan gizi; usaha-usaha perekonomian; serta perolehan pekerjaan dan penghasilan yang layak, khususnya bagi orang asli papua (OAP).

Kondisi tersebut mengakibatkan penggunaan Dana Otsus belum terarah pada tujuan jangka panjang yang berkelanjutan dan belum terkoordinasi secara memadai dengan penggunaan sumber dana lainnya. Dori menambahkan, secara umum ada juga permasalahan terkait data, terutama indikator kesejahteraan OAP yang belum diketahui.

Selain itu, pemanfaatan Dana Otsus selama ini tidak spesifik disebutkan, karena tercampur dalam APBD. Ia mengungkapkan, secara tertulis tidak ada yang menjelaskan atau minimal memisah­kan penggunaan Dana Otsus dalam APBD.

“Sementara masyarakat tidak tahu itu, makanya warga asli Papua sering menyebut mereka tidak merasakan atau melihat dampak pembangunan dari Dana Otsus. Maka dari itu, sering kali pembangunan infrastruktur, misalnya jembatan, disebutkan bahwa ini dibangun dari Dana Otsus.”

Ia mengaku sudah merekomendasikan agar daerah, baik kabupaten/kota dan provinsi memisahkan pembangunan yang bersumber dari Dana Otsus. Pemisahan ini akan memudahkan pemeriksaan dan mengukur efektivitas penggunaan Dana Otsus bagi Orang Asli Papua.

Untuk Gubernur Papua, BPK merekomendasikan untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat terkait kewenangan daerah dalam penggunaan Dana Otsus. Kemudian, Bappeda Papua didorong berkoordinasi intensif dengan kabupaten/kota untuk penyusunan perencanaan jangka panjang dan menengah khusus untuk penggunaan Dana Otsus. “Hal ini agar arah pembangunan lebih jelas dan terukur,” ungkap dia.

Khusus Papua Barat, BPK merekomendasikan kepada Ketua DPRD Papua Barat dan Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk memprioritaskan penyusunan Perdasus dan Perdasi. Selain itu menyusun data OAP, sehingga memiliki basis data yang jelas agar terukur upaya pengentasan kemiskinan di wilayah Papua Barat.

 

14/10/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita

Ketua DPD: Perkuat Pemeriksaan Dana Otsus

by Admin 14/10/2020
written by Admin

Berbagai pemangku kepentingan memberikan perhatian serius terhadap penggunaan Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) Papua dan Papua Barat. Tak terkecuali Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI sebagai lembaga negara yang menjadi kepanjangan tangan masyarakat di daerah.

Kepada Warta Pemeriksa, Ketua DPD La Nyalla Mahmud Mattalitti pada April lalu menjelaskan secara panjang lebar mengenai langkah-langkah yang telah dilakukan DPD dalam membantu mengawasi Dana Otsus. La Nyalla juga menyampaikan sejumlah harapannya kepada pemerintah dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Berikut petikan wawancaranya:

Program atau kebijakan apa saja yang didorong DPD RI terkait penggunaan Dana Otsus Papua dan Papua Barat?

Pansus Papua DPD RI pada 25 Februari 2020 melakukan rapat dengan Wakil Menteri Keuangan. Secara prinsip ada 3 hal yang disepakati. Pertama, Pansus Papua DPD RI meminta Menteri Keuangan RI untuk lebih mendorong daerah agar lebih memprioritaskan penggunaan Dana Otsus Papua pada upaya peningkatan kesejahteraan dan pelayanan publik dengan memfokuskan pada sektor pendidikan dan kesehatan, dengan memperhatikan karakteristik demografi, sosial-ekonomi, adat, budaya dan politik-keamanan, baik untuk provinsi Papua maupun provinsi Papua Barat dengan tata kelola yang baik.

Kedua, Pansus Papua DPD RI meminta Menteri Keuangan RI melakukan evaluasi total terhadap tata kelola Dana Otsus Papua. Terakhir, Pansus Papua DPD RI meminta Pemerintah untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi secara intensif dengan jajaran pemerintahan di Papua dan Papua Barat dalam melakukan pengawasan atas pengelolaan Dana Otsus yang lebih efektif dan optimal.

Pansus DPD RI juga telah menggelar rapat kerja dengan BPK pada 28 Februari 2020. Ada beberapa hal yang disepakati. Pansus Papua DPD RI meminta BPK lebih mengintensifkan koordinasi dengan pemerintah daerah (provinsi, kota/kabupaten) dan memfasilitasi koordinasi intern antar-pemda, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota. Tujuannya untuk meningkatkan efektivitas penggunaan Dana Otsus guna mendukung upaya pencapaian tujuan pelaksanaan Otsus sebagaimana diamanatkan dalam UU Otsus.

Selain itu, Pansus Papua DPD RI meminta BPK mengoptimalkan perannya dalam melakukan monitoring/pemantauan dan evaluasi pemanfaatan Dana Otsus. Kami juga meminta BPK membantu memberikan masukan terhadap penyusunan grand design pembangunan atas pemanfaatan Dana Otsus, terutama dalam aspek pemantauan dan pengawasan sesuai dengan wewenang, tugas, dan fungsi BPK dengan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga dan pemda terkait. Secara prinsip, Dana Otsus masih dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan Papua yang sudah puluhan tahun tertinggal dengan provinsi lain di Indonesia. Namun demikian, perlu dilakukan evaluasi total terhadap tata kelola Dana Otsus agar lebih memberikan manfaat bagi pembangunan di Papua dan kesejahteraan masyarakat Papua, khususnya bagi Orang Asli Papua (OAP).

Apakah keputusan pemerintah memperpanjang penyaluran Dana Otsus Papua dan Papua Barat merupakan langkah yang tepat? Apa yang menjadi catatan bagi DPD RI?

Menjelang berakhirnya Dana Otsus pada Oktober 2021, ini seharusnya menjadi tonggak baru, momentum untuk meletakkan dasar kembali kebijakan baru yang benar-benar berasal dari kehendak dan partisipasi masyarakat Papua. Namun demikian, proses ini hendaknya jangan dimaknai sebagai pintu untuk membuka referendum bagi lepasnya Papua, melainkan justru membuka pintu mengukuhkan hubungan yang jauh lebih baik, dan //trusted// antara pemerintah pusat dengan segenap pemangku kepentingan, khususnya elite politik di Papua,  baik di Provinsi Papua maupun di Papua Barat.

Dalam menjalankan amanah dari Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, UU Nomor 21 tahun 2001 jo. UU Nomor 35 tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Barat, pemerintah telah memberikan dukungan dana berupa pengalokasian Dana Otsus dalam APBN.

Dana Otsus tersebut merupakan salah satu jenis belanja Transfer Ke Daerah dalam APBN yang besarannya ditentukan dalam persentase tertentu dari pagu Dana Alokasi Umum (DAU) nasional dan berlaku dalam jangka waktu tertentu. Dana Otsus Papua dan Papua Barat ditentukan setara 2 persen dari pagu DAU nasional dan berlaku selama 20 tahun (2002-2021).

Dana Otsus pertama kali dialokasikan sebesar Rp1,4 triliun pada tahun 2002 untuk Provinsi Papua, sedangkan Provinsi Papua Barat baru mendapatkan Dana Otsus pada tahun 2009 dengan alokasi sebesar Rp1,1 triliun. Selama periode 2002-2018, besaran Dana Otsus untuk kedua provinsi tersebut meningkat tiap tahun dan secara kumulatif telah mencapai Rp142,5 triliun.

Di sisi lain, perkembangan kinerja indikator kesejahteraan dan perekonomian di daerah otonomi khusus menunjukkan capaian yang semakin membaik meskipun perbaikannya tidak secepat daerah lainnya.

Menurut Anda, hal apa saja yang perlu diperbaiki pemerintah dalam penyaluran Dana Otsus?

Masih tingginya peran Dana Otsus sebagai sumber Pendapatan Daerah di Provinsi Papua, Papua Barat, menjadi landasan pentingnya pemerintah melakukan upaya peningkatan efektivitas pengelolaan Dana Otsus agar dapat memberikan dampak yang cukup signifikan dalam mendorong percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan di daerah Otsus.

Langkah perbaikan yang akan dilakukan pemerintah hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan. Memasuki masa transisi menjelang berakhirnya Dana Otsus Papua dan Papua Barat pada tahun 2021, pemerintah perlu segera menentukan //exit strategy//, antara lain dengan meningkatkan efektivitas pengelolaan Dana Otsus agar mencapai output dan outcome optimal sampai dengan berakhirnya implementasi Dana Otsus Papua dan Papua Barat tahun 2021 serta mempertimbangkan urgensi dan opsi kebijakan keberlanjutan pemberian Dana Otsus Papua dan Papua Barat.

 

 

14/10/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita

Pelaksanaan Kurikulum 2013 Kurang Efektif

by Admin 14/10/2020
written by Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA—Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyimpulkan peningkatan kualitas pembelajaran melalui Kurikulum 2013 pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kurang efektif, sementara pada 4 pemda cukup efektif, 25 pemda kurang efektif, dan 19 pemda tidak efektif.

Auditor Utama Keuangan Negara VI Dori Santosa mengatakan kurikulum 2013 atau akrab disapa Kurtilas merupakan kurikulum yang disusun oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Menteri Pendidikan kala itu Muhammad Nuh.

Dalam implementasi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo jilid pertama, tongkat komando menteri pendidikan juga sempat berpindah dari Anies Baswedan ke Muhadjir Effendy. “Setelah kita lihat di lapangan ternyata memang ada ketidakefektifan,” katanya di Jakarta, April 2020.

Kurang efektifnya Kurikulum 2013 diketahui dalam pemeriksaan kinerja tematik yang dilakukan BPK pada 2019.  Pemeriksaan itu tetang peningkatan kualitas pembelajaran melalui penjaminan mutu pendidikan dan implementasi Kurikulum 2013 tahun ajaran 2016/2017-2018/2019.

Konsep Kurikulum 2013 menyeimbangkan hardskill dan softskill, dimulai dari standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian. Dalam Kurikulum 2013, semua mata pelajaran harus berkontribusi terhadap pembentukan sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

BPK mencatat permasalahan penguatan penjaminan mutu pendidikan antara lain data dan informasi hasil Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Kemendikbud belum sepenuhnya valid. Sebanyak 46 dari 48 pemda belum menjalankan siklus penjaminan mutu pendidikan berdasarkan data valid.

Dalam implementasi Kurikulum 2013, pemerintah belum optimal dalam menerapkan pembelajaran sesuai dengan Kurikulum 2013, antara lain Kemendikbud belum memiliki mekanisme pelatihan dan pendampingan guru yang dapat memastikan guru mampu mengembangkan model pembelajaran.

Ketidaksesuaian penerapan pembelajaran Kurikulum 2013 terjadi pada 46 dari 48 pemda yang ditunjukkan dengan Dinas Pendidikan belum secara memadai menyiapkan seluruh pengawas, kepala satuan pendidikan, dan pendidik agar dapat menerapkan pembelajaran Kurikulum 2013.

Selain itu, Dinas Pendidikan belum memastikan bahan/media ajar yang mendukung pembelajaran Kurikulum 2013. Sebanyak 8 dari 9 pemprov juga belum melakukan revitalisasi pada sekolah menengah kejuruan dalam rangka memenuhi kompetensi lulusan sesuai dengan kebutuhan.

BPK menyoroti, pemerintah belum optimal menerapkan pembelajaran sesuai dengan Kurikulum 2013. Kemendikbud belum memiliki mekanisme pelatihan dan pendampingan guru yang dapat memastikan guru mampu mengembangkan model pembelajaran.

Akibatnya, tujuan pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi peserta didik dalam berpikir kritis dan memecahkan masalah (critical thinking and problem solving), bekerja sama (collaboration), berkreasi (creativity), dan berkomunikasi (communication skills) tidak tercapai.

BPK merekomendasikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menginstruksikan Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kepala Balitbang berkoodinasi menyempurnakan instrumen penjaminan mutu agar memberikan gambaran riil mutu pendidikan. (Rd)

14/10/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Uncategorized

Proses Pemeriksaan Infrastruktur

by Admin 14/10/2020
written by Admin

Pemeriksaan infrastruktur oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara umum terbagi atas dua tahap. Yaitu tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan.

Tahap perencanaan dimulai dari pemilihan sampel pemeriksaan dengan pendekatan audit yang berbasis risiko (risk based audit approach). Dengan pendekatan ini, pelaksanaan pemeriksaan akan dilakukan pengujian secara mendalam terhadap paket-paket pekerjaan infrastruktur yang memiliki nilai material secara kontrak, complicated dalam tahapan pelaksanaan pekerjaan, maupun lokasi pada daerah remote area.

Perencanaan juga akan mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan analisis dokumen dan pemeriksaan fisik, serta informasi-informasi awal yang dapat dikumpulkan dari media massa atau pengaduan. Koordinasi juga dilakukan dengan tenaga ahli independen terkait pelaksanaan pemeriksaan yang membutuhkan kualifikasi teknis tertentu khususnya jika dalam pemeriksaan diperlukan pengujian atas kualitas hasil pekerjaan.

Pemeriksa akan mengumpulkan beberapa dokumen yang dibutuhkan sebagai bahan awal pemeriksaan dari entitas yang diperiksa antara lain dokumen perencanaan pekerjaan, seperti gambar desain perencanaan awal, KAK pelaksanaan pekerjaan, bill of quantity (BoQ), serta harga perkiraan sendiri (HPS). Selain itu, dilakukan pengumpulan dokumen pelaksanaan pekerjaan meliputi antara lain dokumen kontrak yang memuat syarat umum serta syarat khusus dan spesifikasi teknis kontrak.

Persiapan selanjutnya yakni berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pihak entitas yang diperiksa terkait rencana diskusi awal dan pelaksanaan pemeriksaan fisik lapangan atas sampel pemeriksaan. Setelah melalui tahap perencanaan, prosesnya berlanjut ke tahap pelaksanaan. Di tahap ini, pemeriksa melakukan analisis dokumen perencanaan teknis yang menjadi dasar penyusunan bill of quantity (BoQ) dan HPS untuk menguji kesesuaian perhitungan kuantitas dan harga dalam uraian pekerjaan dengan desain perencanaan.

Analisis juga dilakukan terhadap perubahan volume pekerjaan atau pengurangan/ penambahan pekerjaan baru yang dilakukan selama masa pelaksanaan pekerjaan. Hal itu untuk menguji perubahan volume dan pengurangan/penambahan item pekerjaan baru yang dilakukan memang diperlukan berdasarkan justifikasi teknis. Pemeriksa kemudian menganalisis kesesuaian uraian pekerjaan dalam kontrak dengan syarat umum, syarat khusus, dan spesifikasi teknis kontrak yang mengatur tata cara pelaksanaan serta cara pengukuran dan pembayaran kepada penyedia jasa.

Setelah itu dilakukan pemeriksaan fisik lapangan untuk melakukan pengujian kesesuaian metode pelaksanaan pekerjaan, volume, dan spesifikasi pekerjaan yang dilaksanakan oleh pihak yang diperiksa dengan membandingkannya terhadap kontrak atau dokumen pelaksanaan pekerjaan lainnya yang menjadi acuan pekerjaan tersebut. Pemeriksaan fisik melibatkan tenaga ahli independen terkait pelaksanaan pemeriksaan yang membutuhkan kualifikasi teknis tertentu, khususnya jika dalam pemeriksaan diperlukan pengujian atas kualitas hasil pekerjaan.

Salah satu hal yang disoroti dalam pemeriksaan infrastruktur adalah ketidakefektifan. Ketidakefektifan adalah kondisi di mana berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan tidak tercapai sasaran yang telah ditetapkan dalam tahapan perencanaan pembangunan infrastruktur setelah pembangunan fisik infrastruktur tersebut dilaksanakan. Dalam pembangunan fasilitas puskemas, misalnya, ketidakefektifan terjadi apabila pembangunan yang awalnya bertujuan memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, tetapi karena lokasi pembangunan tidak berada pada lokasi strategis yang memudahkan untuk dijangkau, maka masyarakat tidak akan secara optimal memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan.

Temuan lain yang berpotensi terjadi dalam pemeriksaan infrastruktur yakni kemahalan harga barang. Hal itu adalah tambahan biaya yang secara sengaja atau tidak sengaja dianggarkan atau dibiayakan oleh pihak-pihak terkait dalam harga pekerjaan atau harga kontrak yang mengakibatkan nilai pekerjaan tersebut lebih tinggi daripada seharusnya. Dalam pelaksanaan pemeriksaan infrastruktur, kemahalan harga pekerjaan dapat terjadi saat pelaksanaan perencanaan maupun saat pelaksanaan pekerjaan. Kemahalan harga saat perencanaan antara lain dapat terjadi karena saat penyusunan harga perkiraan sendiri, survei untuk memperoleh harga pembanding atas suatu barang tidak dilakukan secara langsung kepada produsen tetapi melalui perantara.

Selain itu, kekurangan volume juga bisa menjadi temuan. Kekurangan volume dalam pemeriksaan infrastruktur adalah ketidaksesuaian jumlah satuan pekerjaan yang dilaksanakan di lapangan dengan jumlah satuan pekerjaan yang seharusnya dilaksanakan sesuai kontrak yang disepakati oleh pihak-pihak terkait. Kesimpulan bahwa suatu pekerjaan dinyatakan kekurangan volume dilakukan setelah pemeriksa melakukan pemeriksaan fisik dan analisis perhitungan kembali atas pelaksanaan pekerjaan yang senyatanya dilaksanakan oleh pihak terkait. l Sumber: Padang Pamungkas, Kepala Auditorat IV A

14/10/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita

Pemeriksaan Kelayakan Investasi dari Hulu ke Hilir

by Admin 12/10/2020
written by Admin

WARTA PEMERIKSA – Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Agung Firman Sampurna sedari awal menyatakan BPK akan terus melakukan pembenahan. Termasuk di antaranya mengubah citra dari lembaga stempel WTP menjadi badan yang ikut dalam menjaga keuangan negara dari penyimpangan. Terkait hal tersebut, Auditor Utama Keuangan Negara VII Akhsanul Khaq menjelaskan, BPK dalam fungsi mengawal harta negara, melakukan pemeriksaan dari hulu hingga hilir, tak terkecuali soal investasi perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

BPK melakukan pemeriksaan dan mengeluarkan rekomendasi tata kelola keuangan serta investasi agar BUMN tidak merugi, terutama dari kemungkinan investasi berisiko. “Paling penting dari kami dalam setiap rekomendasi investasi BUMN adalah menjaga prinsip kehati-hatian,” kata Akhsanul pada Maret lalu.

Setiap BUMN memiliki kekhasan tersendiri dalam berinvestasi. BUMN energi, misalnya, bisa berinvestasi dalam bentuk pembuatan kilang dan akuisisi perusahaan di bidang eksplorasi dan eksploitasi. Kemudian BUMN infrastruktur, berinvestasi dalam pembangunan jalan tol atau akuisisi badan usaha jalan tol. Sektor perkebunan investasinya dalam bentuk akuisisi pabrik gula dan sektor keuangan bisa berupa dalam jaringan ATM demi memperlancar transaksi.

“Ada juga dalam arti sempit, investasi dalam bentuk surat berharga, yaitu saham, obligasi dan reksa dana. Walau misalnya BUMN energi melakukan investasi obligasi, bukan untuk mencari untung tapi mengolah kelebihan keuntungan perusahaan agar optimal,” ucap dia kepada Warta Pemeriksa.

Dalam menelisik proses investasi BUMN, BPK melakukan pemeriksaan mulai dari perencanaan (rencana kerja perusahaan), pelaksanaan, dan kondisi terkini. “Dalam proses perencanaan tentu ada rencana kerja perusahaan, di mana sudah dibahas di Rapat Umum Pemegang Saham. Selain itu juga ada kajian kelayakan investasi,” ungkap dia.

Dalam proses akuisisi, BPK juga memeriksa nilai investasi berdasarkan angka yang dikeluarkan jasa penilai investasi. Berikutnya, BPK memeriksa kelayakan investasi, terutama faktor risiko. “Apakah ada risiko, misalnya risiko hukum, apakah objeknya memiliki sengketa atau juga misalnya kita melihat seperti apa prospek dari investasi yang dilakukan.”

Studi kelayakan lain adalah memeriksa nett present value dan internal rate return. “Saat dieksekusi, atau dinyatakan layak, apakah syarat-syarat dipenuhi, terutama terkait kontrak. Bahkan BPK memeriksa, apakah setelah dilakukan akuisisi, BUMN mengeluarkan uang kembali untuk perbaikan. Misalnya akuisisi jalan tol, tapi ternyata banyak kerusakan,” ungkap dia. Pemeriksaan ini penting untuk meminimalkan kerugian atau potensi kerugian.

BPK usai pemeriksaan memberikan rekomendasi agar perusahaan menjalankan tata kelola dengan benar. “Misalnya, maka rekomendasi kami evaluasi dari operasional pabrik gula. Apakah operasional itu biayanya lebih tinggi dari pendapatannya. Bila memungkinkan biaya ini bukan ditekan tanpa mengorbankan kualitas. Namun bila langkah itu tak mungkin dilakukan maka perlu ada cut loss, jadi jangan dibiarkan merugi terus. Jadi harus ada penyelamatan, bisa dijual atau ada investasi untuk modernisasi dari pabrik gula itu,” ucap dia. Ia mengatakan, rekomendasi hasil pemeriksaan yang dikeluarkan BPK diawasi Kementerian BUMN alias pemerintah sebagai pemegang saham.

Rekomendasi BPK juga berdasarkan regulasi yang ada, seperti regulasi yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Salah satu regulasi itu adalah Peraturan OJK Nomor 73 Tahun 2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian. POJK itu salah satunya mengatur bahwa investasi yang dilakukan harus memiliki kajian risiko, baik risiko keuangan, risiko hukum, dan risiko lainnya.

Sayangnya, ungkap Akhsanul, terkadang ada perusahaan BUMN yang menabrak atau melangkah tidak sesuai rekomendasi. Dalam berinvestasi medium term note atau surat utang jangka menengah, misalnya, Pefindo mengeluarkan rekomendasi peringkat dari perusahaan penerbit medium term note. “Jadi harusnya kalau Pefindo sudah mengeluarkan peringkat di bawah ya jangan dibeli,” tutur dia.

Begitu juga saat komite investasi memeriksa perusahaan yang mengeluarkan surat utang. Bila tidak layak, sepatutnya BUMN tidak meneruskan membeli surat utang. Pada intinya, ucap dia, BPK melakukan pemeriksaan dan mengeluarkan rekomendasi agar BUMN tidak merugi, termasuk dalam hal investasi. Oleh karena itu, BUMN perlu mengikuti aturan investasi, terutama menjaga prinsip kehati-hatian.

12/10/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Menggagas Masa Depan Keuangan Daerah: Momentum Efisiensi dan Arah Baru Kebijakan?
  • Membangun BPK dengan Langkah “SUPER”
  • Bangun Budaya Kerja Tanpa Perundungan
  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Menggagas Masa Depan Keuangan Daerah: Momentum Efisiensi dan...

    09/07/2025
  • Membangun BPK dengan Langkah “SUPER”

    08/07/2025
  • Bangun Budaya Kerja Tanpa Perundungan

    07/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025

    07/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025

    04/07/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id