super admin
Oleh: Khairul Anam, Wartawan TEMPO (Juara I Lomba Karya Jurnalistik BPK 2020 Kategori Berita)
Badan Pemeriksa Keuangan menyorot transaksi Jiwasraya pada saham yang
terafiliasi dengan Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat. Mencuat juga dalam
dugaan prahara baru investasi Asabri.
BERENCANA memboyong sebagian saham perusahaan milik Benny Tjokrosaputro,
Tahir sadar namanya bakal disangkutkan dengan skandal PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Makanya, orang terkaya nomor tujuh di Indonesia versi Forbes itu sempat menanyakan masalah tersebut kepada koleganya pada Desember 2019.
Menurut Tahir, Benny mengaku pernah berurusan dengan Jiwasraya ketika perusahaannya, PT Hanson International Tbk, menerbitkan surat utang jangka menengah (medium-term notes/MTN) senilai Rp 700 miliar pada akhir 2015. “Menurut Benny, MTN itu sudah dijual lagi oleh Jiwasraya dan sudah dilunasi juga oleh Hanson. Akunnya sudah tutup,†kata Tahir, Kamis, 2 Januari lalu.
Tahir, bos Grup Mayapada, belakangan disebut-sebut menjadi backing Benny, yang belum lama ini dicegah bepergian ke luar negeri oleh Kejaksaan Agung atas kasus dugaan fraud—tindakan curang yang menguntungkan pribadi atau pihak lain—dalam pengelolaan investasi Jiwasraya. Pada 17 Desember 2019, Hanson mengumumkan rencana PT Maha Properti Indonesia Tbk (MPRO), bagian dari Grup Mayapada, membeli saham anak usaha PT Mandiri Mega Jaya, anak usaha MYRX—kode emiten Hanson International. Selain itu, MPRO akan
mengambil alih sebagian saham PT Hokindo Properti Investama milik PT Rimo International (RIMO), yang juga dipunyai keluarga Tjokrosaputro.
Tahir mengatakan bukan saham yang dibeli MPRO, melainkan aset tanah milik Mandiri dan Hokindo. “Sudah teken nota kesepahaman, tapi belum transaksi,†ucapnya. Adapun Hanson, perusahaan Benny, memang tercatat dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap laporan keuangan Jiwasraya tahun buku 2014-2015. Pasalnya, Jiwasraya menyerap sebagian besar MTN Hanson dengan menggelontorkan dana Rp 680 miliar. Transaksi ini dinilai tak memenuhi aspek legal, tak mempertimbangkan kinerja Hanson yang buruk, dan berpotensi menyebabkan Jiwasraya merugi jika sampai terjadi gagal bayar.
Keberadaan Benny di Jiwasraya diketahui tidak hanya lewat MTN tersebut. Jiwasraya juga memegang sebagian saham MYRX lewat sejumlah reksa dana. Pergerakan naik saham MYRX setiap akhir tahun ditengarai turut membuat hasil investasi Jiwasraya terlihat kinclong.
BENNY Tjokrosaputro bukan satu-satunya pengusaha swasta yang tersangkut di
pusaran kasus Jiwasraya. Seorang lainnya yang juga dicekal kejaksaan adalah Heru
Hidayat. Seperti perusahaan Benny, sejumlah korporasi milik Heru menjadi tempat menampung dana investasi Jiwasraya.
Di pasar modal, keduanya masyhur sebagai pengelola harga emiten. Maksudnya,
dengan semua sumber daya yang dimiliki, Benny dan Heru mampu membuat harga emiten afi liasi mereka naik, bahkan kerap melewati harga pasar yang adil, sebagai wajah asli fundamental perusahaan. Sejumlah pelaku pasar modal mengatakan cara kerja keduanya adalah menjajakan saham-saham lapis kedua dan ketiga kepada investor pemilik modal. Penjualan bisa dilakukan melalui manajer investasi atau langsung. Ketika investasi itu telah masuk, barulah upaya mengelola harga saham dimulai. Praktik ini biasanya makin gencar
dan kencang menjelang tutup kuartal dan tutup tahun, momentum bagi investor untuk memoles laporan keuangan mereka atau biasa disebut window dressing.
Dalam kasus Jiwasraya, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan harga saham tempat Jiwasraya berinvestasi selalu melompat menjelang tutup tahun. Sejumlah transaksi senilai miliaran rupiah digeber pada 30 Desember buat membeli saham-saham tersebut untuk kemudian dijual lagi pada 2 Januari tahun berikutnya. Karena saham dibeli di bawah harga pasar, di laporan keuangan akan tercatat hasil investasi Jiwasraya menguntungkan. “Laba tersebut sebenarnya laba semu sebagai akibat rekayasa akuntansi atau window dressing.
Perusahaan sebenarnya sudah mengalami kerugian,†tutur Ketua BPK Agung Firman Sampurna saat memaparkan resume audit investigatif permulaan atas Jiwasraya di kantor
BPK, Jakarta, Rabu, 8 Januari lalu.
Masalahnya, pengelolaan harga saham itu—pelaku pasar mengenal praktik ini sebagai saham gorengan—tidak murah. Dibutuhkan biaya secara berkelanjutan untuk
memodali aktivitas jual-beli saham yang bersangkutan agar terlihat likuid. Pada
2016, BPK meminta Jiwasraya segera cabut dari saham-saham lapis kedua dan ketiga
itu untuk kemudian pindah ke saham-saham yang lebih likuid.
Pada waktu bersamaan, Benny dan Heru terkena badai dalam bisnis sendiri. Benny
pada akhir tahun lalu disemprit Otoritas Jasa Keuangan karena kedapatan mengais
dana dari masyarakat secara ilegal. Perusahaannya menjaring investasi dari pemodal
retail dengan janji imbal hasil 12 persen per tahun untuk pengembangan properti milik perusahaan. Jumlah nasabah yang tersangkut ribuan. Benny berhasil menghimpun dana lebih dari Rp 1 triliun sejak tiga tahun lalu. OJK juga menjatuhkan denda Rp 5
miliar kepada Benny karena ia mengklaim pendapatan lebih tinggi dari seharusnya
dalam laporan keuangan perusahaan pada 2016.
Rentetan masalah itu membuat kantong Benny makin tipis. Yang terbaru, pada Kamis, 2 Januari lalu, Benny memohon penundaan pembayaran kupon surat utang
jangka menengah yang diterbitkan PT Blessindo Terang Jaya, anak usaha Hanson International, kepada PT Emco Asset Management, pemegang MTN lewat
Reksadana Penyertaan Terbatas Emco Property Fund. Benny memohon pembayaran kupon ke-11 yang jatuh tempo pada 6 Januari lalu sebesar Rp 19,125 miliar ditunda.
Hanson meminta penundaan sampai 6 April 2020, jatuh tempo pembayaran kupon ke-12 alias yang terakhir. “Alasan penundaan adanya permasalahan arus kas yang sedang dialami pemegang saham tidak langsung Blessindo, PT Hanson International Tbk,†ujar Benny dalam surat yang salinannya diperoleh Tempo.
Adapun masalah Heru berawal dari PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM). Kebakaran satu kapal pada 2104 dan terlibatnya satu tanker mereka dalam penyelundupan minyak memukul bisnis perusahaan secara berkepanjangan. Menurut laporan keuangan perusahaan per Maret 2019, TRAM punya utang hingga Rp 2,79 triliun.
Benny dan Heru tidak merespons ketika dihubungi Tempo sepanjang pekan lalu. Namun pengacara Benny, Muchtar Arifi n, setelah menemani Benny dalam pemeriksaan di Kejaksaan Agung pada Senin, 6 Januari lalu, menyatakan kliennya tidak bersalah dalam kasus Jiwasraya. Menurut Muchtar, Benny hanya tersangkut dalam masalah MTN Jiwasraya, yang statusnya sudah selesai. Dia menganggap kliennya tidak seharusnya dipanggil sebagai saksi. “Tidak ada fakta-fakta yang bisa memberatkan ataupun turut serta melakukan. Tidak ada,†ucap Muchtar, yang juga bekas direktur penyidikan Kejaksaan Agung.
KEPALA Riset Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan menyatakan aksi
mengelola harga saham sebuah perusahaan di pasar bursa sebetulnya legal dan sahsah saja. Aksi itu bisa sah dan legal bila saham yang dikelola memang benar-benar
bagus dan harganya mewujudkan kondisi asli perusahaan. “Di bursa itu seperti beauty contest,†kata Alfred, Jumat, 10 Januari lalu. “Kita harus menunjukkan bahwa perusahaan yang ingin mencari dana investor itu terlihat likuid.â€
Jadi ilegal dan keliru, Alfred melanjutkan, bila tujuan mengelola harga saham
hanya memoles laporan keuangan investor. Terlebih jika harganya sampai jauh di
atas harga pasar yang mewakili kondisi perusahaan sebenarnya. “Gorengan oke,
asalkan fundamental perusahaan bagus. Tapi, kalau sudah sampah terus digoreng,
itu sudah enggak bagus duluan niatnya,†ujar Alfred.
Ribut-ribut saham gorengan di Jiwasraya, yang dianggap turut memicu terjadinya gagal bayar polis klaim perusahaan, ini belakangan ditengarai juga merambah ke
PT Asabri (Persero), perusahaan asuransi dan dana pensiun pemerintah untuk polisi dan tentara. Menerima aduan masyarakat, Ombudsman RI tengah mengkaji masalah tersebut. “Ini sama persis (dengan Jiwasraya),†ucap anggota Ombudsman, Ahmad Alamsyah Saragih, Jumat, 10 Januari lalu. Hingga pekan lalu, sejumlah emiten yang terafi liasi dengan Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat, seperti Hanson International dan PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP), mencatatkan Asabri sebagai pemilik saham.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. pun menyatakan
telah mendapat informasi tentang masalah di tubuh Asabri. “Saya mendengar ada isu
korupsi di Asabri yang mungkin tidak kalah fantastisnya dengan Jiwasraya, di atas
Rp 10 triliun gitu,†ujar Mahfud di kantornya, Jumat, 10 Januari lalu. Dia berencana
membicarakan dugaan kasus baru ini dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir
Oleh Erik Purnama Putra, Wartawan Republika (Juara I Lomba Karya Jurnalistik BPK 2020 Kategori Opini)
Rencana pemerintah yang ingin memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim), masih menimbulkan berbagai pertanyaan yang belum terjawab di benak sebagian masyarakat. Selain kesiapan pembangunan infrastruktur yang harus dilakukan dalam tempo singkat–sebelum 2024 harus jadi–persoalan pendanaan juga mesti dijelaskan secara detail dan rinci agar tidak menimbulkan kecurigaan di beberapa kalangan.
Pasalnya, anggaran pemindahan ibu kota negara tidak masuk dalam APBN 2020. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono menegaskan, pemerintah belum menganggarkan dan melakukan kegiatan pembangunan ibu kota baru pada 2020. Hal itu disampaikan langsung Basuki saat melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (21/4). Pun dalam APBN 2021, juga belum ada tanda-tanda alokasi anggaran khusus untuk pembangunan infrastruktur dasar di lokasi ibu kota baru.
Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) di berbagai kesempatan mengatakan, perpindahan ibu kota negara dimulai pada 2024. Dengan kata lain, hanya ada waktu tiga tahun efektif (2021-2023) bagi pemerintah untuk mengebut pembangunan sebuah kota baru secara lengkap supaya proses pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara terwujud. Apakah bisa pemerintah dalam waktu sesingkat itu bisa membangun jalan raya dan sistem transportasi umum, gedung untuk kantor presiden, kementerian, gedung sekolah, serta lembaga negara, termasuk Markas Besar (Mabes) TNI dan Polri sekaligus? Apakah masuk akal ratusan ribu rumah dinas yang dijanjikan dapat ditempati para pejabat dan aparatur sipil negara (ASN) yang harus ikut boyongan ke sana sudah selesai dibangun?
Tentu kita dapat dengan mudah menjawabnya. Kecuali Bandung Bondowoso yang sanggup menyelesaikan pembangunan Candi Prambanan dalam tempo semalam, sepertinya sulit bagi pemerintah, meski harus mengerahkan tenaga kerja secara besar-besaran untuk menyiapkan pembangunan ibu kota baru secara komplet di Kaltim. Selain lahannya seluas 56 ribu hektare yang merupakan eks garapan sawit di hutan tanaman industri, jalur menuju ke sana pun harus melalui medan berat karena wilayahnya berupa perbukitan. Belum lagi, jumlah ASN yang pindah pada tahap awal mencapai 180 ribu orang, yang berarti melebihi penduduk Penajam Paser Utara sebanyak 157.711 orang berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017, menandakan perlu kerja ekstra keras untuk merealisasikannya.
Karena itu, hampir mustahil bagi pemerintah untuk bisa menuntaskan sebuah kawasan yang masih berupa tanah liat disulap menjadi ibu kota negara dengan konsep modern, dalam waktu terbilang singkat tanpa didukung rincian anggaran secara jelas memadai. Bahkan, meski anggaran sudah tersedia, butuh bertahun-tahun bagi pemerintah dengan dukungan kekuatan investor besar sekali pun untuk bisa membangun sebuah kota baru secara lengkap, seperti Canberra di Australia maupun Abu Dhabi di Uni Emirat Arab (UEA), laiknya dicontohkan Presiden Jokowi kala mengunjungi kedua ibu kota negara tersebut pada awal tahun ini.
Kondisi semakin tidak memungkinkan, lantaran pandemi Covid-19 membuat pemerintah harus merealokasi anggaran mencapai Rp 405,1 triliun dari total APBN 2020 sebesar Rp 2.233,2 triliun untuk bidang penanganan kesehatan dan stimulus ekonomi. Dengan mengacu prediksi Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bahwa pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 0,2 persen, dan bisa minus 2,6 persen pada tahun ini maka pemerintah untuk beberapa tahun ke depan, akan disibukkan atau fokus pada pemulihan ekonomi terlebih dulu dibandingkan ambisi mewujudkan proyek mercusuar, khususnya pemindahan ibu kota.
Pemerintah sepertinya akan mengambil langkah menunda penyelesaian beberapa proyek infrastruktur yang menguras dana besar untuk dialihkan guna meningkatkan daya beli masyarakat agar pertumbuhan ekonomi kembali pulih seperti sedia kala di angka 5 persen. Namun, belum diketahui apakah jalan yang ditempuh peemrintah dengan membatalkan proyek perpindahan ibu kota atau memakai cara lainnya. Pasalnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2019 melansir, pemindahan ibu kota membutuhkan anggaran sebanyak Rp 466 triliun. Dari jumlah itu, APBN hanya mengambil porsi Rp 30,6 triliun (6,56 persen) dan sisa kebutuhan anggaran dipenuhi swasta Rp 435,4 triliun (93,43 persen).
Itu pun anggaran Rp 340,4 triliun disediakan melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), serta sisanya Rp 95 triliun disediakan swasta murni. Dengan kondisi perekonomian dihantam pandemi Covid-19, sektor swasta yang ikut terpukul hingga banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau merumahkan pekerjanya, sulit bagi mereka untuk tertarik mendanai pembangunan ibu kota baru. Meskipun dengan iming-iming tukar guling aset berupa swasta (baik investor lokal maupun asing) mendapatkan gedung pemerintah yang berlokasi strategis di jalan protokol Jakarta dengan kompensasi membangun infrastuktur dasar dan lengkap di Penajam Paser Utara, mereka pun akan pikir-pikir menerima tawaran tersebut dengan situasi sekarang.
Pihak swasta pasti lebih memilih untuk memulihkan diri terlebih dahulu agar roda perusahaan kembali normal sebelum pandemi Covid-19. Boro-boro mau berinvestasi dalam jumlah besar, sektor swasta tentu ingin beradaptasi dengan pemulihan internal perusahaan, lantaran kondisi berat yang dihadapi sekarang belum dipastikan kapan berakhirnya.
Untuk itu, tidak ada salahnya bagi pemerintah mengkaji ulang atau kalau perlu menunda proyek perpindahan ibu kota yang dimulai pada 2024. Memang ambisi Presiden Jokowi itu bisa bubar kalau ia tidak menjabat sebagai RI 1 lagi. Belum tentu penerusnya memiliki ide yang sama dengannya dalam hal pemindahan ibu kota. Meski begitu, dengan bersikap realistis dan bijak, semestinya pemerintah dapat dengan jernih untuk mengambil keputusan dengan tidak memaksakan proyek ibu kota baru terus berjalan.
Audit
Di sini lah peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk ikut mengawasi dan mengaudit penggunaan anggaran yang dialokasikan untuk proyek ibu kota baru. Hal itu lantaran pemerintah yang terkesan kurang transparan dalam menganggarkan alokasi dana pembangunan ibu kota membuat masyarakat menjadi bertanya-tanya apakah proyek itu serius menjadi program pemerintah atau hanya keinginan elite pemerintahan semata. Pasalnya, Bambang Soemantri Brojonegoro saat menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas pada 2018, pernah menyinggung, jika pemerintah sudah menggelontorkan anggaran Rp 40 miliar untuk digunakan studi pemindahan ibu kota.
Perinciannya, anggaran Rp 1,8 miliar sudah terpakai pada 2017, dan pada 2018 dialokasikan dua kali, yaitu Rp 26 miliar dan Rp 13 miliar yang digunakan untuk kajian tiga kandidat penentuan lokasi, hingga akhirnya ditetapkan di Penajam Paser Utara sebagai ibu kota negara. Pada Maret 2020, Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR, Danis Sumadilaga menyebut, anggaran groundbreaking ibu kota baru menelan sekitar Rp 200 miliar sampai 300 miliar yang dijadwalkan pada Oktober atau November 2020.
Yang menjadi pertanyaan adalah, ternyata sudah ada anggaran yang dipakai untuk pemindahan ibu kota. Pun meski tidak ada mata anggaran di APBN 2020, Kementerian PUPR bisa mengalokasikan dana ratusan miliar rupiah untuk seremoni pembangunan proyek besar tersebut. Tentu BPK yang bertugas meminta pertanggungjawaban penggunaan uang negara mesti responsif dalam mengaudit pengeluaran pemerintah. BPK wajib mengingatkan atau memberikan rekomendasi bagi kementerian tertentu untuk bisa transparan dalam membelanjakan APBN.
Bagaimana pun juga, sudah menjadi tugas BPK untuk menyelamatkan keuangan negara dalam proyek bombastis itu. Karena kalau memang pemindahan ibu kota nantinya benar-benar berjalan, BPK juga akan terkena imbasnya lantaran mengacu Pasal 23G ayat 1 UUD 1945, kedudukan BPK harus ada di ibu kota negara. Sehingga mau tidak mau BPK akan meninggalkan Jakarta menuju Penajam Paser Utara, dan proses itu membutuhkan rencana matang kalau benar memang diseriusi. Kalau hanya sekadar gimmick yang dijalankan pemerintah, tentu ada uang rakyat di situ yang sudah terserap dan menjadi sia-sia, karena manfaatnya tidak ada bagi pembangunan.
Di sini lah BPK seolah menjadi the last guardian dalam tugasnya menyelamatkan uang negara agar jangan sampai program pemindahan ibu kota yang menelan anggaran tidak sedikit, malah tidak jelas tahapan dan mekanismenya. Jangan sampai, uang yang sudah dikucurkan untuk pemindahan ibu kota, meski belum mencapai angka triliunan rupiah, hangus begitu saja lantaran ketidakjelasan masa depan proyek tersebut.
Oleh: Wahyu Kuncoro SN, Wartawan Harian Bhirawa ( Juara II Lomba Karya Jurnalistik BPK 2020 kategori Opini)
Kasus gagal bayar yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya (Persero) seolah semakin meneguhkan opini publik bahwa pengelolaan BUMN hanya menjadi ajang penyedotan keuntungan secara membabi buta. Episode buram yang mengisahkan betapa buruknya pengelolaan keuangan BUMN tiada pernah kehabisan cerita. Belum selesai cerita keruwetan di satu BUMN muncul kasus yang lain.
Masalah yang membelit Jiwasraya merupakan proses akumulasi yang cukup panjang. Menurut Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna Jiwasraya sudah bermasalah sejak 2006. Jiwasraya disebut memanipulasi laporan keuangan sejak 2006. Meski mencatatkan laba, namun laba itu disebut semu karena adanya rekayasa akuntansi.
BPK pada saat melakukan pemeriksaan keuangan kala itu lantas memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat) untuk laporan keuangan 2006-2007 lantaran penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya. Defisit perseroan PT Jiwasraya juga semakin lebar, yakni Rp 5,7 triliun pada 2008 dan Rp 6,3 triliun pada 2009. Kondisi keuangan Jiwasraya terus memburuk yang akhirnya berujuang pada kasus gagal bayar polis yang membuat kebobrokan itupun terkuak, Kompas (22/1).
Mengikuti perjalanan kasus yang menghimpit dari sejak tahun 2006 hingga hari ini menyembulkan tanda tanya besar yakni bahwa BPK sudah jauh-jauh mengingatkan terjadi ketidakberesan dalam pengelolaan keuangan Jiwasraya, tetapi mengapa tetap saja dibiarkan hingga semuanya menjadi semakin parah? Lantas apa makna hasil audit berikut rekomendasi pemeriksaan yang dilakukan BPK kalau hasilnya tidak mendapatkan perhatian yang serius bahkan cenderung diabaikan.
Menjadikan BPK Lebih Berdaya
Bahwa kerja-kerja BPK dalam melakukan audit seharusnya diarahkan dan dipastikan memiliki dampak positif dalam penggunaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK harus dipastikan ditindaklanjuti oleh setiap lembaga yang mengelola keuangan negara. Namun dalam kasus Jiwasraya tentu publik patut mempertanyaakan bagaimana Jiwasraya dan pihak pihak terkait bersikap terhadap temuan penyimpangan yang sesungguhnya sudah terendus sejak 2006 yang lalu tersebut. Mengapa temuan BPK yang harusnya menjadi deteksi dini terhadap penyimpangan keuangan tersebut seolah hanya jadi macam kertas yang tidak bermakna apa-apa sehingga akhirnya persoalan pun semakin parah.
Menurut undang-undang, kewenangan BPK hanya berhenti pada penyerahan hasil pemeriksaan tersebut kepada legislatif, pemerintah, dan lembaga yang diaudit. Walaupun BPK memiliki kewenangan untuk memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan, hasil pemantauan tersebut diserahkan kembali kepada legislatif dan pemerintah.
Dari sudut hukum, hampir tidak ada mekanisme yang bisa digunakan BPK untuk memaksa suatu lembaga untuk melaksanakan hasil pemeriksaannya. Undang-undang juga tidak memuat sanksi apa pun ketika hasil pemeriksaan BPK tidak ditindaklanjuti.
Salah satu cara yang bisa digunakan BPK adalah melalui publikasi hasil pemeriksaan/rekomendasi secara detail kepada publik. Menurut undang-undang, hasil pemeriksaan yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum. Terhadap hasil pemeriksaan yang terindikasi pidana memang hanya disampaikan kepada penegak hukum.
Pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran menunjukkan peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. BPK akan meningkatkan pemeriksaan untuk menilai pengelolaan keuangan negara dalam mencapai tujuan negara, yaitu kemampuan entitas dalam melaksanakan program-program pembangunan, utamanya yang langsung berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, ke depan masyarakat selain melihat dari perolehan opini atas laporan keuangan, juga harus melihat kepada hasil pemeriksaan kinerja BPK untuk menilai prestasi kerja suatu entitas pemerintah daerah.
Ada dua peran BPK dalam pemberantasan korupsi. Pertama, menemukan penyalahgunaan atau penyelewengan. Ini merupakan tindakan represif atau bersifat korektif. Jika pada hasil pemeriksaan ditemukan perbuatan berindikasi tindak pidana korupsi, BPK melaporkan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti. BPK terus berkoordinasi dengan penegak hukum terkait dengan tindak lanjut hasil pemeriksaannya.
Kedua, mencegah penyalahgunaan dan penyelewengan. Ini tindakan pencegahan (represif). Pencegahan dilakukan BPK melalui pemeriksaan terhadap sistem pengendalian intern entitas yang diperiksa atau audit. Kedua, BPK merancang pemeriksaan atas sistem kendali korupsi (fraud control system) pada entitas pemerintah. Jika selama ini pemeriksaan BPK untuk mendeteksi indikasi korupsi, maka pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai keberadaan, implementasi dan efektivitas sistem kendali korupsi di lingkungan entitas. Ini sesuai dengan Inpres No. 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
BPK harus dilihat sebagai salah satu aktor yang berfungsi dalam mitigasi praktik korupsi. BPK adalah satu-satunya lembaga tinggi negara yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sesuai dengan Pasal 23E UUD 1945. Dengan demikian, peran BPK sangat penting untuk memastikan tidak terjadinya penyimpangan dan praktik korupsi dalam pengelolaan keuangan negara.
Kita tentu berharap, kasus Jiwasraya ini harus diungkap secara tuntas. Butuh sinergi dan komitmen yang kuat dari lembaga-lembaga seperti BPK, Kejaksaan Agung dan KPK untuk bersama-sama mengungkap mega skandal Jiwasraya ini. Langkah BPK dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru saja melakukan penandatanganan kesepakatan kerja sama diharap segera diikuti dengan langkah-langkah nyata dalam upaya menyelwamaty uang Negara. Kesepakatan tersebut diharapkan bisa memaksimalkan kontribusi kedua lembaga dalam menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang terindikasi merugikan negara dan mengandung unsur pidana.
Gerakan Sosial Melawan Korupsi
Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), maka salah satu tolok ukur kinerja pemerintah daerah dapat dilihat dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), yang tentu saja harus terlebih dahulu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Informasi dalam LKPD harus dapat memenuhi kebutuhan para penggunanya, yang menurut SAP dinyatakan bahwa kelompok utama pengguna laporan keuangan pemerintah adalah masyarakat, wakil rakyat, lembaga pengawas, lembaga pemeriksa, donatur, investor, pemberi pinjaman, pemerintah, dan pihak lain yang berkepentingan. Jika kita beranalogi dengan kegiatan ekonomi, maka terdapat kemiripan dengan kegiatan perdagangan saham di pasar modal. Di pasar modal, perusahaan-perusahaan akan belomba menarik hati investor agar mau berinvestasi pada saham yang diterbitkannya. Salah satu perhatian utama investor di pasar modal sebelum berinvestasi adalah laporan keuangan perusahaan yang sudah diaudit dan diterbitkan opini audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP).
Investor sangat tergantung pada opini audit dalam pengambilan keputusan investasi, karena itu peranan KAP di pasar modal sangat strategis dan dapat berkontribusi menentukan nasib ribuan investor dan calon investor. Begitu juga dengan pemerintah daerah, setiap tahun LKPD diaudit oleh BPK yang kemudian juga diterbitkan opini auditnya.
Dengan demikian, ibaratnya seorang investor di pasar modal, sebenarnya rakyatpun bisa saja menentukan keputusan politiknya dengan dasar opini audit yang diterbitkan oleh BPK. Agar bangsa ini bisa hidup mulia tanpa korupsi, kesadaran masyarakat harus ditransformasikan menjadi gerakan sosial yang bisa menangkal dan melawan korupsi. Melalui gerakan sosial menangkal korupsi itu, public akan terlibat dalam pengawasan praktik korupsi yang dilakukan penyelenggara negara yang mempunyai kekayaan tidak sebanding dengan penghasilannya.
Penggunaan uang negara harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan. Pertanggungjawaban atas uang negara itu pun harus dilakukan secara transparan. Setiap rupiah dana negara yang keluar dari kas negara harus benar-benar dibelanjakan untuk kepentingan rakyat. Bukan untuk kepentingan lainnya, apalagi dikorupsi. Karena itu, kita berharap hasil audit juga menjadi standar laporan keuangan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bukan hanya dalam administrasi keuangan, kita pun ingin agar standar yang sama juga diimplementasikan dalam menjaga semangat untuk mempertanggungjawabkan setiap rupiah penggunaan uang rakyat. Semoga