JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – BPK Perwakilan Sulteng untuk pertama kalinya melakukan pemeriksaan dana desa. Satu di antara daerah yang dikunjungi adalah Kabupaten Banggai. Pemeriksaan fisik dilakukan pada salah satu infrastruktur pendukung di Desa Hanga Hanga yang dibiayai Dana Desa Tagub Anggaran 2017. Tampak dalam foto tim pemeriksa melakukan pengukuran fisik pekerjaan didampingi perangkat desa.
Berita
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna mengatakan, BPK kini menghadapi tantangan berupa dunia yang semakin dipenuhi ketidakpastian. Oleh karena itu, BPK harus mampu merespons situasi yang sangat dinamis tersebut dengan menjadi organisasi yang semakin tangguh tapi sekaligus kreatif dalam menjawab tantangan.
“Kita butuh BPK yang tangguh sekaligus tetap kreatif dan pada saat yang sama luwes dan lincah menghadapi situasi,” ujar Agung kepada Warta Pemeriksa di Jakarta, Rabu (13/1).
Agung mengatakan, hal itu menjadi pokok utama bahasan dalam Rapat Kerja (Raker) Pelaksana BPK 2020 yang digelar pada 7-8 Desember 2020 lalu. Raker tersebut mengusung tema “Mencapai BPK yang Tangguh dan Terpercaya dalam Menghadapi Tantangan Baru”.
Menurut Agung, saat ini seluruh masyarakat dunia tengah menghadapi era yang penuh dengan volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity (VUCA). Oleh karena itu, BPK perlu memiliki kemampuan untuk merespons hal tersebut. Salah satu hal yang menjadi pegangan penting BPK adalah INTOSAI P12 yang memuat mengenai “The Value and Benefits of Supreme Audit Institutionsâ€.
“Bahwasanya Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia tidak sekadar kerjanya melakukan fungsi oversight, yaitu melakukan audit. Akan tetapi juga harus memberikan manfaat bagi para pemangku kepentingan,” ujar Agung.
Menurut Agung, dengan adanya tantangan tersebut, BPK harus mampu menyiapkan organisasi baik secara kelembagaan maupun personal. BPK harus tangguh sekaligus memiliki kemampuan beradaptasi sekaligus berakselerasi.
Salah satu langkah konkret yang telah diterapkan BPK, kata Agung, yakni respons terhadap pandemi Covid-19. BPK segera menanggapi situasi tersebut dengan membuat panduan pemeriksaan dalam kondisi pandemi.
Hal kemudian memuat langkah-langkah pengujian alternatif sehingga BPK tetap bisa melaksanakan tugas wajibnya dengan kualitas yang baik.
Sementara itu untuk mewujudkan BPK yang terpercaya, Agung mengatakan, BPK akan terus mengusung nilai-nilai dasarnya, yakni integritas, independensi, dan profesionalisme. Dengan tiga nilai dasar tersebut, diharapkan BPK dapat memiliki kapasitas dan kredibilitas yang baik dalam rangka mendukung dan mewujudkan tata kelola keuangan negara yang transparan serta akuntabel dalam upaya mencapai tujuan negara.
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Desa Tumbuh Mulia merupakan salah satu desa yang belum terlayani oleh PDAM Lombok Timur. Untuk mengatasi kebutuhan air, pemkab setempat melaksanakan pekerjaan penyediaan air bersih dengan membangun jaringan pipa dari mata air ke desa. Dalam rangka memeriksa kegiatan ini, tim BPK harus melewati sungai yang cukup dalam. Akan tetapi kendala ini tidak menyurutkan langkah tim pemeriksa untuk melaksanakan tugas.
Foto : Ainal Iqram
Unit Kerja : BPK RI Perwakilan Provinsi NTB
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Untuk memberikan nilai dan manfaat BPK bagi pemangku kepentingan, BPK berupaya untuk meningkatkan peran insight dan foresight. Meskipun demikian, upaya tersebut tidak menghilangkan peran oversight BPK.
Hal itu diperkuat dengan misi BPK yang kedua dalam Renstra BPK 2020-2024, yaitu, “Mendorong pencegahan korupsi dan percepatan penyelesaian ganti kerugian negaraâ€.
Dengan misi itu, maka selain meningkatkan peran insight dan foresight, BPK juga tetap menjalankan fungsi oversight dan diharapkan menjadi lebih tangguh lagi menjalankan fungsi tersebut.
Peran oversight ini dilakukan untuk memastikan entitas pemerintah melakukan tata kelola keuangan negara yang baik serta patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peran ini dilakukan dengan mendorong upaya pemberantasan korupsi, peningkatan transparansi, serta menjamin pelaksanaan akuntabilitas, serta peningkatan ekonomi, efisiensi, etika, nilai keadilan, dan keefektifan.
Ketangguhan BPK dalam menjalankan peran oversight ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2020. BPK menemukan permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan baik pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan badan lainnya sebesar Rp8,28 triliun. Permasalahan ini telah ditindaklanjuti oleh entitas yang diperiksa, antara lain dengan penyerahan aset atau penyetoran ke kas negara/daerah/perusahaan sebesar Rp670,50 miliar.
Peran oversight juga ditunjukkan dalam hasil pemeriksaan BPK yang mengungkapkan permasalahan koreksi subsidi energi, subsidi bunga kredit, kewajiban pelayanan umum bidang angkutan umum, serta dana kompensasi yang diajukan PT PLN dan PT Pertamina sebesar Rp4,77 triliun.
Hal ini pula yang ditegaskan Ketua BPK Agung Firman Sampurna dalam sambutan penyerahan IHPS I 2020 di Gedung DPR, Jakarta, Senin (9/11) yang menyatakan, “BPK telah membantu pemerintah untuk menghemat pengeluaran negara dengan melakukan koreksi subsidi dan dana kompensasi sebesar Rp4,77 triliunâ€.
Upaya BPK dalam pencegahan timbulnya kerugian negara dan pemberantasan korupsi ini telah memperoleh dukungan dari Mahkamah Konstitus(MK), yaitu dengan tidak menerima permohonan uji materi terkait dengan kewenangan BPK melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Hal ini pernah dinyatakan Kepala Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum BPK Blucer Welington Rajagukguk, “MK dalam amar putusannya menyebut, PDTT masih diperlukan untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negaraâ€.
Selain pemeriksaan, peran oversight juga dilakukan BPK, kata Blucer, antara lain dengan mendorong entitas melakukan mempercepat penyelesaian ganti kerugian negara melalui kegiatan pemantauan. Tingkat penyelesaian ganti kerugian negara/daerah pada periode 2005 sampai 30 Juni 2020 dengan status yang telah ditetapkan tercatat sebesar Rp3,43 triliun. Tingkat penyelesaian yang terjadi pada periode 2005 sampai 30 Juni 2020 menunjukkan terdapat angsuran sebesar Rp336,31 miliar (10 persen), pelunasan sebesar Rp1,33 triliun (39 persen), dan penghapusan sebesar Rp107,85 miliar (3 persen).
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Para auditor BPK melakukan pemeriksaan fisik kanal di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatra Selatan yang dilaksanakan oleh satuan kerja (satker) Badan Restorasi Gambut (BRG), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 27 November 2019.
BRG merupakan lembaga nondepartemen di bawah KLHK yang dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 1 Tahun 2016 untuk percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi gambut akibat kebakaran hutan dan lahan. Tugas utamanya adalah melakukan koordinasi dan memfasilitasi restorasi gambut pada Provinsi Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua untuk jangka waktu lima tahun dengan target seluas dua juta hektar.
Pembuatan sekat kanal merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam pecegahan kebakaran hutan dan lahan. Dengan penyekatan kanal, daya simpan (retensi) air lahan gambut dapat meningkat dan dengan demikian mencegah penurunan permukaan air di lahan gambut sehingga dalam keadaan basah, maka lahan gambut akan sulit terbakar.
BPK melakukan pemeriksaan fisik atas pekerjaan pembangunan sekat kanal. Tujuannya untuk memastikan bahwa pembuatan sekat kenal telah dilaksanakan sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan dalam kontrak. Serta telah memenuhi standar yang telah diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (Perdirjen PPKL) Nomor P.4/PPKL/PKG/PKL.0/6/2019 tentang Standar Biaya Pembangunan Infrastruktur Pembasahan untuk Pemulihan Ekosistem Gambut.
Dalam pemeriksaan tersebut, BPK menemukan sekat kanal yang sudah selesai dibangun namun baru saja terbakar sebelum diserahterimakan dari penyedia barang/jasa kepada pejabat pembuat komitmen (PPK).
Foto : Dhian Adhi Nugroho
Unit Kerja : BPK RI AKN IV B2
Oleh: Agus Joko Pramono, Wakil Ketua BPK
Kita selama ini kerap dihadapkan pada perdebatan mengenai jumlah defisit anggaran yang layak dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Perdebatan ini terjadi karena jumlah defisit erat kaitannya dengan pembiayaan yang harus diambil pemerintah.
Dalam konteks membangun negara, defisit merupakan hal wajar. Hampir semua negara mengÂalaminya. Defisit terjadi apabila pendapatan negara lebih kecil dari belanja yang akan dieksekusi. Suatu negara menetapkan defisit karena ada manfaat lebih besar yang bisa diperoleh dari angÂgaran belanja, misalnya untuk menunjang pembangunan, sementara pendapatan negara tidak mencukupi kebutuhan.
Perhitungan defisit dibuat untuk menjaga kestabilan ekonomi makro. Juga untuk menghasilkan kinerja fiskal yang sehat dan berkesinambungan. Bukan hanya sehat pada satu atau dua masa, tapi sehat secara berkesinambungan karena ada kaitannya dengan kemampuan membayar. Untuk itulah pemerintah melakukan pengendalian jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD, serta jumlah kumulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Berapa angka defisit yang tepat?
Defisit biasanya dibiayai dari utang. Karena ada utang yang ditarik, maka terbentuklah akumulasi jumlah utang. Oleh karena itu, selain defisit tahunan, akumulasi utang juga dikendalikan. Dengan begitu, ada dua hal yang dikendalikan: jumlah defisit anggaran dan jumlah total utang untuk menutup defisit.
Lalu, berapa angka defisit yang tepat? Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, defisit APBN dibatasi maksimal 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). SedangÂkan jumlah pinjaman pemerintah pusat dibatasi maksimal 60 persen dari PDB.
Untuk pemerintah daerah, defisit APBD dibatasi maksimal 3 persen dari produk regional bruto (PRB) daerah yang bersangÂkutan. Adapun jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari PRB daerah yang bersangkutan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Pendapatan Belanja Daerah, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam pasal 4 beleid tersebut ditetapkan bahwa jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3 persen dari PDB tahun bersangkutan.
Melalui PP ini, batasan defisit pemerintah pusat dan daerah ditetapkan digabung menjadi 3 persen terhadap PDB. Tujuannya agar defisit anggaran tidak membawa dampak negatif terhadap kestabilan ekonomi makro dalam jangka pendek dan jangka menengah. Selain itu, agar sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik dalam peÂngelolaan fiskal.
Dengan ketetapan itu, setiap daerah harus meminta izin terlebih dahulu kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) jika ingin membentuk defisit anggaran. Izin itu diajukan untuk meminta persetujuan Peraturan Daerah (Perda) tentang APBD. Setelah itu, Kemendagri berkoordinasi deÂngan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Jumlah kumulatif pinjaman juga diatur dalam pasal 4 PP 23 Tahun 2003. Sama seperti halnya defisit, jumlah kumulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah digabung dan dibatasi tidak melebihi 60 persen dari PDB. Sehingga, kita sekarang dihadapkan pada satu ukuran standar, yaÂitu 3 persen untuk defisit dan 60 persen untuk total utang. Ini pengertian menurut undang-undang kita.
Dalam standar akuntansi internasional, defisit salah satunya diatur dalam International Public Sector Accounting Standard (IPSAS) 3 tentang “Net Surplus or Deficit for Period, Fundamental Errors, and Changes in Accounting Policies†(Surplus atau Defisit Bersih untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi). Ada dua hal yang dibahas terkait dengan positioning defisit.
Intinya mirip dengan praktik di Indonesia. Perbedaannya, IPSAS mengatakan defisit mau dilihat dari mana, apakah mau dilihat dari cash flow atau dilihat dari laporan operasional (income statement). Jika dilihat dari cash flow, maka defisit betul-betul dilihat dari jumlah kekurangan uang.
Sementara jika dilihat dari income statement yang berbasis akrual, bukan berbasis kas, bisa jadi antara jumlah beban yang dibayarkan dengan uang yang dikeluarkan berbeda. Di dalam konteks ini, IPSAS tidak mendefinisikan secara spesifik. Kita sendiri yang memitigasi. Bahwa, defisit untuk periode tertentu adalah kaitan dengan menjaga akuntabilitas dan positioning dari laporan keuangan.
Meningkatkan value
Perhitungan defisit tentu memiliki tujuan. Bagi Pemerintah Indonesia, ini menjadi suatu burden atau batasan. Pemerintah tidak boleh melewati batasan tersebut. Jika PDB Indonesia sebesar Rp14 ribu triliun, maka batasan defisit 3 persen seperti yang diatur dalam UU adalah sekitar Rp420 triliun. Maka, selisih antara pendapatan dan belanja tidak boleh lebih dari Rp420 triliun.
Perhitungan defisit juga memiliki manfaat dalam bidang perencanaan. Contoh sederhananya, jika kita ingin membangun namun tidak punya uang, kita bisa merencanakan mencari sumber pendanaan untuk menutupi kekurangan uang.
Apakah dengan menjual barang, melakukan pinjaman, kerja sama dengan pihak ketiga, atau yang lainnya. Tapi, yang paling populer tentu adalah melakukan pinjamÂan. Jadi, manfaat defisit dalam perencanaan adalah meningkatkan value yang lebih besar daripada resources yang dimiliki. Caranya dengan menyerap sumber pendanaan lain selain yang kita miliki.
Sebenarnya, bagaimana formulasi perhitungan defisit APBN saat ini? APBN menyatakan bahwa pendapatan dikurangi belanja adalah defisit. Metode pencatatan transaksi akuntansi yang digunakan adalah cash basis atau berbasis kas. Artinya, uang yang masuk akan diakui sebagai pendapatan apabila dana benar-benar sudah masuk ke kas negara. Begitu pula dalam hal belanja. Pengeluaran akan diakui sebagai belanja apabila uang sudah keluar.
Dengan metode cash basis, maka jika ada pembelanjaan terhadap suatu barang dan barang itu sudah dipakai namun belum digunakan, secara definisi itu belum dikategorikan sebagai belanja. Walaupun nilai dari pembelanjaan barang itu sudah digunakan dan dimanfaatkan, pemerintah tidak menganggap itu sebagai belanja karena belum dibayar. Dengan demikian, belanja menjadi unsur yang diskresif, terserah pemerintah. Dampaknya, kontrol terhadap defisit menjadi kurang bermanfaat.
Jika defisit sudah atau akan melewati batasan, pemerintah bisa memutuskan untuk tidak melakukan pembayaran terhadap belanja yang sudah dilakukan. Pembayarannya ditahan terlebih dahulu. Semakin banyak yang ditahan, semakin kecil nilai defisitnya. Ini yang sebenarnya legalize, tapi tidak tepat kemanfaatannya.
Dalam hal pendapatan pun demikian. Seperti diketahui, pemerintah setiap tahun mengembalikan kelebihan pembayaran pajak yang dibayarkan wajib pajak atau restitusi. Kalau kelebihan pajak dikembalikan, maka pendapatan pemerintah akan turun. Oleh karena itu, ada kalanya restitusi ditahan terlebih dahulu dan dibayarkan tahun berikutnya.
Hal itu pula yang membuat restitusi yang belum dibayar dari tahun ke tahun mengÂalami peningkatan. Belanja yang belum dibayar dari tahun ke tahun pun naik. Jadi, angka perhitungan nilai defisit menjadi tidak terlalu valid karena ada intervensi.
Kendati demikian, seberapa besar tidak validnya perhitungan nilai defisit belum bisa kita simpulkan, karena kita belum menguantisasi secara formal. Saya pun tidak mau memunculkan perhitungan yang berbeda. Tetapi kalau analisis semata, bukan nilai formal, bisa ditinjau dari jumlah utang yang tidak dibayar. Kita bisa melihat dana bagi hasil (DBH) yang belum dibayar. Itu seharusnya menambah jumlah defisit. Kemudian juga jumlah subsidi yang tidak dibayar.
Agar perhitungan defisit tidak diintervensi, caranya sederhana. Yaitu dengan mengembalikan unsur-unsur yang sudah dimanfaatkan. Unsur yang sudah dipakai tapi belum dibayar, dimasukkan lagi ke dalam unsur defisit. Hal ini yang sebenarnya juga menjadi permintaan BPK. Memasukkan unsur yang belum dibayar menjadi usulan BPK agar perhitungan defisit benar-benar riil.
Saat ini pun ada belanja yang sebenarnya bukan belanja pemerintah pusat, yaitu transfer ke daerah. Pemerintah sebenarnya hanya menggeser bagian dari pendapatannya menjadi pendapatan pemerintah daerah. Dalam teori yang sebenarnya, yang disebut dengan belanja adalah apabila kita mendapatkan manfaat dari resources yang dikorbankan, bukan orang lain yang justru mendapatÂkan manfaatnya. Biasanya, positioning dalam hal ini agak berbeda. Namun, untuk menyeragamkan, pemerintah tidak membuat tinjauan khusus terhaÂdap transfer. Idealnya, perhitungan defisit adalah pendapatan dikurangi jumlah transfer dan belanja dikurangi jumlah transfer.
Kesinambungan fiskal
Perhitungan defisit sejatinya bisa bermanfaat pula dalam pengambilan kebijakan untuk menjaga kesinambungan fiskal. Untuk memaksimalkan tujuan ini, pemerintah perlu juga meningkatkan mitigasi terhadap defisit daerah. Selama ini, mitigasi itu belum optimal. Penyebabnya, sistem informasi pemerintah daerah berada di bawah Kemendagri. Sementara, yang menjadi bendahara negara adalah Kementerian Keuangan. Belum ada sistem informasi yang secara langsung mewajibkan daerah meminta izin terkait jumlah utang kepada Kemenkeu.
Lalu, apa kaitannya defisit dengan kebutuhÂan utang dalam periode yang sama? Logika sederhananya, jumlah defisit akan sama dengan jumlah penambahan utang. Tetapi ternyata tidak demikian. Penambahan utang bisa lebih besar daripada jumlah defisitnya. Sebab, ada utang jatuh tempo yang harus dibayar.
Jadi, kalau batasan defisit sebesar Rp420 triliun, maka utang yang ditarik bisa lebih dari Rp420 triliun karena kita butuh cash untuk membayar utang jatuh tempo. Oleh karena itu, risiko dari jumlah pinjaman juga sangat penting untuk dimitigasi. Sebab, jika seandainya semakin lama jarak antara pendapatan dan belanja semakin besar, maka secara normatif kemampuan kita untuk membayar secara jangka panjang akan berkurang.
Untuk itulah Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia membuat batasan debt service coverage ratio. IMF menetapkan jumlah maksimal pembayaran utang jatuh tempo dan bunga sekitar 36 persen dari pendapatan suatu negara. Sedangkan pembayaran bunganya saja maksimal 10 persen dari pendapatan. Dan, Indonesia sudah melewati batasan itu.
Banyak yang bertanya, mengapa rasio defisit dan jumlah utang dikaitkan dengan PDB? Seperti kita ketahui, PDB secara sederhana adalah nilai dari barang yang diproduksi di suatu negara. Semakin besar PDB, maka semakin besar pajak yang diperoleh. Jika PDB tumbuh, pendapatan negara pun akan naik karena ada unsur penerimaan perpajakan. Atas alasan itulah jumlah utang dikaitkan dengan PDB. Semakin besar PDB, maka semakin besar kemampuan membayar.
Permasalahannya, rasio perpajakan di Indonesia semakin turun. Itu artinya, relasi antara PDB dan kemampuan membayar semakin rendah. Dengan demikian, meningkatnya nilai PDB belum tentu dapat meningkatkan pendapatan negara. Inilah yang terjadi di Indonesia.
Fiscal sustainability report
Merujuk pada data yang disampaikan Kementerian Keuangan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2021, rasio perpajakan Indonesia pada 2015 sebesar 10,76 persen terhadap PDB. Pada 2016 turun menjadi 10,36 persen dan turun lagi menjadi 9,89 persen pada 2017. Rasio perpajakan sempat naik menjadi 10,24 persen pada 2018. Namun, pada 2019, kembali turun menjadi 9,76 persen.
Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat fiscal sustainability report dalam jangka panjang dengan membuat proyeksi-proyeksi tertentu, lalu memasukkan unsur defisit dan utang. Dengan laporÂan tersebut, kita akan mengetahui bagaimana kemampuan kita membayar dan menyerap utang. Sehingga, ukurannya tidak hanya mengaitkan dengan PDB.
Hal ini yang belum terlihat secara detail dalam pola perhitungan pemerintah. Dalam laporan itu bisa dibuat bagaimana kondisi APBN selama 30 tahun ke depan. Saat ini, kita lebih merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang hanya lima tahunan.
Yang perlu saya tekankan, pandangan terkait defisit ini tidak ada kaitannya dengan kondisi yang kita hadapi sekarang, yaitu ketika pandemi Covid-19. Saya bicara ini dalam konteks normal. Di tengah pandemi Covid-19 yang masih belum terlihat ujungnya, kita memang sedang membutuhkan uang. Semua perusahaan terdampak. Hampir semua negara pun defisitnya meningkat. Biarkan pemerintah bekerja untuk memperbaiki perekonomian. BPK sebagai lembaga pemeriksa negara, akan mengawal akuntabilitas dan transparansi setiap kebijakan yang dibuat pemerintah.
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki peran penting dalam proses penegakan hukum terkait perkara yang menyebabkan kerugian negara. BPK memiliki kewenangan melakukan penghitungan kerugian negara dan memberikan keterangan ahli, baik dalam proses penyidikan maupun di ranah persidangan.
Auditor Utama Investigasi BPK Hery Subowo mengatakan, sebelum BPK menyampaikan hasil penghitungan kerugian negara dan memberikan keterangan ahli di persidangan, harus dilakukan pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan tersebut akan menentukan jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari sebuah tindak pidana korupsi atau fraud.
Dalam proses kerja tersebut, BPK bersinergi dengan aparat penegak hukum (APH) baik dari kejaksaan, kepolisian, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Meski kasus yang ditelusuri adalah kasus yang pernah diperiksa BPK, bisa jadi ada tambahan data lain karena ada kewenangan yang bisa dikerjakan oleh APH,†kata Hery kepada Warta Pemeriksa di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Hery mengatakan, penyidik bisa menyita, menahan, menggeledah, maupun menyadap untuk mengumpulkan alat bukti. Sementara, BPK tidak bisa melakukan itu. Data yang dimiliki penyidik kemudian dievaluasi BPK berdasarkan kriteria relevan, kompeten, dan cukup (RKC). “Meski datanya berasal dari APH, BPK tetap harus mengkritisi data itu,†kata Hery.
Hal itu, kata Hery, adalah upaya untuk mewujudkan collaborative evidence. Sehingga, bukti-bukti yang dikumpulkan kuat dan lengkap sebelum dibawa ke persidangan.
Hery menyampaikan, perbuatan melawan hukum menyangkut unsur kesengajaan. Dia mengatakan, orang melakukan fraud bisa dikarenakan lalai, tidak tahu, atau sengaja. Faktor penyebab fraud itu harus dipastikan terlebih dahulu. Sebab, kelalaian atau ketidaktahuan bukan perbuatan korupsi. Hal itu kemudian dapat diselesaikan dengan tuntutan ganti rugi melalui hukum administrasi keuangan negara.
Sementara, fraud yang disengaja itu memiliki ciri-ciri terencana. Hery mencontohkan, sejak awal pelaku fraud akan membentuk anggaran, kemudian memilih rekanan tertentu untuk pengadaan, mengurangi spesifikasi barang, dan kemudian memperoleh selisih harga atas barang yang dibeli. Selisih harga atau margin itu kemudian dibagikan dan uangnya mengalir ke berbagai pihak.
“Itu contoh rencana jahat yang dikerjakan secara berkaitan satu sama lain dan apabila penyimpangan itu terjadi berurutan itulah lambang kesengajaan. Inilah yang harus diungkap,†kata Hery.
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Mahkamah Konstitusi memutuskan permohonan uji materi terkait pengujian ketentuan mengenai kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) tidak dapat diterima. Dalam putusan yang dibacakan pada 26 Oktober 2020 itu, MK menegaskan kembali bahwa PDTT adalah wewenang konstitusional BPK.
Kepala Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum BPK Blucer Welington Rajagukguk menyampaikan, salah satu pertimbangan MK dalam putusan tersebut yakni pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan. Selain itu, MK dalam amar putusan juga menyampaikan, PDTT masih dibutuhkan untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
PDTT merupakan upaya untuk menjaga agar hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK dapat dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan secara tepat dan benar.
Dalam persidangan, kata Blucer, BPK fokus pada legal standing pemohon. BPK pun menjelaskan kewenangannya adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
“Jadi kalau pemohon sebagai pembayar pajak merasa dirugikan hak konstitusionalnya justru terbalik. Karena BPK ini justru menjaga pengelolaan keuangan negara dilakukan secara sebaik-baiknya dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk menjaga kepercayaan pembayar pajak kepada pemerintah,†ungkap Blucer kepada Warta Pemeriksa, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, secara substansi BPK menjelaskan kaitan PDTT dengan pemeriksaan lainnya. Salah satu hal yang dibahas dalam persidangan adalah kewenangan BPK melakukan PDTT meski entitas tersebut sudah mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) laporan keuangannya.
Blucer menjelaskan, pemberian opini dalam LHP laporan keuangan untuk menilai kewajaran penyajian laporan keuangan tersebut. “Apakah sudah disajikan wajar atau belum berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dalam program pemeriksaan,†kata Blucer.
Blucer mengatakan, PDTT dapat dilakukan berdasarkan rencana kerja dari masing-masing Auditorat Utama Keuangan Negara (AKN) BPK maupun berdasarkan permintaan seperti dari lembaga perwakilan atau aparat penegak hukum. PDTT tidak saja sangat dibutuhkan untuk meningkatkan akuntabilitas dan membantu entitas dalam mengatasi masalah pengelolaan keuangan negara, tetapi juga menjadi instrumen penting dan strategis dalam upaya mendeteksi dan mencegah tindak pidana korupsi.
Terkait dengan potensi penyalahgunaan kekuasaan PDTT, Blucer menjelaskan, pemeriksaan BPK tidak terpisahkan dengan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga negara lainnya seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sehingga, terjadi praktik check and balance dalam setiap pelaksanaan tugas BPK.
“Kewenangan PDTT juga adalah praktik yang dijalankan di lingkup internasional dan kita tidak membuat PDTT secara serta merta,†ungkapnya.
BPK pun memiliki perangkat untuk mencegah adanya penyalahgunaan kewenangan yakni dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Dalam standar tersebut diatur mengenai quality control dan quality assurance dalam pemeriksaan. Selain itu, pemeriksa BPK juga memiliki kode etik dalam pelaksanaan tugasnya.
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan beberapa permasalahan mengenai pengelolaan piutang dalam pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2019. Permasalahan tersebut mencakup ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan maupun permasalahan kelemahan sistem pengendalian internal (SPI).
Terkait dengan pengelolaan piutang perpajakan, khususnya piutang perpajakan yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak (DJP), BPK menemukan permasalahan dalam penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP). Dalam hal ini, DJP belum menerbitkan STP atas kekurangan setor pokok pajak sebesar Rp12,64 triliun dan keterlambatan penyetoran pajak dengan sanksi sebesar Rp2,69 triliun.
Dengan demikian, ada kekurangan penerimaan yang masih harus ditagih kepada wajib pajak (WP) per 31 Desember 2019 sebesar Rp15,33 triliun.
Permasalahan lainnya terkait pengelolaan piutang perpajakan di DJP adalah masih ditemukannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan secara manual tanpa melalui sistem informasi di DJP dan terlambat dimasukkan ke dalam sistem informasi. Permasalahan ini tentunya berdampak pada kelengkapan dan keakuratan penyajian nilai piutang perpajakan karena STP dan SKP merupakan dokumen sumber yang digunakan DJP sebagai dasar pencatatan dan penagihan piutang pajak
Terkait dengan permasalahan piutang perpajakan yang dikelola DJP ini, BPK mendorong DJP membuat sistem informasi yang andal dalam pembaruan data piutang pajak. Dengan begitu, data yang disajikan dalam laporan keuangan benar-benar merupakan angka valid dan reliable.
Selain itu, BPK juga mendorong DJP untuk melakukan sharing data dengan Mahkamah Agung (MA) terkait putusan-putusan maupun upaya hukum wajib pajak. Tujuannya untuk mengetahui apakah upaya hukum wajib pajak telah memiliki putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) atau belum dan apa saja keputusannya.
Sebagai informasi, LKPP 2019 menyajikan nilai piutang sebesar Rp358,47 triliun atau sebesar 3,42 persen dari nilai aset pemerintah pusat sebesar Rp10.467,53 triliun. Nilai piutang ini terdiri dari piutang perpajakan sebesar Rp94,69 triliun dan piutang non-perpajakan sebesar Rp263,77 triliun.
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Pemeriksa BPK melakukan trekking menyusuri hutan selama 30 menit lebih untuk sampai ke bangunan intake sungai Gemuruh yang masuk dalam kawasan hutan lindung yang terletak di Gunung Muncung, Dabo Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Ini dilakukan untuk cek fisik sumber air bersih dan sarana penyediaan air bersih pada PDAM Kabupaten Lingga.
Sungai Gemuruh merupakan sumber air bersih yang digunakan oleh PDAM Kabupaten Lingga. Hanya saja kondisinya cukup memprihatinkan. Dahulu badan sungai Gemuruh terdiri dari batu-batu kali. Akan tetapi sejak tahun 1990-an badan sungai mengalami sedimentasi lumpur dan pasir mulai dari hulu sampai bak intake. Hal ini tentunya mempengaruhi debit dan kualitas air. Apalagi saat musim hujan ketika kekeruhan air meningkat.
Sedimentasi lumpur dan pasir ini disebabkan adanya illegal logging di pesisir sungai bagian hulu yang membuat tanah dan material pasir longsor ke badan sungai dan terbawa arus ke hilir. Ini seharusnya tidak terjadi mengingat kawasan tersebut memiliki fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, dan mengendalikan erosi.
Foto : Yanhari
Unit Kerja : BPK RI Perwakilan Kalimantan