WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Friday, 4 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Author

Super Admin

BeritaSLIDER

Sukuk Negara Berpotensi Double Underlying, Salahi Prinsip Syariah

by Super Admin 31/12/2020
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan agar Menteri Keuangan melakukan evaluasi atas nilai Barang Milik Negara (BMN) sehingga barang milik negara itu nilainya memadai sebagai underlying asset dalam penerbitan sukuk.

Rekomendasi itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Internal Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“.. menginventarisir aset Surat Berharga Syariah Negara (SBSN/sukuk) berupa BMN yang mengalami pemutakhiran data/nilai dan aset BMN yang teridentifikasi double underlying dengan project underlying,” demikian bunyi rekomendasi tersebut.

Rekomendasi ini muncul setelah BPK melakukan evaluasi terhadap nilai penerbitan Surat Berharga Syariah Negara, atau juga disebut sukuk negara, dan membandingkannya dengan nilai barang milik negara yang menjadi underlying asset.

Berbeda dari penerbitan surat berharga biasa seperti Surat Utang Negara (SUN), penerbitan Sukuk harus diikat dengan underlying asset. Ini karena prinsip syariah melarang transaksi money for money, yang dikategorikan riba.

Selain aset fisik berupa barang milik negara, penerbitan sukuk juga bisa didasari oleh proyek yang didanai tersebut, atau diistilahkan project underlying.

Audit BPK menemukan pada 2019 pemerintah menerbitkan sukuk Rp183,62 triliun menggunakan akad ijarah atau asset to be leased.

Namun setelah ditelusuri, penerbitan sukuk tahun 2019 itu masih menggunakan underlying asset barang milik negara yang pada 2012-2015 dengan nilai total Rp30,69 triliun. Padahal, penerbitan sukuk dengan menggunakan underlying asset sudah dimulai sejak 2012.

Masih adanya penggunaan barang milik negara tahun 2012-2015 untuk mendasari penerbitan sukuk tahun 2019 memunculkan potensi double underlying, yaitu suatu aset yang sudah diikat dengan sukuk seri tertentu digunakan lagi untuk penerbitan sukuk seri lain.

BPK menegaskan sukuk negara diterbitkan dengan prinsip syariah. Artinya, tiap penerbitan sukuk diikat aset yang nilainya sebanding. Potensi double underlying mengimplikasikan barang milik negara yang jadi underlying asset sebenarnya bernilai lebih rendah dari nilai sukuk yang diterbitkan.

Namun, konsekuensi yang lebih penting lagi, potensi double underlying ini menyalahi prinsip syariah  Pasalnya, nilai aset dalam penerbitan sukuk berfungsi sebagai transaksi riil, yang merupakan pembeda utama antara surat berharga syariah dan surat berharga biasa.

Apabila nilai aset yang dijadikan dasar tidak sebanding, maka sukuk itu sama saja bersifat instrumen utang, yang berarti tidak lagi bersifat syariah.

“Jumlah underlying asset sukuk minimal harus sama dengan jumlah sukuk yang akan diterbitkan. Jika aset sukuk kurang dari jumlah penerbitan, maka prinsip syariah sukuk belum terpenuhi,” demikian penegasan BPK.

Atas permasalahan tersebut BPK merekomendasikan agar Menteri Keuangan memutakhirkan nilai barang milik negara yang menjadi underlying asset penerbitan sukuk, melakukan pemutakhiran nilai, dan mengidentifikasikan aset yang terindikasi double underlying. (Hms)

31/12/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDER

Ditjen Pajak Diminta Kembalikan Restitusi Rp11,62 Triliun

by Super Admin 30/12/2020
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA  – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan agar Ditjen Pajak tepat waktu dalam mengembalikan restitusi.

Rekomendasi itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Kepatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“Melaksanakan pencairan kelebihan pembayaran pajak secara tepat waktu dan melakukan monitoring atas penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP),” demikian bunyi rekomendasi tersebut.

Restitusi adalah agar kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan ke wajib pajak. Ditjen Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP) atas permohonan itu, yang menjadi dasar penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP).

SPMKP itu kemudian menjadi dasar bagi penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Baru setelah SP2D terbit wajib pajak bisa menerima kelebihan pembayaran pajak mereka di rekening bank.

LHP BPK menemukan sejumlah masalah dalam prosedur itu, Antara lain SKPKPP terlambat terbit, atau SKPKPP sudah terbit tetapi tidak segera ditindaklanjuti dengan penerbitan SPMKP. Atau SPMKP sudah tebit namun penerbitan SP2D tidak dilakukan karena SPMKP dinilai kurang lengkap, dan sebagainya.

Nilai sebesar Rp11,62 triliun yang diungkap di LHP adalah jumlah restitusi yang sudah diterbtikan SKPKPP, tetapi belum diterbitkan SPMKP.

Temuan lain yang juga diungkap di LHP adalah adanya indikasi restitusi sebesar Rp72,86 miliar dan US$57,91 ribu yang belum diterbitkan SKPKPP, serta Rp6,07 miliar yang SKPKPP-nya terlambat diterbitkan.

Praktik itu tidak sesuai UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Nomor 16 Tahun 2009 yang menyatakan demi menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak dan ketertiban administrasi, pengembalian restitusi ditetapkan paling lama 1 bulan sejak permohonan diajukan.

Selain itu, keterlambatan ini juga memiliki konsekuensi bunga. Sebab, UU KUP juga menetapkan dalam tiap keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib pajak mendapat imbalan bunga 2% per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 bulan sampai diterbitkannya SKPKPP.

Pemeriksaan BPK mengungkapkan Ditjen Pajak berpotensi membayar imbalan bunga sebesar Rp185,51 juta atas SKPKPP yang terlambat terbit, serta membayar Rp8,78 miliar dan US$11.892 atas SKPKPP yang belum juga diterbitkan.

Dampak lain dari keterlambatan pengembalian ini adalah tidak akuratnya laporan perpajakan.  Pasalnya, restitusi yang belum dikembalikan itu tercatat sebagai penerimaan pajak. Padahal, ia justru komponen pengurang penerimaan.

Atas permasalahan ini BPK merekomendasikan monitoring yang lebih baik terhadap prosedur restitusi pajak hingga pengembalian itu bisa dilakukan tepat waktu. (Hms)

30/12/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita

Rencana Pelunasan Utang Rp91 Triliun Belum Didukung Anggaran

by Super Admin 30/12/2020
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan merekomendasikan agar pemerintah menyusun anggaran secara lebih terperinci terkait dengan rencana pembayaran utang kepada pihak ketiga.

Rekomendasi itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“agar…  menyusun alokasi anggaran secara lebih rinci untuk rencana pembayaran utang kepada pihak ketiga dan utang jangka panjang dalam negeri lainnya di tahun 2020,”  demikian bunyi rekomendasi tersebut.

Rekomendasi itu muncul terkait dengan rencana pemerintah membayar utang kompensasi kepada BUMN, dalam hal ini PT Perusahaan Listrik Negara (PLN/Persero) dan PT Pertamina (Persero) pada 2020. Audit BPK mendapati rencana tersebut belum didukung alokasi anggaran memadai.

Utang kompensasi adalah utang yang timbul karena pemerintah melakukan penetapan harga jual eceran bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik.

Harga yang ditetapkan pemerintah ini berbeda dari harga yang diusulkan PLN atau Pertamina berdasarkan formula harga, dan menyebabkan terjadinya kekurangpenerimaan pada keduanya.

Selisih antara harga yang ditetapkan pemerintah dan harga formula ini yang kemudian menjadi utang kompensasi. Utang ini dicatat di Neraca Pemerintah Pusat di pos Utang Kepada Pihak Ketiga.

Sebagian utang kompensasi ini sudah dibayar, antara lain dengan mekanisme set off, yaitu mengompensasikan utang pemerintah kepada badan usaha dengan besaran pajak yang harus dibayar badan usaha tersebut ke pemerintah.

Utang kompensasi berbeda dari belanja subsidi, karena subsidi dialokasikan dalam APBN yang sebelumnya sudah disepakati dengan DPR.

Dalam LHP itu terungkap, sampai Desember 2019, total utang kompensasi pemerintah mencapai Rp142,59 triliun, ke 3 badan usaha, yaitu PLN Rp45,43 triliun, Pertamina Rp96,50 triliun, dan PT AKR Corporindo Rp659,46 miliar.

Berdasarkan surat Menteri Keuangan, pemerintah berencana membayar sebagian utang kompensasi itu minimal Rp91 triliun. Perinciannya Rp45,43 triliun kepada PLN, Rp45 triliun kepada Pertamina, dan Rp659,46 miliar kepada AKR Corporindo, hingga total Rp91,08 triliun.

Namun, audit BPK menemukan jumlah yang sudah dituangkan menjadi Daftar Isian Pelaksana Anggaran hanya Rp15 triliun, sedangkan sisanya Rp76,08 triliun masih dalam proses penganggaran.

Praktik ini tidak sesuai dengan Pasal 3 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyatakan semua hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran bersangkutan harus dimasukkan ke dalam APBN.

Praktik ini juga menyebabkan utang kompensasi kepada badan usaha berpotensi tidak dapat dibayar sepenuhnya pada 2020 dan akan menjadi utang pada periode berikutnya.

Di luar masalah itu, BPK juga menemukan sebagian utang kompensasi yang sudah diselesaikan dengan mekanisme set off masih belum berstatus clear dan berpotensi menimbulkan dispute.

Pasalnya, sebagaimana terungkap dalam LHP, badan usaha yang melakukan set off utang kompensasi juga mengajukan keberatan pajak di Pengadilan Pajak.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan agar pemerintah menyusun mekanisme penganggaran berbasis kinerja atas kebijakan kompensasi BBM dan tarif listrik sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara.

Kemudian juga merekomendasikan penetapan kebijakan terhadap syarat dan status transaksi yang dapat dilakukan set off hingga tidak berpotensi dispute di masa mendatang.

Berikutnya merekomendasikan penyusunan anggaran secara lebih terperinci untuk rencana pembayaran Utang Kepada Pihak Ketiga dan Utang Jangka Panjang Dalam Negeri Lainnya pada 2020. (Hms)

30/12/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDER

Kerugian Investasi Asabri Rp7,52 trilliun Tidak Dapat Dibebankan ke Dana Pensiun

by Super Admin 28/12/2020
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA –  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menolak penghitungan akuntansi yang membebankan kerugian investasi PT Asabri (Persero) pada akumulasi iuran pensiun.

Penegasan itu termuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“Pembebanan kerugian investasi akumulasi iuran pensiun yang dikelola PT Asabri pada dana yang dibatasi penggunaannya dan utang jangka panjang dalam negeri lainnya per 31 Desember 2019 tidak sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan dan ketentuan akumulasi iuran pensiun”, demikian tercantum dalam LHP.

Penegasan itu muncul setelah BPK mendapati nilai akumulasi iuran pensiun yang dikelola PT Asabri mengalami penyusutan. Pada 2018, nilai akumulasi iuran pensiun yang dikelola PT Asabri sebesar Rp25,19 triliun.

Namun, pada 2019, nilainya turun menjadi Rp17,66 triliun, alias berkurang Rp7,52 triliun atau menyusut 29,85%. BPK tidak sependapat dengan model penghitungan seperti itu. Akumulasi iuran pensiun adalah dana yang berasal dari iuran peserta pensiun, dalam hal ini anggota TNI-Polri.

Iuran ini merupakan dana pihak ketiga yang dikelola PT Asabri, hingga dicatat dalam pos Aset Lainnya. Pada saat bersamaan, dana ini juga menjadi kewajiban pemerintah untuk membayarnya bila anggota TNI-Polri memasuki usia pensiun, hingga dicatat dalam pos Utang Jangka Panjang Dalam Negeri Lainnya.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan No.174/PM.02/2017, penurunan nilai akumulasi iuran pensiun hanya dapat terjadi bila pemilik dana, yaitu anggota TNI-Polri yang sudah pensiun, mengambil kembali haknya atas dana tersebut.

BPK menemukan penyusutan akumulasi iuran pensiun itu tidak terjadi karena peserta iuran mengambil kembali haknya, tapi karena PT Asabri kurang berhati-hati mengelola investasi hingga timbul kerugian.

Penyebab kerugian PT Asabri sudah diungkap sebelumnya oleh BPK dalam LHP Kinerja atas   Efektivitas Program Pensiun PNS, TNI, dan Polri Tahun 2019 Nomor 130/LHP/XV/12/2019 tertanggal 31 Desember 2019.

LHP tersebut mengungkapkan penempatan saham yang dilakukan tidak dengan prinsip kehati-hatian oleh PT Asabri. Penghitungan yang membebankan nilai kerugian investasi PT Asabri terhadap akumulasi iuran pensiun karenanya tidak dapat diterima.

Hal itu bertentangan dengan PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang standar akuntansi pemerintah, lampiran 1, kerangka konseptual, yang menyatakan “informasi dalam laporan keuangan bebas dari pengertian yang menyesatkan dan kesalahan material, menyajikan setiap fakta secara jujur serta dapat diverifikasi.”

BPK juga berpendapat penurunan nilai investasi PT Asabri (Persero) tidak dapat mengurangi kewajiban pemerintah terhadap hak anggota TNI dan Polri, karena mereka belum memproleh hak atas iuran yang ditempatkannya.

Atas permasalahan ini, BPK antara lain merekomendasikan Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah agar bersama Menteri BUMN selaku pemegang saham untuk, meminta PT Asabri memperbaiki penyajian investasi pada laporan keuangan 2018 dan 2019.

Selain itu, BPK merekomendasikan kedua menteri untuk mengukur kewajiban pemerintah sebagai pengendali PT Asabri yang timbul sebagai pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2014.

BPK juga merekomendasikan agar ditetapkan kebijakan pertanggungjawaban atas penurunan nilai investasi dari akumulasi iuran pensiun dan dampaknya atas kewajiban pemerintah kepada anggota TNI-Polri dengan memperhatikan PP Nomor 102 Tahun 2015 dan PP Nomor 71 Tahun 2010. (Hms)

28/12/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita

Perbaiki Program Pensiun

by Super Admin 14/10/2020
written by Super Admin

JAKARTA, WARTA PEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Mei lalu telah menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2019. Salah satu hasil pemeriksaan yang signifikan yakni pemeriksaan kinerja atas efektivitas program pensiun PNS, TNI, dan Polri untuk menjamin perlindungan kesinambungan penghasilan hari tua tahun 2018 hingga semester I tahun 2019.

Pemeriksaan itu dilaksanakan pada Kementerian Keuangan (Kemenkeu), KemenPANRB, Badan Kepegawaian Negara (BKN), PT Taspen (Persero), dan PT Asabri (Persero). Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan, program pensiun PNS, TNI, dan Polri untuk menjamin perlindungan kesinambungan penghasilan hari tua tidak efektif. Hal itu disebabkan tata kelola penyelenggaraan jaminan pensiun PNS, TNI, dan Polri belum diatur secara lengkap dan jelas serta belum disesuaikan dengan perkembangan per­aturan perundangan yang berlaku.

Pemerintah belum menetapkan peraturan pelaksanaan terkait jaminan pensiun PNS sesuai amanat UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN yaitu paling lambat 2 tahun sejak UU diundangkan.

Sementara itu, dalam pelaksanaan pengelolaan pensiun, masih terdapat beberapa permasalahan, di antaranya belum ada peraturan yang jelas mengenai pengelola program pensiun, belum ada penunjukan dewan pengawas yang bertanggung jawab secara langsung terhadap pengelolaan program pensiun, dan belum ada penetapan besaran iuran pemerintah selaku pemberi kerja pensiun sejak tahun 1974.

Akibatnya, pertanggungjawaban pelaksanaan program pensiun PNS, TNI, dan Polri oleh Pemerintah untuk menjamin perlindungan kesinambung­an penghasilan hari tua belum transparan dan akuntabel, serta belum tercapainya tujuan reformasi program pensiun PNS, TNI, dan Polri sebagaimana diamanatkan dalam UU ASN dan sesuai dengan jaminan sosial nasional.

Pemerintah juga belum menyusun peraturan pelaksanaan terkait pengalihan program Pensiun PNS, TNI, dan Polri kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan sebagaimana amanat UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. UU tentang BPJS tersebut mengamanatkan penyelesaian pengalihan bagian program Pensiun PNS, TNI, dan Polri yang sesuai UU Nomor 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029.

Hal itu menyebabkan pelaksanaan program pensiun saat ini belum dapat menjamin kesejahteraan pensiunan PNS, TNI, dan Polri sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan UU Nomor 40 tentang SJSN.

Rekomendasi BPK

Terkait tata kelola penyelenggaraan jaminan pensiun PNS, TNI, dan Polri tersebut, BPK merekomendasikan Menteri Keuangan agar berkoordinasi dengan Menteri PANRB yang berwenang menetapkan kebijakan tentang sistem pensiun PNS serta instansi terkait lainnya.

BPK juga merekomendasikan kepada Menteri PANRB agar menyusun rencana penyelesaian peraturan pelaksanaan mengenai pengelolaan program jaminan pensiun, serta ketentuan gaji, tunjangan, dan fasilitas sesuai amanat UU Nomor 2014 tentang ASN. Selain itu, Menteri PANRB perlu menyusun rencana penyelesaian peraturan pelaksanaan terkait pengalihan program pensiun PNS, TNI, dan Polri yang sesuai kepada BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana amanat UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

Rekomendasi lainnya, Menteri Keuangan agar melakukan monitoring dan evaluasi secara periodik atas tindak lanjut pengendalian risiko dan perbaikan kinerja investasi saham yang dilakukan oleh PT Asabri dan tindak lanjut penjaminan investasi penyertaan langsung kepada PT WTR yang lebih aman dan konservatif oleh PT Taspen. Menteri Keuangan perlu pula menetapkan ketentuan sanksi atas adanya penurunan dana AIP dan/atau capaian hasil investasi AIP yang tidak mencapai target oleh badan penyelenggara.

Kemudian, Menteri Keuangan direkomendasikan agar meminta direktur PT Asabri untuk menetapkan pengendalian risiko investasi saham saat pembelian dan apabila saham mengalami penurunan nilai, serta membuat action plan dan tindak lanjut untuk memperbaiki kinerja investasi saham pada PT Asabri yang tidak memenuhi prinsip kehati-hatian dan sudah mengalami penurunan nilai.

14/10/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan Urgensi Kolaborasi Nasional
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Majalah Warta BPK Edisi Maret 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Februari 2025

    04/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi Januari 2025

    04/07/2025
  • Warta BPK: Nama Baru, Semangat yang Sama

    02/07/2025
  • Wakil Ketua BPK Soroti Risiko Fraud Digital, Tekankan...

    01/07/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id