JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Pada semester II tahun 2020, BPK telah menyelesaikan 15 hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas pengelolaan belanja pemerintah pusat pada 14 K/L. PDTT salah satunya dilakukan pada Kementerian Pertanian mengenai Belanja Optimasi Lahan Rawa serta Sarana Produksi Tahun 2019 dan Belanja Penanganan Pandemi Covid-19 Tahun 2020. Hasil pemeriksaan juga telah dimuat dalam IHPS II 2020.
pemeriksaan BPK
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan kinerja atas efektivitas penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) atau e-government tahun 2019-semester I 2020 pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan instansi terkait lainnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan, upaya yang dilakukan oleh Kemendagri masih kurang efektif dalam penerapan SPBE tahun 2019-semester I 2020.
Hal tersebut ditunjukkan dengan masih adanya sejumlah permasalahan yang diungkapkan BPK melalui Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2020. Salah satu permasalahan yang ditemukan BPK adalah perencanaan dan pembangunan perangkat lunak Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD) belum sesuai dengan standar pengelolaan manajemen proyek pengembangan sistem informasi yang baik. Hal itu karena tidak didasarkan hasil evaluasi dan analisa kebutuhan serta tidak mengikuti tahapan yang sesuai standar.
“Selain itu, portal layanan SIPD belum menyediakan fitur yang lengkap sesuai ketentuan dan kebutuhan pemda, belum memiliki application control yang memadai, serta tidak memiliki kemampuan integrasi atau interoperabilitas dengan sistem yang dimiliki pemda,” ungkap BPK.
Hal tersebut kemudian berakibat pada tidak terukurnya ketepatan waktu penyelesaian dan tingkat keberhasilan pembangunan, pengembangan, dan implementasi SIPD baik per subsistem maupun perangkat lunak secara keseluruhan.
Perangkat lunak SIPD juga belum sepenuhnya sesuai kebutuhan proses bisnis, belum tervalidasi keandalannya, tidak dapat segera dioperasikan dengan efektif, dan berpotensi tidak sesuai dengan konsep keterpaduan SPBE secara nasional. Selain itu, terdapat risiko terjadinya kegagalan perangkat lunak SIPD dalam mengintegrasikan data dan informasi pengelolaan keuangan daerah.
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Pemeriksaan Kinerja atas efektivitas penyediaan rumah susun layak huni dan berkelanjutan tahun 2018-semester I 2020 dilakukan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan instansi terkait lainnya. Hasil pemeriksaan menyimpulkan permasalahan signifikan yang ditemukan BPK berdampak terhadap keberhasilan usaha program penyediaan rumah susun layak huni dan berkelanjutan. Salah satu temuan BPK adalah kebijakan/regulasi pemerintahan belum mendukung penyediaan rusun. Hasil pemeriksaan ini telah dimuat dalam IHPS II 2020.
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan kinerja atas efektivitas penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) atau e-government tahun 2019 semester I 2020 pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan instansi terkait lainnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan, upaya yang dilakukan oleh Kemendagri masih kurang efektif dalam penerapan SPBE tahun 2019-semester I 2020.
Hal tersebut ditunjukkan dengan masih adanya sejumlah permasalahan yang diungkapkan BPK melalui Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2020. Terkait permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada menteri dalam negeri (mendagri) agar menginstruksikan kepada sekretaris jenderal Kemendagri untuk melakukan koordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) selaku ketua Tim Koordinasi SPBE Nasional dalam menyusun dan menetapkan regulasi penerapan SPBE pada Kemendagri dan pemda.
BPK juga meminta mendagri untuk melakukan penyusunan dan penetapan rancangan grand design TIK atau arsitektur SPBE, peta rencana SPBE, dan proses bisnis SPBE Kemendagri serta pemda agar menjadi salah satu program dan kegiatan prioritas dalam renstra maupun anggaran tahunan Kemendagri.
BPK pun menginstruksikan kepada dirjen Bina Keuangan Daerah, dirjen Bina Pembangunan Daerah, dan kepala Pusdatin untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses perencanaan, pembangunan, pengembangan, implementasi, integrasi, sosialisasi, bimbingan teknis, dan pendampingan dalam penerapan SIPD.
BPK juga mendorong Kemendagri agar menerapkan kaidah yang baik atau best practices yang berlaku umum dalam tahap perencanaan, pembangunan dan pengembangan, piloting serta implementasi rekayasa perangkat lunak SIPD.
Salah satu permasalahan yang ditemukan BPK adalah perencanaan dan pembangunan perangkat lunak Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD)belum sesuai dengan standar pengelolaan manajemen proyek pengembangan sistem informasi yang baik. Hal itu karena tidak didasarkan hasil evaluasi dan analisis kebutuhan serta tidak mengikuti tahapan yang sesuai standar.
“Selain itu, portal layanan SIPD belum menyediakan fitur yang lengkap sesuai ketentuan dan kebutuhan pemda, belum memiliki application control yang memadai, serta tidak memiliki kemampuan integrasi atau interoperabilitas dengan sistem yang dimiliki pemda,” ungkap BPK.
Hal tersebut kemudian berakibat pada tidak terukurnya ketepatan waktu penyelesaian dan tingkat keberhasilan pembangunan, pengembangan, dan implementasi SIPD baik per subsistem maupun perangkat lunak secara keseluruhan.
Perangkat lunak SIPD juga belum sepenuhnya sesuai kebutuhan proses bisnis, belum tervalidasi keandalannya, tidak dapat segera dioperasikan dengan efektif, dan berpotensi tidak sesuai dengan konsep keterpaduan SPBE secara nasional. Selain itu, terdapat risiko terjadinya kegagalan perangkat lunak SIPD dalam mengintegrasikan data dan informasi pengelolaan keuangan daerah.
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – BPK pada semester II 2020 melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas belanja modal TA 2019 dan 2020 (sd triwulan III) pada Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR di Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Beberapa permasalahan signifikan yang ditemukan BPK adalah perhitungan analisis harga satuan (AHS) tidak sesuai kondisi riil, kuantitas dan kualitas hasil pekerjaan tidak sesuai kontrak, dan terdapat kekurangan volume pekerjaan.
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan kinerja atas efektivitas penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) atau e-government tahun 2019-semester I 2020 pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan instansi terkait lainnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan, upaya yang dilakukan oleh Kemendagri masih kurang efektif dalam penerapan SPBE tahun 2019-semester I 2020.
Hal tersebut ditunjukkan dengan masih adanya sejumlah permasalahan yang diungkapkan BPK melalui Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2020. Hasil pemeriksaan kinerja atas efektivitas penerapan SPBE mengungkapkan 15 temuan yang memuat 17 permasalahan ketidakefektifan.
Dalam pemeriksaan tersebut, BPK menilai, penguatan regulasi/kebijakan/standar/prosedur yang mendukung percepatan penerapan SPBE pada Kemendagri belum optimal. Hal ini ditunjukan antara lain pada kebijakan penerapan SPBE Kemendagri yang belum seluruhnya ditetapkan.
“Penerapan Sistem Informasi Online Layanan Administrasi (SIOLA) belum sepenuhnya didukung dengan regulasi dan regulasi yang mengatur tentang pembangunan daerah, keuangan daerah, dan pemerintahan daerah lainnya belum sepenuhnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait lainnya,” ungkap BPK dalam IHPS II 2020.
Akibatnya, penerapan SPBE di lingkungan Kemendagri masih bersifat parsial dan tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Penerapan layanan administrasi dan konsultasi pada SIOLA belum optimal dan menimbulkan multitafsir dalam penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 70 Tahun 2019, Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, dan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 050-3708 Tahun 2020.
Kemendagri juga belum menetapkan rancangan arsitektur, peta rencana, dan proses bisnis SPBE yang menjadi acuan dalam pengembangan dan percepatan penerapan SPBE. Akibatnya, penyelenggaraan SPBE pada Kemendagri belum terintregrasi dan berisiko terjadinya duplikasi pembangunan aplikasi dan layanan SPBE. BPK juga menemukan, rancangan arsitektur SPBE Kemendagri atau grand design teknologi informasi dan komunikasi (TIK) Kemendagri dan rancangan peta rencana (road map) SPBE Kemendagri belum selaras dengan Perpres Nomor 95 Tahun 2018 tentang SPBE.
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melaksanakan pemeriksaan kinerja pada Pemprov DKI tentang program penyediaan perumahan rakyat. Pemeriksaan tersebut yaitu Pemeriksaan Kinerja atas Penyediaan Unit Hunian yang Terjangkau dan Berkelanjutan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) Tahun Anggaran 2018-2020.
Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara/Anggota V BPK Bahrullah Akbar menyampaikan, pemeriksaan kinerja tersebut dilakukan berbarengan dengan pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Hasil pemeriksaan kinerja yang dilakukan BPK menunjukkan, upaya Pemprov DKI Jakarta dalam menyediakan unit hunian untuk MBR masih perlu ditingkatkan dengan memperhatikan permasalahan signifikan.
Beberapa permasalahan tersebut, antara lain, ditemukan pada hunian yang sudah dibangun, yaitu kondisi hunian tidak layak dan tipe hunian yang tersedia tidak sesuai kebutuhan MBR. Kemudian, keterbatasan akses pemilikan Rumah Susun Milik/Sewa (RSM/S) yang belum dijembatani.
Adapun mengenai LKPD Provinsi DKI Jakarta tahun anggaran 2020, BPK memberikan oini wajar tanpa pengecualian (WTP). Namun demikian, Bahrullah menekankan BPK masih menemukan beberapa permasalahan yang secara materiil tidak mempengaruhi kewajaran atas penyajian LKPD.
“Tanpa mengurangi keberhasilan yang telah dicapai oleh Pemprov DKI Jakarta, BPK masih menemukan beberapa permasalahan, yang secara materiil tidak mempengaruhi kewajaran atas penyajian LKPD, tetapi tetap memerlukan perhatian untuk perbaikan ke depannya,” ungkap Anggota V BPK saat penyerahan LHP LKPD Provinsi DKI Jakarta TA 2020, beberapa waktu lalu.
LHP LKPD tersebut diserahkan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam Rapat Paripurna di Kantor DPRD DKI Jakarta.
Bahrullah berharap informasi yang disampaikan dalam LHP dapat dimanfaatkan dan digunakan oleh Pimpinan dan Anggota DPRD dalam memberikan dorongan bagi Pemprov DKI untuk terus memperbaiki pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Selain itu, DPRD juga diminta untuk memantau penyelesaian tindak lanjut atas rekomendasi hasil pemeriksaan yang terdapat dalam LHP ini sesuai dengan kewenangannya.
Penyerahan LHP LKPD ini turut dihadiri secara fisik terbatas, di antaranya oleh Wakil Gubernur Pemprov DKI Jakarta Ahmad Riza Patria beserta jajaranya di lingkungan Pemprov DKI, Auditor Utama Keuangan Negara (Tortama) V BPK Akhsanul Khaq dan Kepala Perwakilan BPK Provinsi DKI Jakarta Pemut Aryo Wibowo beserta pejabat struktural dan fungsional di lingkungan BPK, dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi DKI Jakarta.
JAKARTA, WARTA PEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan permasalahan signifikan dalam pemeriksaan kinerja Pemerintah Provinsi Maluku Utara terkait upaya mencapai target kemantapan jalan tahun 2020. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Pemerintah Provinsi Maluku Utara belum sepenuhnya merancang perencanaan program tersebut dan belum optimal dalam menggunakan sarana dan prasarana yang dimiliki.
Hal tersebut disampaikan Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara/Anggota V BPK Bahrullah Akbar saat menyerahkan LHP Kinerja atas efektivitas upaya Pemerintah Daerah dalam Mencapai Target Kemantapan Jalan Tahun 2020. LHP kinerja tersebut diserahkan berbarengan dengan LHP Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Maluku Utara Tahun Anggaran 2020 dalam Rapat Paripurna DPRD di Kantor DPRD Provinsi Maluku Utara, Senin (7/6).
Atas permasalahan signifikan yang ditemukan dalam pemeriksaan kinerja, BPK merekomendasikan Pemprov Maluku Utara untuk melakukan penyusunan rencana umum pemeliharaan jalan sesuai dengan ketentuan. Rekomendasi lainnya adalah menyusun dan mengusulkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam rangka mencapai target indikator kinerja proporsi panjang jalan provinsi melalui dokumen rencana kebutuhan barang milik daerah yang digunakan dalam penyusunan Rencana Kerja Anggaran (RKA).
Bahrullah menekankan, pemeriksaan kinerja ini dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa perbaikan pengelolaan anggaran penguatan infrastuktur diperlukan untuk mendukung pengembangan ekonomi dan pelayanan dasar. “Hal tersebut juga merupakan salah satu tujuan pemeriksaan strategis yang tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) BPK dalam mendorong reformasi keuangan negara,” kata Bahrullah.
LHP diserahkan secara langsung oleh Anggota V kepada Ketua DPRD Provinsi Maluku Utara Kuntu Daud dan Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba. Kegiatan penyerahan LHP turut dihadiri Wakil Ketua dan Anggota DPRD, Sekretaris Daerah, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi Maluku Utara, serta instansi vertikal dan pelaksana di lingkungan BPK Perwakilan Provinsi Maluku Utara.
Bahrullah dalam kesempatan itu tak lupa mengingatkan kepada seluruh jajaran Pemprov Maluku Utara agar segera menindaklanjuti rekomendasi yang telah diberikan oleh BPK. Ia menekankan, pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK selambat-lambatnya 60 hari setelah LHP diterima.
Sementara terkait LKPD Provinsi Maluku Utara TA 2020, BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Meski LKPD Maluku Utara meraih opini WTP, Anggota V mengingatkan ada beberapa permasalahan signifikan yang menjadi perhatian dan harus segera ditindaklanjuti.
Permasalahan itu di antaranya terdapat potensi kekurangan penerimaan pajak air permukaan. “Penerimaan pajak air permukaan menjadi salah satu permasalahan dalam LHP BPK pada Provinsi Maluku Utara, BPK merekomendasikan agar Pemerintah Provinsi Maluku Utara memerintahkan Kepala Bidang Pengelolaan Keuangan, Pendapatan, dan Aset Daerah (BPKPAD) untuk lebih optimal dalam melakukan pengawasan dan pengendalian atas potensi penerimaan pajak air,” ungkap Anggota V BPK.
Permasalahan lainnya yaitu perjanjian kerja sama pemanfaatan fasilitas pelabuhan dan pengelolaan penerimaan konstribusi laba operasional pada Dinas Kelautan dan Perikanan yang tidak sesuai ketentuan. Atas permasalahan tersebut, Bahrullah menerangkan, BPK merekomendasikan agar Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan untuk meninjau kembali perjanjian kerja sama sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kinerja atas Efektivitas Komitmen dan Konvergensi Program dalam Percepatan Pencegahan dan Penurunan Stunting Tahun Anggaran 2019 dan 2020 pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar). LHP tersebut diserahkan bersamaan dengan penyerahan LHP Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Jabar tahun anggaran 2020 pada akhir Mei lalu.
Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono yang menyerahkan LHP tersebut menyampaikan, BPK dalam pemeriksaan kinerja menemukan masalah signifikan yang dapat mempengaruhi efektivitas upaya Pemprov Jabar dalam melaksanakan Komitmen dan Kovergensi Program dalam Percepatan Pencegahan dan Penurunan Stunting Tahun Anggaran 2019 dan 2020. Salah satu masalah tersebut, yaitu program percepatan pencegahan dan penurunan stunting belum sepenuhnya terintegrasi dalam dokumen perencanaan Pemprov Jabar.
Kemudian, Pemprov Jabar belum menyusun panduan teknis strategi pelibatan non-pemerintah dalam percepatan pencegahan dan penurunan stunting. Ketiga, Pemprov Jabar belum memberikan bantuan tenaga teknis untuk memperkuat kapasitas kabupaten/kota dalam melaksanakan Delapan Aksi Konvergensi.
“Pemeriksaan kinerja ini dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa prevalensi balita stunting di Jawa Barat pada tahun 2018 dan 2019 masing-masing mencapai 31,1 persen dan 26,2 persen, masih di atas standar WHO yaitu kurang dari 20 persen,” kata Wakil Ketua BPK.
Salah satu prioritas pembangunan daerah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018-2023 Provinsi Jawa Barat adalah Desentralisasi Layanan Kesehatan. Hal tersebut diterjemahkan melalui Program “Jabar Juara” yang disebut dengan Program Ibu dan Anak Juara.
Melalui Program Ibu dan Anak Juara, diharapkan permasalahan gizi buruk dapat diatasi sehingga pencapaian Jabar Zero Stunting dapat diwujudkan sesuai target prevalensi stunting, yaitu 19 persen pada 2023.
Permasalahan Signifikan di LK Pemprov Jabar Ini Harus Segera Ditindaklanjuti
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah permasalahan signifikan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar) Tahun Anggaran 2020. Permasalahan itu terkait pemberian tunjangan hingga mengenai kekurangan volume pekerjaan. Namun, demikian, permasalahan itu tak mempengaruhi kewajaran atas penyajian laporan keuangan, sehingga LKPD Pemprov Jabar TA 2020 bisa mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP).
Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono saat menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Jabar Tahun 2020 pada akhir Mei menyebutkan, ada sedikitnya empat permasalahan signifikan yang mesti segera ditindaklanjuti. Pertama, mengenai pemberian tunjangan kompensasi dukungan mobilitas jabatan struktural yang tidak sesuai ketentuan yang berlaku.
Permasalahan kedua, adanya kesalahan penganggaran belanja barang dan belanja modal pada 25 Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Ketiga, pengelolaan belanja hibah tidak sesuai ketentuan, antara lain belum menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana hibahnya.
Sedangkan yang terakhir mengenai kekurangan volume pekerjaan paket infrastruktur pada 4 OPD. “Meskipun demikian dampak permasalahan tersebut tidak material dalam mempengaruhi kewajaran atas penyajian laporan keuangan,” kata Wakil Ketua BPK saat menyerahkan LHP LKPD Provinsi Jabar. LHP diserahkan kepada Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat Ineu Purwadewi dan Gubernur Provinsi Jawa Barat Ridwan Kamil dalam Rapat Paripurna DPRD, di Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat.
Wakil Ketua BPK dalam kesempatan tersebut mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih kepada DPRD dan Gubernur Jabar beserta jajaran atas kerja sama dan komitmennya dalam mendukung penyelenggaraan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Ia menekankan, pemeriksaan terhadap laporan keuangan bertujuan memberikan opini tentang kewajaran penyajian Laporan Keuangan. “Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan,” katanya.
Wakil Ketua BPK juga mengingatkan bahwa berdasarkan Pasal 20 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, bahwa pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi laporan hasil pemeriksaan.
“Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi laporan hasil pemeriksaan. Jawaban atau penjelasan dimaksud disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima,” tegasnya.