WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Tuesday, 22 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Tag:

pemeriksaan BPK

BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Mengawal Potensi Penerimaan Negara dari Kegiatan Hulu Migas

by Admin 1 02/09/2022
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan pemeriksaan terhadap pelaksanaan proyek, rantai suplai pengadaan rig, serta fasilitas floating production unit (FPU), floating production storage and offloading (FPSO), floating storage and offloading (FSO), dan fasilitas pendukung lainnya dari tahun 2018 hingga semester I 2020. Pemeriksaan itu dilakukan di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dan instansi terkait lainnya di Jakarta, Jawa Timur, dan Kepulauan Riau.

Pemeriksaan tersebut bertujuan untuk menilai kepatuhan SKK Migas dan KKKS. Khususnya terhadap kontrak kerja sama (KKS), kontrak/perjanjian, dan peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan proyek-proyek dan rantai suplai pengadaan rig serta fasilitas FPU, FPSO, FSO, dan fasilitas pendukung lainnya.

“BPK merekomendasikan kepada SKK Migas agar menyusun kajian harga wajar yang lebih cermat dalam memberikan persetujuan pembiayaan kepada KKKS dengan melengkapi dokumen analisis yang andal dan dapat dipertanggungjawabkan. “

Dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang disampaikan pada Februari 2022, BPK menjelaskan, SKK Migas dan KKKS bertanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan, serta pelaporan atas proyek-proyek dan rantai suplai pengadaan rig serta fasilitas FPU, FPSO, FSO, dan fasilitas pendukung lainnya. Hal ini agar sesuai dengan Undang-Undang Pajak, Peraturan Menteri ESDM, KKS atau joint of agreement (JoA) serta amendemennya, PTK Nomor 007/PTK/VI/2004, PTK Nomor 007-Revisi-1/PTK/IX/2009, PTK Nomor 007-Revisi-2/PTK/IX/2011, dan PTK Nomor 007-Revisi-3/PTK/IX/2015 tentang Pedoman Pengelolaan Rantai Suplai Kontraktor Kontrak Kerja Sama, serta ketentuan terkait lainnya. Sehingga, bebas dari kesalahan yang material dan kecurangan.

BPK pun menyimpulkan bahwa keputusan sewa FPSO Karapan Armada Sterling (KAS) III pada KKKS HCML dan FPU Joko Tole pada KEI tidak sepenuhnya menguntungkan negara. Hal ini berkaitan dengan perencanaan dan proses pengadaan proyek dan pengadaan rantai suplai Hucky-CNOOC Madura Limited (HCML) dan Kangean Energy Indonesia (KEI).

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai kini atau present value (PV) biaya sewa FPSO KAS III dan FPU Joko Tole sampai dengan akhir kontrak lebih tinggi masing-masing sebesar 30,62 juta dolar AS dan 124,02 juta dolar AS jika dibandingkan dengan masing-masing nilai kini (PV) biaya dengan skema pembiayaan melalui beli/bangun sendiri. Selain itu, pilihan sewa menghilangkan kesempatan bagi negara untuk mempunyai aset kapal yang dapat digunakan kembali oleh KKKS HCML dan KKKS KEI ataupun KKKS lain.

Risiko UU Cipta Kerja pada Pengelolaan Keuangan Negara-Kajian Klaster Imigrasi

Kondisi ini tidak sesuai dengan Pasal 3 huruf b Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi bertujuan meningkatkan pendapatan negara. Yaitu untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia.

Terkait permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada SKK Migas agar menyusun kajian harga wajar yang lebih cermat dalam memberikan persetujuan pembiayaan kepada KKKS dengan melengkapi dokumen analisis yang andal dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan begitu, dapat mendukung proses pengambilan keputusan.

Kemudian, BPK merekomendasikan kepada General Manager HCML dan Presiden KEI agar melakukan negosiasi kembali perjanjian pengadaan FPSO/FPU dengan pihak rekanan. Tujuannya, untuk menjamin terciptanya harga sewa yang wajar dan mempertimbangkan kepentingan negara (mempertimbangkan hasil perhitungan/kajian dari SKK Migas).

Akademisi, Ayo Riset Keuangan Negara!

Diketahui juga bahwa SKK Migas dan KKKS masih belum sepenuhnya menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK hingga semester I 2020. Hal ini berdasarkan pemantauan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan (TLRHP) Pelaksanaan Proyek-Proyek dan Rantai Suplai Tahun 2017 dan 2018 di SKK Migas dan KKKS.

BPK pun menyampaikan, dari 118 rekomendasi senilai Rp 76,70 miliar dan 122,94 juta dolar AS yang sudah ditindaklanjuti, sudah sesuai dengan rekomendasi sebanyak 41, yakni senilai Rp 264,42 juta dan 95,54 juta dolar AS. Kemudian, tindak lanjut yang belum sesuai rekomendasi sebanyak 77 rekomendasi senilai Rp76,44 miliar dan 27,40 juta dolar AS.

02/09/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menyampaikan pidato kenegaraan yang dibacakan di Sidang Tahunan MPR serta Sidang Bersama DPR dan DPD dalam rangka HUT ke-77 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Selasa (16/8/2022).
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Sinergi Pemerintah dan BPK Perkuat Indonesia Hadapi Krisis

by Admin 1 01/09/2022
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengapresiasi sinergi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pemerintah dalam menghadapi krisis. Dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2022 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (16/8), Presiden menyampaikan, tantangan yang dihadapi Indonesia sangat berat.

Ketika krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 belum sepenuhnya tuntas, muncul tantangan baru berupa perang di Ukraina. Hal itu kemudian menimbulkan efek krisis pangan, energi, dan keuangan yang menjalar ke seluruh dunia. Meski begitu, berkat kerja keras bersama seluruh anak bangsa, Indonesia termasuk negara yang mampu menghadapi krisis global ini. 

“Di satu sisi, kita memang harus tetap waspada dan harus tetap hati-hati. Namun, di sisi lain, agenda-agenda besar bangsa harus kita lanjutkan untuk meraih Indonesia Maju.”

“BPK telah menjaga sinergi antara kualitas tata kelola keuangan negara dan fleksibilitas dalam menghadapi krisis. Ini sangat membantu pemerintah,” ujar Jokowi.

Dalam pidatonya, Jokowi juga mengapresiasi penyelenggaraan Supreme Audit Institution (SAI)-20. Hal ini diharapkan semakin memperkokoh kepemimpinan Indonesia di forum G20.

Kepala negara menyampaikan, Indonesia termasuk negara yang mampu menghadapi krisis global. Salah satunya dengan keberhasilan mengendalikan pandemi Covid-19. Indonesia termasuk lima besar negara dengan vaksinasi terbanyak di dunia dengan 432 juta dosis vaksin yang telah disuntikkan.

Jokowi juga menyoroti inflasi yang berhasil dikendalikan di kisaran 4,9 persen. Angka ini jauh di bawah rata-rata inflasi ASEAN yang berada di sekitar 7 persen serta jauh di bawah inflasi negara-negara maju yang berada di sekitar 9 persen.

Apa Kemajuan Signifikan BPK dalam Dua Tahun Terakhir?

Hingga pertengahan 2022, APBN juga masih surplus Rp106 triliun. Hal itu mendukung pemerintah untuk mampu memberikan subsidi BBM, LPG, dan listrik sebesar Rp502 triliun pada tahun ini agar harga di masyarakat tidak melambung tinggi.

Ekonomi juga berhasil tumbuh positif sebesar 5,44 persen pada kuartal II 2022. Neraca perdagangan juga surplus selama 27 bulan berturut-turut dan pada semester I 2022 dengan surplus sekitar Rp364 triliun. Menurut Jokowi, capaian tersebut patut untuk disyukuri.

Fundamental ekonomi Indonesia yang baik mampu menahan dampak gejolak. “Di satu sisi, kita memang harus tetap waspada dan harus tetap hati-hati. Namun, di sisi lain, agenda-agenda besar bangsa harus kita lanjutkan untuk meraih Indonesia Maju,” ujar Jokowi.

01/09/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Ilustrasi investasi (Sumber: Freepik)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Pemda Belum Dapat Optimalkan Pelayanan Perizinan OSS RBA

by Admin 1 26/08/2022
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) turut mengawal program pemerintah dalam memperbaiki iklim usaha dan peningkatan investasi di daerah. Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan masih ada kendala dalam hal pelayanan perizinan yang dilakukan melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik, yaitu Online Single Submission Risk Based Approach (OSS RBA).

Seperti disampaikan BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2021, pemeriksaan kinerja terkait dengan upaya pemerintah dalam memperbaiki iklim usaha dan peningkatan investasi, dilakukan terhadap dua kementerian/lembaga (K/L). Keduanya, yaitu Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

“Pemeriksaan juga menemukan bahwa Kemendagri belum menetapkan SOP pembinaan terhadap penyelenggaraan pelayanan perizinan dan penanaman modal di daerah.  Permasalahan lain yang ditemukan, pembinaan Ditjen Bina Pembangunan Daerah terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (KUKM) dan penanaman modal (PM) belum optimal dalam mendorong kemudahan berusaha di daerah.”

Pemeriksaan juga dilakukan terhadap 41 pemerintah daerah (pemda). Meliputi satu pemerintah provinsi (pemprov), 21 pemerintah kabupaten (pemkab), dan 19 pemerintah kota (pemkot). Terkait hasil pemeriksaan di pemerintah daerah, BPK menemukan bahwa pemda belum dapat mengoptimalkan pemanfaatan aplikasi dalam pelayanan perizinan.

Hal ini karena sistem OSS RBA belum terintegrasi dengan aplikasi layanan persyaratan dasar perizinan. Mulai dari aplikasi GISTARU (Geographic Information System Tata Ruang), Sistem Informasi Manajemen-Bangunan Gedung (SIMBG), dan aplikasi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Akibatnya, organisasi perangkat daerah (OPD) teknis belum dapat melakukan verifikasi atas pengajuan izin berusaha secara memadai,” demikian disampaikan BPK dalam IHPS II 2021.

Adapun terkait pemeriksaan di Kemendagri, BPK mengungkapkan bahwa kebijakan penyelenggaraan pelayanan perizinan belum seluruhnya dirumuskan dan ditetapkan sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan turunannya, yaitu PP Nomor 5 Tahun 2021 dan PP Nomor 6 Tahun 2021. Hal ini menyebabkan kegiatan percepatan pemberian izin menjadi terhambat terhadap pemda yang belum mendelegasikan kewenangan kepada kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).

Pemeriksaan juga menemukan bahwa Kemendagri belum menetapkan SOP pembinaan terhadap penyelenggaraan pelayanan perizinan dan penanaman modal di daerah.  Permasalahan lain yang ditemukan, pembinaan Ditjen Bina Pembangunan Daerah terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (KUKM) dan penanaman modal (PM) belum optimal dalam mendorong kemudahan berusaha di daerah.

BPKP Usul Implementasi SIPD Bertahap, Mengapa?

Seperti diketahui, perbaikan iklim usaha dan peningkatan investasi menjadi salah satu strategi pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah, lapangan kerja, investasi di sektor riil, serta industrialisasi. Upaya tersebut dilakukan melalui perbaikan peringkat kemudahan berusaha dan penerapan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik, yaitu OSS RBA.

Sejumlah Rekomendasi BPK Terkait Perbaikan Iklim Usaha dan Peningkatan Investasi

Menteri Dalam Negeri agar: 

– Menetapkan SOP pembinaan dan pengawasan terhadap pelayanan perizinan pada DPMPTSP, SOP pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan tugas dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, dan SOP di Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah (SUPD) III serta pembaharuan SOP fasilitasi rancangan produk hukum daerah dan SOP pembinaan Rapat Koordinasi Teknis Perencanaan Pembangunan

Kepala Daerah agar:

– Memerintahkan Kepala OPD terkait untuk berkoordinasi dengan BKPM dan kementerian teknis agar segera mengintegrasikan sistem OSS RBA dengan aplikasi pelayanan perizinan dasar milik kementerian teknis. Sehingga pelayanan perizinan dasar di daerah dapat dilayani sepenuhnya melalui sistem OSS RBA.

– Membentuk dan mengoptimalkan kerja wadah koordinasi penanaman modal daerah yang beranggotakan OPD teknis terkait sehingga tidak terjadi tumpang tindih pelaksanaan kegiatan penanaman modal di daerah.

26/08/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Ilustrasi kemiskinan (Sumber: Freepik)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Ini Hasil Pemeriksaan BPK Terkait Penanggulangan Kemiskinan di Daerah

by Admin 1 19/08/2022
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Program penanggulangan kemiskinan di daerah masih perlu diperbaiki. Baik dari sisi perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam hal monitoring dan evaluasi (monev). Salah satu permasalahan yang ditemukan dalam pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah belum terarahnya program penanggulangan kemiskinan.

BPK pada semester II 2021 melakukan pemeriksaan kinerja terkait dengan upaya pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan. Pemeriksaan dilakukan terhadap dua pemerintah daerah (pemda), yaitu Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Timur dan Pemkab Penajam Paser Utara.

Dari sisi monev, kegiatan dan program penanggulangan kemiskinan di kedua pemkab belum dilakukan secara optimal. Misalnya saja pemkab belum menyusun instrumen monev atas penanggulangan kemiskinan. Kemudian, kegiatan monev atas pelaksanaan program yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan pada tingkat organisasi perangkat daerah tidak dilaksanakan secara memadai.

Pemeriksaan ini dilakukan sebagai salah satu upaya BPK untuk mendorong pemerintah dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB), utamanya tujuan ke-1 yaitu mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk di manapun. Hasil pemeriksaan tersebut juga sudah dicantumkan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2021.

Untuk menanggulangi kemiskinan, Pemkab Kutai Timur diketahui telah menetapkan target tingkat kemiskinan sebesar 8,45 persen pada akhir 2021. Sementara, Pemkab Penajam Paser Utara telah membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) dan membentuk Sistem Layanan Rujukan Terpadu (SLRT) dan Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos).

Hasil pemeriksaan BPK mengungkapkan 16 temuan. Dari sisi perencanaan, fungsi kelembagaan dalam koordinasi penanggulangan kemiskinan di Pemkab Kutai Timur belum optimal. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) belum dibentuk pada tahun 2016 dan 2018-2020, serta fungsi pengendalian dan koordinasi oleh TKPKD belum optimal.

Adapun di Pemkab Penajam Paser Utara, pembentukan TKPKD belum sesuai dengan Permendagri Nomor 53 Tahun 2020 tentang Tata Kerja dan Penyelarasan Kerja serta Pembinaan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten/Kota.

Selain itu, pembentukan lembaga koordinasi, pengendalian dan pelayanan serta regulasi terkait penanggulangan kemiskinan belum optimal. Salah satunya, Perda Nomor 10 Tahun 2018 tentang Penanggulangan Kemiskinan belum sepenuhnya selaras dengan peraturan perundang-undangan.

“Akibat hal tersebut, pengelolaan program penanggulangan kemiskinan di Pemkab Kutai Timur tidak terarah dan terkoordinasi dengan baik. Adapun di Pemkab Penajam Paser Utara, penanggulangan kemiskinan tidak terarah dan tidak terpadu dan Perda Nomor 10 Tahun 2018 tidak bisa dijadikan dasar dalam pelaksanaan penanggulangan kemiskinan,” demikian disampaikan BPK dalam IHPS II 2021.

Perbaikan program penanggulangan kemiskinan juga perlu dibenahi dari sisi pelaksanaan. Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan, program pemberian bantuan kepada masyarakat pada Pemkab Kutai Timur belum diprioritaskan kepada warga miskin. Sedangkan pada Pemkab Penajam Paser Utara pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan belum sepenuhnya tepat sasaran, sesuai kebutuhan, dan bermanfaat.

Permasalahan tersebut menyebabkan tujuan program pemberian bantuan untuk meningkatkan kapasitas ekonomi masyarakat miskin di Pemkab Kutai Timur tidak tercapai. “Sedangkan di Pemkab Penajam Paser Utara, masyarakat miskin tidak mendapatkan manfaat dari program-program penanggulangan kemiskinan.”

Soal Pengelolaan Sampah Daerah, Ini Rekomendasi BPK

Dari sisi monev, kegiatan dan program penanggulangan kemiskinan di kedua pemkab belum dilakukan secara optimal. Misalnya saja pemkab belum menyusun instrumen monev atas penanggulangan kemiskinan. Kemudian, kegiatan monev atas pelaksanaan program yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan pada tingkat organisasi perangkat daerah tidak dilaksanakan secara memadai.

Akibatnya, Pemkab Kutai Timur tidak dapat mengukur pencapaian tujuan dan ketepatan sasaran program pemberian bantuan. Selain itu, tidak dapat mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan kemiskinan untuk ditindaklanjuti dengan solusi perbaikan.

Dampak lainnya, kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan di Pemkab Penajam Paser Utara menjadi tidak terarah, terpadu, dan berkelanjutan. Kemudian adanya potensi target program penanggulangan kemiskinan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam RPJMD tidak tercapai.

Rekomendasi BPK kepada Bupati Kutai Timur dan Bupati Penajam Paser Utara terkait Program Penanggulangan Kemiskinan.

● Bupati Kutai Timur agar menetapkan SK TKPKD sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 tahun 2020 dan menginstruksikan TKPKD melaksanakan fungsi koordinasi perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan.

● Bupati Penajam Paser Utara agar merevisi SK Pembentukan TKPK Kabupaten Penajam Paser Utara sesuai dengan Permendagri Nomor 53 Tahun 2020 dan menginstruksikan Ketua TKPK untuk melakukan sosialisasi SK TKPK, menjalankan tugas dan fungsinya dan mengkaji keselarasan Perda Nomor 10 tahun 2018 dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.

Ini Jumlah Kerugian Negara/Daerah Sepanjang 2005 Sampai 30 Juni 2021

● Bupati Kutai Timur dan Bupati Penajam Paser Utara agar menginstruksikan Kepala OPD terkait menggunakan basis data DTKS sebagai sumber data utama dalam penentuan sasaran penerima bantuan dan/atau pemberdayaan, serta sasaran penerima manfaat.

● Bupati Kutai Timur agar menginstruksikan TKPKD melaksanakan tugas dan fungsi kegiatan monev dan menyampaikannya kepada Bupati.

● Bupati Penajam Paser Utara agar menginstruksikan TKPK untuk menyusun instrumen pelaksanaan monev program penanggulangan kemiskinan, serta melaksanakan dan melaporkannya kepada Bupati dan TKPK provinsi. Selain itu, menginstruksikan kepala OPD untuk menyusun dan menyampaikan laporan monev program penanggulangan kemiskinan yang menggambarkan capaian program dan kegiatan kepada TKPK.

19/08/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Ilustrasi investasi (Sumber: Freepik)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Ketidakselarasan Peraturan Hambat Penerbitan Izin Berusaha OSS

by Admin 1 16/08/2022
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Perbaikan iklim usaha dan peningkatan investasi menjadi salah satu strategi pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah, lapangan kerja, investasi di sektor riil, serta industrialisasi. Upaya tersebut dilakukan melalui perbaikan peringkat kemudahan berusaha dan penerapan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik, yaitu Online Single Submission Risk Based Approach (OSS RBA).

Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ada sejumlah hal yang masih menghambat penerbitan izin berusaha melalui OSS RBA. salah satunya adalah belum selarasnya peraturan perizinan di tingkat pusat dan daerah.

Seperti disampaikan BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2021, pemeriksaan kinerja terkait dengan upaya pemerintah dalam memperbaiki iklim usaha dan peningkatan investasi, dilakukan di dua kementerian/lembaga (K/L), yaitu Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Pemeriksaan juga dilakukan di 41 pemerintah daerah (pemda), yang meliputi satu pemerintah provinsi (pemprov), 21 pemerintah kabupaten (pemkab), dan 19 pemerintah kota (pemkot).

“Kementerian Investasi/BKPM melalui Sekretaris Kementerian/Sekretaris Utama dalam LHP yang disampaikan BPK menyatakan sependapat dengan hasil pemeriksaan BPK bahwa terdapat ketidaksesuaian/disharmonisasi antara PP Nomor 5 Tahun 2021 dengan peraturan pelaksananya.”

Ada beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki iklim usaha dan peningkatan investasi. BKPM, misalnya, sudah menetapkan peraturan pelaksanaan perizinan berusaha dan melakukan sosialisasi peraturan-peraturan tersebut kepada K/L, pemda, dan masyarakat. Selain itu, BKPM mengembangkan sistem OSS RBA dan meluncurkannya secara resmi pada 9 Agustus 2021 sebagai salah satu bentuk reformasi perizinan berusaha di Indonesia.

Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan, peraturan perizinan berusaha di tingkat pusat dan daerah belum sepenuhnya selaras dan lengkap untuk menjamin efektivitas penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko. “Akibatnya perizinan berusaha di seluruh sektor yang memerlukan persyaratan dasar perizinan berusaha belum dapat diterbitkan melalui sistem OSS RBA,” demikian disampaikan BPK dalam IHPS II 2021.

BPK pun menemukan ada ketidakharmonisan antara Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dengan PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kinerja atas Efektivitas Peningkatan Daya Saing dan Penanaman Modal Tahun 2021-2022 yang dilakukan terhadap BKPM dan instansi terkait lainnya. “Ketidakharmonisan tersebut berkaitan dengan persyaratan dasar penerbitan perizinan berusaha,” demikian dikutip dari LHP BPK.

PP Nomor 5 Tahun 2021 Pasal 4 menetapkan, untuk memulai dan melakukan kegiatan usaha, pelaku usaha wajib memenuhi persyaratan dasar perizinan berusaha dan/atau perizinan berusaha berbasis risiko. Persyaratan dasar perizinan berusaha meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR), persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung (PBG), dan sertifikat laik fungsi (SLF).

Salah satu persyaratan dasar penerbitan perizinan berusaha sesuai ketentuan Pasal 5 PP Nomor 5 Tahun 2021 adalah persetujuan lingkungan. Persetujuan lingkungan merupakan keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

Ketentuan mengenai pelaksanaan teknis persetujuan lingkungan ditetapkan dalam PP Nomor 22 tahun 2021. Persetujuan Lingkungan diterbitkan melalui pengujian kelayakan Amdal, pemeriksaan formulir upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL), atau penerbitan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL).

Ini Jumlah Kerugian Negara/Daerah Sepanjang 2005 Sampai 30 Juni 2021

Dalam sistem OSS, pengujian dokumen Amdal dilakukan untuk penerbitan surat keputusan kelayakan lingkungan hidup (SKKLH). Sedangkan persetujuan atas dokumen UKL-UPL ditetapkan dalam persetujuan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup (PKPLH).

“Hasil pemeriksaan terkait pengajuan permohonan persetujuan lingkungan diketahui terdapat ketidakharmonisan persyaratan pengajuan dokumen Amdal dan formulir UKL-UPL dengan perizinan berusaha (PB) untuk menunjang kegiatan usaha (UMKU) pada PP Nomor 5 Tahun 2021.”

Pasal 26 PP Nomor 22 tahun 2021 menetapkan bahwa Amdal terdiri atas formulir kerangka acuan, analisis dampak lingkungan (Andal), dan RKL-RPL. Pengajuan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL harus dilengkapi dengan persetujuan teknis.

Persetujuan teknis terdiri atas pemenuhan baku mutu air limbah, baku mutu emisi, pengelolaan limbah B3, dan/atau analisis mengenai dampak lalu lintas.  Kemudian, pasal 57 PP Nomor 22 Tahun 2021 menetapkan bahwa pengajuan formulir UKL-UPL dilengkapi dengan persetujuan teknis. Persetujuan teknis terdiri atas pemenuhan baku mutu air limbah, baku mutu emisi, pengelolaan limbah B3, dan/atau analisis mengenai dampak lalu lintas.

Hasil pemeriksaan menunjukkan PP Nomor 5 Tahun 2021 di sektor transportasi menetapkan bahwa persetujuan hasil analisis dampak lalu lintas (Andalalin) sebagai salah satu PB UMKU sektor transportasi. “Hal tersebut berdampak pada tidak dapat terpenuhinya dokumen persetujuan teknis dalam pengajuan permohonan SKKLH dan PKPLH.”

Ada sejumlah rekomendasi yang disampaikan BPK kepada Menteri Investasi/Kepala BKPM. Salah satu rekomendasi itu adalah berkoordinasi dengan menteri/pimpinan lembaga terkait untuk menginventarisasi dan menyelaraskan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.

Beberapa regulasi yang perlu diselaraskan adalah PP Nomor 5 Tahun 2021 dengan PP Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.

Kementerian Investasi/BKPM melalui Sekretaris Kementerian/Sekretaris Utama dalam LHP yang disampaikan BPK menyatakan sependapat dengan hasil pemeriksaan BPK bahwa terdapat ketidaksesuaian/disharmonisasi antara PP Nomor 5 Tahun 2021 dengan peraturan pelaksananya.

IHPS I 2021 Ungkap 14.501 Permasalahan Senilai Rp8,37 Triliun

Untuk itu, Kementerian Investasi/BKPM terus berkoordinasi dengan K/L/I terkait dalam rangka harmonisasi PP Nomor 5 Tahun 2021 dengan peraturan K/L/I. Koordinasi dilakukan dalam rangka penyesuaian penanaman dalam sistem OSS dan sebagai masukan untuk perubahan/revisi PP Nomor 5 tahun 2021 yang sedang dilaksanakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

16/08/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Gedung Kementerian Pertanian (Sumber: Kementerian Pertanian)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Wabah Penyakit dari Hewan Perlu Dicegah, Ini Temuan BPK

by Admin 1 12/08/2022
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan terkait kesiapan Kementerian Pertanian dalam mendukung penguatan kapasitas sistem kesehatan nasional. Khususnya untuk mencegah, mendeteksi, serta merespons penyakit zoonosis dan antimicrobial resistance yang berasal dari hewan.

Hal ini dilakukan dengan Pemeriksaan Kinerja atas Kesiapan Dalam Mencegah, Mendeteksi dan Merespons Wabah Penyakit pada Manusia yang Berasal dari Hewan yang Berdampak Nasional atau Global tahun 2020 sampai triwulan III 2021. Pemeriksaan dilakukan di Kementerian Pertanian dan instansi terkait lainnya di Provinsi DKI Jakarta, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.

“BPK menilai, Kementan dapat meningkatkan kesiapan dalam melaksanakan kegiatan mencegah, mendeteksi, serta merespons penyakit zoonosis dan antimicrobial resistance yang berasal dari hewan jika dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.”

Dikutip dari laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang dirilis pada 31 Desember 2021, BPK mencatat upaya dan capaian yang telah dilakukan Kementerian Pertanian dalam melaksanakan kegiatan mencegah, mendeteksi, serta merespons penyakit zoonosis dan antimicrobial resistance (AMR) yang berasal dari hewan. Hal itu antara lain dalam aspek peran Kementan dalam sistem kesehatan nasional.

Terdapat kebijakan dan regulasi ditetapkan oleh Menteri Pertanian terkait penyakit zoonosis dan pengendalian AMR. Kementan juga telah menetapkan kebijakan dan regulasi terkait penetapan indikator dan pencapaian kinerja dalam pengendalian penyakit zoonosis.

Hasil pemeriksaan BPK menunjukan masih ada permasalahan yang dapat menghambat kesiapan dalam mendukung penguatan kapasitas sistem kesehatan nasional untuk mencegah, mendeteksi, serta merespons penyakit zoonosis dan antimicrobial resistance yang berasal dari hewan. Dalam aspek peran Kementan dalam sistem kesehatan nasional, keterlibatan Kementan dalam Sistem Kesehatan Nasional belum diatur secara jelas dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012.

Selain itu, peraturan pemerintah tentang peningkatan kemampuan mencegah, mendeteksi, dan merespons wabah penyakit belum lengkap dan belum dapat dilaksanakan secara optimal. Peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang peternakan dan kesehatan hewan juga belum lengkap didukung dengan peraturan/keputusan Menteri Pertanian.

BPK juga menemukan, Menteri Pertanian belum optimal meningkatkan dan memperkuat pelaksanaan sistem kesehatan hewan nasional melalui percepatan penerapan otoritas veteriner di tingkat nasional, kementerian/lembaga, dan pemerintah daerah. Menteri Pertanian juga belum menetapkan kebijakan dan regulasi terkait indikator/target pencapaian dalam pengendalian AMR.

BPK menilai, Kementan dapat meningkatkan kesiapan dalam melaksanakan kegiatan mencegah, mendeteksi, serta merespons penyakit zoonosis dan antimicrobial resistance yang berasal dari hewan jika dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.

Pencegahan Korupsi di Indonesia, BPK Bisa Apa?

BPK juga merekomendasikan kepada Menteri Pertanian agar berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Khususnya terkait dengan tugas, fungsi, dan wewenang Kementerian Pertanian dalam Sistem Kesehatan Nasional dengan pendekatan one health.

Diperlukan adanya kelembagaan yang terstruktur untuk mengambil keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan dengan melibatkan keprofesionalan dokter hewan dan mengerahkan semua lini kemampuan profesi. Mulai dari mengindentifikasikan masalah, menentukan kebijakan, mengoordinasikan pelaksana kebijakan, sampai mengendalikan teknis operasional di lapangan.

12/08/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Apakah TKDN di BUMN Masih Perlu Ditingkatkan?

by Admin 1 11/08/2022
written by Admin 1

WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) turut mengawal program pemerintah terkait Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). Pemeriksaan terkait P3DN telah dilaksanakan untuk tahun anggaran 2020 dan semester I tahun 2021. Pemeriksaan dilakukan pada semester II 2021 terhadap Kementerian Perindustrian dan instansi terkait lainnya, termasuk perusahaan BUMN.

“Atas permasalahan ketidaktercapaian TKDN dalam pembangunan infrastruktur pembangkit ketenagalistrikan terhadap PT PLN (Persero) tersebut, BPK telah meminta data atas implementasi capaian TKDN pada BUMN kepada Kementerian BUMN.”

Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, realisasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) oleh perusahaan BUMN masih perlu ditingkatkan. Seperti diketahui, BUMN merupakan salah satu instansi yang diminta turut berperan aktif dalam optimalisasi penggunaan produk dalam negeri. Peran aktif tersebut diukur melalui TKDN dalam setiap proyek yang dimiliki dan dilaporkan secara berkala kepada pemerintah.

Hasil analisis awal terhadap dokumen yang diperoleh dari Pusat P3DN terkait capaian TKDN terhadap PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) menunjukkan, masih terdapat proyek pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dengan capaian nilai TKDN di bawah ketentuan nilai minimal TKDN yang ditetapkan dalam Permenperin Nomor 54/M-IND/PER/3/2012.

“Beberapa di antaranya memiliki deviasi sampai dengan 43 persen, antara lain pada pembangunan infrastruktur pembangkit tenaga listrik, transmisi, dan gardu induk,” demikian disampaikan BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dengan Tujuan Tertentu atas Pengelolaan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dalam Belanja Pemerintah tahun 2020-Semester I 2021.

Atas permasalahan ketidaktercapaian TKDN dalam pembangunan infrastruktur pembangkit ketenagalistrikan terhadap PT PLN (Persero) tersebut, BPK telah meminta data atas implementasi capaian TKDN pada BUMN kepada Kementerian BUMN. Melalui Surat BPK Nomor S-673/S.MBU/10/2021 perihal Penyampaian Laporan Realisasi Tingkat Komponen Dalam Negeri BUMN Periode 2020-Semester I Tahun 2021, Sekretaris Kementerian BUMN menyatakan bahwa BUMN telah melakukan perhitungan TKDN secara mandiri atas proyek-proyek dan menyampaikan hasil perhitungan tersebut kepada BPK.  Persentase realisasi TKDN pada tahun 2020 dan semester I tahun 2021 masing-masing sebesar 31,63 persen dan 56,01 persen. Selain itu, terdapat dua perusahaan dengan nilai realisasi TKDN di bawah 25 persen pada 2020.

Ini Jumlah Kerugian Negara/Daerah Sepanjang 2005 Sampai 30 Juni 2021

Sebagai informasi, P3DN merupakan suatu kebijakan pemberdayaan industri yang bertujuan untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri oleh pemerintah, badan usaha, dan masyarakat serta memberdayakan industri dalam negeri melalui pengamanan pasar domestik, mengurangi ketergantungan kepada produk impor, meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, dan memperkuat struktur industri.

11/08/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Ilustrasi pengelolaan sampah (Sumber: Freepik)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Ini Jawaban Pemprov DKI Soal Pemeriksaan BPK Terkait Sampah

by Admin 1 09/08/2022
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Pengelolaan sampah menjadi salah satu isu prioritas lingkungan yang ditetapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk terus dilakukan perbaikan. Berdasarkan data per 2020, timbulan sampah di Ibu Kota mencapai 8.369 ton per hari.

Adapun di sisi hilir, ketinggian timbunan sampah di TPST Bantargebang saat ini telah mencapai sekitar 50 meter. Lalu, bagaimana inovasi yang dilakukan Pemprov DKI untuk meningkatkan pengelolaan sampah?

“Peran masyarakat secara nyata sudah dibuktikan dengan adanya keterlibatan warga masyarakat, swasta, atau lainnya di tiap RW DKI Jakarta untuk membentuk bank sampah sebagai sarana pengumpulan sampah yang mudah didaur ulang, Namun proses bisnisnya belum jelas, sehingga membutuhkan dukungan pelaku industri daur ulang agar dapat meningkatkan perekonomian warga masyarakat dan nilai sampah yang diolah bernilai tinggi.”

Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto dalam wawancara tertulis dengan Warta Pemeriksa belum lama ini menjelaskan, berdasarkan penelitian Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta tahun 2020, setiap orang menghasilkan sampah seberat 0,7 kg/orang/hari.  “Timbunan sampah warga DKI Jakarta pada 2020 mencapai 8.369 ton per hari, di mana sebagian besar sampah tersebut diangkut menuju TPST Bantargebang, dengan kapasitas sebesar 21.878.000 m3,” kata Asep.

Ada beberapa upaya pengendalian sampah yang dilakukan. Pertama, pengelolaan sampah lingkup RW. Hal itu salah satunya dilakukan dengan melakukan pengawasan dalam penyediaan kantong belanja ramah lingkungan (KBRL) di pusat perbelanjaan.

Langkah lainnya melakukan pengelolaan sampah kawasan secara mandiri. Hal ini seperti diamanatkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 102 Tahun 2021 tentang Kewajiban Pengelolaan Sampah di Kawasan dan Perusahaan.

Terkait inovasi, ada sejumlah program yang dilakukan untuk meningkatkan pengelolaan sampah di hilir (TPST Bantargebang). Pertama, pembangunan dan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), yaitu fasilitas yang mengolah sampah dengan kapasitas 100 ton/hari serta menghasilkan listrik sekitar 700 kWh. PLTSa merupakan buah kerja sama/kolaborasi antara BPPT (pembangunan) dan DLH Pemprov DKI Jakarta (pengoperasian dan pemeliharaan).

Kemudian, landfill mining TPST Bantargebang, yaitu menggali/mengkeskavasi sampah lama dari zona landfill tidak aktif, untuk selanjutnya sampah diolah secara mekanis menjadi Refuse Derived Fuel (RDF). DLH DKI telah melakukan pilot project landfill mining sejak tahun 2020 dengan kapasitas 100-150 ton/hari serta bekerja sama dengan industri semen, yaitu PT Indocement dan PT Solusi Bangun Indonesia untuk pemanfaatan RDF hasil landfill mining.

“Pada tahun 2022 ini, DLH tengah melaksanakan pembangunan fasilitas yang dapat mengolah 1.000 ton/hari sampah lama dan 1.000 ton/hari sampah baru di TPST Bantargebang. Kedua fasilitas tersebut ditargetkan selesai pada Desember 2022 dan siap beroperasi pada awal 2023. Fasilitas ini akan mengolah sampah lama dan sampah baru menjadi RDF (minimum 700 ton/hari). RDF selanjutnya akan dimanfaatkan oleh industri semen sebagai bahan bakar alternatif pengganti batu bara,” katanya.

DKI juga melakukan inovasi berupa pengelolaan sampah elektronik. Terkait hal ini, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta memberikan kemudahan bagi warga Jakarta yang ingin membuang sampah elektroniknya agar tidak dibuang sembarang yang berakibat pencemaran lingkungan.

DLH pun menyediakan layanan Permohonan Penjemputan E-waste dengan melakukan pendaftaran terlebih dahulu pada link website Dinas Lingkungan Hidup https://lingkunganhidup.jakarta.go.id/layanan_kami/e_waste.

BPK Dalami Penyebab Pemda ‘Belum Mandiri’

Menurut dia, ada sejumlah tantangan yang dihadapi terkait pengelolaan sampah. Salah satu tantangan itu adalah meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam mengelola sampah. “Peran masyarakat secara nyata sudah dibuktikan dengan adanya keterlibatan warga masyarakat, swasta, atau lainnya di tiap RW DKI Jakarta untuk membentuk bank sampah sebagai sarana pengumpulan sampah yang mudah didaur ulang, Namun proses bisnisnya belum jelas, sehingga membutuhkan dukungan pelaku industri daur ulang agar dapat meningkatkan perekonomian warga masyarakat dan nilai sampah yang diolah bernilai tinggi.”

Adapun tantangan dalam pengelolaan sampah di hilir (TPST Bantargebang) yaitu besarnya tonase sampah yang setiap hari diangkut ke TPST Bantargebang. Termasuk juga ketinggian timbunan sampah di TPST Bantargebang yang telah mencapai sekitar 50 meter.

Sebagai langkah menghadapi tantangan tersebut, DLH tengah membangun fasilitas pengolahan sampah landfill mining dan RDF Plant yang akan mereduksi 1.000 ton/hari sampah lama dan 1.000 ton/hari sampah baru dari Kota Jakarta. “Dengan demikian, diharapkan masa pelayanan TPST Bantargebang dapat diperpanjang untuk melayani pengelolaan sampah dari Kota Jakarta,” katanya.

09/08/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Ilustrasi DKI Jakarta (Sumber: Freepik)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Terkait Rekomendasi BPK Soal Pencemaran Udara, Ini yang Dijalankan Pemprov DKI

by Admin 1 08/08/2022
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyatakan sedang menyiapkan grand design untuk mengendalikan pencemaran udara di Ibu Kota. Penyusunan grand design tersebut merupakan salah satu rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dari hasil Pemeriksaan Pengendalian Pencemaran Udara dari Transportasi Darat pada Pemprov DKI Jakarta tahun anggaran 2019.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto dalam wawancara tertulis dengan Warta Pemeriksa belum lama ini mengatakan, pemprov sedang menyusun payung hukum untuk menjalankan grand design tersebut. “Pada saat ini sedang dilakukan penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Strategi Pengendalian Pencemaran Udara yang menjadi salah satu rencana aksi di dalam Kegiatan Strategis Daerah (KSD) 71 Pengendalian Pencemaran Udara,” kata Asep.

“Pencapaian target peningkatan kualitas lingkungan hidup melalui penurunan tingkat pencemaran udara dari kegiatan integrasi sistem transportasi publik dan manajemen rekayasa lalu lintas menjadi terhambat.”

Menurut dia, Dinas LH DKI juga berkomitmen menjalankan rekomendasi BPK lainnya. Rekomendasi itu adalah memasukkan Indikator Kinerja Utama (IKU) yang memiliki target penurunan pencemaran udara secara terukur pada masing-masing organisasi perangkat daerah (OPD) yang bertanggung jawab memperbaiki kualitas udara.

“Dinas Lingkungan Hidup sedang menyusun Rancangan Peraturan Gubernur tentang Strategi Pengendalian Pencemaran Udara yang mana di dalam ranpergub tersebut akan terdapat rencana dan strategi aksi dari masing-masing OPD terkait dengan target penurunan emisi berdasarkan jenis pencemar,” katanya.

Saat ini, kata Asep, prosesnya masih dalam tahap konfirmasi data kepada masing-masing OPD dan akan dilakukan pembahasan lanjutan. Rekomendasi selanjutnya dari BPK adalah melakukan koordinasi dan komunikasi dengan para pihak di luar Pemprov DKI Jakarta, termasuk daerah penyangga. Koordinasi itu diperlukan untuk penyusunan dan implementasi strategi dan rencana aksi peningkatan kualitas udara secara simultan di DKI Jakarta.

Terkait hal itu, Asep menyebut telah  disusun Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan Pemerintah Kota Bekasi. Sebagai informasi, ada empat temuan utama terkait pemeriksaan pengendalian pencemaran udara dari transportasi darat pada Pemprov DKI.

Pertama, Pemprov DKI Jakarta belum memiliki grand design pengendalian pencemaran udara yang komprehensif dalam upaya perbaikan kualitas udara. Penyusunan grand design belum mengakomodasi basis data inventarisasi emisi pencemaran udara yang berkesinambungan.

Selain itu, program Pengendalian Pencemaran Udara (PPU) Pemprov DKI Jakarta masih bersifat sektoral dan belum terpadu. Akibatnya, perencanaan dan pelaksanaan program pengendalian pencemaran tidak terarah dan efektif dalam memperbaiki kualitas udara di DKI Jakarta.

Temuan kedua, Pemprov DKI Jakarta belum memiliki rencana aksi dan target konversi BBM ke BBG dan regulasi yang mendukung penerapan kebijakan bahan bakar ramah lingkungan yang memadai. Selain itu, monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan program bahan bakar ramah lingkungan belum berjalan optimal di Provinsi DKI Jakarta. Akibatnya, kontribusi kebijakan bahan bakar ramah lingkungan terhadap pengendalian pencemaran udara tidak dapat dievaluasi.

BPK Dorong Pemprov DKI Tingkatkan Penyelesaian Rekomendasi BPK

Ketiga, penerapan kebijakan uji emisi kendaraan bermotor belum optimal dalam upaya meningkatkan kualitas udara. Pemprov DKI Jakarta dalam menentukan target kegiatan dan aktivitas pendukung belum konkret mengarah pada ukuran hasil, sistem pengujian emisi kendaraan bermotor belum dimutakhirkan, serta regulasi yang belum lengkap dan belum diterapkan sepenuhnya. Akibatnya, target peningkatan kualitas lingkungan hidup dari kegiatan uji emisi tidak efektif sehingga penurunan tingkat pencemaran udara dari kegiatan uji emisi tidak tercapai.

Sedangkan temuan terakhir, penerapan sistem transportasi publik yang terintegrasi serta manajemen rekayasa lalu lintas belum optimal dalam mendukung penurunan pencemaran udara di DKI Jakarta. Selain itu, pola manajemen rekayasa lalu lintas seperti pelaksanaan kebijakan ganjil genap dan kebijakan hari bebas kendaraan bermotor (HBKB) belum optimal dalam mendukung upaya shifting ke transportasi publik. Akibatnya, pencapaian target peningkatan kualitas lingkungan hidup melalui penurunan tingkat pencemaran udara dari kegiatan integrasi sistem transportasi publik dan manajemen rekayasa lalu lintas menjadi terhambat.

08/08/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita TerpopulerOpiniSLIDERSuara Publik

Hasil Pemeriksaan BPK tak Berhenti di Opini WTP

by Admin 1 04/08/2022
written by Admin 1

Oleh Fitri Yuliantri P, Pranata Humas Muda BPK

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2021. Tren pemerolehan opini WTP untuk LKPP ini sudah terjadi sejak LKPP tahun 2016.

Tren opini WTP tidak hanya diperoleh pemerintah pusat. Hal ini bisa dilihat dari jumlah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang mendapat opini WTP juga semakin meningkat.

Pada tahun 2016, ada 378 LKPD dengan opini WTP dan pada tahun 2020 terdapat 486 LKPD dengan opini WTP (Sumber: Siaran Pers BPK).

Mendapat opini WTP dari BPK memang sebuah prestasi, sehingga tak jarang dirayakan oleh instansi yang memerolehnya. Meskipun begitu, perlu diingat bahwa opini WTP pada dasarnya adalah laporan keuangan entitas yang diperiksa BPK dan dinilai telah menyajikan secara wajar dalam semua hal. Baik secara material, posisi keuangan, hasil usaha, maupun arus kas entitas. Seluruhnya telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia (Sumber: Ruang Edukasi BPK).

“Di Ibu Kota, semester pertama 2021 BPK mendapatkan 71 temuan senilai Rp256,1 miliar dan memberikan 138 rekomendasi. Pemprov DKI pun telah melakukan tindak lanjut. Akan tetapi, hanya 21 atau sekitar 15,2% yang sesuai dengan rekomendasi BPK. Sisanya, sebanyak 29 (21%) belum sesuai rekomendasi, dan 88 (63,8%) belum dilakukan tindak lanjut.”

Jadi, dapat dikatakan bahwa mendapatkan opini WTP adalah kewajiban bagi semua instansi atau entitas yang diperiksa BPK. Selain itu, meskipun sebuah entitas mendapatkan opini WTP, dalam keadaan tertentu BPK biasanya memberikan catatan dalam bentuk rekomendasi yang harus ditindaklanjuti.

Setelah itu, BPK akan mengeluarkan laporan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan (TLRHP) atas laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang telah diterbitkan sebelumnya. Dengan demikian, pemeriksaan BPK tak berhenti setelah sebuah institusi mendapatkan opini WTP. Masih ada kewajiban lain yang harus ditindaklanjuti pihak-pihak terkait sebagai auditee atau terperiksa.

Sebagai contoh, pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2021, BPK masih mencatat ada beberapa permasalahan. Karenanya, BPK pun mengeluarkan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat.

Dalam kondisi ini, auditee harus aktif menindaklanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan BPK. Tindak lanjut rekomendasi diperlukan untuk memperbaiki sistem pengendalian internal (SPI) dan kepatuhan terhadap perundang-undangan.

Secara nasional, hasil pemeriksaan terhadap pelaksanaan TLRHP atas LHP yang telah diterbitkan per semester pertama 2021 mencapai 76,9%. Artinya, masih ada sekitar 23,1% kewajiban tindak lanjut yang belum atau tak dapat ditindaklajuti oleh entitas yang diperiksa BPK.

Di antara institusi yang telah melaksanakan rekomendasi BPK secara penuh adalah Mahkamah Agung (MA). Sampai dengan semester kedua 2021, hasil pemantauan terhadap pelaksanaan TLRHP di MA telah mencapai 100 persen.

Selain MA, entitas lain di pusat yang juga telah melaksanakan tindak lanjut rekomendasi BPK mencapai 100% adalah lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan Sekretariat Kabinet (SETKAB).

Wow, Tiga Entitas Naik Kelas Jadi WTP

Antara Jabar dan DKI Jakarta

Bagaimana dengan tindak lanjut yang dilakukan pemerintah daerah setelah memeroleh opini WTP? Sebagai contoh akan dibahas apa yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Tahun lalu, Pemprov Jawa Barat mendapatkan opini WTP dari BPK. Pencapaian kesebelas berturut-turut ini tentunya merupakan prestasi yang cukup baik untuk sebuah laporan keuangan. Akan tetapi, setelah mendapatkan WTP tersebut, apakah Pemprov Jabar juga menindaklanjuti rekomendasi BPK?

Pada semester pertama tahun 2021, BPK RI mendapatkan 28 temuan dan memberikan 62 rekomendasi yang nilainya mencapai Rp23,5 miliar. Akan tetapi, Pemprov Jabar baru menindaklanjuti sebanyak 11 item (17,7%) yang sesuai rekomendasi BPK, sisanya 51 item (82,3%) belum sesuai rekomendasi BPK.

Bagaimana dengan DKI Jakarta? Di Ibu Kota, semester pertama 2021 BPK mendapatkan 71 temuan senilai Rp256,1 miliar dan memberikan 138 rekomendasi. Pemprov DKI pun telah melakukan tindak lanjut. Akan tetapi, hanya 21 atau sekitar 15,2% yang sesuai dengan rekomendasi BPK. Sisanya, sebanyak 29 (21%) belum sesuai rekomendasi, dan 88 (63,8%) belum dilakukan tindak lanjut.

Dengan melihat angka-angka di atas, berarti pada semester pertama tahun 2021 belum banyak rekomendasi BPK yang diselesaikan Pemprov Jabar dan DKI Jakarta.

Aspek Hukum Rekomendasi BPK

Secara hukum, pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam LHP dan wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi tersebut. Hal ini sebagaimana termuat dalam Peraturan BPK RI No 2 Tahun 2017 tentang Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan.

Pada pasal 6 Peraturan BPK RI No 2 tahun 2017, secara tegas disebutkan, bahwa:

(1) BPK menelaah jawaban atau penjelasan yang diterima dari pejabat untuk menentukan apakah tindak lanjut telah dilakukan sesuai dengan rekomendasi BPK.

(2) Penelaahan terhadap jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh BPK dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.

(3) Dalam proses penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BPK dapat:

a. meminta klarifikasi atas jawaban atau penjelasan pejabat;

b. melakukan pembahasan dengan pejabat; dan/atau

c. melakukan prosedur penelaahan lainnya.

Sementara mengenai dampak hukum atas rekomendasi yang telah diberikan BPK tertuang dalam pasal 9 dan pasal 10 Peraturan BPK RI No 2 Tahun 2017.

Meski Kaltim Sudah WTP, BPK Beri Rekomendasi Terkait Kemiskinan

– Pasal 9

(1) Apabila klasifikasi tindak lanjut menunjukkan tindak lanjut belum sesuai dengan rekomendasi atau rekomendasi belum ditindaklanjuti, pejabat wajib melaksanakan tindak lanjut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penetapan status diterima entitas.

(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) klasifikasi tindak lanjut belum sesuai dengan rekomendasi atau rekomendasi belum ditindaklanjuti, BPK dapat melaporkan kepada instansi yang berwenang.

– Pasal 10

Penyelesaian tindak lanjut tidak menghapuskan tuntutan pidana.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mendapatkan opini WTP bukan segala-galanya. Opini WTP tidak menghilangkan kewajiban lain seperti yang telah direkomendasikan BPK. Ingat, ada sanksi pidana bagi pejabat yang lalai menindaklanjuti rekomendasi dalam batas waktu tertentu.

04/08/2022
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • SAI20 Hasilkan Komunike Global untuk Infrastruktur dan Tenaga Kerja Masa Depan
  • Audit BPK Ungkap Tantangan Ekonomi Biru Indonesia
  • Majalah Warta BPK Edisi April 2025
  • Transformasi Digital Dorong Efisiensi Keuangan Negara
  • Selamat! Ini Dia Pemenang Kuis WartaBPK.Go!
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • SAI20 Hasilkan Komunike Global untuk Infrastruktur dan Tenaga...

    21/07/2025
  • Audit BPK Ungkap Tantangan Ekonomi Biru Indonesia

    17/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi April 2025

    16/07/2025
  • Transformasi Digital Dorong Efisiensi Keuangan Negara

    11/07/2025
  • Selamat! Ini Dia Pemenang Kuis WartaBPK.Go!

    10/07/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id