WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Friday, 29 August 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Category:

Berita

BeritaBerita TerpopulerSLIDER

Ada Belanja Pusat yang Belum Dilaporkan dan Dimanfaatkan

by Super Admin 05/01/2021
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas pengelolaan belanja pemerintah pusat tahun 2019 pada semester I 2020 di tiga kementerian. BPK menemukan adanya belanja yang belum dilaporkan hingga belum dimanfaatkan.

Pemeriksaan itu dilaksanakan pada Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) terkait pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan bagian anggaran (BA) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terkait pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan bagian anggaran belanja lainnya. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) megenai  pelaksanaan anggaran kegiatan belanja barang dan belanja modal tahun anggaran 2018 dan 2019 pada Sekretariat Jenderal dan Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham.

Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan belanja pada tiga kementerian tersebut telah dilaksanakan sesuai kriteria dengan pengecualian atas beberapa permasalahan. Pada Kemensetneg, misalnya, terdapat sisa pengeluaran dana bantuan kemasyarakatan (banmas) dalam rangka kegiatan presiden tahun 2019 yang belum dilaporkan.

Selain itu, implementasi penggunaan surat pernyataan tanggung jawab pengeluaran (SPTJP) untuk mengendalikan dana banmas presiden berupa uang tunai belum diimplementasikan secara memadai. Hal ini mengakibatkan laporan keuangan BA (bagian anggaran) 999 Sekretariat Presiden belum mencerminkan kondisi yang sebenarnya dan penggunaan banmas presiden berupa uang tunai tidak dapat diketahui kesesuaian dan kewajaran penggunaannya.

BPK merekomendasikan Kemensetneg agar menyusun kebijakan tentang mekanisme pengelolaan dan pencatatan banmas berupa barang yang tidak langsung disalurkan dan/atau tidak habis diberikan dalam satu kegiatan tertentu. Selain itu, merekomendasian Kemensetneg menyusun mekanisme pembuatan dan penandatanganan SPTJP.

Pada pemeriksaan terhadap Kemenkumham, BPK menemukan adanya hasil pengadaan tahun anggaran (TA) 2019 yang belum dimanfaatkan. Pengadaan yang belum dimanfaatkan tersebut, antara lain, adalah pengadaan sarana dan prasarana data center di pusat data dan teknologi informasi (Pusdatin) dan pengadaan perangkat pendukung layanan unit keimigrasian. Hal tersebut mengakibatkan adanya indikasi pemborosan sebesar Rp22,99 miliar. Selain itu, terdapat kelebihan pembayaran sebesar Rp8,36 miliar atas 13 paket pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi.

Atas permasalahan itu, BPK merekomendasikan kepada Kemenkumham untuk mengoptimalkan hasil pengadaan data center, memperbaiki mekanisme pemanfaatan dan distribusi barang di lingkungan Ditjen Imigrasi, serta menarik kelebihan pembayaran yang terjadi.

Sedangkan pada pemeriksaan pengelolaan belanja yang dilakukan Kemenkominfo, terdapat realisasi biaya proporsi sewa kendaraan roda empat dan enam pada 11 regional tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 Tahun 2013 sebesar Rp3,37 miliar dan kelebihan perhitungan biaya atribusi/proporsi sebesar Rp3,33 miliar. Akibatnya, terdapat kelebihan pembebanan sebesar Rp6,70 miliar. BPK telah merekomendasikan Kemenkominfo agar menarik kelebihan pembebanan dan disetorkan ke kas negara.

Secara keseluruhan, hasil pemeriksaan atas pengelolaan belanja pemerintah pusat mengungkapkan 12 temuan yang memuat 21 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 10 kelemahan sistem pengendalian internal, delapan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebesar Rp16,20 miliar, dan tiga permasalahan 3E sebesar Rp22,99 miliar. Selama proses pemeriksaan, entitas telah menindaklanjuti rekomendasi BPK dengan melakukan penyetoran ke kas negara sebesar Rp5,41 miliar.

05/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDER

7 Instansi Tarik Pungutan Tanpa Dasar Hukum Rp36 Miliar

by Super Admin 04/01/2021
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan agar Menteri Keuangan meminta Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) melakukan pengawasan efektif atas pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Rekomendasi itu tercantum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Kepatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“Meminta APIP K/L melakukan pengawasan efektivitas PNPB di lingkungan K/L supaya tidak terjadi permasalahan berulang,” demikian bunyi rekomendasi tersebut.

Rekomendasi ini muncul setelah audit BPK menemukan adanya penerapan pungutan tanpa dasar hukum di 7 lembaga, ditambah 8 lembaga yang menarik pungutan resmi tetapi tidak menyetorkannya ke kas negara.

Tujuh instansi yang masih menerapkan pungutan itu adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp18,07 miliar, Kementerian Agama Rp15,04 miliar, Badan Keamanan Laut Rp2,34 miliar, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Rp485,79 juta.

Kemudian Kejaksaan RI Rp261,63 juta, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Rp222,75 juta, dan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Rp72,41 juta. Total nilai pungutan liar itu mencapai Rp36,50 miliar.

Pungutan itu antara diperoleh dari penyewaan terhadap Barang Milik Negara (BMN) yang belum disetujui, atau penyewaan terhadap BMN yang sudah disetujui tetapi tarifnya melanggar ketentuan, atau aktivitas lain.

Sedangkan 8 lembaga yang menarik pungutan resmi tetapi tidak menyetorkannya ke kas negara adalah Kementerian Pertahanan Rp133,90 miliar, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Rp133,61 miliar, dan Perpustakaan Nasional Rp578,50 juta.

Kemudian Kementerian Pemuda dan Olah Raga Rp527,37 juta, Kementerian PUPR Rp387,21 juta, Badan Kepegawaian Negara Rp25,26 juta, lalu Kementerian Agama dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang jumlah tidak diketahui karena tidak didukung pencatatan.

Total pungutan resmi yang tidak disetorkan itu mencapai Rp269,03 miliar. Secara umum, audit BPK menemukan ada masalah terhadap pengelolaan PNBP di 40 K/L dengan nilai total Rp709,64 miliar.

Selain pungutan liar dan pungutan resmi yang tidak disetorkan ke kas negara, masalah lain berupa pungutan terlambat disetor Rp17,93 miliar, belum disetor Rp19,45 miliar, kurang pungut Rp20,29 miliar, belum/tidak dipungut Rp158,24 miliar, dan permasalahan lainnya senilai Rp188,17 miliar.

Praktik ini bertentangan dengan UU Nomor 9 Tahun 2018 tentang PNBP, antara lain Pasal 1 yang menyatakan PNBP wajib dibayar kepada pemerintah dalam waktu tertentu sesuai peraturan perundang-undangan, dan Pasal 29 yang menyatakan seluruh PNBP wajib disetor ke kas negara.

Atas temuan ini BPK merekomendasikan agar Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah menginstruksikan menteri/pimpinan lembaga untuk menyetorkan PNBP yang belum/terlambat dipungut dan meminta APIP K/L melakukan pengawasan lebih efektif. (Hms)

04/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDER

Sukuk Negara Berpotensi Double Underlying, Salahi Prinsip Syariah

by Super Admin 31/12/2020
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan agar Menteri Keuangan melakukan evaluasi atas nilai Barang Milik Negara (BMN) sehingga barang milik negara itu nilainya memadai sebagai underlying asset dalam penerbitan sukuk.

Rekomendasi itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Internal Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“.. menginventarisir aset Surat Berharga Syariah Negara (SBSN/sukuk) berupa BMN yang mengalami pemutakhiran data/nilai dan aset BMN yang teridentifikasi double underlying dengan project underlying,” demikian bunyi rekomendasi tersebut.

Rekomendasi ini muncul setelah BPK melakukan evaluasi terhadap nilai penerbitan Surat Berharga Syariah Negara, atau juga disebut sukuk negara, dan membandingkannya dengan nilai barang milik negara yang menjadi underlying asset.

Berbeda dari penerbitan surat berharga biasa seperti Surat Utang Negara (SUN), penerbitan Sukuk harus diikat dengan underlying asset. Ini karena prinsip syariah melarang transaksi money for money, yang dikategorikan riba.

Selain aset fisik berupa barang milik negara, penerbitan sukuk juga bisa didasari oleh proyek yang didanai tersebut, atau diistilahkan project underlying.

Audit BPK menemukan pada 2019 pemerintah menerbitkan sukuk Rp183,62 triliun menggunakan akad ijarah atau asset to be leased.

Namun setelah ditelusuri, penerbitan sukuk tahun 2019 itu masih menggunakan underlying asset barang milik negara yang pada 2012-2015 dengan nilai total Rp30,69 triliun. Padahal, penerbitan sukuk dengan menggunakan underlying asset sudah dimulai sejak 2012.

Masih adanya penggunaan barang milik negara tahun 2012-2015 untuk mendasari penerbitan sukuk tahun 2019 memunculkan potensi double underlying, yaitu suatu aset yang sudah diikat dengan sukuk seri tertentu digunakan lagi untuk penerbitan sukuk seri lain.

BPK menegaskan sukuk negara diterbitkan dengan prinsip syariah. Artinya, tiap penerbitan sukuk diikat aset yang nilainya sebanding. Potensi double underlying mengimplikasikan barang milik negara yang jadi underlying asset sebenarnya bernilai lebih rendah dari nilai sukuk yang diterbitkan.

Namun, konsekuensi yang lebih penting lagi, potensi double underlying ini menyalahi prinsip syariah  Pasalnya, nilai aset dalam penerbitan sukuk berfungsi sebagai transaksi riil, yang merupakan pembeda utama antara surat berharga syariah dan surat berharga biasa.

Apabila nilai aset yang dijadikan dasar tidak sebanding, maka sukuk itu sama saja bersifat instrumen utang, yang berarti tidak lagi bersifat syariah.

“Jumlah underlying asset sukuk minimal harus sama dengan jumlah sukuk yang akan diterbitkan. Jika aset sukuk kurang dari jumlah penerbitan, maka prinsip syariah sukuk belum terpenuhi,” demikian penegasan BPK.

Atas permasalahan tersebut BPK merekomendasikan agar Menteri Keuangan memutakhirkan nilai barang milik negara yang menjadi underlying asset penerbitan sukuk, melakukan pemutakhiran nilai, dan mengidentifikasikan aset yang terindikasi double underlying. (Hms)

31/12/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDER

Ditjen Pajak Diminta Kembalikan Restitusi Rp11,62 Triliun

by Super Admin 30/12/2020
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA  – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan agar Ditjen Pajak tepat waktu dalam mengembalikan restitusi.

Rekomendasi itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Kepatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“Melaksanakan pencairan kelebihan pembayaran pajak secara tepat waktu dan melakukan monitoring atas penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP),” demikian bunyi rekomendasi tersebut.

Restitusi adalah agar kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan ke wajib pajak. Ditjen Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP) atas permohonan itu, yang menjadi dasar penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP).

SPMKP itu kemudian menjadi dasar bagi penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Baru setelah SP2D terbit wajib pajak bisa menerima kelebihan pembayaran pajak mereka di rekening bank.

LHP BPK menemukan sejumlah masalah dalam prosedur itu, Antara lain SKPKPP terlambat terbit, atau SKPKPP sudah terbit tetapi tidak segera ditindaklanjuti dengan penerbitan SPMKP. Atau SPMKP sudah tebit namun penerbitan SP2D tidak dilakukan karena SPMKP dinilai kurang lengkap, dan sebagainya.

Nilai sebesar Rp11,62 triliun yang diungkap di LHP adalah jumlah restitusi yang sudah diterbtikan SKPKPP, tetapi belum diterbitkan SPMKP.

Temuan lain yang juga diungkap di LHP adalah adanya indikasi restitusi sebesar Rp72,86 miliar dan US$57,91 ribu yang belum diterbitkan SKPKPP, serta Rp6,07 miliar yang SKPKPP-nya terlambat diterbitkan.

Praktik itu tidak sesuai UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Nomor 16 Tahun 2009 yang menyatakan demi menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak dan ketertiban administrasi, pengembalian restitusi ditetapkan paling lama 1 bulan sejak permohonan diajukan.

Selain itu, keterlambatan ini juga memiliki konsekuensi bunga. Sebab, UU KUP juga menetapkan dalam tiap keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib pajak mendapat imbalan bunga 2% per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 bulan sampai diterbitkannya SKPKPP.

Pemeriksaan BPK mengungkapkan Ditjen Pajak berpotensi membayar imbalan bunga sebesar Rp185,51 juta atas SKPKPP yang terlambat terbit, serta membayar Rp8,78 miliar dan US$11.892 atas SKPKPP yang belum juga diterbitkan.

Dampak lain dari keterlambatan pengembalian ini adalah tidak akuratnya laporan perpajakan.  Pasalnya, restitusi yang belum dikembalikan itu tercatat sebagai penerimaan pajak. Padahal, ia justru komponen pengurang penerimaan.

Atas permasalahan ini BPK merekomendasikan monitoring yang lebih baik terhadap prosedur restitusi pajak hingga pengembalian itu bisa dilakukan tepat waktu. (Hms)

30/12/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita

Rencana Pelunasan Utang Rp91 Triliun Belum Didukung Anggaran

by Super Admin 30/12/2020
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan merekomendasikan agar pemerintah menyusun anggaran secara lebih terperinci terkait dengan rencana pembayaran utang kepada pihak ketiga.

Rekomendasi itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“agar…  menyusun alokasi anggaran secara lebih rinci untuk rencana pembayaran utang kepada pihak ketiga dan utang jangka panjang dalam negeri lainnya di tahun 2020,”  demikian bunyi rekomendasi tersebut.

Rekomendasi itu muncul terkait dengan rencana pemerintah membayar utang kompensasi kepada BUMN, dalam hal ini PT Perusahaan Listrik Negara (PLN/Persero) dan PT Pertamina (Persero) pada 2020. Audit BPK mendapati rencana tersebut belum didukung alokasi anggaran memadai.

Utang kompensasi adalah utang yang timbul karena pemerintah melakukan penetapan harga jual eceran bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik.

Harga yang ditetapkan pemerintah ini berbeda dari harga yang diusulkan PLN atau Pertamina berdasarkan formula harga, dan menyebabkan terjadinya kekurangpenerimaan pada keduanya.

Selisih antara harga yang ditetapkan pemerintah dan harga formula ini yang kemudian menjadi utang kompensasi. Utang ini dicatat di Neraca Pemerintah Pusat di pos Utang Kepada Pihak Ketiga.

Sebagian utang kompensasi ini sudah dibayar, antara lain dengan mekanisme set off, yaitu mengompensasikan utang pemerintah kepada badan usaha dengan besaran pajak yang harus dibayar badan usaha tersebut ke pemerintah.

Utang kompensasi berbeda dari belanja subsidi, karena subsidi dialokasikan dalam APBN yang sebelumnya sudah disepakati dengan DPR.

Dalam LHP itu terungkap, sampai Desember 2019, total utang kompensasi pemerintah mencapai Rp142,59 triliun, ke 3 badan usaha, yaitu PLN Rp45,43 triliun, Pertamina Rp96,50 triliun, dan PT AKR Corporindo Rp659,46 miliar.

Berdasarkan surat Menteri Keuangan, pemerintah berencana membayar sebagian utang kompensasi itu minimal Rp91 triliun. Perinciannya Rp45,43 triliun kepada PLN, Rp45 triliun kepada Pertamina, dan Rp659,46 miliar kepada AKR Corporindo, hingga total Rp91,08 triliun.

Namun, audit BPK menemukan jumlah yang sudah dituangkan menjadi Daftar Isian Pelaksana Anggaran hanya Rp15 triliun, sedangkan sisanya Rp76,08 triliun masih dalam proses penganggaran.

Praktik ini tidak sesuai dengan Pasal 3 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyatakan semua hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran bersangkutan harus dimasukkan ke dalam APBN.

Praktik ini juga menyebabkan utang kompensasi kepada badan usaha berpotensi tidak dapat dibayar sepenuhnya pada 2020 dan akan menjadi utang pada periode berikutnya.

Di luar masalah itu, BPK juga menemukan sebagian utang kompensasi yang sudah diselesaikan dengan mekanisme set off masih belum berstatus clear dan berpotensi menimbulkan dispute.

Pasalnya, sebagaimana terungkap dalam LHP, badan usaha yang melakukan set off utang kompensasi juga mengajukan keberatan pajak di Pengadilan Pajak.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan agar pemerintah menyusun mekanisme penganggaran berbasis kinerja atas kebijakan kompensasi BBM dan tarif listrik sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara.

Kemudian juga merekomendasikan penetapan kebijakan terhadap syarat dan status transaksi yang dapat dilakukan set off hingga tidak berpotensi dispute di masa mendatang.

Berikutnya merekomendasikan penyusunan anggaran secara lebih terperinci untuk rencana pembayaran Utang Kepada Pihak Ketiga dan Utang Jangka Panjang Dalam Negeri Lainnya pada 2020. (Hms)

30/12/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDER

Kerugian Investasi Asabri Rp7,52 trilliun Tidak Dapat Dibebankan ke Dana Pensiun

by Super Admin 28/12/2020
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA –  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menolak penghitungan akuntansi yang membebankan kerugian investasi PT Asabri (Persero) pada akumulasi iuran pensiun.

Penegasan itu termuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“Pembebanan kerugian investasi akumulasi iuran pensiun yang dikelola PT Asabri pada dana yang dibatasi penggunaannya dan utang jangka panjang dalam negeri lainnya per 31 Desember 2019 tidak sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan dan ketentuan akumulasi iuran pensiun”, demikian tercantum dalam LHP.

Penegasan itu muncul setelah BPK mendapati nilai akumulasi iuran pensiun yang dikelola PT Asabri mengalami penyusutan. Pada 2018, nilai akumulasi iuran pensiun yang dikelola PT Asabri sebesar Rp25,19 triliun.

Namun, pada 2019, nilainya turun menjadi Rp17,66 triliun, alias berkurang Rp7,52 triliun atau menyusut 29,85%. BPK tidak sependapat dengan model penghitungan seperti itu. Akumulasi iuran pensiun adalah dana yang berasal dari iuran peserta pensiun, dalam hal ini anggota TNI-Polri.

Iuran ini merupakan dana pihak ketiga yang dikelola PT Asabri, hingga dicatat dalam pos Aset Lainnya. Pada saat bersamaan, dana ini juga menjadi kewajiban pemerintah untuk membayarnya bila anggota TNI-Polri memasuki usia pensiun, hingga dicatat dalam pos Utang Jangka Panjang Dalam Negeri Lainnya.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan No.174/PM.02/2017, penurunan nilai akumulasi iuran pensiun hanya dapat terjadi bila pemilik dana, yaitu anggota TNI-Polri yang sudah pensiun, mengambil kembali haknya atas dana tersebut.

BPK menemukan penyusutan akumulasi iuran pensiun itu tidak terjadi karena peserta iuran mengambil kembali haknya, tapi karena PT Asabri kurang berhati-hati mengelola investasi hingga timbul kerugian.

Penyebab kerugian PT Asabri sudah diungkap sebelumnya oleh BPK dalam LHP Kinerja atas   Efektivitas Program Pensiun PNS, TNI, dan Polri Tahun 2019 Nomor 130/LHP/XV/12/2019 tertanggal 31 Desember 2019.

LHP tersebut mengungkapkan penempatan saham yang dilakukan tidak dengan prinsip kehati-hatian oleh PT Asabri. Penghitungan yang membebankan nilai kerugian investasi PT Asabri terhadap akumulasi iuran pensiun karenanya tidak dapat diterima.

Hal itu bertentangan dengan PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang standar akuntansi pemerintah, lampiran 1, kerangka konseptual, yang menyatakan “informasi dalam laporan keuangan bebas dari pengertian yang menyesatkan dan kesalahan material, menyajikan setiap fakta secara jujur serta dapat diverifikasi.”

BPK juga berpendapat penurunan nilai investasi PT Asabri (Persero) tidak dapat mengurangi kewajiban pemerintah terhadap hak anggota TNI dan Polri, karena mereka belum memproleh hak atas iuran yang ditempatkannya.

Atas permasalahan ini, BPK antara lain merekomendasikan Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah agar bersama Menteri BUMN selaku pemegang saham untuk, meminta PT Asabri memperbaiki penyajian investasi pada laporan keuangan 2018 dan 2019.

Selain itu, BPK merekomendasikan kedua menteri untuk mengukur kewajiban pemerintah sebagai pengendali PT Asabri yang timbul sebagai pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2014.

BPK juga merekomendasikan agar ditetapkan kebijakan pertanggungjawaban atas penurunan nilai investasi dari akumulasi iuran pensiun dan dampaknya atas kewajiban pemerintah kepada anggota TNI-Polri dengan memperhatikan PP Nomor 102 Tahun 2015 dan PP Nomor 71 Tahun 2010. (Hms)

28/12/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Sebuah ekskavator sedang bekerja di areal terdampak lumpur Sidoarjo. (Foto: Youtube Aljazeera English)
BeritaSLIDER

Pengelolaan Piutang Rp1,91 Triliun Dana Lapindo Belum Memadai

by Achmad Anshari 23/12/2020
written by Achmad Anshari

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan agar pemerintah terus berkoordinasi dengan Kejaksaan dalam menyelesaikan permasalahan piutang dana lumpur Lapindo yang masih macet.

Rekomendasi itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“Melanjutkan koordinasi dengan Kejaksaan dalam menyelesaikan piutang dana antisipasi lumpur Sidoarjo secara lebih terukur dan menyusun rencana penyelesaian (roadmap) piutang penanggulangan lumpur Sidoarjo dan menyetorkan pengembalian piutang yang diperoleh ke kas negara,” demikian ungkap rekomendasi tersebut.

LHP BPK mengungkap permasalahan bermula ketika Pemerintah Republik Indonesia pada 10 Juli 2015 memberikan pinjaman kepada Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya lewat perjanjian bernomor PRJ-16/MK.01/2015.

Pinjaman itu terealisasi sebesar Rp 773,38 miliar dan berlaku selama 4 tahun, dengan tanggal jatuh tempo pengembalian 10 Juli 2019. Bunga disepakati 4,8% per tahun ditambah klausul denda yang menyatakan “apabila tidak dapat mengembalikan sesuai jadwal dan/atau melunasi pinjaman pada akhir perjanjian dikenakan denda sebesar 1/1000 (satu per mil) per hari dari nilai pinjaman”.

Pinjaman itu merupakan dana talangan (bail out) pemerintah kepada Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya untuk membayar ganti rugi berupa pembelian tanah dan bangunan kepada warga korban luapan lumpur Sidoarjo.

Namun, BPK menemukan piutang itu mulai macet. Sampai tanggal jatuh tempo sesuai perjanjian, yaitu 10 Juli 2019, piutang belum lunas. Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya hanya pernah sekali melakukan pengembalian, yaitu pada 20 Desember 2018, sebesar Rp5 miliar.

Per 31 Desember 2019, piutang itu terus bertambah terutama karena klausul denda per hari, hingga menjadi Rp773,38 miliar (pokok piutang), Rp163,95 miliar (bunga), dan Rp981,42 miliar (denda), dengan nilai total mencapai Rp1,91 triliun.

Ketidaktepatan waktu Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya melunasi utang sebelum jatuh tempo menyebabkan denda per hari terus bergulir hingga nilai denda sudah melampaui pokok piutang.

LHP BPK juga mengungkap berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.06/2017, sebuah piutang diklasifikasikan kurang lancar apabila piutang tersebut tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo sampai satu tahun setelah jatuh tempo.

Piutang atas Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya sudah melampui satu tahun sejak jatuh tempo hingga termasuk piutang tidak lancar.

Atas permasalahan tersebut BPK merekomendasikan agar pemerintah tetap melanjutkan koordinasi dengan Kejaksaan terkait dengan penagihan dan juga melakukan penyisihan piutang dan penilaian jaminan atas dana talangan tersebut. (Hms)

23/12/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita

Sisa Dana Desa Rp2,32 Triliun Menganggur di Kas Daerah

by Achmad Anshari 22/12/2020
written by Achmad Anshari

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan agar ditetapkan batas waktu dalam penyaluran sisa dana desa, sekaligus ditetapkan aturan untuk mengatur pengembalian sisa dana tersebut ke kas negara.

Rekomendasi itu muncul dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“Merekomendasikan Menteri Keuangan agar menetapkan batas waktu penyaluran atas sisa dana desa di rekening kas umum daerah, serta melaksanakan rekonsiliasi dan penyetoran atas sisa dana tersebut,” demikian bunyi rekomendasi tersebut.

Rekomendasi itu muncul setelah BPK mendapati penyaluran dana desa ke daerah selalu menyisakan sisa di tiap tahun anggaran. Sisa dana itu terus berakumulasi setiap tahun dan tersimpan begitu saja di kas daerah.

“Sisa dana desa di rekening umum kas daerah dan rekening kas desa tidak diketahui statusnya dan berpotensi menjadi idle cash (dana menganggur)”, demikian terungkap dalam LHP.

Secara lebih spesifik, audit BPK mendapati sisa dana desa mulai terjadi sejak tahun anggaran 2016 sebesar Rp53,68 miliar, lalu Rp11,45 miliar (2017), Rp30,08 miliar (2018), dan Rp3,24 triliun (2019), sehingga total pada Februari 2020 , sisa dana desa di kas daerah sudah berakumulasi Rp3,33 triliun.

Namun, pada Maret 2020, sisa dana desa berkurang menjadi Rp2,32 triliun yang mengindikasikan telah terjadi penyaluran ke rekening kas desa menggunakan dana sisa tersebut. LHP BPK menyatakan hal ini menunjukkan tidak terjadi cut off dalam penyaluran dana desa.

Seharusnya, penyaluran dana menyesuaikan dengan tahun anggaran. Program desa (ABPDes) pada 2019 harus didanai dana desa tahun anggaran 2019. Tujuannya untuk mendorong desa mencapai output yang direncanakan atau menyelesaikan program APBDes dalam satu tahun anggaran.

Namun, akumulasi sisa dana desa selama 4 tahun anggaran (2016-2019) di kas daerah membuat praktik cut off tidak terjadi,

“Tidak terdapat pengaturan secara jelas mengenai batasan waktu tahun anggaran sebelumnya, terutama terkait sisa dana desa di rekening kas umum daerah dan rekening kas desa yang masih bisa disalurkan, meskipun telah melampaui satu tahun anggaran,” demikian terungkap dalam LHP.

Praktik itu tidak sesuai dengan Pasal 3 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengharuskan keuangan negara dikelola secara tertib.

Atas temuan itu, BPK merekomendasikan agar Menteri Keuangan menetapkan batas waktu penyaluran sisa dana desa, hingga penyaluran dana tersebut bisa tertib dan menyesuaikan dengan tahun anggaran.

BPK juga merekomendasikan agar dibuat aturan mengenai pengembalian dana desa ke rekening kas umum negara, hingga tidak lagi terjadi pengendapan sisa dana desa di kas daerah atau dana menganggur. (Hms)

22/12/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Suasana pemberian bantuan (Sumber: Youtube Kemensos).
BeritaBerita TerpopulerSLIDER

5 Instansi Bermasalah Menyalurkan Bansos Rp3,3 Triliun

by Achmad Anshari 21/12/2020
written by Achmad Anshari

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan masalah dalam penyaluran dan realisasi dana bantuan sosial (bansos) oleh 5 kementerian/lembaga (K/L) dengan nilai total Rp3,3 triliun.

Temuan itu muncul dalam dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Kepatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020. “Permasalahan dalam penyaluran dan penggunaan dana bansos,” demikian ungkap LHP BPK.

Lima lembaga itu adalah Kementerian Sosial Rp1,73 triliun, Kementerian Agama Rp729,19 miliar, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Rp661,05 miliar, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Rp153,30 miliar, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp35,76 miliar,

Di Kementerian Sosial, audit BPK antara lain menemukan dari total dana bansos Rp1,73 triliun, Rp1,2 triliun masih mengendap di rekening penampungan K/L, lalu Rp306,62 miliar mengendap di rekening pihak ketiga, dan Rp150,94 miliar mengendap di rekening pihak ketiga tetapi belum dapat dijelaskan.

Di Kementerian Agama, BPK mendapati 1 juta siswa penerima bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) belum melakukan aktivasi rekening hingga dana Rp648 miliar masih mengendap di rekening bank penyalur.

Temuan lain berupa dana PIP Madrasah dan Pondok Pesantren Tahun 2018 sebesar Rp74,66 miliar yang tidak diaktivasi penerima tetapi belum dikembalikan ke kas negara.

Di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, BPK menemukan antara lain dana bansos tahun 2018 dan tahun-tahun sebelumnya belum dipertanggungjawabkan dengan nilai Rp140,95 miliar.

Kemudian proyek pembangunan rumah dalam rangka rehabilitasi dengan dana hibah luar negeri Rp235,53 miliar yang belum didukung pertanggungjawaban belanja, lalu proyek water bombing pemadaman kebakaran hutan yang menimbulkan kelebihan pembayaran Rp137,57 juta dan pemborosan Rp32,53 miliar.

Di Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, pemeriksaan BPK antara lain menemukan keterlambatan penyaluran bantuan Bidikmisi sebesar Rp150,37 miliar dan bantuan Bidikmisi salah sasaran Rp2,58 miliar karena mengalir ke mahasiswa berstatus non-aktif.

Sedang di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, antara lain pencairan dana tahun anggaran 2017 sebesar Rp20,87 miliar setelah tanggal pengembalian ke kas negara, dan dana Program Indonesia Pintar (PIP) 2017 yang belum diaktivasi penerima dan harus dipertanggungjawabkan Rp10,21 miliar.

Atas berbagai permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan agar menginstruksikan kepada menteri/pimpinan lembaga untuk menyelesaikan pertanggungjawaban dan meminta APIP K/L melakukan pengawaan atas penyimpangan belanja. (Hms)

21/12/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Berita

Mencari Formulasi Defisit Anggaran

by Admin 14/10/2020
written by Admin

Oleh Agus Joko Pramono, Wakil Ketua BPK

Perhitungan defisit sejatinya bisa bermanfaat pula dalam pengambilan kebijakan untuk menjaga kesinambungan fiskal. Untuk memaksimalkan tujuan ini, pemerintah perlu juga meningkatkan mitigasi terhadap defisit daerah.

Kita selama ini kerap dihadapkan pada perdebatan mengenai jumlah defisit anggaran yang layak dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Perdebatan ini terjadi karena jumlah defisit erat kaitannya dengan pembiayaan yang harus diambil pemerintah.

Dalam konteks membangun negara, defisit merupakan hal wajar. Hampir semua negara meng­alaminya. Defisit terjadi apabila pendapatan negara lebih kecil dari belanja yang akan dieksekusi. Suatu negara menetapkan defisit karena ada manfaat lebih besar yang bisa diperoleh dari ang­garan belanja, misalnya untuk menunjang pembangunan, sementara pendapatan negara tidak mencukupi kebutuhan.

Perhitungan defisit dibuat untuk menjaga kestabilan ekonomi makro. Juga untuk menghasilkan kinerja fiskal yang sehat dan berkesinambungan. Bukan hanya sehat pada satu atau dua masa, tapi sehat secara berkesinambungan karena ada kaitannya dengan kemampuan membayar. Untuk itulah pemerintah melakukan pengendalian jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD, serta jumlah kumulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Berapa angka defisit yang tepat?

Defisit biasanya dibiayai dari utang. Karena ada utang yang ditarik, maka terbentuklah akumulasi jumlah utang. Oleh karena itu, selain defisit tahunan, akumulasi utang juga dikendalikan. Dengan begitu, ada dua hal yang dikendalikan: jumlah defisit anggaran dan jumlah total utang untuk menutup defisit.

Lalu, berapa angka defisit yang tepat? Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, defisit APBN dibatasi maksimal 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sedang­kan jumlah pinjaman pemerintah pusat dibatasi maksimal 60 persen dari PDB. Untuk pemerintah daerah, defisit APBD dibatasi maksimal 3 persen dari produk regional bruto (PRB) daerah yang bersang­kutan. Adapun jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari PRB daerah yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Pendapatan Belanja Daerah, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam pasal 4 beleid tersebut ditetapkan bahwa jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3 persen dari PDB tahun bersangkutan.

Melalui PP ini, batasan defisit pemerintah pusat dan daerah ditetapkan digabung menjadi 3 persen terhadap PDB. Tujuannya agar defisit anggaran tidak membawa dampak negatif terhadap kestabilan ekonomi makro dalam jangka pendek dan jangka menengah. Selain itu, agar sesuai dengan kaidah-kaidah yang baik dalam pe­ngelolaan fiskal.

Dengan ketetapan itu, setiap daerah harus meminta izin terlebih dahulu kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) jika ingin membentuk defisit anggaran. Izin itu diajukan untuk meminta persetujuan Peraturan Daerah (Perda) tentang APBD. Setelah itu, Kemendagri berkoordinasi de­ngan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Jumlah kumulatif pinjaman juga diatur dalam pasal 4 PP 23 Tahun 2003. Sama seperti halnya defisit, jumlah kumulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah digabung dan dibatasi tidak melebihi 60 persen dari PDB. Sehingga, kita sekarang dihadapkan pada satu ukuran standar, ya­itu 3 persen untuk defisit dan 60 persen untuk total utang. Ini pengertian menurut undang-undang kita.

Dalam standar akuntansi internasional, defisit salah satunya diatur dalam International Public Sector Accounting Standard (IPSAS) 3 tentang “Net Surplus or Deficit for Period, Fundamental Errors, and Changes in Accounting Policies” (Surplus atau Defisit Bersih untuk Periode Berjalan, Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi).  Ada dua hal yang dibahas terkait dengan positioning defisit.

Intinya mirip dengan praktik di Indonesia. Perbedaannya, IPSAS mengatakan defisit mau dilihat dari mana, apakah mau dilihat dari cash flow atau dilihat dari laporan operasional (income statement). Jika dilihat dari cash flow, maka defisit betul-betul dilihat dari jumlah kekurangan uang.

Sementara jika dilihat dari income statement yang berbasis akrual, bukan berbasis kas, bisa jadi antara jumlah beban yang dibayarkan dengan uang yang dikeluarkan berbeda. Di dalam konteks ini, IPSAS tidak mendefinisikan secara spesifik. Kita sendiri yang memitigasi. Bahwa, defisit untuk periode tertentu adalah kaitan dengan menjaga akuntabilitas dan positioning dari laporan keuangan.

 

Meningkatkan value

Perhitungan defisit tentu memiliki tujuan. Bagi Pemerintah Indonesia, ini menjadi suatu burden atau batasan. Pemerintah tidak boleh melewati batasan tersebut. Jika PDB Indonesia sebesar Rp14 ribu triliun, maka batasan defisit 3 persen seperti yang diatur dalam UU adalah sekitar Rp420 triliun. Maka, selisih antara pendapatan dan belanja tidak boleh lebih dari Rp420 triliun.

Perhitungan defisit juga memiliki manfaat dalam bidang perencanaan. Contoh sederhananya, jika kita ingin membangun namun tidak punya uang, kita bisa merencanakan mencari sumber pendanaan untuk menutupi kekurangan uang, apakah dengan menjual barang, melakukan pinjaman, kerja sama dengan pihak ketiga, atau yang lainnya. Tapi, yang paling populer tentu adalah melakukan pinjam­an. Jadi, manfaat defisit dalam perencanaan adalah meningkatkan value yang lebih besar daripada resources yang dimiliki. Caranya dengan menyerap sumber pendanaan lain selain yang kita miliki.

Sebenarnya, bagaimana formulasi perhitungan defisit APBN saat ini? APBN menyatakan bahwa pendapatan dikurangi belanja adalah defisit. Metode pencatatan transaksi akuntansi yang digunakan adalah cash basis atau berbasis kas. Artinya, uang yang masuk akan diakui sebagai pendapatan apabila dana benar-benar sudah masuk ke kas negara. Begitu pula dalam hal belanja. Pengeluaran akan diakui sebagai belanja apabila uang sudah keluar.

Dengan metode cash basis, maka jika ada pembelanjaan terhadap suatu barang dan barang itu sudah dipakai namun belum digunakan, secara definisi itu belum dikategorikan sebagai belanja. Walaupun nilai dari pembelanjaan barang itu sudah digunakan dan dimanfaatkan, pemerintah tidak menganggap itu sebagai belanja karena belum dibayar. Dengan demikian, belanja menjadi unsur yang diskresif, terserah pemerintah. Dampaknya, kontrol terhadap defisit menjadi kurang bermanfaat.

Jika defisit sudah atau akan melewati batasan, pemerintah bisa memutuskan untuk tidak melakukan pembayaran terhadap belanja yang sudah dilakukan. Pembayarannya ditahan terlebih dahulu. Semakin banyak yang ditahan, semakin kecil nilai defisitnya. Ini yang sebenarnya legalize, tapi tidak tepat kemanfaatannya.

Dalam hal pendapatan pun demikian. Seperti diketahui, pemerintah setiap tahun mengembalikan kelebihan pembayaran pajak yang dibayarkan wajib pajak atau restitusi. Kalau kelebihan pajak dikembalikan, maka pendapatan pemerintah akan turun. Oleh karena itu, ada kalanya restitusi ditahan terlebih dahulu dan dibayarkan tahun berikutnya. Hal itu pula yang membuat restitusi yang belum dibayar dari tahun ke tahun meng­alami peningkatan. Belanja yang belum dibayar dari tahun ke tahun pun naik. Jadi, angka perhitungan nilai defisit menjadi tidak terlalu valid karena ada intervensi.

Kendati demikian, seberapa besar tidak validnya perhitungan nilai defisit belum bisa kita simpulkan, karena kita belum menguantisasi secara formal. Saya pun tidak mau memunculkan perhitungan yang berbeda. Tetapi kalau analisis semata, bukan nilai formal, bisa ditinjau dari jumlah utang yang tidak dibayar. Kita bisa melihat dana bagi hasil (DBH) yang belum dibayar. Itu seharusnya menambah jumlah defisit. Kemudian juga jumlah subsidi yang tidak dibayar.

Kesinambungan fiskal

Agar perhitungan defisit tidak diintervensi, caranya sederhana. Yaitu dengan mengembalikan unsur-unsur yang sudah dimanfaatkan. Unsur yang sudah dipakai tapi belum dibayar, dimasukkan lagi ke dalam unsur defisit. Hal ini yang sebenarnya juga menjadi permintaan BPK. Memasukkan unsur yang belum dibayar menjadi usulan BPK agar perhitungan defisit benar-benar riil.

Saat ini pun ada belanja yang sebenarnya bukan belanja pemerintah pusat, yaitu transfer ke daerah. Pemerintah sebenarnya hanya menggeser bagian dari pendapatannya menjadi pendapatan pemerintah daerah. Dalam teori yang sebenarnya, yang disebut dengan belanja adalah apabila kita mendapatkan manfaat dari resource yang dikorbankan, bukan orang lain yang justru mendapat­kan manfaatnya. Biasanya, positioning dalam hal ini agak berbeda. Namun, untuk menyeragamkan, pemerintah tidak membuat tinjauan khusus terha­dap transfer. Idealnya, perhitungan defisit adalah pendapatan dikurangi jumlah transfer dan belanja dikurangi jumlah transfer.

Perhitungan defisit sejatinya bisa bermanfaat pula dalam pengambilan kebijakan untuk menjaga kesinambungan fiskal. Untuk memaksimalkan tujuan ini, pemerintah perlu juga meningkatkan mitigasi terhadap defisit daerah. Selama ini, mitigasi itu belum optimal. Penyebabnya, sistem informasi pemerintah daerah berada di bawah Kemendagri. Sementara, yang menjadi bendahara negara adalah Kementerian Keuangan. Belum ada sistem informasi yang secara langsung mewajibkan daerah meminta izin terkait jumlah utang kepada Kemenkeu.

Lalu, apa kaitannya defisit dengan kebutuh­an utang dalam periode yang sama? Logika sederhananya, jumlah defisit akan sama dengan jumlah penambahan utang. Tetapi ternyata tidak demikian. Penambahan utang bisa lebih besar daripada jumlah defisitnya. Sebab, ada utang jatuh tempo yang harus dibayar.

Jadi, kalau batasan defisit sebesar Rp420 triliun, maka utang yang ditarik bisa lebih dari Rp420 triliun karena kita butuh cash untuk membayar utang jatuh tempo. Oleh karena itu, risiko dari jumlah pinjaman juga sangat penting untuk dimitigasi. Sebab, jika seandainya semakin lama jarak antara pendapatan dan belanja semakin besar, maka secara normatif kemampuan kita untuk membayar secara jangka panjang akan berkurang.

Untuk itulah Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia membuat batasan debt service coverage ratio. IMF menetapkan jumlah maksimal pembayaran utang jatuh tempo dan bunga sekitar 36 persen dari pendapatan suatu negara. Sedangkan pembayaran bunganya saja maksimal 10 persen dari pendapatan. Dan, Indonesia sudah melewati batasan itu.

Banyak yang bertanya, mengapa rasio defisit dan jumlah utang dikaitkan dengan PDB? Seperti kita ketahui, PDB secara sederhana adalah nilai dari barang yang diproduksi di suatu negara. Semakin besar PDB, maka semakin besar pajak yang diperoleh. Jika PDB tumbuh, pendapatan negara pun akan naik karena ada unsur penerimaan perpajakan. Atas alasan itulah jumlah utang dikaitkan dengan PDB. Semakin besar PDB, maka semakin besar kemampuan membayar.

Permasalahannya, rasio perpajakan di Indonesia semakin turun. Itu artinya, relasi antara PDB dan kemampuan membayar semakin rendah. Dengan demikian, meningkatnya nilai PDB belum tentu dapat meningkatkan pendapatan negara. Inilah yang terjadi di Indonesia.

Fiscal sustainability report

Merujuk pada data yang disampaikan Kementerian Keuangan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2021, rasio perpajakan Indonesia pada 2015 sebesar 10,76 persen terhadap PDB. Pada 2016 turun menjadi 10,36 persen dan turun lagi menjadi 9,89 persen pada 2017. Rasio perpajakan sempat naik menjadi 10,24 persen pada 2018. Namun, pada 2019, kembali turun menjadi 9,76 persen.

Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat fiscal sustainability report dalam jangka panjang dengan membuat proyeksi-proyeksi tertentu, lalu memasukkan unsur defisit dan utang. Dengan lapor­an tersebut, kita akan mengetahui bagaimana kemampuan kita membayar dan menyerap utang. Sehingga, ukurannya tidak hanya mengaitkan dengan PDB. Hal ini yang belum terlihat secara detail dalam pola perhitungan pemerintah. Dalam laporan itu bisa dibuat bagaimana kondisi APBN selama 30 tahun ke depan. Saat ini, kita lebih merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang hanya lima tahunan.

Yang perlu saya tekankan, pandangan terkait defisit ini tidak ada kaitannya dengan kondisi yang kita hadapi sekarang, yaitu ketika pandemi Covid-19. Saya bicara ini dalam konteks normal. Di tengah pandemi Covid-19 yang masih belum terlihat ujungnya, kita memang sedang membutuhkan uang. Semua perusahaan terdampak. Hampir semua negara pun defisitnya meningkat. Biarkan pemerintah bekerja untuk memperbaiki perekonomian. BPK sebagai lembaga pemeriksa negara, akan mengawal akuntabilitas dan transparansi setiap kebijakan yang dibuat pemerintah.

 

14/10/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Waspada Penipuan Mengatasnamakan BPK: Pentingnya Verifikasi Lewat Domain Resmi
  • BPK Tegaskan Pemeriksaan untuk Akuntabilitas dan Manfaat Nyata
  • Museum BPK, Ruang Belajar Publik yang Hidup dan Inklusif
  • Middle Income Trap, Jalan Terjal Menuju Indonesia Emas 2045
  • Hadiri Forum Risk and Governance Summit 2025, Wakil Ketua BPK Dorong Penerapan Tata Kelola Kolaboratif
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Waspada Penipuan Mengatasnamakan BPK: Pentingnya Verifikasi Lewat Domain...

    28/08/2025
  • BPK Tegaskan Pemeriksaan untuk Akuntabilitas dan Manfaat Nyata

    27/08/2025
  • Museum BPK, Ruang Belajar Publik yang Hidup dan...

    26/08/2025
  • Middle Income Trap, Jalan Terjal Menuju Indonesia Emas...

    21/08/2025
  • Hadiri Forum Risk and Governance Summit 2025, Wakil...

    20/08/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id