WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Friday, 29 August 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Category:

Suara Publik

SLIDERSuara PublikUncategorized

Menyiasati Unintended Consequences dalam Kebijakan Publik

by admin2 12/12/2024
written by admin2

Oleh: Rifky Pratama Wicaksono, Penelaah Teknis Kebijakan pada AKN I BPK

Setiap kebijakan publik seringkali memiliki tujuan jelas, namun dampaknya tidak selalu sesuai harapan. Fenomena ini dikenal sebagai unintended consequences, yang pertama kali diperkenalkan oleh Robert K. Merton pada 1936 sebagai unanticipated consequences. Meski merupakan sebuah kondisi yang tak diinginkan, kondisi ini kerap muncul sebagai hasil dari berbagai faktor kompleks yang mengiringi proses penyusunan kebijakan publik.

Unintended consequences timbul bukan semata-mata karena tidak terprediksi, namun bisa jadi sebenarnya dampak itu sudah diperhitungkan namun diabaikan karena sejumlah kondisi, seperti tekanan politis, konservatisme, dan karakter pengambil kebijakan. Frank de Zwart menganggap bahwa istilah “unintended, but not unanticipated consequences” lebih sesuai, sebab pembuat kebijakan dianggap memiliki kapasitas untuk menakar dan seharusnya bisa mengantisipasi berbagai konsekuensi dari keputusan yang diambil, baik positif maupun negatif.

Meskipun tidak sepenuhnya terhindarkan, unintended consequences dapat membawa kerugian jika tak ditangani dengan cermat–merugikan kelompok rentan, memperumit persoalan yang ada, bahkan menimbulkan masalah baru. Kebijakan publik pun kini menghadapi tantangan besar di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity). Dalam konteks ini, sulit untuk memprediksi bagaimana setiap unsur akan bereaksi dalam situasi dinamis yang melibatkan aspek sosial, ekonomi, hingga budaya. Kompleksitas ini membuat kebijakan sangat rentan terhadap unintended consequences.

Sebagai contoh, sejumlah pasal dalam UU No. 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bertujuan untuk mencegah ujaran kebencian dan fitnah siber. Namun, keberadaannya justru menimbulkan keresahan. Banyak yang menganggapnya multitafsir antara penyampaian kritik dan pencemaran nama baik. Akibatnya, banyak orang dituntut dalam satu dekade terakhir, dan ironisnya, sebagian adalah korban kriminalisasi.

Asumsi yang tidak tepat juga dapat memicu timbulnya konsekuensi tak terduga dalam kebijakan publik. Keputusan yang dihasilkan oleh pembuat kebijakan umumnya didasarkan pada perkiraan reaksi masyarakat terhadap kebijakan yang akan diberlakukan. Namun, jika tidak dapat mengukur dengan benar, maka asumsi yang dihasilkan berisiko meleset, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kebijakan tidak efektif.

Misalkan, wacana perubahan kebijakan subsidi BBM menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) bertujuan untuk memastikan bantuan yang lebih tepat sasaran bagi kelompok masyarakat miskin. Namun, rendahnya tingkat pendidikan serta maraknya judi online berpotensi membuat bantuan disalahgunakan. Di sisi lain, seiring dengan meningkatnya biaya hidup, penghapusan subsidi BBM berisiko menimbulkan sentimen negatif bagi kelompok kelas menengah rentan yang jumlahnya kian bertambah, menciptakan ketidakpuasan di masyarakat.

Kurang intensifnya pemanfaatan data dan informasi, serta keterbatasan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi tantangan tersendiri dalam menghasilkan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Data yang tersedia seringkali memiliki akses terbatas, kurang mutakhir. Pengelolaannya yang berbeda antar lembaga, menyebabkan data berpotensi bias. Kondisi ini menghambat pemerintah dalam mencapai target yang ditetapkan.

Hasil pemeriksaan kinerja BPK atas upaya pemerintah daerah untuk menanggulangi kemiskinan TA 2021 menemukan bahwa 32 dari 34 pemerintah provinsi belum sepenuhnya menggunakan data kependudukan yang akurat dan relevan dalam merancang kebijakan penanggulangan kemiskinan beserta mitigasi risikonya. Alhasil, program yang dilaksanakan berpotensi tidak tepat sasaran, tidak terarah, dan tidak padu, menghambat upaya penanggulangan kemiskinan di tingkat nasional.

Proses formulasi kebijakan yang memakan waktu juga berpotensi menimbulkan time lag, yakni jeda antara perumusan kebijakan dengan penerapannya serta dampak yang dihasilkan. Ketika kondisi ini terjadi, pembuat kebijakan kehilangan momentum untuk menyelesaikan masalah yang ada. Kebijakan yang berhasil diformulasi pun boleh jadi tidak relevan karena permasalahan telah menjadi lebih rumit dan menimbulkan efek domino. Dampak tak termaksud pun menjadi semakin tak terelakkan.

Melihat kondisi di atas, lantas bagaimana seharusnya unintended consequences disikapi?

Pertama, perlu dilakukan identifikasi aktor kebijakan, baik di dalam dan luar pemerintah, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang posisi, kepentingan, dan sikap pemangku kepentingan. Lebih lanjut, siklus kebijakan yang erat dengan bukti empiris, administrasi publik, dan politik menuntut pembuat kebijakan untuk mampu mencari titik temu antara ketiganya. Dengan begitu, pembuat kebijakan dapat memvisualisasi konflik potensial antaraktor serta merancang strategi negosiasi dan kolaborasi yang efektif sejak tahap agenda setting.

Penting juga untuk menghindari empat jenis bias kebijakan: elite bias, power bias, interest bias, dan purpose bias. Keputusan pada tingkat atas dapat dipengaruhi oleh bias ini, padahal kepentingan tertentu tidak selalu mewakili kepentingan umum dan bisa saja keliru. Karena itu, pembuat kebijakan perlu fokus pada nilai dan tujuan, menggali akar masalah, bersikap objektif, dan menjalin pola komunikasi yang baik.

Partisipasi publik melalui audiensi hingga lokakarya juga akan membantu seluruh stakeholder berkomunikasi dan berdiskusi dalam rangka menjembatani alur pikir. Peran integral masyarakat menuntut aktor kebijakan menjadi lebih fleksibel dan responsif dalam beragam situasi. Hal ini menjadikan kebijakan lebih relevan dengan kondisi riil, adaptif terhadap perubahan, inklusif di seluruh lapisan, dan diharapkan dapat mengatasi dan mengantisipasi masalah.

Untuk mewujudkan itu semua, peran analis kebijakan dalam menyajikan rekomendasi kebijakan menjadi krusial melalui berbagai hasil kerja, seperti policy memo, policy brief, hingga policy paper, serta mengadvokasinya secara bottom-up hingga level pengambil keputusan. Namun, analis kebijakan tak cukup hanya fokus pada policy content, namun juga pada policy actors dan policy environment. Oleh sebab itu, kemampuan melihat masalah secara multidimensional diperlukan agar dapat memberi hasil kerja yang tak hanya berbasis bukti, namun juga substansial dan tajam.

Tak bisa dinafikan, unintended consequences adalah “kejutan” dari kebijakan dalam situasi yang tak pasti. Pembuat kebijakan harus mempertimbangkan berbagai risiko dan dampak yang mungkin timbul, sebab jika salah langkah dapat merugikan masyarakat dan menghambat pencapaian tujuan negara. Political will menjadi esensial, agar risiko dan dampak tak hanya ditimbang, namun juga dimitigasi agar pencapaian tujuan tetap terkawal.

Dengan menerapkan proses penyusunan kebijakan yang berorientasi pada nilai, mengadopsi pendekatan yang agile dan evaluatif, serta melibatkan semua unsur dalam siklus kebijakan, pembuat kebijakan dapat mengurangi potensi dampak tak termaksud secara holistik, menghasilkan kebijakan yang lebih efektif, berkelanjutan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

12/12/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDERSuara Publik

Membangun Internal Tim Pemeriksa yang Kondusif melalui Komunikasi Asertif

by admin2 05/12/2024
written by admin2

Oleh: Rafiq Andhika Maulana, Pemeriksa Ahli Pertama pada BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 memberi mandat kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara. Mandat tersebut dilaksanakan oleh setiap insan pemeriksa BPK, baik di lingkup pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Petunjuk Teknis (Juknis) dan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Pemeriksaan mengatur bahwa pemeriksaan dilakukan oleh Tim Pemeriksa setelah diterbitkannya surat tugas. Tim pemeriksa terdiri atas seorang Ketua Tim dan beberapa Anggota Tim. Maka dari itu dalam rangka melaksanakan pekerjaannya, pemeriksa tidak bekerja seorang diri.

Kegiatan pemeriksaan merupakan tugas dan tanggung jawab kolektif tim pemeriksa dalam rangka menjalankan mandat Undang-Undang Dasar NKRI 1945. Tugas dan tanggung jawab kolektif tersebut mengharuskan seorang pemeriksa agar mampu mengembangkan kemampuan kerja sama tim. Pemeriksa dapat mengembangkan kemampuan kerja sama tim yang baik dengan membangun komunikasi asertif. Komunikasi asertif diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pandangan kepada orang lain secara jujur dan tegas dengan tetap menunjukan rasa hormat serta empati kepada lawan bicara (Aprilistyan, dkk, 2022).

Seseorang dengan komunikasi asertif yang baik akan melihat sudut pandang orang lain sama pentingnya dengan sudut pandang diri sendiri. Penerapan komunikasi asertif pada tim pemeriksa diperlukan agar setiap individu di dalam tim pemeriksa dapat menyampaikan pandangannya secara terbuka dan tegas dengan penuh rasa hormat, sehingga terhindar dari konflik yang disebabkan oleh ketidakcakapan dalam berkomunikasi. Individu yang asertif memiliki kemampuan pengelolaan konflik win-win solution dan melihat hambatan dari dua arah secara bijaksana dengan tujuan meningkatkan moral kerja, kinerja, produktivitas, dan kerja sama tim yang solid (Widyastuti, 2017).

Peningkatan kualitas moral, kinerja, produktivitas, serta kerja sama tim merupakan wadah agar terbentuknya keadaan tim yang kondusif. Tim pemeriksa dengan kondisi internal yang kondusif dapat tercermin dengan diterapkannya sikap asertif pada pengelolaan konflik, tujuan pemeriksaan, dan nilai-nilai dasar BPK.

Sikap Asertif di dalam Tim Pemeriksa

Komunikasi asertif timbul di saat seorang pemeriksa bersikap terbuka, tegas, dan hormat dalam mengutarakan keinginannya. Pemeriksa dengan sikap yang terbuka mampu menyampaikan tanggung jawabnya sesuai dengan kenyataan dan fakta yang ada. Sikap terbuka dibutuhkan oleh setiap individu di dalam tim pemeriksa. Sikap terbuka seorang Ketua Tim memberikan rasa aman dan kejujuran kepada Anggota Tim. Anggota Tim dengan sikap terbuka mampu meningkatkan rasa saling percaya kepada sesama Anggota Tim maupun Ketua Tim. Sikap terbuka yang terbangun dengan baik memungkinkan pemeriksa untuk bertukar pikiran ketika mengalami kendala saat perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pemeriksaan.

Kode Etik Pemeriksa mengatur dengan jelas bahwa pemeriksa harus bersikap tegas dalam mengungkap fakta pemeriksaan. Sikap tegas merupakan bentuk komunikasi asertif pemeriksa agar konsisten menyampaikan kebenaran. Ketegasan seorang Ketua Tim mencerminkan kepemimpinan yang objektif. Sikap tegas Anggota Tim melahirkan kepatuhan dan komitmen terhadap tujuan pemeriksaan.

Komunikasi asertif dapat diterapkan dengan baik apabila pemeriksa saling memahami satu sama lain. Kemampuan memahami satu sama lain merupakan sikap hormat yang ditunjukan melalui keterbukaan dan ketegasan dalam berkomunikasi. Ketua Tim menghargai dan mengarahkan Anggota Tim dengan membagi tanggung jawab tim secara adil. Anggota tim menjalankan arahan Ketua Tim sebaik-baiknya dengan penuh rasa tanggung jawab. Sikap hormat akan membentuk internal tim pemeriksa yang solid dan terbebas dari dinamika konflik.

Komunikasi Asertif terhadap Pengelolaan Konflik

Pengelolaan konflik merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk mengatur perselisihan atau sengketa yang muncul di dalam organisasi maupun kelompok, agar dapat terselesaikan dengan cepat dan lebih baik (Widyastuti, 2017). Pengelolaan konflik dapat dilakukan melalui pendekatan yang bersifat komunikatif. Pemeriksa dapat menggunakan komunikasi asertif dalam manajemen konflik konstruktif. Konflik konstruktif diartikan sebagai persoalan yang mengarah pada pencarian solusi agar kedua belah pihak yang berkonflik memperoleh kepuasan yang sama (win – win solution). Tim pemeriksa yang menghadapi konflik konstruktif memerlukan sikap terbuka setiap pemeriksa, ketegasan untuk selalu menyampaikan fakta, serta menghargai pandangan dari pemeriksa lainnya guna mencari jalan tengah yang solutif.

Sikap Asertif dalam Tujuan Pemeriksaan

Pemeriksaan bertujuan untuk memperoleh keyakinan yang memadai atas kewajaran, kesesuaian, dan kepatuhan atas bukti-bukti pemeriksaan terhadap ketentuan perundang-undangan dan praktik terbaik (benchmark). Keyakinan seorang pemeriksa dibangun di atas sikap asertif dengan mengedepankan kebenaran berdasarkan bukti-bukti pemeriksaan. Kebenaran disampaikan dengan konsisten dan penuh komitmen agar tim pemeriksa mampu mencapai tujuan pemeriksaan yang diharapkan. Hasil suatu pemeriksaan diharapkan mampu meyakinkan stakeholder (pemangku kepentingan) BPK berdasarkan fakta pemeriksaan.

Penerapan Sikap Asertif pada Nilai Dasar BPK

Nilai-nilai dasar BPK berkorelasi dengan sikap asertif setiap pemeriksa. Kondisi internal tim pemeriksa yang terbuka merupakan wujud penerapan nilai integritas. Keterbukaan merupakan sikap asertif yang menunjukan seorang pemeriksa tidak menyembunyikan kebenaran dan selalu transparan kepada pemeriksa lainnya. Tim pemeriksa menerapkan sikap tegas sebagai wujud implementasi nilai independensi. Penerapan sikap tegas merupakan komitmen dan keteguhan tim pemeriksa, agar tujuan pemeriksaan tercapai sesuai dengan harapan penugasan. Kemampuan pemeriksa untuk menghargai satu sama lain merupakan wujud penerapan nilai profesionalisme. Setiap pemeriksa menghargai tugas dan tanggung jawab yang diberikan di dalam tim pemeriksa. Pemeriksa yang bekerja secara profesional memastikan bahwa tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya dapat diselesaikan dengan baik.

Daftar Pustaka

Aprilistyan, S. Ikhwan, K. (2022). Kontribusi Komunikasi Asertif dan Kepemimpinan dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Kerja: Kajian Literatur. Transekonomika: Akuntansi, Bisnis, dan Keuangan, Vol 2 No. 6. 389 – 400.

Widyastuti Tri. (2017). Pengaruh Komunikasi Asertif terhadap Pengelolaan Konflik. Akademi Pariwisata BSI Bandung, Vol 1 No. 1. 1 – 7.

05/12/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
SLIDERSuara PublikUncategorized

Masa Depan Keberlanjutan: Kompas Baru Bagi Sektor Publik

by admin2 25/11/2024
written by admin2

Oleh: Muhammad Rafi Bakri. Pengelola Data dan Informasi di BPK

Internasional Financial Reporting Standards (IFRS) S1 dan S2 menandai era baru transparansi global dengan menetapkan baseline universal untuk sustainability reporting. Standar ini tidak hanya menandakan perubahan, tetapi juga membuka babak baru yang berani. Misi IFRS jelas dan ambisius, mengharuskan sektor privat untuk mengungkapkan wawasan penting yang memengaruhi keputusan terkait risiko dan peluang keberlanjutan. Standar ini tidak hanya tentang kepatuhan, tetapi juga memberdayakan stakeholder laporan keuangan, yaitu mereka yang mempercayakan sumber daya mereka kepada entitas ini.

IFRS S1 “General Requirements for Disclosure of Sustainability-related Financial Information” mewajibkan entitas untuk memberikan penjelasan rinci tentang risiko dan peluang terkait sustainability. Informasi ini harus disajikan di laporan keuangan untuk membantu stakeholder membuat keputusan yang tepat dalam alokasi sumber daya ke entitas tersebut. Data terkait sustainability sangat penting karena kapasitas entitas untuk menghasilkan arus kas dalam jangka pendek, menengah, atau panjang sangat terkait erat dengan hubungannya dengan para pemangku kepentingan, masyarakat luas, ekonomi, dan lingkungan alam—semuanya terhubung dalam entity’s value chain.

Lebih lanjut, IFRS S2 “Climate-Related Disclosures” mengharuskan entitas untuk mengungkapkan risiko dan peluang yang terkait dengan perubahan iklim. Tujuan pengungkapan terkait perubahan iklim adalah untuk membantu pengguna laporan keuangan memahami proses tata kelola, pengendalian, dan prosedur yang digunakan institusi untuk memantau, mengelola, dan mengawasi risiko serta peluang terkait iklim.

Kedua standar tersebut secara bertahap pasti akan diterapkan di sektor publik. International Public Sector Accounting Standards (IPSAS), yang merupakan standar akuntansi global untuk entitas publik, sangat adaptif terhadap perubahan dalam IFRS. Urgensi terkait sustainability dan perubahan iklim juga dirasakan oleh entitas publik, sehingga penyesuaian standar diperlukan. Bahkan, Dewan IPSAS (IPSASB) telah menargetkan agar standar ini selesai disusun dan ditetapkan pada tahun 2025.

Akibatnya, Pedoman Standar Akuntansi Pemerintah Indonesia (PSAP) turut mengalami perubahan. Penyesuaian ini akan mengharuskan semua entitas sektor publik, dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, untuk menyusun laporan keuangan yang mengungkapkan informasi terkait sustainability dan perubahan iklim. Ini bukan sekadar persyaratan administratif, tetapi membawa harapan besar dalam mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia. Selain itu, transparansi yang didorong oleh standar ini diharapkan dapat meminimalkan risiko green-fraud.

Proses penerapan standar baru oleh entitas sektor publik di Indonesia memunculkan kekhawatiran. Pasalnya, entitas sektor publik cenderung lebih lama dalam mengadopsi suatu pedoman baru dibanding sektor privat. Contoh yang jelas adalah adopsi accrual basis yang telat dalam sistem akuntansi pemerintah, yang baru diterapkan Indonesia pada tahun 2015—bertahun-tahun setelah banyak negara lain mulai melakukan transisi ini pada awal tahun 2000-an. Sekarang, pertanyaannya bukan lagi apakah perubahan ini diperlukan, tetapi tantangan apa yang akan dihadapi pemerintah Indonesia selama proses adopsi ini dan yang lebih penting, apakah pemerintah dapat mengatasinya?

Permasalahan pertama adalah ketersediaan dan keandalan data. Sustainability reporting bergantung pada data yang akurat dan terperinci untuk menilai risiko terkait iklim, dan sebagian besar pemerintah harus mengevaluasi seberapa baik data ini terintegrasi dengan kerangka tata kelola data yang ada. Mengidentifikasi dan mengamankan sumber data yang andal sangat penting untuk memantau dampak finansial dari kejadian cuaca ekstrem dan masalah terkait sustainability lainnya. Namun, banyak entitas sektor publik menghadapi sistem data yang terfragmentasi dan akses terbatas ke informasi berkualitas tinggi yang terstandar, yang mempersulit upaya untuk memenuhi persyaratan pelaporan yang ketat yang ditetapkan oleh standar ini.

Selanjutnya, pemerintah harus memastikan tidak hanya akurasi tetapi juga kredibilitas laporan keberlanjutan. Sustainability reporting masih dalam tahap awal, yang menimbulkan tantangan besar bagi pemerintah untuk mengembangkan proses dan pengendalian yang kuat yang terintegrasi dengan sistem data yang sebelumnya tidak termasuk dalam pelaporan keuangan tradisional. Tingkat pengawasan akan sangat besar—informasi terkait keberlanjutan harus memenuhi standar kualitas yang sama ketatnya dengan laporan keuangan dan dilaporkan secara bersamaan, memastikan tidak ada kesenjangan dalam transparansi.

Terakhir, kapasitas sumber daya manusia di dalam institusi pemerintah menjadi tantangan mendesak. Akuntan akan dihadapkan pada akun-akun baru, metode pencatatan yang tidak dikenal, dan pengungkapan yang rumit dalam proses pelaporan. Ketidakpastian yang terlibat, terutama dengan kontingensi, adalah faktor kritis. Akuntan sekarang akan ditugaskan untuk mengantisipasi skenario di mana aliran transaksi tidak dapat ditentukan dengan pasti, memaksa mereka untuk menilai risiko yang bersifat prediktif.

Dibalik tantangan yang begitu banyak, terdapat manfaat yang sangat besar apabila IFRS S1 dan S2 dapat diterapkan oleh sektor publik di Indonesia. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara terkait sustainability dan perubahan iklim akan menjadi outcome utama dari standar tersebut.

25/11/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDERSuara Publik

Pilkada : Pil Pahit Demokrasi

by admin2 14/11/2024
written by admin2

Oleh:  Junaidi Syamsuddin, Kasubag Keuangan BPK Perwakilan Provinsi Jambi

Dari Kedai Kopi ke Bilik Suara

Kopi Kerinci di gelas saya masih mengepul bersama pisang goreng crispy panas.  Kopi dari pegunungan Kerinci memiliki rasa dan karakter yang berbeda. Rasanya yang cenderung fruity ke arah rasa buah lemon yang asam segar. Aftertaste-nya sendiri cenderung lebih terasa manis yang tertinggal cukup lama. Perkebunan Kopi Kerinci tersebar di daerah pegunungan, tepatnya di Kayu Aro, Kayu Aro Barat, dan Gunung Tujuh, Provinsi Jambi. Semua perkebunan ini terletak di atas ketinggian 900-1200 mdpl. Jika dilihat dari mana kebun kopinya sudah tentu memiliki tingkat keasaman yang rendah serta karakter yang tidak terlalu banyak.

Minggu pagi ini udara Kota Jambi cukup dingin. Hujan turun gerimis. Cukup menyapu pekat udara akibat beberapa titik kebakaran lahan. Rintik hujan memang cocok untuk  menikmati secangkir kopi di Kopitiam Ancol ini. Kedai yang mirip food court. Berjejer aneka minuman dan makanan. Kedai kopi ini berada dekat bibir Sungai Batanghari membentang luas dengan panjang 503 meter dan lebar 4,5 meter. Saat menikmati tegukan kopi, kita bisa sesekali melihat lalu lalang kapal-kapal tongkang mengangkut emas hitam, batubara. Suasana ini mengingatkan saya pada Sungai Musi, di Palembang. Di atas Sungai Batanghari terbentang jembatan Gentala Arasy. Ikon kota  Jambi selain Masjid Seribu Tiang. Jembatan ini juga berada tak jauh kedai kopi. Gentala Arasy digunakan khusus untuk pejalan kaki yang menghubungkan Jambi Seberang. 

Seperti biasanya saat weekend, pengunjung kedai cukup ramai. Bahkan beberapa orang tidak mendapatkan tempat duduk. Semua orang dari perbagai kalangan tumpah ruah. Dari anak-anak sampaik kakek nenek bersama cucu. Selain hargaya murah, di kedai ini juga tersedia berbagai menu makanan nusantara mulai dari pisang goreng sampai bubur Manado. Obrolan ringan aneka topik menghias perbincangan. Mulai urusan gosip artis sampai soal dukung mendukung calon pimpinan daerah. Yang terakhir ini paling diminati. Hiruk pikuk dan euforia menyogsong Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi topik hangat.

Ditengah kepulan asap rokok, nampak seseorang pria tertawa lepas, sambil telunjuknya mengarah ke sejawat nya yang duduk didepan. Yang ditunjuk pun merespon dengan suara meninggi. Tampak benar, mukanya memerah. Sesekali terdengar sayup mereka bicara soal calon kepala daerah yang mereka dukung. Dari kejauhan obrolon pun terhenti ketika pelayan mengantarkan sepiring pisang goreng crispy panas. Diskusi boleh panas, tapi pisang goreng jangan sampai dingin. Begitulah kira-kira pikir mereka. Obrolan politik di warung kopi tentu tak sama sama dengan tongkrongan para elit partai politik yang elitis. Skenario koalisi dan konstelasi yang dirancang Jakarta, bisa saja langsung ‘dikuliti’ meja kopi. Obrolon di kedai kopi inilah bisa jadi modal menuju bilik suara.

Urgensi dan Mahalnya Biaya Pilkada 

Wajar saja riuh di kedai kopi tadi, karena perhelatan Pilkada serentak tak lama lagi digelar. Tepatnya pada Rabu, 27 November 2024 mendatang pilkada dilaksanakan di 37 Provinsi dan 508 kabupaten/kota dari 514 kabupaten/kota, sebab ada 6 kabupaten/kota administratif di DKI Jakarta yang tidak ada pilkada langsung. Ketua KPU Hasyim Asy’ari dikutip dari antaranews.com menjelaskan bahwa Pilkada Serentak 2024 hanya diikuti 37 dari 38 provinsi, karena Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak melakukan pilkada langsung.  Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) antara lain mengatur mengenai pengangkatan gubernur dan wakil gubernur DIY yang tidak dipilih melalui pemilihan umum, namun melalui proses pengukuhan.

Pilkada serentak ini memenuhi amanat dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum untuk memperkuat sistem presidensial. Sementara itu, ketentuan mengenai Pilkada digelar serentak di 2024 diatur melalui Pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) XVII di Balikpapan, Selasa (4/6/2024) menyatakan bahwa Penyelenggaraan Pilkada serentak memiliki tujuan untuk memperbaiki administrasi pemerintahan. Dengan adanya pemilihan yang paralel, diharapkan akan terjadi sinkronisasi antara visi pembangunan nasional dan daerah (www.menpan.go.id).

Tuhana dan Yudho Taruno Muryanto, dalam tulisannya Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Secara Langsung yang Efektif dan Efisien (Studi di Kabupaten Sukoharjo dan Kota Surakarta Provinsi Jawa Tengah) menyatakan bahwa pilkada langsung adalah instrumen untuk meningkatkan participatory democracy dan memenuhi semua unsur yang diharapkan. Secara normatif, pelaksanaan Pemilukada langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal. Juga membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal. Dari sisi kompetisi politik, pemilihan kepala daerah secara langsung memungkinkan munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat kandidat yang bersaing serta memungkinkan masing-masing kandidat berkompetisi dalam ruang yang lebih terbuka. Tujuan akhirnya adalah mendapatkan figur pemimpin yang aspiratif, kompeten, dan mempunyai legitimasi. 

Calon kepala daerah yang bertarung harus mengantongi tiket dari partai politik (parpol). Kader-kader terbaik parpol seyogyanya mendapatkan golden ticket. Namun ironinya, begitu sulit mendapatkan figur tersebut. Dikutip dari detik.com tanggal 11 September 2024, Plt Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin menjelaskan dalam Pilkada 2024 terdapat 41 nama calon tunggal yang bakal melawan kotak kosong. Nanti setelah pencoblosan, apabila kotak kosong yang menang maka akan ada Pilkada susulan atau lanjutan. Siap-siap APBN kantongnya dirogoh makin dalam.

Seperti yang dilansir kompas.com,  per 8 Juli 2024 berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, anggaran Pilkada Serentak 2024 ditaksir lebih dari Rp 41 triliun. Angka ini hasil kesepakatan pemerintah daerah (pemda) dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) Pilkada 2024 masing-masing bersama KPU, Bawaslu, TNI, dan kepolisian setempat.

Ketika Jerat Korupsi Menghantui 

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap ada 61 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh penegak hukum dalam dua tahun terakhir, yakni pada 2021 hingga 2023. Dikutip dari Staf Divisi Korupsi Politik ICW Seira Tamara, dari 61 kepala daerah tersebut mayoritas modusnya berkaitan dengan suap-menyuap dan penyalahgunaan anggaran belanja daerah untuk kepentingan pribadi (www.tempo.co).

Operasi Tangkap Tangan atau OTT Kepala Daerah, dari bupati, walikota, hingga gubernur, selalu membuat kita geram dan mengelus dada. Bukan sekali dua kali, tapi sering sekali berita OTT Kepala Daerah mewarnai pemberitaan. Pilkada yang diharapkan menghasilkan pemimpin ideal, masih jauh panggang dari api. 

Selain – tentu saja – sifat serakah dan hedonisme, penyebab lain terjeratnya para kepala daerah dalam kasus korupsi adalah yaitu tingginya biaya politik ketika mereka mencalonkan diri. ICW mencatat biaya politik yang tinggi terjadi karena dua hal, yaitu politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying). Kajian Litbang Kemendagri pada 2015 menyebut, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20–100 miliar. Padahal, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode.  ICW memberikan dua rekomendasi untuk mengurangi potensi korupsi kepada daerah. Pertama adalah perbaikan tata kelola partai mulai dari kaderisasi hingga pendanaan partai politik. 

Hajatan Demokrasi dan Peran BPK 

Laiknya sebuah hajatan. Pilkada ini merupakan gawe besar Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang diberi amanah dan dana besar mensukseskan hajatan demokrasi. Anggota I BPK, Nyoman Adhi Suryadnyana, mengingatkan agar kinerja KPU dalam penyelenggaraan Pilkada menjadi lebih baik, perlu untuk memperkuat sistem pengendalian intern dan mitigasi risiko dalam tahapan pemilihan dan pertanggungjawaban keuangan. “KPU diharapkan juga dapat mempersiapkan regulasi, perencanaan anggaran, sumber daya manusia dan sarana prasarana yang memadai dalam mendukung penyelenggaraan Pilkada dan memegang teguh prinsip-prinsip pemilihan yang jujur, adil, dan terbuka serta independen,” ujar Anggota I BPK. Untuk mengawal pelaksanaan Pilkada 2024, BPK saat ini sedang dilakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas Pengelolaan Keuangan Pemilu 2024. Pada tahun 2025 akan dilakukan pemeriksaan atas Laporan Keuangan KPU tahun 2024 dan PDTT atas Pengelolaan Keuangan Pilkada tahun 2024. 

Tentu saja kita semua memiliki kepentingan dan harapan besar dari perlehatan akbar ini. Anggaran dan segala sumber daya telah dikerahkan. Energi para penyelenggara, pengawas dan pelaksana pilkada terkuras. Harapan rakyat juga, begitu besar untuk perbaikan kehidupan. Mahalnya biaya dan waktu yang terkuras. Tak jadi soal. Seperti halnya obat, Pilkada ini merupakan pil pahit yang harus ditelan agar menjadikan kita sehat. Obat yang mahal yang harus dibayar. Tapi itulah konsekuensi sehuah demokrasi. Mimpi menghasilkan pemimpin ideal pun bukan hal mustahil. Semoga.

Referensi

https://www.kpu.go.id/page/read/1127/makna-pemilu-serentak

https://www.antaranews.com/berita/4037418/kpu-gelar-pilkada-serentak-2024-di-37-provinsi-dan-508-kabupaten-kota

https://nasional.kompas.com/read/2022/06/02/14514481/pemilu-dan-pilkada-serentak-2024-alasan-urgensi-dan-tantangan?page=all

https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/berita-daerah/pilkada-serentak-selaraskan-visi-pusat-dan-daerah

https://www.detik.com/jabar/pilkada/d-7535639/kpu-jelaskan-skema-41-calon-tunggal-lawan-kotak-kosong-di-pilkada-2024

https://nasional.tempo.co/read/1865207/61-kepala-daerah-jadi-tersangka-korupsi-pada-2021-2023-icw-lingkaran-setan-sejak-awal

https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220428-alasan-dan-potensi-potensi-korupsi-kepala-daerah

https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220428-alasan-dan-potensi-potensi-korupsi-kepala-daerah

wartapemeriksa.bpk.go.id- Penyelenggaraan Pilkada 2024,  BPK: KPU Perlu Perkuat SPI dan Mitigasi Risiko

Tuhana dan Yudho Taruno Muryanto, Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Secara Langsung Yang Efektif Dan Efisien (Studi di Kabupaten Sukoharjo dan Kota Surakarta Provinsi Jawa Tengah), UNS Surakarta.

Penyelenggaraan Pilkada 2024,  BPK: KPU Perlu Perkuat SPI dan Mitigasi Risiko
14/11/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
SLIDERSuara Publik

Mengenal Surat Perikatan dalam Praktik Audit Sektor Publik

by admin2 04/11/2024
written by admin2

Oleh: Mokhamad Meydiansyah Ashari, Pemeriksa Ahli Pertama pada Pusat Kemitraan Global BPK RI

Surat perikatan audit (engagement letter) merupakan salah satu dokumen kunci dalam proses audit. Dokumen ini berfungsi sebagai kesepakatan formal antara auditor dan entitas yang diaudit (auditee). International Standards on Auditing (ISA) 210 dan International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 1210 yang berjudul Agreeing the Terms of Audit Engagements mengatur komponen utama surat perikatan audit mencakup tujuan audit, ruang lingkup, tanggung jawab auditor dan auditee, serta jangka waktu pelaksanaan. 

Kedua standar audit juga menekankan pentingnya surat perikatan audit dalam memperjelas tanggung jawab auditor dan auditee, serta memastikan pemahaman yang jelas tentang tujuan dan batasan audit (IFAC, 2022). Sejalan dengan ini, laporan Joint Inspection Unit (JIU) yang merupakan unit pengawasan eksternal lintas organisasi pada Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), menegaskan bahwa peraturan keuangan dan aturan setiap organisasi harus secara jelas dan formal mendefinisikan mandat, wewenang, dan tanggung jawab kegiatan audit eksternal melalui perjanjian tertulis, surat perikatan, atau kontrak (Zahran et al., 2010). 

Laporan JIU tersebut juga memberikan rekomendasi tentang elemen-elemen yang harus tercakup dalam surat perikatan, antara lain: sifat, cakupan, dan tanggung jawab,fungsi audit eksternal, independensi dan akses terhadap catatan, personel, dan aset, serta standar profesional dan etika yang harus diterapkan oleh Supreme Audit Institution (SAI) yang menjadi eksternal auditor di PBB. Tentunya implementasi surat perikatan pada antara auditor dengan organisasi PBB merupakan salah satu contoh penerapan dalam audit sektor publik di dunia internasional.

Surat perikatan audit dapat meminimalkan perbedaan interpretasi dengan mendokumentasikan persyaratan dan ruang lingkup audit yang telah disepakati sehingga berperan penting dalam mengurangi kesalahpahaman antara auditor dan auditee (Carey et al., 1996).  Tentunya hal ini sangat relevan dalam konteks audit sektor publik, di mana berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan masyarakat, terlibat dalam pengawasan penggunaan dana publik. Dalam konteks audit sektor publik, transparansi dan akuntabilitas menjadi dua aspek utama yang sangat diperhatikan, dan surat perikatan audit memainkan peran kunci dalam memastikan hal tersebut. Surat perikatan audit sering mencakup pengungkapan risiko yang teridentifikasi sebelum audit dimulai. Hackenbrack et al. (2014) mengemukakan bahwa surat perikatan sering digunakan untuk mengungkap risiko khas pada klien tersebut, memungkinkan kedua belah pihak untuk mempersiapkan diri secara memadai. Pengungkapan risiko ini penting dalam audit sektor publik karena membantu auditor mempersiapkan prosedur audit yang tepat dan memungkinkan auditee melakukan tindakan mitigasi.

Komponen krusial dalam surat perikatan salah satunya adalah ruang lingkup audit. Di sektor publik, ini sering mencakup evaluasi program-program yang melibatkan penggunaan anggaran negara. Carey et al. (1996) didalam jurnal ilmiahnya menulis bahwa klien sering kali meremehkan pentingnya ruang lingkup dalam surat perikatan, sementara auditor memandangnya sebagai bagian penting dari proses komunikasi. Maka sudah seharusnya tanggung jawab auditor dan auditee harus diuraikan secara rinci dalam surat perikatan audit sehingga terdapat kesepahaman yang sama diantara kedua belah pihak. 

Penerapan pada Sektor Publik di Indonesia

Audit sektor publik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebagai badan yang menjaga akuntabilitas keuangan negara, maka mayoritas dari kegiatan pemeriksaan dilaksanakan oleh dan atas nama BPK. Kegiataan ini  mencakup pemeriksaan laporan keuangan, pinjaman dan hibah luar negeri, tidak luput kepatuhan dalam kontrak karya pengelolaan sumber daya alam. 

Di Indonesia, penerapan audit telah mengikuti standar dan praktik internasional, namun disesuaikan dengan konteks lokal dan kebutuhan spesifik lembaga-lembaga pemerintah dalam bentuk Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). BPK, sebagai lembaga audit tertinggi di Indonesia, menggunakan Surat Tugas yang didalamnya mencakup nomor surat, nama pemeriksa, objek pemeriksaan, jangka waktu pemeriksaan, entitas yang diperiksa, serta pemberi tugas. Surat tugas memang sedikit berbeda dengan surat perikatan, namun hal ini dikarenakan dalam menjalankan tugasnya, BPK dipayungi oleh mandat konstitusional yakni Undang-Undang (UU) Dasar 1945 dan diperkuat dengan UU Paket Keuangan Negara sehingga wewenang tersebut sifatnya mutlak dan hanya dapat dibatasi oleh UU yang lain. Hal ini berimplikasi bahwa auditee yang merupakan pemerintah pusat maupun daerah, kementerian/lembaga, maupun badan usaha tidak dapat menolak pemeriksaan yang dilaksanakan BPK.

Adapun saat BPK mengaudit organisasi internasional seperti International Atomic Energy Agency (IAEA), International Maritime Organization (IMO), dan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF), dan yang terbaru World Intelectual Property Organization maka BPK menggunakan surat perikatan audit sebagaimana diamanatkan oleh ISA. Hal ini disebabkan standar audit yang diminta lembaga multinasional tersebut mengacu kepada standar tersebut. Selain itu, untuk membantu memastikan efektivitas audit dalam organisasi yang kompleks serta melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan juga menerangkan mengenai independensi BPK, maka surat perikatan audit menjadi alat penting untuk mengatasi tantangan tersebut.

Sejalan dengan praktik internasional dan wacana revisi SPKN, BPK juga perlu melakukan peninjauan ataupun diskusi terkait urgensi pengaturan surat perikatan audit baik dalam pemeriksaan di Indonesia maupun pemeriksaan internasional. Meskipun surat tugas sudah dipandang memadai. Namun, hal ini penting untuk memastikan relevansi dengan perkembangan terbaru dalam standar dan praktik audit terbaik (best practices), mengakomodasi perubahan dalam struktur dan operasi organisasi yang diaudit, meningkatkan efektivitas audit, dan mempertahankan kesesuaian dengan peraturan dan standar yang terus berkembang.

Kesimpulan

Surat perikatan audit merupakan elemen penting dalam memastikan transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas audit sektor publik. Dokumen ini memfasilitasi pemahaman bersama antara auditor dan auditee mengenai ruang lingkup audit, tanggung jawab masing-masing pihak, dan risiko potensial. Pengalaman BPK dalam mengaudit organisasi internasional menegaskan peran surat perikatan audit dalam meminimalkan kesalahpahaman dan meningkatkan efektivitas audit.

Di Indonesia, meskipun BPK menggunakan Surat Tugas berdasarkan mandat konstitusional, penggunaan surat perikatan audit dalam konteks internasional menunjukkan fleksibilitas dan adaptabilitas lembaga ini terhadap standar global. Ke depan, BPK perlu membahas fisibilitas dan manfaat surat perikatan audit dalam konteks nasional.

Implementasi yang baik dari surat perikatan audit dapat meningkatkan perlindungan hukum bagi auditor dan memperkuat kepercayaan publik terhadap proses audit di sektor publik. Dengan terus mengikuti perkembangan standar internasional dan melakukan penyesuaian yang diperlukan, BPK dapat mempertahankan perannya sebagai lembaga audit yang kredibel dan efektif dalam menjaga akuntabilitas keuangan negara.

Referensi:

Carey, P. J., Clarke, B., & Smyrnios, K. X. (1996). An empirical investigation into the audit engagement letter: Use, content and effectiveness. Australian Accounting Review, 6(2), 64-69.

Hackenbrack, K., Jenkins, N. T., & Pevzner, M. (2014). Relevant but delayed information in negotiated audit fees. Review of Accounting Studies, 19, 456-489.

International Federation of Accountants (IFAC). (2022). Handbook of International Quality Control, Auditing, Review, Other Assurance, and Related Services Pronouncements, Volume I. IFAC.

International Organization of Supreme Audit Institutions. (2010). ISSAI 1210 – Agreeing the terms of audit engagements. https://www.issai.org/pronouncements/issai-1210/Zahran, M. M., Chulkov, N. V., & Inomata, T. (2010). The audit function in the United Nations system (JIU/REP/2010/5). Joint Inspection Unit, United Nations

04/11/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Generasi Muda, Harapan Masa Depan BPK

by admin2 24/10/2024
written by admin2

Oleh: Sigit Rais, Pengembang Teknologi Pembelajaran Pertama pada Badiklat PKN BPK RI

“Kita tidak selalu bisa membangun masa depan untuk generasi muda, tapi kita dapat membangun generasi muda untuk masa depan.”

(Franklin D. Roosevelt)

Manusia adalah figur sentral dalam kehidupan berorganisasi. Sebagai motor utama, sumber daya manusia adalah unsur yang harus dilestarikan. Di sinilah letak pentingnya regenerasi dan kaderisasi.

Regenerasi adalah proses pembaruan dalam berorganisasi, sedangkan kaderisasi adalah upaya yang dilakukan untuk mempersiapkan figur-figur penerus yang lahir dari proses regenerasi. Jika regenerasi dan kaderisasi dalam suatu organisasi kurang memadai, bisa jadi organisasi yang sebelumnya kokoh berdiri mengalami kemunduran atau bahkan tiba-tiba runtuh.

Selama ini, generasi penerus atau kader diproyeksikan sebagai laskar perubahan dan menjadi penerus roda organisasi di masa depan. Hal tersebut menandakan adanya kesadaran dalam setiap generasi bahwa kejayaan yang mereka genggam tersebut tidaklah abadi dan harus diwariskan. Oleh karena itu, regenerasi dan kaderisasi mutlak dilakukan demi keberlangsungan organisasi.

Partanto (dalam Syahputra, 2020) mengemukakan, kader dalam kamus ilmiah popular adalah orang yang dididik untuk menjadi pelanjut tongkat estafet suatu partai atau organisasi: tunas muda.

Mangkubumi (dalam Syahputra, 2020), mengemukakan bahwa kaderisasi sebagai suatu siklus yang berputar terus dengan gradasi yang meningkat dan dapat dibedakan menjadi tiga komponen utama, yaitu: 1) Pendidikan kader: disampaikan berbagai pengetahuan yang dibutuhkan; 2) Penugasan kader: mereka diberi kesempatan untuk melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan organisasi sebagai latihan pematangan dan pendewasaan; 3) Pengerahan karir kader: diberi tanggung jawab lebih besar dalam berbagai aspek petjuangan sesuai potensi dan kemampuan yang ada.

Terkait hal tersebut, generasi penerus adalah produk dari sebuah proses regenerasi yang akan melanjutkan perjuangan cita-cita dari generasi pendahulunya. Dari pengertian tersebut, tergambar dengan jelas bahwa generasi muda adalah pewaris dari sepak terjang para generasi pendahulunya. Bahkan, generasi penerus merupakan kelompok yang akan menanggung berbagai konsekuensi dari pilihan-pilihan yang ditentukan oleh generasi pendahulu mereka.

Selain itu, dapat dikatakan juga bahwa generasi penerus adalah peniru perilaku generasi sebelumnya. Generasi penerus juga dapat menjadi pantulan cermin dari tingkah polah generasi pendahulu, serta jadi bayang-bayang yang mengikuti gerak-gerik kepemimpinan generasi pendahulu.

Zaccaro (2001:453) mengemukakan bahwa proses kepemimpinan diarahkan dalam mendefinisikan, menetapkan, mengidentifikasi, atau menerjemahkan arahan untuk pengikut mereka dan memfasilitasi atau memungkinkan proses organisasi yang seharusnya menghasilkan pencapaian tujuan. Tujuan dan arah organisasi menjadi jelas dalam banyak hal, termasuk melalui misi, visi, strategi, tujuan, rencana, dan tugas.

Terkait hal tersebut, memberi teladan kepemimpinan yang baik adalah tugas wajib bagi para generasi pendahulu. Meskipun masa depan organisasi berada dalam genggaman tangan generasi terkini, generasi pendahulu memiliki tanggung jawab besar dalam memupuk generasi penerusnya agar bisa menjadi generasi yang lebih baik. Dalam hal ini, generasi terdahulu berperan besar dalam membentuk karakter generasi selanjutnya dengan cara memberikan contoh yang baik.

**

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang lahir pada 1 Januari 1947 merupakan salah satu wujud organisasi yang terus bergulir dan beregenerasi. Sejak kali pertama didirikan hingga kini, semangat dan cita-cita BPK RI terus diwariskan secara estafet dan turun-temurun kepada generasi-generasi penerus beriringan dengan perubahan zaman.

Selama rentang waktu tersebut, BPK RI mengalami dinamika dan berbagai peristiwa. Hal ini menjadikan BPK semakin kuat berdiri, menjadi satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara di Indonesia, yang berdiri di atas undang-undang, serta berpegang teguh pada tiga nilai dasar, yaitu independensi, integritas, dan profesionalisme.

Seperti pada organisasi lainnya, proses regenerasi dan kaderisasi di BPK menjadi hal penting dalam menjaga kelestarian organisasi. Di sini, regenerasi dan kaderisasi merupakan salah satu titik strategis penentu masa depan. Dalam hal ini, berdatangan pegawai-pegawai baru yang mengisi berbagai posisi, untuk melanjutkan tugas para pegawai yang telah purnabakti.

Sekat Antargenerasi

Dalam proses regenerasi dan kaderisasi begitu banyak kendala yang menghadang. Faktor-faktor penyebabnya, antara lain perbedaan sudut pandang, pola kerja, latar belakang zaman, dan karakter khas dalam menjalankan organisasi. Selain itu, kemajuan teknologi dan perubahan iklim budaya pun membuat setiap generasi memiliki warna dan ciri tersendiri dalam menjalankan laju organisasi. Jika tidak disikapi dengan baik, hal tersebut dapat menimbulkan sekat antargenerasi yang dapat membuat proses regenerasi dan kaderisasi tidak mencapai kondisi ideal.

Sekat antargenerasi adalah kendala yang dapat menghambat regenerasi dan kaderiasi. Sekat antargenerasi tersebut antara lain disebabkan oleh: 1) sikap dari masing-masing generasi yang merasa dirinya lebih unggul dibanding generasi lain dan meremehkan generasi lain; 2) kurangnya komunikasi antargenerasi; 3) kurangnya knowledge transfer; dan 4) generasi terdahulu yang kaku dan menutup diri dari kebaruan; dan 5) arogansi generasi muda. Jika dibiarkan, hal-hal tersebut akan menimbulkan retak-retak dalam tubuh organisasi.

Pada suatu proses regenerasi dan kaderisasi yang ideal, masing-masing generasi sadar akan tanggung jawab dan fungsi masing-masing. Generasi pendahulu sebagai figur teladan perlu memberikan contoh yang baik dan membuka diri bagi perubahan zaman. Sementara, generasi penerus perlu banyak belajar dari pengalaman generasi pendahulu dan menyelaraskannya dengan kemutakhiran zaman.

Sekat antargenerasi tercipta karena kurangnya komunikasi yang baik di antara generasi terdahulu dengan generasi penerus. Pola ini memicu timbulnya banyak kesan atau kecurigaan. Generasi pendahulu terkadang terkesan memaksakan kehendaknya untuk selalu diikuti oleh generasi penerus. Bahkan, terkadang ada kesan bahwa generasi senior kerap meng-underestimate para generasi penerus mereka. Di sisi lain, generasi penerus terkadang merasa lebih baik serta menganggap generasi terdahulu tidak ada apa-apanya dan kalah saing. Prasangka-prasangka itu sebetulnya tidak perlu terjadi jika terdapat pola komunikasi yang baik di antara setiap generasi. Tentunya, semua generasi menginginkan hal yang sama, yaitu kemajuan organisasi.

Di sinilah letak pentingnya membina komunikasi antargenerasi. Selain itu transfer pengetahuan juga menjadi hal istimewa dalam menciptakan keharmonisan di antara generasi yang berbeda. Generasi penerus jangan merasa ragu atau gengsi untuk banyak bertanya kepada senior mereka, sementara generasi pendahulu jangan pernah lelah berbagi ilmu dengan para junior yang haus akan pengetahuan. Di sinilah diperlukan juga tukar pengalaman di antara senior dan junior dimaksud.

Dengan demikian, diharapkan sekat antargenerasi dapat terkikis sehingga kedua generasi dapat bersinergi dan bekerjasama untuk mewujudkan proses regenerasi. Tentu saja dilandasi oleh keinginan untuk menggiring organisasi menuju masa depan yang lebih baik.

Kaizen

Sebagai penerima warisan dari generasi terdahulu yang akan jadi pemimpin-pemimpin di masa mendatang, generasi penerus perlu menerapkan prinsip kaizen atau continous improvement. Hakikat dari prinsip tersebut adalah pengembangan secara terus-menerus dengan memperbaiki hal-hal yang dirasa kurang baik dan perlu diperbaiki, serta membuang hal-hal yang tidak diperlukan.

Ada dua fungsi utama kaizen, yaitu pemeliharaan dan perbaikan. Pemeliharaan merupakan kegiatan yang memelihara aspek teknologi, manajemen dan standar kerja yang telah dicapai, sedangkan perbaikan merupakan kegiatan yang menuju peningkatan standar kerja tersebut.

Dalam konteks organisasi BPK, generasi penerus yang saat ini sedang dipupuk dan dibina untuk menjadi para pemimpin masa depan, perlu berkaca dari sejarah pada pendahulunya. Generasi penerus tersebut perlu mempelajari sejarah perjalanan BPK, serta mengambil saripati dari pengalaman-pengalaman para pendahulu. Kemudian, dalam upaya improvement, generasi penerus diharapkan bisa memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik dari figur yang diteladaninya. Jika melihat hal-hal kurang baik bagi organisasi yang dilakukan oleh generasi sebelumnya, generasi penerus harus bisa membuang hal tersebut.

Ambil yang baik, tinggalkan yang buruk. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan di masa lalu oleh para pendahulu sebaiknya diambil hikmahnya, lalu diperbaiki di masa mendatang oleh generasi penerus dan jangan sampai diulangi.

Jika hal tersebut dilakukan oleh seluruh elemen generasi penerus yang menempati pos-pos sesuai dengan keahliannya masing-masing, perbaikan demi perbaikan akan senantiasa mengiringi langkah BPK ke depan.

Rendah Hati

Generasi penerus selalu lahir di tengah berbagai kebaruan dibandingkan generasi terdahulu. Teknologi dan fasilitas-fasilitas mutakhir membuat generasi yang lebih muda terlihat lebih maju dibanding generasi pendahulunya. Terkadang, hal-hal tersebut memunculkan over confidence dalam diri para generasi penerus. Sikap tersebut dapat berkembang menjadi sikap yang cenderung meremehkan generasi terdahulu. Apalagi jika mereka tidak menemukan figur teladan dari generasi terdahulu. Dampak negatifnya, kita akan lupa diri, merasa berada di atas angin, dan menjadi tumbuh menjadi figur arogan yang enggan belajar karena merasa hebat.

Di sinilah letak pentingnya memelihara kerendahan hati dari para generasi muda yang masih hijau dan ingin terus belajar. Keep both of your feet on the ground. Sehebat apapun kualitas kita, semua akan kehilangan makna jika tanpa karakter kuat yang selalu membumi. Seperti yang dilontarkan oleh pengusaha Robert Kiyosaki, “orang yang humble akan belajar lebih banyak dibandingkan orang yang arogan”. Sia-sia saja jika kita dianugerahi banyak kelebihan tetapi dibalut oleh arogansi yang membahayakan. Oleh karena itu, sikap tawadlu harus senantiasa kita pelihara agar ilmu yang kita miliki akan semakin sarat makna.

Sementara, di sisi generasi pendahulu, kerendahan hati merupakan poin penting yang harus ditularkan kepada generasi penerusnya. Tunjukanlah bahwa kerendahan hati bisa menjadi penopang jalan menujugerbang kesuksesan. Selain itu, generasi pendahulu juga perlu memberi teladan tentang pentingnya keikhlasan dalam bekerja, terutama dalam peran sebagai abdi negara yang telah diberi amanat mulia.

Tanpa keikhlasan, setiap keringat yang mengucur dari tubuh kita akan terasa sebagai beban dan sama sekali tidak mendatangkan kebahagiaan.

Generasi Penerus, Pembopong Masa Depan

Generasi muda akan tumbuh menjadi pemimpin masa depan. Dalam hal ini, diperlukan pembekalan kekayaan mental yang meliputi antara lain rasa percaya diri, fokus ke depan, berkomitmen tinggi, pantang menyerah, menggagas perubahan, menerima kritik, dan mau belajar dari setiap kesalahan.

Itu adalah tanggung jawab dari generasi terdahulu. Hal-hal tersebut akan saling menguatkan dengan aspek kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi. Di punggung mereka, BPK akan dibopong dan dijaga, lalu di masa depan akan diserahkan kepada generasi selanjutnya. Begitu seterusnya seiring dengan perputaran waktu. BPK akan senantiasa berdiri kokoh menjadi lembaga yang senantiasa menjunjung tinggi independensi, integritas, dan profesionalisme karena baiknya regenerasi serta kaderisasi.

BPK sangat beruntung. Untuk mendukung proses kaderisasi dan regenerasi ini, para pegawai BPK dapat memanfaatkan berbagai wadah knowledge transfer dan media informasi, seperti penyelenggaraan seminar, Knowledge Transfer Forum, jurnal TAKEN, Warta Pemeriksa, Self  Learning dan berbagai ragam pendidikan dan pelatihan di Badiklat PKN, dan lain sebagainya. Semua itu perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam rangka peningkatan kapasitas pegawai, yang akan terus bergulir dan bergilir.

Generasi terbaik adalah generasi yang selalu berkomitmen menanam hal-hal baik demi generasi penerusnya. Mereka tidak larut dalam rasa bangga di masa jaya dan abai terhadap konsep ketakabadian segala sesuatu di dunia. Karir dan jabatan tidak akan selamanya melekat. Seiring menuanya bumi, segala sesuatu akan ditutup dengan kata akhir. Oleh karena itu, proses regenerasi dan kaderisasi yang akan terus bergulir perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga akan selalu ada masa depan yang lebih cerah menanti.

Referensi:

Al-Barry, M. Dahlan, L. LyaSofyan Yacob, (2003). Kamus Induk Istilah Ilmiah; Seri Intelektual, Target Press, Surabaya.

Imai, Masaaki. 1986. “Kaizen : The Key to Japan’s Competitive Success”. Singapore: McGraw Hill.

Syahputra, Muhammad Rizki, T. Darmansah. Fungsi Kaderisasi Dalam Meningkatan Kualitas Kepemimpinan. Journal of Education and Teaching Learning (JETL) Volume 2, Issue 3, December 2020.

Zaccaro. 2001. The Nature of Organizational Leadership. Journal of George Mason University

24/10/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Pola Pikir yang Merdeka untuk Membangun Usaha di Masa Depan

by admin2 14/10/2024
written by admin2

Oleh: Debby Zalina, Universitas Islam Internasional Indonesia

Tepat 17 Agustus 2024, Indonesia memasuki umur ke 79 tahun. Semangat kemerdekaan yang bergaung di seluruh pelosok negeri pastinya sedikit banyak menyuntikkan semangat bagi segenap pemuda-pemudi Indonesia untuk mengusahakan masa depan yang lebih baik sesuai dengan keinginan dan impian mereka. Namun pertanyaannya, apakah mungkin bagi kita memimpikan masa depan yang indah itu ? 

Dalam mempersiapkan usaha di masa depan, terdapat sebuah hal wajib yang harus kita persiapkan selain niat, yaitu tentang pola pikir. Pola pikir menunjukkan bagaimana kita memandang sesuatu dan membuat persepsi terhadap hal tersebut. Hal ini akan memengaruhi bagaimana kita mengambil keputusan sehari-hari. Dalam hal ini, pola pikir sebagai seorang pengusaha perlu dikembangkan agar mimpi dalam mewujudkan usaha di masa depan dapat terwujud. 

Menurut Sandiaga Uno[1], entrepreneurship bukan profesi, melainkan mindset. Mindset seorang entrepreneur meliputi tahan banting, tidak pernah puas, jujur, ulet, amanah, tidak pernah menyerah, serta selalu berpikir positif, optimis, dan konstruktif. Ia juga menyampaikan bahwa kerja keras itu adalah disiplin dengan waktu. Disiplin adalah kunci dan tidak pernah mengenal adanya kompromi. Memang kita tidak pernah bisa mengontrol bagaimana hasil dari usaha yang kita lakukan, namun kita dapat mengontrol bagaimana dan seberapa besar usaha dan kerja keras yang kita lakukan. Banyak cerita tentang kesuksesan yang fenomenal baik cerita yang datang dari pengusaha atau profesi lainnya, namun persamaan yang mereka miliki adalah terkait etos kerja. Dalam membangun usaha impian, kita juga harus memiliki mental untuk mengerjakan segala sesuatu dengan tuntas 100% yang berarti tidak setengah-setengah. Kerja keras disini adalah setiap kesempatan datang kepada kita, kita melakukannya dengan berdedikasi 100% kepada kesempatan itu. 

Berkaitan dengan hal itu, pola pikir yang senada juga disampaikan oleh Carol Dweck dalam bukunya berjudul Mindset[2]. Menurutnya, terdapat dua macam pola pikir yang dimiliki seseorang yaitu pola pikir berkembang dan pola pikir tetap. Ketika seseorang bersemangat untuk menguji diri sendiri dan berpegang teguh bahkan (atau terutama) saat tidak berjalan dengan baik, hal ini menandakan bahwa orang tersebut memiliki ciri khas pola pikir berkembang. Ini adalah pola pikir yang memungkinkan orang untuk berkembang selama beberapa masa paling menantang dalam hidup mereka. Hal ini penting untuk dimiliki khususnya bagi seorang pengusaha karena menjalankan sebuah usaha pastinya akan mengalami pasang surut dan serangkaian tantangan. Tanpa adanya pola pikir berkembang yang teguh, seorang pengusaha akan kesulitan untuk mempertahankan usaha yang ia miliki. 

Terakhir, adalah sebuah gagasan yang disampaikan oleh Angela Duckworth yaitu GRIT[3]. Menurut Angela, kunci dari kesuksesan bukanlah bakat melainkan ‘Grit’ yaitu perpaduan antara hasrat dan kegigihan. Orang yang penuh dengan Grit biasanya mampu mempertahankan semangat dan motivasinya secara jangka panjang meskipun menghadapi kegagalan dan kesulitan. 

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa bakat dan kecerdasan saja belum tentu bisa menentukan kesuksesan seseorang. Bahkan sebaliknya, bakat itu sendiri mampu menurunkan kualitas kinerja seseorang, dan tes bakat dan kepribadian yang ada saat ini cenderung lemah dalam mengukur potensi diri seseorang yang sebenarnya. Di sisi lain, upaya (yang didukung oleh Grit) dinilai dua kali lebih penting. Kita harus terus melakukan upaya untuk mengasah bakat dasar kita melalui praktek agar bakat tersebut mampu menjadi keterampilan yang terukur. Kita juga harus terus berupaya mengaplikasikan kemampuan-kemampuan tersebut untuk mengatasi dan memberikan solusi kepada masalah-masalah nyata untuk mecapai keberhasilan.

Beberapa pola pikir ini dapat mendukung kita untuk mempersiapkan mental sebagai pengusaha di masa yang akan datang. Tidak ada yang tidak mungkin jika kita berusaha dan bekerja keras untuk mewujudkan impian kita. Melalui momentum kemerdekaan ini, mari kita kobarkan semangat dalam diri kita untuk menjadi manusia yang merdeka, salah satunya merdeka dengan memiliki usaha impian di masa yang akan datang. 


[1] Mindset Seorang Entrepreneur by Sandiaga Uno – https://www.youtube.com/watch?v=avprvEYNveA

[2] Carol Dweck: Ringkasan tentang Pola Pikir Pertumbuhan dan Pola Pikir Tetap – https://fs.blog/carol-dweck-mindset/

[3] Ringkasan Buku GRIT – https://www.tanotofoundation.org/wp-content/uploads/2021/09/grit-id.pdf

14/10/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Mengawal dan Mengantisipasi Perubahan Pengelolaan Obat di Era Program JKN

by admin2 01/10/2024
written by admin2

Oleh: Akhmad Saputra Benawa, Pemeriksa Ahli Pertama pada BPK Perwakilan Provinsi Lampung

Agenda pembangunan nasional tahun 2014-2024 (Nawacita) meliputi pembangunan kesehatan dalam poin Nawacita 5 yang berbunyi “meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia” dengan salah satu programnya yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang lebih dikenal dengan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Pelaksanaan JKN cukup menggembirakan. Berdasarkan data dari sismonev.djsn.go.id1, sampai dengan 2024 mencapai 273,5 jiwa atau dari 514 Kabupaten/Kota telah terintegrasi dalam Program JKN-KIS. Artinya jumlah peserta BPJS Kesehatan telah mencapai 97,13 persen penduduk Indonesia menjadi peserta JKN dalam waktu 10 tahun. Tentunya penambahan cakupan kepesertaan ini harus diikuti dengan pemenuhan supply side baik regulasi, sarana prasarana, dan SDM kesehatan untuk menjamin ketersediaan obat sesuai hak pasien. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan semakin nyata setelah ditetapkannya UU Nomor 40 Tahun 20042 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagaiamana terakhir diubah menjadi UU Nomor 11 Tahun 20202 tentang Cipta Kerja, sekaligus mempertegas tentang hak dan kewajiban peserta Program JKN.

Paradigma yang ada dalam benak peserta JKN adalah adanya pelayanan prima dalam bentuk diagnosis akurat dengan ketersediaan obat berkualitas tanpa adanya pungutan biaya/gratis. Pemahaman tersebut tidak ada salahnya. Namun, peserta JKN harus memahami bahwa, hak pemberian obat pasien telah diatur berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam daftar obat dan kelas terapi pada Formularium Nasional (Fornas) dari Kemenkes. Daftar Fornas tersebut telah menyesuaikan besaran tarif klaim yang dapat dibayarkan menurut golongan/kelas tanggungan peserta.

Secara kualitas, obat Fornas termasuk kategori obat generik yang telah melalui serangkaian uji klinik dan keandalan kandungan. Artinya pelayanan obat untuk pasien JKN yang benar adalah sesuai pemberian kelas terapi obat mengacu Fornas. Ketentuan pemberian obat mengacu pada hak pasien JKN berdasarkan kelas tanggungan, sepanjang pasien tidak dikenakan tambahan iuran biaya, berdasarkan permintaan sendiri, dan tanpa adanya paksaan/advokasi yang melanggar prosedur pelayanan obat JKN diluar hak pasien.

Leading sector seperti Dinkes dan RSU di daerah harus terlibat aktif menjawab permasalahan dalam pengelolaan obat JKN. Pertama, masalah perencanaan. Obat untuk pasien JKN harus mengacu pada Fornas. Rencana pengadaan harus ditetapkan dalam Rencana Kebutuhan Obat (RKO) yang mempertimbangan usulan medis dari Instalasi Farmasi, Staf Medik Farmasi (SMF) dan Komite Farmasi. Selain itu, kegiatan perencanaan obat diluar Fornas harus tetap disusun RKO-nya sebagai bahan acuan pengadaan dan ketersediaan anggaran sejalan dengan standar capaian pelayanan kesehatan.

Kedua, proses pengadaan. Kemenkes  memedomani Permenkes Nomor 5 Tahun 20193 tentang Perencanaan dan Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik yang mengatur bahwa pengadaan obat harus mengutamkan melalui mekanisme e-purchasing dan e-katalog. Kendala yang sering terjadi adalah waktu tunggu dari penyedia maupun distributor obat di e-katalog dalam kesanggupan memunisi pesanan dan waktu pengiriman. Menanggapi masalah tersebut diperlukan peran aktif penyelenggara pengadaan obat di Dinkes/RSU daerah agar segera melapor kepada LKPP sebagai bentuk inventarisasi penyedia-penyedia yang terindikasi tidak dapat berkomitmen dalam mematuhi aturan pengadaan. 

Ketiga, kegiatan pemberian resep. Mengacu pada UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan4, setiap praktik kesehatan wajib mengikuti standar pelayanan. Panduan Praktik Klinis (PPK) sebagai bagian dari standar pelayanan sebagai tolak ukur dalam menjamin pelayanan yang sadar mutu dan biaya. PPK mengatur rincian langkah demi langkah pelayanan kesehatan mengacu karakteristik permasalahan, clinical pathway (alur klinis), protokol, dan prosedur yang diawasi  Komite Medik dan Satuan Pengendalian Internal untuk meminimalisir pelanggaran dalam pemberian obat.

Keempat, monitoring dan evaluasi (Monev). Pemantauan dan penilaian terhadap seluruh kegiatan pengelolaan obat yang telah atau sedang dilaksanakan secara terencana dan sistematis sehingga dapat diidentifikasikan peluang atau tindakan perbaikan yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu layanan kefarmasian. Pelaksanaan monev yang memadai dilakukan secara berkala disertai dengan penyampaian rekomendasi perbaikan dan peningkatan mutu dalam bentuk laporan sebagai bahan evaluasi kebijakan.

Pengelolaan Iuran BPJS Perlu Diperbaiki

Pentingnya pengelola kegiatan dan pelayanan di bidang kesehatan untuk mematuhi aturan pengelolaan obat JKN harus diperkuat dengan koordinasi dengan satuan tugas kesehatan terkait lainnya seperti Dewan Pengawas Kesehatan Provinsi/Kota/Kabupaten, Bagian Instalasi Farmasi di Dinkes/RSU, dan Komite Medik dan Farmasi. Tidak boleh ada konflik antar kelembagaan tersebut dalam pengelolaan obat JKN. Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) serta Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan5, telah dijelaskan secara jelas terkait mekanisme pengawasan, pembinanan, dan sanksi atas praktik-praktik penyalahgunaan kegiatan JKN.

[1] https://sismonev.djsn.go.id/sismonev.php;

[2] https://peraturan.bpk.go.id/Details/40787  

[3] https://peraturan.bpk.go.id/Details/129755/permenkes-no-5-tahun-2019

[4] https://peraturan.bpk.go.id/Details/258028/uu-no-17-tahun-2023

[5] https://peraturan.bpk.go.id/Details/129762/permenkes-no-16-tahun-2019

01/10/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah, Solusi atas Polemik Hosting Fee MotoGP Mandalika

by admin2 20/09/2024
written by admin2

Oleh: Rafiq A. Maulana, Pemeriksa Ahli Pertama pada BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara

Indonesia kembali menjadi salah satu tuan rumah penyelenggara MotoGP 2024 di Sirkuit Mandalika, Kabupaten Lombok Tengah. Tahun 2024 menjadi kali ke-3 Indonesia menyelenggarakan event akbar tersebut, setelah sebelumnya sukses terlaksana pada tahun 2022 dan 2023. Event MotoGP Mandalika selalu menarik atensi publik di Indonesia. Kemenparekraf mendata tren pencarian di internet, yang menunjukan atensi publik atas penyelenggaraan MotoGP Mandalika tahun lalu[1].  

Tren pencarian pada platform Youtube selama penyelenggaraan MotoGP Mandalika 2023, sumber: Kemenparekraf.

Tren media sosial X atas penyelenggaraan MotoGP Mandalika 2023, sumber: Kemenparekraf.

Analisa Kemenparekraf di tahun 2023 pada platform Youtube, menunjukan bahwa atensi positif masyarakat atas event MotoGP Mandalika mencapai 72%, sedangkan 23,7% atensi masyarakat bersifat netral, dan 4,3% sisanya menunjukan atensi negatif masyarakat. Atensi negatif kembali menyita perhatian publik pada persiapan event MotoGP Mandalika tahun ini. Media massa lokal dan nasional menyoroti ketidakmampuan Pemerintah Daerah di NTB untuk membayar hosting fee (biaya penyelenggaraan) MotoGP Mandalika 2024. Hosting fee merupakan biaya penyelenggaraan yang wajib dibayarkan oleh setiap negara yang menjadi tuan rumah perhelatan MotoGP. Pemerintah Daerah di NTB diharuskan untuk membayar hosting fee MotoGP Mandalika 2024 sebesar Rp231 Miliar[2]. Konsekuensi yang harus ditanggung apabila hosting fee tidak dibayarkan adalah tercorengnya nama baik Indonesia di mata dunia. Indonesia juga terancam untuk tidak dapat mengadakan event MotoGP tahun selanjutnya, akibat tidak mampu membayar hosting fee MotoGP Mandalika 2024.

Pemerintah Provinsi NTB menyampaikan bahwa tidak terdapat anggaran untuk membayar hosting fee MotoGP pada APBD TA 2024. Hal serupa juga dialami oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di NTB. APBD NTB TA 2024 difokuskan untuk penyelenggaraan PON Aceh – Medan dan Pilkada Serentak 2024. Di sisi lain, Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) selaku BUMN dan pihak penyelenggara tengah melakukan lobi dengan Dorna selaku pemegang hak balapan MotoGP. ITDC melobi agar Dorna membuka kemungkinan pembayaran hosting fee MotoGP Mandalika 2024 dilakukan setelah event balap tersebut terselenggara.

Media massa menilai Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di NTB kurang berkoordinasi dalam memastikan kelancaran persiapan event MotoGP Mandalika 2024, terutama terkait penganggaran dan pembebanan hosting fee. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di NTB harus menekankan sinergi, mengatur pembagian porsi pembayaran hosting fee, dan membuat kesepakatan tetap untuk kelancaran pembayaran hosting fee pada event MotoGP di tahun-tahun selanjutnya.

Membangun Sinergi Lintas Sektoral melalui FGD

Kurangnya sinergi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di NTB dapat dilihat dari belum ditemukannya solusi atas mekanisme pembayaran hosting fee. Pemerintah Pusat memegang peran sebagai koordinator Pemerintah Daerah di NTB. Pemerintah Pusat harus mampu memfasilitasi forum diskusi bagi Pemerintah Daerah di NTB, untuk menyampaikan perkembangan maupun kendala dalam persiapan pelaksanaan event MotoGP Mandalika 2024.

Sinergi dapat terlaksana dengan menghadirkan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan MotoGP Mandalika 2024. Setidaknya terdapat 3 pihak yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan MotoGP Mandalika 2024, yakni: 1) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf); 2) BUMN dalam hal ini ITDC; dan 3) Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di NTB. Sinergi Kemenparekraf, ITDC, dan Pemerintah Daerah di NTB dapat difasilitasi melalui forum Focus Group Discussion (FGD) maupun rapat terbatas.

FGD dilakukan dengan tujuan yang spesifik untuk menemukan akar permasalahan atas suatu isu/hambatan[3]. Dalam konteks ini, FGD berguna sebagai media komunikasi untuk menemukan titik tengah (solusi bersama) atas ketidakmampuan Pemerintah Daerah di NTB membayar hosting fee MotoGP Mandalika 2024. Forum FGD maupun rapat terbatas harus dilakukan secara intensif oleh pihak-pihak terkait, mengingat event MotoGP Mandalika hanya tersisa belasan hari sebelum pelaksanaannya. Menurut Krueger (1988), FGD yang efektif dilakukan dengan mempersiapkan 4 hal mencakup:

  1. Menentukan jumlah dan komposisi kelompok/peserta yang mengikuti FGD;
  2. Menyusun mekanisme diskusi dan menentukan tempat pelaksanaan (daring/luring);
  3. Menyiapkan fasilitator yang bersifat netral dan noluten untuk merangkum poin-poin penting dalam diskusi;
  4. Mempersiapakan kelengkapan FGD, termasuk fokus diskusi dan permasalahan yang ditekankan.

Desentralisasi Keuangan

Desentralisasi keuangan diartikan sebagai proses pelimpahan anggaran dari tingkatan pemerintah yang lebih tinggi, ke tingkatan pemerintah yang lebih rendah, dengan tujuan meningkatkan kemandirian keuangan Pemerintah Daerah. Penerapan Desentralisasi Keuangan atau Transfer ke Daerah (TKD) di Indonesia didasari oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Pasal 106 menyatakan bahwa TKD terdiri atas: 1) Dana Bagi Hasil; 2) Dana Alokasi Umum; 3) Dana Alokasi Khusus; 4) Dana Otonomi Khusus; 5) Dana Keistimewaan; dan 6) Dana Desa[4].

Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN TA 2024 mencantumkan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai sumber penganggaran pengembangan Daerah Pariwisata Prioritas tahun 2024[5]. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika merupakan salah satu dari 10 Daerah Pariwisata Prioritas, sebagaimana dipublikasikan oleh Kemenparekraf pada website resminya[6]. Berkaca dari uraian pada Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN TA 2024, DAK yang disalurkan oleh Pemerintah Pusat dapat direalisasikan guna memperkuat kondisi pariwisata di Mandalika, khususnya di tengah polemik pembayaran hosting fee MotoGP.

Di sisi lain, Pemerintah Provinsi NTB dan Pemerintah Kabupaten/Kota di NTB tidak memiliki ruang fiskal dalam APBD TA 2024 untuk membayar hosting fee MotoGP. Pemerintah Provinsi NTB mengharapkan adanya alokasi anggaran melalui DAK yang telah jelas diperuntukan untuk membayar hosting fee MotoGP. Berdasarkan Rincian DAK Fisik TA 2024 dari Kementerian Keuangan, tidak terdapat peruntukan secara spesifik pada DAK Pemerintah Provinsi NTB dan Pemerintah Kabupaten/Kota di NTB untuk membayar hosting fee MotoGP Mandalika 2024. Kondisi tersebut membuat Pemerintah Provinsi NTB hanya mampu berharap agar DAK untuk membayar hosting fee MotoGP dapat dianggarkan di APBD TA 2025.

Kesepakatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di NTB

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di NTB belum menunjukan komitmen terkait pembebanan hosting fee MotoGP Mandalika 2024. Sementara itu, ITDC menyampaikan bahwa hosting fee MotoGP Mandalika 2024 dibebankan ke Pemerintah Daerah di NTB. Namun, tidak ada penjelasan apakah pembebanan tersebut telah dituangkan dalam suatu nota kesepakatan atau MoU antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di NTB. Hal tersebut menimbulkan tanda tanya di masyarakat, terkait bagaimana bentuk komitmen persiapan event akbar tersebut. Tidak adanya nota kesepakatan atau MoU dikhawatirkan akan menghadirkan permasalahan yang sama di tahun selanjutnya.

Komitmen sejatinya dituangkan secara tertulis dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat pihak-pihak terkait. Komitmen dapat dibentuk oleh pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pembebanan hosting fee, antara lain: 1) Kementerian Keuangan; 2) Kementerian dalam Negeri; 3) Kemenparekraf; 4) Pemerintah Provinsi NTB; dan 5) Pemerintah Kabupaten/Kota di NTB. Kementerian Keuangan merupakan sumber penganggaran pembayaran hosting fee, Kementerian dalam Negeri memberikan rekomendasi dan saran kebijakan kepada Pemerintah Daerah di NTB, Kemenparekraf berpengalaman atas pembayaran hosting fee MotoGP di tahun 2023 dan berperan sebagai koordinator BUMN sektor pariwisata di KEK Mandalika, Pemerintah Daerah di NTB memegang peran atas realisasi dan pengelolaan anggaran hosting fee MotoGP.

Komitmen pihak-pihak tersebut mencakup: 1) mekanisme penganggaran hosting fee tahun 2024 dan tahun-tahun selanjutnya; 2) porsi pembebanan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di NTB atas hosting fee tahun 2024 dan tahun-tahun selanjutnya; dan 3) konsekuensi atas ketidakpatuhan maupun pelanggaran terhadap komitmen yang telah disepakati. Bentuk komitmen yang telah disepakati dituangkan ke dalam nota kesepakatan atau MoU, dengan unsur:

  1. MoU memuat perjanjian pendahuluan;
  2. MoU berisi hal-hal pokok atas komitmen yang disepakati;
  3. MoU berisi kontrak dengan jangka waktu tertentu yang bersifat mengikat pihak-pihak terkait[7].

Singkatnya, sinergi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus dilakukan sesegera mungkin dengan langkah yang terarah, mengingat event MotoGP Mandalika 2024 tinggal menghitung hari sebelum pelaksanaannya. Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah harus  berkolaborasi dan meningkatkan komitmen dalam menyelesaikan pembayaran hosting fee, agar kendala pembayaran tidak terulang kembali pada penyelenggaraan MotoGP di tahun-tahun mendatang.


[1] Majalah Kajian Kemenparekraf. 2023. Dampak Event MotoGP Mandalika 2023. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

[2] https://lombokpost.jawapos.com/ntb/1505025638/penyelesaian-pembayaran-hosting-fee-motogp-pengamat-desak-pemerintah-daerah-tidak-lepas-tangan.

 [3] Astridya, P., Lusi, K. 2013. Teknik Focus Group Discussion dalam Penelitian Kualitatif. e-journal Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

[4] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.

[5] Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2024. Kementerian Keuangan.

[6] https://kemenparekraf.go.id/rumah-difabel/Mengenal-10-Destinasi-Prioritas-Pariwisata-Indonesia

[7] Gita, P. 2016. Kekuatan Hukum Memorandum of Understanding (MoU) dalam Hukum Perjanjian di Indonesia. Jurnal UNPAR; Vol.2; No.2. 424 – 440


20/09/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Menyigi Strategi Pemerintah Indonesia dalam Pembangunan Urbanisme Ramah Lingkungan

by admin2 17/09/2024
written by admin2

Oleh: Sherlita Nurosidah, Penelaah Teknis Kebijakan pada Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK RI

Ketertarikan dunia yang semakin besar dalam perdebatan atas pentingnya konsep berkelanjutan (sustainability) membawa berbagai negara berlomba mengembangkan rencana pembangunan negaranya untuk lebih berkesinambungan secara jangka panjang.  Program-program kenegaraan diarahkan untuk mencapai kehidupan yang sehat dan tangguh sehingga dapat selaras dengan tumbuhnya populasi generatif guna mendukung kemunculan urbanisme ramah lingkungan. Pembangunan perkotaan maupun pedesaan tidak lagi hanya ditujukan untuk meningkatkan perekonomian namun juga mempertimbangkan dampak positif dalam jangka panjang untuk komunitas/masyarakat setempat.

Keberhasilan urbanisme berkelanjutan terdapat pada tercapainya keseimbangan antara manusia dan alam serta tersedianya berbagai fasilitas yang mendukung upaya pencapaian tersebut. Dalam laporan Sustainable Urban Development Strategy oleh United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia menyebutkan beberapa aktivitas yang dikembangkan, antara lain tata kelola berbasis digital, energi terbarukan, bebas sampah, strategi perencanaan perkotaan ramah air, pembangunan kawasan berorientasi transit, dan pengutamaan pada komunitas/masyarakat yang paling terdampak.

Penggunaan teknologi dalam tata kelola pemerintahan bertujuan untuk meningkatkan responsivitas pemerintah dalam memberikan layanan publik. Salah satunya program Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) – Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!), sebuah wadah penampungan dan penanganan keluhan masyarakat, yang memiliki tingkat kepuasan pengguna sebesar 73,7% Tahun 2022[1]. Teknologi digital juga digunakan untuk mendukung pengembangan sistem yang terdapat pada InaRISK, aplikasi yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia dan UNDP untuk mendapatkan peringatan atas bencana potensial[2]. Program tersebut digunakan untuk meningkatkan akurasi perencanaan serta pelaksanaan selama masa darurat dan masa pemulihan.

Perhatian seputar pemberdayaan energi terbarukan dipusatkan pada pengalihan sumber energi, nilai ekonomi karbon, dan pembiayaan inovatif terkait. Beberapa agenda untuk mencapai agenda emisi nol bersih (net zero) diwujudkan pemerintah Indonesia melalui beberapa cara. Lahirnya pajak karbon melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan tahun 2021 merupakan salah satu regulasi penting agar seluruh pihak menyadari kebutuhan terwujudnya emisi nol bersih. Selain itu, penetapan batas emisi karbon dan mekanisme perdagangan karbon juga turut memberikan dampak positif. Dari sisi keuangan, skema pembayaran berbasis kinerja antara UNDP dan pihak yang bertanggungjawab atas pendanaan memberikan peluang untuk menumbuhkan ketelitian dalam penggelontoran dana dengan mempertimbangkan pencapaian yang telah didapatkan oleh pihak yang terlibat.

Dalam hal pendanaan, pemerintah berhasil memperoleh dana segar dari Sukuk Hijau Global sebesar USD 1,5 milyar, Sukuk Hijau dalam negeri sebesar USD 969 juta dan USD 210 juta untuk Obligasi berbasis Sustainable Development Goals (SDG) dalam negeri pada Tahun 2022[3]. Selain itu, UNDP memberikan USD 100.000 dalam bentuk investasi ekuitas untuk empat startup yang berorientasi pada tercapainya SDG sebagai bentuk kerjasama dengan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Kementerian Keuangan[4]. Dengan demikian, Indonesia telah menunjukkan kesuksesannya dalam penggalangan dana dengan fokus keberlanjutan di pasar modal. Sebagaimana diketahui, SDG diharapkan dapat tercapai pada tahun 2030. Hal tersebut membuat tahun 2024 merupakan tahun penting untuk Indonesia dalam mengarungi setengah perjalanan menuju target yang telah ditetapkan. Tidak hanya Indonesia harus berpacu dengan waktu untuk dapat sampai pada kadar pengurangan emisi yang diharapkan namun juga mengarahkan prioritas nasional untuk mempermudah transisi menuju just energy tersebut.


[1] Kepuasan SP4N-LAPOR! Capai 73,7 Persen, Menteri PANRB: Tindak Lanjut Pengaduan Harus Dipercepat pada laman Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/kepuasan-sp4n-lapor-capai-73-7-persen-menteri-panrb-tindak-lanjut-pengaduan-harus-dipercepat

[2] Aplikasi InaRISK Mudahkan Warga Kobar Antisipasi Bahaya Bencana https://www.borneonews.co.id/berita/318726-aplikasi-inarisk-mudahkan-warga-kobar-antisipasi-bahaya-bencana

[3] Republic of Indonesia SDG Bond Allocation and Impact Report 2022 https://api-djppr.kemenkeu.go.id/web/api/v1/media/E678F05A-9644-47DD-9B09-293F08372966

[4] The Catalytic Fund Program https://www.cnbcindonesia.com/news/20231211115942-4-496128/ri-luncurkan-catalytic-fund-apa-itu

17/09/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Waspada Penipuan Mengatasnamakan BPK: Pentingnya Verifikasi Lewat Domain Resmi
  • BPK Tegaskan Pemeriksaan untuk Akuntabilitas dan Manfaat Nyata
  • Museum BPK, Ruang Belajar Publik yang Hidup dan Inklusif
  • Middle Income Trap, Jalan Terjal Menuju Indonesia Emas 2045
  • Hadiri Forum Risk and Governance Summit 2025, Wakil Ketua BPK Dorong Penerapan Tata Kelola Kolaboratif
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Waspada Penipuan Mengatasnamakan BPK: Pentingnya Verifikasi Lewat Domain...

    28/08/2025
  • BPK Tegaskan Pemeriksaan untuk Akuntabilitas dan Manfaat Nyata

    27/08/2025
  • Museum BPK, Ruang Belajar Publik yang Hidup dan...

    26/08/2025
  • Middle Income Trap, Jalan Terjal Menuju Indonesia Emas...

    21/08/2025
  • Hadiri Forum Risk and Governance Summit 2025, Wakil...

    20/08/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id