WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Friday, 29 August 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Category:

Suara Publik

BeritaBPK BekerjaEdukasiSLIDERSuara Publik

Waspada Penipuan Mengatasnamakan BPK: Pentingnya Verifikasi Lewat Domain Resmi

by admin2 28/08/2025
written by admin2

Oleh: Muhammad Anshari, Pranata Komputer Ahli Muda pada Biro Teknologi Informasi BPK

Di era digital yang serba cepat, informasi bisa menyebar dalam hitungan detik. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul ancaman baru yang semakin canggih: penipuan daring yang mengatasnamakan lembaga negara, termasuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Belum lama ini, BPK mengeluarkan dua bentuk imbauan—satu untuk publik dan satu untuk internal—terkait maraknya upaya penipuan berkedok seminar, kursus, workshop, atau bimbingan teknis yang seolah-olah diselenggarakan atau didukung oleh BPK.

Yang lebih mengkhawatirkan, pelaku penipuan ini kerap menggunakan tautan (link) yang terlihat meyakinkan, menyamar sebagai komunikasi resmi, hingga meminta data pribadi atau pembayaran. Di tengah situasi seperti ini, keberadaan identitas digital resmi lembaga menjadi sangat krusial. Inilah mengapa inisiatif BPK meluncurkan BPK.ID bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan perlindungan nyata bagi masyarakat dari ancaman phishing dan penipuan digital.

Penipuan yang Mengatasnamakan BPK: Modus dan Dampaknya

BPK, sebagai lembaga negara yang memiliki kredibilitas tinggi, kerap menjadi “maskot” bagi pihak tak bertanggung jawab. Melalui surat edaran internal tertanggal 30 Juni 2025, BPK mengonfirmasi bahwa telah terjadi penyebaran undangan palsu yang mengatasnamakan lembaga, baik dalam bentuk surat elektronik (email) maupun pesan instan. Modusnya klasik namun efektif: mengiming-imingi peserta dengan seminar atau pelatihan yang seolah-olah diselenggarakan BPK, lalu meminta biaya pendaftaran atau informasi pribadi seperti nomor KTP, rekening, dan NPWP.

Imbauan dari BPK jelas: jangan langsung percaya. Masyarakat diminta untuk tidak memberikan data pribadi atau melakukan transaksi keuangan tanpa memverifikasi keaslian undangan. Konfirmasi harus dilakukan melalui saluran resmi—seperti kantor BPK, website, atau media komunikasi resmi lainnya.

Namun pertanyaannya: bagaimana masyarakat bisa membedakan mana yang resmi dan mana yang palsu? Di sinilah peran identitas digital lembaga menjadi penentu.

BPK.ID: Lebih dari Sekadar Tautan Pendek

Untuk menjawab tantangan ini, BPK meluncurkan BPK.ID—sebuah sistem tautan pendek (URL shortener) dan mini-situs yang sepenuhnya dikelola oleh BPK. Dengan alamat resmi https://bpk.id , sistem ini menjadi wajah digital resmi BPK dalam setiap publikasi daring.

Awalnya, tautan pendek memang populer karena fungsinya yang praktis—mempermudah berbagi link di media sosial dengan karakter terbatas. Namun, di tangan BPK, fungsi tersebut ditingkatkan menjadi alat verifikasi dan keamanan. Setiap tautan yang berasal dari domain bpk.id bisa dipastikan resmi, terverifikasi, dan aman.

BPK.ID bukan hanya memperpendek URL, tetapi juga:

  • Memberikan statistik akses untuk memantau sejauh mana informasi tersebar.
  • Menjadi arsip digital terpusat untuk semua publikasi resmi BPK.
  • Memastikan hanya pihak yang berwenang yang bisa menerbitkan tautan resmi.
  • Melindungi pengguna dari tautan berbahaya, karena setiap link yang dibuat melalui sistem ini melewati pemeriksaan keamanan.

Dengan kata lain, jika sebuah tautan tidak berasal dari bpk.id atau bpk.go.id, maka itu bukan komunikasi resmi BPK. Ini adalah pedoman sederhana namun sangat efektif bagi masyarakat awam.

Mengapa Identitas Digital Resmi Sangat Penting?

Bayangkan Anda menerima email dengan logo BPK dan tautan ke “seminar nasional” yang meminta pembayaran Rp750.000. Tautannya? bit.ly/seminar-bpk2025. Tanpa tahu bahwa BPK hanya menggunakan bpk.id, Anda mungkin langsung meng-klik dan menjadi korban.

Inilah alasan utama mengapa setiap lembaga publik harus memiliki domain identitas digital sendiri. Domain seperti bpk.id bukan sekadar branding, melainkan tanda keaslian, tanggung jawab, dan perlindungan. Ini adalah bentuk akuntabilitas digital yang harus dimiliki oleh semua instansi yang berinteraksi dengan publik.

Langkah Nyata untuk Masyarakat: Verifikasi Sebelum Percaya

Lalu, apa yang bisa Anda lakukan sebagai masyarakat?

1. Periksa domain tautan.

Jika Anda menerima undangan atau informasi yang mengatasnamakan BPK, pastikan tautannya berasal dari:

  • https://www.bpk.go.id
  • https://bpk.id
  • Akun media sosial resmi BPK (yang terverifikasi).

2. Jangan berikan data pribadi atau uang tanpa konfirmasi.

BPK tidak pernah meminta data sensitif atau pembayaran melalui email atau pesan instan tanpa prosedur resmi.

3. Konfirmasi langsung.

Hubungi kantor BPK terdekat, atau kunjungi website resmi untuk memastikan keaslian informasi.

4.Sebarkan kesadaran ini.

Banyak korban penipuan adalah orang tua, guru, atau pegawai daerah yang belum terlalu melek digital. Ajak mereka untuk selalu memverifikasi sebelum bertindak.

Masa Depan Komunikasi Resmi: Dari Analog ke Digital yang Aman

Langkah BPK dalam meluncurkan BPK.ID patut diapresiasi sebagai contoh transformasi digital yang berorientasi pada perlindungan publik. Tidak hanya meningkatkan efisiensi internal, tetapi juga membangun kepercayaan publik melalui transparansi dan keamanan digital. Ke depan, integrasi dengan sistem internal dan pelatihan bagi pegawai sebagai “agen kehumasan digital” akan semakin memperkuat peran BPK.ID sebagai tameng digital.

Jika Tidak dari Domain Resmi, Waspada!

Penipuan digital tidak akan pernah hilang sepenuhnya. Tapi yang bisa kita lakukan adalah membangun sistem yang membuat penipu lebih sulit beroperasi. Dengan BPK.ID, BPK telah mengambil langkah strategis: mengambil alih identitas digitalnya sendiri. Sebagai masyarakat, kita harus ikut serta dalam menjaga keamanan digital. Jadikan verifikasi sebagai kebiasaan, bukan kewajiban. Dan ingat: Jika sebuah tautan tidak berasal dari domain resmi BPK, maka itu bukan dari BPK.

Di dunia maya kini, kepercayaan tidak hanya dibangun oleh logo atau desain, tapi juga oleh alamat URL yang benar. Mari kita jadikan BPK.ID sebagai contoh: bahwa identitas digital resmi bukan kemewahan, tapi kebutuhan.

Opini dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili sikap resmi Redaksi Warta BPK. Tanggung jawab isi tulisan sepenuhnya berada pada penulis.

28/08/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBPK BekerjaSLIDERSuara Publik

Middle Income Trap, Jalan Terjal Menuju Indonesia Emas 2045

by admin2 21/08/2025
written by admin2

Oleh: Ahmad Syafi’i Karim (Pemeriksa pada BPK Perwakilan Prov. Jawa Timur) dan Rifky Pratama Wicaksono (Penelaah Teknis Kebijakan BPK)

Indonesia Emas 2045 adalah cita-cita besar menjadikan Indonesia berdaulat, maju, adil, dan makmur tepat pada satu abad kemerdekaannya. Visi tersebut mencerminkan optimisme nasional jangka panjang, namun jika gagal berisiko menimbulkan keputusasaan. Pasalnya, Indonesia juga menghadapi tantangan aging population, di mana jumlah penduduk usia produktif menurun sementara penduduk usia lanjut mengalami kenaikan.

Di tengah tantangan tersebut, peran kelas menengah sangat penting sebagai penjaga stabilitas ekonomi. Tetapi, kelompok yang kerap diistilahkan sebagai kaum “mendang-mending” tersebut kini justru rentan terhadap dinamika ekonomi itu sendiri.

Kelas menengah didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki pengeluaran 3,5 sampai 17 kali garis kemiskinan. Berdasarkan standar tersebut, BPS telah mencatatkan rata-rata garis kemiskinan nasional sebesar Rp609.160 per Maret 2025, sehingga kelas menengah adalah kelompok yang memiliki rentang penghasilan Rp2.132.060 hingga Rp10.355.720 per kapita per bulan (3,5 -17 garis kemiskinan). Kelas menengah memiliki peran penting dalam perekonomian melalui konsumsi yang tinggi. Mereka menggunakan pendapatannya untuk konsumsi yang bersifat diskresioner di samping kebutuhan pokok. Grafik berikut menegaskan pengeluaran kelas menengah.

Grafik 1 Pengelompokan Kelas Sosial Menurut Pengeluaran

Untuk menjadi negara maju, Indonesia perlu meningkatkan PNB per kapita di atas US$13.845. Pada tahun 2025, PNB per kapita Indonesia mencapai US$5.027 dan termasuk ke dalam negara berpendapatan menengah ke atas. Sayangnya, kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan dalam empat tahun terakhir. Berdasarkan data BPS, jumlah dan persentase penduduk kelas menengah periode 2021—2024 mengalami penurunan, dijabarkan dalam grafik berikut. 

Grafik 2 Perkembangan Kelas Pengeluaran di Indonesia Periode 2021—2024 Menurut BPS

Pada data di atas, kategori rentan miskin terus mengalami kenaikan, sedangkan kelas menengah mengalami penurunan. Pada tahun 2021 penduduk kategori kelas menengah merepresentasikan 19,82% populasi atau 53,83 juta jiwa. Pada tahun 2024, angka tersebut mengalami penurunan menjadi 17,13%, atau 47,85 juta jiwa. Hal ini mengindikasikan adanya pergeseran status dari Menengah menjadi Menuju Kelas Menengah, bahkan Rentan Miskin.

Kenaikan harga kebutuhan dasar yang tak diimbangi peningkatan upah membuat rumah tangga kelas menengah menunda konsumsi nonprimer dan mengorbankan tabungan. Di sisi lain, sektor manufaktur yang sebelumnya menjadi motor utama penciptaan lapangan kerja, kini lesu akibat investasi yang rendah dan adopsi teknologi yang lambat. Pada 2023, hanya 13,83% tenaga kerja terserap oleh sektor ini, jauh tertinggal dibanding sektor pertanian dan perdagangan.

Berkurangnya kontribusi sektor manufaktur membuat kualitas pendidikan menjadi kunci menjaga daya saing. Namun, skor Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan kemampuan numerasi dan literasi Indonesia masih di bawah target nasional dan rata-rata OECD. Ditambah lagi, hanya 17,93% dari penduduk usia produktif yang memiliki akses ke pendidikan tinggi. Ini menggambarkan semakin terjalnya upaya peningkatan kapasitas SDM untuk mendukung pembangunan nasional. Kondisi tersebut mencerminkan kurangnya bekal generasi muda menghadapi disrupsi dan globalisasi, membuat akselerasi menuju negara berpendapatan tinggi terhambat.

Grafik 3 Perbandingan Skor Matematika, Sains, dan Membaca Indonesia Menurut PISA 2022

Dividen demografi Indonesia yang seharusnya menjadi keuntungan justru dapat membawa petaka jika tak diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas. Meski tingkat pengangguran terbuka pada 2023 turun sebesar 5,86% dari tahun sebelumnya, penciptaan pekerjaan berkualitas dan berkelanjutan masih menjadi tantangan. Jika surplus ini tak dimanfaatkan, bukan tidak mungkin Indonesia mengalami periode aging population dengan terseok-seok di masa yang akan datang.

Untuk mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu memprioritaskan reformasi struktural melalui pemberdayaan industri manufaktur, riset dan inovasi, serta kualitas modal manusia. Manufaktur dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi dengan adopsi teknologi disruptif, diiringi investasi dalam riset dan pendidikan untuk mewujudkan innovation-driven economy. 

Deregulasi, debirokratisasi, hingga insentif fiskal dan nonfiskal penting guna menarik investor dan memperluas lapangan kerja. Perbaikan iklim usaha di sektor strategis menjadi kunci memaksimalkan potensi sumber daya dan mendukung pembangunan berkelanjutan.

Tak kalah penting, partisipasi angkatan kerja perempuan sebesar 39,4% pada 2024, di bawah rata-rata Asia Timur dan Pasifik (World Bank), perlu ditingkatkan demi pertumbuhan ekonomi yang kuat juga inklusif. Program pendidikan dan pemagangan juga penting untuk menjaga relevansi keterampilan kerja, sekaligus mengantisipasi kelompok Not in Education, Employment, or Training (NEET). 

Pemerintah juga harus proaktif mempersiapkan periode aging population. Pemberdayaan lansia dan perluasan kesempatan kerja lansia akan menjaga produktivitas. Peningkatan jaminan sosial dan kesehatan juga diperlukan agar Usia Harapan Hidup Sehat tercapai, yang akhirnya berkontribusi pada kesejahteraan nasional.

Untuk itu, BPK berperan penting dalam menjaga asa masa depan. Dengan memfokuskan audit pada keselarasan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, BPK memastikan bahwa setiap langkah strategis dievaluasi secara cermat. Tidak hanya menilai implementasi, pendekatan foresight dapat diterapkan untuk menyiapkan skenario dan navigasi ketidakpastian masa depan serta memberikan tinjauan atas pilihan alternatif yang dapat diambil pemerintah di masa yang akan datang. BPK dapat menjadi penghubung antarlembaga dalam mengatasi risiko strategis yang menghambat rencana jangka panjang nasional.

Mimpi besar Indonesia di 100 tahun usianya begitu rentan terhadap berbagai tantangan, dan kemampuan kelas menengah dalam menjaga kestabilan perekonomian melalui konsumsinya menjadi salah satu penentu trajektorinya. Di tengah disrupsi dan turbulensi, BPK dapat mengoptimalkan perannya sebagai katalis kebijakan publik yang adaptif, adil, dan berkelanjutan.

Bibliografi

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2020). Rencana Strategis BPK Tahun 2025–2029.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2023). Penduduk berkualitas menuju Indonesia Emas 2045: Kebijakan kependudukan Indonesia 2020–2050.

Cameron, L. A., Dowling, J. M., & Worswick, C. (2001). Education and Labor Market Participation of Women in Asia: Evidence from Five Countries. Economic Development and Cultural Change, 49(3), 459–477. https://doi.org/10.1086/452511 

Kanasi, E., Ayilavarapu, S., & Jones, J. (2016). The aging population: demographics and the biology of aging. Periodontology 2000, 72(1), 13–18. https://doi.org/10.1111/prd.12126

Lase, D., Waruwu, E., Zebua, H. P., & Ndraha, A. B. (2024). Peran inovasi dalam pembangunan ekonomi dan pendidikan menuju visi Indonesia Maju 2045. Tuhenori: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 2(2), 114–129. https://doi.org/10.62138/tuhenori.v2i2.18

LPEM FEB UI. (2024). Seri analisis makroekonomi Indonesia: Economic outlook triwulan III. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.

OECD. (2023). PISA 2022 results (Volume II): Learning during and from disruption. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/a97db61c-en

Piwonski, K. (2010). Does the ‘Ease of Doing Business’ in a Country Influence its Foreign Direct Investment Inflows?. Bryant Digital Repository. https://digitalcommons.bryant.edu/honors_finance/13/ 

Suyitno, S. L. P. (2023). Transformasi ekonomi Indonesia: Keluar dari middle income trap (MIT) menuju Indonesia Emas 2045. Bappenas Working Papers, 6(3), 392–419. https://doi.org/10.47266/bwp.v6i3.237

World Bank. (2025). Labor force, female (% of total labor force) – Indonesia. Retrieved August 18, 2025, from https://data.worldbank.org/indicator/SL.TLF.TOTL.FE.ZS?locations=ID 

World Intellectual Property Organization. (2023). Global innovation index 2023: Innovation in the face of uncertainty (16th ed.). https://doi.org/10.34667/tind.48220

Yates, S., & Payne, M. (2006). Not so NEET? A Critique of the Use of ‘NEET’ in Setting Targets for Interventions with Young People. Journal of Youth Studies, 9(3), 329–344. https://doi.org/10.1080/13676260600805671 

Opini dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili sikap resmi Redaksi Warta BPK. Tanggung jawab isi tulisan sepenuhnya berada pada penulis.

21/08/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDERSuara Publik

Opini BPK dan Makna Akuntabilitas

by admin2 13/08/2025
written by admin2

Oleh: Muhammad, Pemeriksa pada BPK Perwakilan Prov. Nusa Tenggara Barat

Opini atas laporan keuangan merupakan hasil dari penilaian profesional auditor terhadap kewajaran penyajian informasi keuangan suatu entitas. Menurut Mulyadi (2013:19), opini auditor adalah pendapat yang diberikan atas laporan keuangan yang telah diaudit, secara keseluruhan dalam aspek penting, berdasarkan kesesuaian penyusunan laporan tersebut dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Dalam konteks pemeriksaan keuangan negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga negara memiliki mandat berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara oleh berbagai entitas, termasuk pemerintah pusat dan daerah, BUMN, BUMD, serta lembaga lainnya.

BPK melaksanakan tugasnya melalui tiga jenis pemeriksaan, yaitu pemeriksaan laporan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Untuk menjamin kualitas dan konsistensi pelaksanaan pemeriksaan, BPK menetapkan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), yang mencakup kerangka konseptual dan pernyataan standar pemeriksaan, meliputi standar umum, pelaksanaan, dan pelaporan. Selain itu, BPK juga menyediakan petunjuk teknis dan panduan pelaksanaan sebagai instrumen pendukung agar proses audit berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam pelaksanaan audit berdasarkan SPKN, auditor bertanggung jawab untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko yang dapat menyebabkan hasil pemeriksaan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Untuk itu, auditor merancang prosedur yang tepat dan melaksanakannya secara sistematis, dengan mempertimbangkan materialitas serta kecukupan dan ketepatan bukti yang dikumpulkan. 

Bukti audit dapat berupa dokumen, komunikasi, observasi, atau pernyataan, dan diperoleh melalui berbagai metode seperti inspeksi, wawancara, dan analisis. Auditor juga harus menyeimbangkan antara biaya pengumpulan bukti dan nilai informasi yang diperoleh, tanpa mengabaikan prosedur penting. Penilaian materialitas, baik dari sisi jumlah maupun kualitas informasi, menjadi acuan dalam menyusun rencana, jadwal, dan ruang lingkup audit, serta membutuhkan pertimbangan profesional dan sikap skeptis yang tinggi.

Setelah auditor menyelesaikan proses pemeriksaan dengan mempertimbangkan risiko, materialitas, serta kecukupan dan ketepatan bukti, langkah berikutnya adalah menyusun opini atas laporan keuangan. Opini ini mencerminkan kesimpulan profesional auditor terhadap kewajaran penyajian informasi keuangan. Secara umum, terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan: Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), yang menunjukkan bahwa laporan keuangan telah disusun secara wajar dalam semua aspek material; Wajar Dengan Pengecualian (WDP), yang berarti terdapat beberapa penyimpangan atau pembatasan namun tidak memengaruhi keseluruhan laporan secara signifikan; Tidak Wajar, yang diberikan jika laporan keuangan mengandung salah saji material yang berdampak luas; dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP), yang terjadi ketika auditor tidak memperoleh bukti yang cukup untuk membentuk opini. Pemilihan jenis opini ini sangat bergantung pada hasil evaluasi auditor terhadap temuan pemeriksaan dan tingkat materialitas dari permasalahan yang ditemukan.

Dalam praktiknya, opini yang diberikan oleh auditor tidak hanya mencerminkan hasil teknis pemeriksaan, tetapi juga mempertimbangkan konteks dan dampak dari temuan yang ada. Sebagai contoh, dalam laporan keuangan Pemerintah Daerah, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), namun disertai dengan paragraf penekanan terkait pengelolaan dana hibah yang belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Meskipun secara keseluruhan laporan keuangan dianggap wajar, auditor merasa perlu menyoroti aspek tertentu yang berpotensi signifikan bagi pengguna laporan. 

Sebaliknya, pada Pemerintah Daerah lainnya, BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) karena ditemukan permasalahan dalam pengelolaan belanja barang dan jasa, seperti ketidaksesuaian antara realisasi dan dokumen pendukung, serta kelemahan dalam proses pengadaan. Temuan tersebut dinilai cukup material sehingga memengaruhi sebagian penyajian laporan keuangan, namun tidak sampai menurunkan kewajaran secara keseluruhan. 

Kedua contoh tersebut menunjukkan bagaimana auditor menggunakan pertimbangan profesional dalam menyampaikan opini yang tidak hanya akurat secara teknis, tetapi juga informatif bagi pemangku kepentingan

Sebagai lembaga audit negara, BPK memikul tanggung jawab besar dalam menjaga objektivitas dan kualitas opini yang diberikan. Dalam proses tersebut, auditor dihadapkan pada tantangan untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dasar BPK, yaitu independensi, integritas, dan profesionalisme, di tengah tekanan eksternal dan ekspektasi publik. SPKN secara tegas mengamanatkan bahwa auditor harus bersikap tidak memihak dan bebas dari pengaruh luar, baik dalam pemikiran maupun penampilan, guna menjaga objektivitas dan menghindari konflik kepentingan.

Integritas menjadi cerminan karakter auditor yang utuh, jujur, dan memiliki komitmen terhadap tugas serta kompetensi yang memadai. Profesionalisme menuntut auditor untuk menjalankan tugas dengan keahlian, ketelitian, dan kehati-hatian, berlandaskan pada standar pemeriksaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pelaksanaan audit, sikap skeptis yang sehat dan penggunaan pertimbangan profesional menjadi elemen penting dalam menjaga kualitas hasil pemeriksaan.

Untuk memastikan nilai-nilai tersebut tetap terjaga, BPK menerapkan mekanisme internal seperti rotasi penugasan, pengendalian dan penjaminan mutu, evaluasi kinerja berbasis etika dan kompetensi. Auditor juga diwajibkan menandatangani pernyataan bebas konflik kepentingan sebelum melaksanakan tugas. Mekanisme ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga menjadi bagian dari budaya organisasi yang menanamkan nilai-nilai luhur dalam setiap proses pemeriksaan.

Namun, menjaga nilai-nilai dasar bukanlah hal yang mudah. Auditor sering kali menghadapi tekanan dari pihak berkepentingan, dinamika politik, serta kompleksitas pengelolaan keuangan negara. Dalam situasi seperti ini, integritas pribadi dan dukungan institusional menjadi kunci untuk menjaga profesionalisme dan menghindari kompromi yang dapat merugikan akuntabilitas publik.

Sebagai bentuk penguatan dari dalam institusi, BPK terus melakukan pembinaan melalui pelatihan berkelanjutan, pengembangan etika profesi, dan sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system) yang aman. Pembaruan regulasi internal dan peningkatan kualitas supervisi juga menjadi bagian dari strategi kelembagaan untuk menjaga kredibilitas auditor.

Peran auditor negara sangat strategis sebagai penjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan publik. Melalui pemeriksaan yang independen dan profesional, auditor memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa dana publik dikelola secara bertanggung jawab. Opini yang diberikan bukan hanya hasil teknis, tetapi juga mencerminkan integritas dan kompetensi dalam menilai kewajaran laporan keuangan.

Menjaga independensi, integritas, dan profesionalisme bukan sekadar tuntutan etis, melainkan syarat mutlak bagi keberhasilan fungsi audit negara. Publik perlu didorong lebih memahami makna opini BPK agar tidak hanya terjebak pada simbol ‘WTP’ semata. Diperlukan sistem yang kuat, budaya organisasi yang sehat, serta individu yang berkomitmen tinggi terhadap nilai-nilai dasar BPK. Penguatan kapasitas auditor harus dilakukan secara berkelanjutan, disertai pengawasan yang efektif dan dukungan kelembagaan yang memadai, agar peran auditor sebagai penjaga akuntabilitas negara dapat dijalankan secara optimal dan berkelanjutan.

Opini dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili sikap resmi Redaksi Warta BPK. Tanggung jawab isi tulisan sepenuhnya berada pada penulis.

13/08/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBPK BekerjaEdukasiOpiniSLIDERSuara Publik

Auditor Mood dan Kualitas Audit

by admin2 22/07/2025
written by admin2

Oleh: Ronald Tehupuring, Dosen Akuntansi Universitas Utpadaka Swastika

Kompleksitas audit keuangan yang dilakukan oleh BPK muncul dari beberapa faktor, misalkan (1) ragam entitas dan transaksi, (2) regulasi yang kompleks, (3) risiko kecurangan, dan (4) keterbatasan sumber daya dan tekanan eksternal. Beberapa faktor tersebut diharapkan tidak menjadi kendala bagi auditor BPK untuk menghasilkan kualitas audit. Untuk meningkatkan kualitas audit dengan kompleksitas audit keuangan yang tinggi, maka auditor membutuhkan manajemen emosi dan dukungan psikologis yang dapat membantu auditor menjaga stabilitas emosi. Dampak suasana hati auditor terhadap kualitas audit merupakan topik yang menarik dalam bidang akuntansi dan auditing karena auditor sebagai manusia tidak terlepas dari kondisi psikologis yang dapat memengaruhi kinerja profesionalnya. 

Secara khusus, literatur audit yang ada mengusulkan dua teori yang kontradiktif yaitu, AIM (Affect Infusion Model) dan MMH (Mood Maintenance Hypothesis) untuk menjelaskan bagaimana emosi dapat memengaruhi evaluasi risiko audit oleh auditor. Affect Infusion Model menjelaskan bahwa suasana hati yang positif (negatif) mendorong perilaku pengambilan risiko (menghindari risiko) pada individu karena fokus selektif. Sesuai dengan teori ini, maka auditor dalam suasana hati positif akan berfokus pada aspek positif suatu situasi yang menyebabkan auditor kurang peduli tentang potensi risiko audit yang dapat mengakibatkan kualitas audit yang lebih rendah. Sebaliknya, auditor dengan suasana hati yang negatif akan berfokus pada aspek negatif suatu situasi yang mengarah pada perilaku audit yang lebih berhati-hati dan menghindari risiko. Sebaliknya, Mood Maintenance Hypothesis menjelaskan bahwa individu dalam suasana hati positif (negatif) lebih (kurang) berhati-hati. Auditor yang berada dalam suasana hati yang positif akan membuatnya lebih berhati-hati karena auditor cenderung tidak membuat keputusan yang terkait dengan risiko audit yang tinggi yang berpotensi membahayakan suasana hatinya yang baik di kemudian hari. Sebaliknya, suasana hati yang negatif dapat menurunkan motivasi dan keterlibatan auditor dalam pekerjaannya yang mengarah pada perilaku yang kurang hati-hati dan berkurangnya perhatian terhadap detail dan fokus selama audit yang mengakibatkan kualitas audit yang lebih rendah.

Auditor yang berada dalam suasana hati positif (misalnya bahagia dan optimis) cenderung lebih kreatif dan fleksibel dalam berpikir, memiliki kerja yang lebih tinggi, dapat menghasilkan solusi inovatif saat menghadapi masalah audit yang kompleks, tetapi juga skeptisime profesionalnya berkurang karena cenderung melihat situasi secara lebih optimis dan mengabaikan risiko. Kondisi ini dapat menyebabkan penurunan skeptisisme profesional yang merupakan salah satu prinsip penting dalam audit. Akan tetapi, auditor dengan suasana hati negatif (misalnya stress, marah, atau sedih) dapat menjadi lebih berhati-hati dan skeptis yang justru positif untuk meningkatkan kualitas audit, tetapi juga dapat menyebabkan penurunan konsentrasi dan akurasi, keputusan audit yang tidak konsisten karena terganggu oleh faktor emosional, dan kesalahan dalam pengambilan sampel atau interpretasi data audit. 

Untuk mengukur suasana hati auditor, maka Xu et al. (2024) menggunakan music sentiment sebagai proksi suasana hati auditor. Studi Xu et al. (2024) berpendapat bahwa auditor memilih musik berdasarkan suasana hatinya. Affect Infusion Model (Mood Maintenance Hypothesis) menjelaskan hubungan antara emosi individu dan penilaian risiko, auditor akan kurang (lebih) konservatif dalam auditnya ketika tingkat sentimen musik tinggi. Sebaliknya, jika music sentiment rendah, maka auditor akan lebih berhati-hati (atau kurang) dalam meningkatkan kualitas audit. Hasilnya adalah bahwa suasana hati yang positif dapat mendorong auditor untuk lebih berhati-hati dalam situasi berisiko. Akhirnya, pelatihan manajemen emosi dan dukungan psikologis dapat membantu auditor menjaga stabilitas emosi dan supervisi, serta review audit dapat menjadi langkah untuk mendeteksi suasana hati auditor dalam memengaruhi kualitas pekerjaan.

22/07/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBPK BekerjaOpiniSLIDERSuara Publik

Menggagas Masa Depan Keuangan Daerah: Momentum Efisiensi dan Arah Baru Kebijakan?

by admin2 09/07/2025
written by admin2

Oleh: Akhmad Saputra Benawa, Pemeriksa pada BPK Perwakilan Prov. Lampung

Pemerintah Pusat berupaya melakukan penghematan besar terhadap APBN tahun 2025. Hal ini merupakan bagian dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, dengan target efisiensi mencapai Rp306,7 triliun yang terdiri dari pemangkasan belanja Kementerian/Lembaga sebesar Rp256,1 triliun dan penyesuaian transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp50,6 triliun.  Upaya ini mencerminkan semangat reformasi fiskal nasional. Namun, hal tersebut tentu mengundang pertanyaan: seperti apa pengaruhnya bagi pemda? Dan bagaimana sebaiknya pemda merespons kondisi ini?

Meningkatkan Literasi Keuangan di Tengah Kebijakan Efisiensi

Langkah efisiensi fiskal oleh pemerintah pusat menegaskan bahwa tata kelola keuangan kini menjadi kebutuhan mendesak, bukan lagi sekadar opsi. Saat negara dituntut berhemat, pemda pun perlu lebih bijak dalam mengelola keuangan. Dampaknya bersifat langsung: potensi inflasi, persaingan kerja meningkat, serta layanan publik yang mungkin menurun. Dalam konteks ini, pemda perlu mendorong literasi keuangan berbasis data dengan memanfaatkan sumber resmi, seperti LHP BPK, Kaleidoskop Anggaran K/L dari Dirjen Perbendaharaan, data keuangan daerah dari BPS, serta publikasi instansi berwenang lainnya.

Respons Bijak: Perencanaan Keuangan Daerah yang Strategis

Keberhasilan pembangunan nasional sejatinya tak lepas dari keterlibatan aktif antara pemerintah pusat, pemda, dan masyarakat. Sinergi antara ketiganya merupakan kunci utama. Pemerintah Pusat salah satu kebijakannya telah mengesahkan PP Nomor 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional, yang bertujuan menyelaraskan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Beberapa ruang lingkup dalam regulasi ini antara lain: sinergi kebijakan fiskal, pembiayaan utang daerah, pembentukan Dana Abadi Daerah, serta kolaborasi pendanaan. Beberapa langkah implementatif yang dapat ditempuh pemda untuk menyelaraskan kebijakan fiskalnya dengan pusat antara lain:

  1. Integrasi Perencanaan dan Penganggaran

Pemda diwajibkan menyelaraskan dokumen KUA-PPAS dengan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal KEM-PPKF (KEM PPKF) nasional. Ini menuntut TAPD untuk aktif mengikuti pembahasan lintas kementerian dan menyinkronkan dokumen RPJMD dengan RPJMN. Selain itu, penganggaran perlu didasarkan pada proyeksi pendapatan yang realistis (berdasarkan tren penerimaan tahunan), bukan sekadar untuk pemenuhan aspirasi politik, tetapi untuk menjaga stabilitas ekonomi dan belanja yang berdampak langsung ke masyarakat serta mempertimbangkan kebijakan untuk mempersempit defisit anggaran daerah. Kolaborasi dengan Dirjen Perimbangan Keuangan (DJPK), Dirjen Anggaran (DJA), DJPb dan Bappenas diperlukan guna menyesuaikan proyeksi dan realisasi keuangan secara berkala.

  1. Penetapan Batas Defisit dan Pengelolaan Utang

Dengan menetapkan batas maksimal defisit APBD dan pinjaman daerah, pemda perlu melakukan kajian kelayakan atas proyek yang hendak didanai dengan utang, serta menetapkan plafon pembiayaan melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel. Seluruh pinjaman daerah harus disetujui DPRD dan disesuaikan dengan kemampuan fiskal agar tidak membebani keuangan daerah di masa depan.

  1. Penguatan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD dan Konsistensi Bagan Akun Standar (BAS)

Data keuangan daerah harus terintegrasi dengan SIKD dan mengikuti struktur BAS secara konsisten. Pemda juga didorong mengembangkan platform digital untuk menjaring aspirasi dan permasalahan masyarakat lintas sektor sebagai dasar penyusunan anggaran yang tepat sasaran dan berbasis kebutuhan riil. Seluruh isu yang teridentifikasi harus terhubung dalam basis data yang menjadi rujukan utama dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat OPD maupun kepala daerah. Penyediaan data keuangan, kinerja, dan transaksi pun wajib disajikan secara real-time, akurat, dan sesuai ketentuan yang berlaku.

  1. Pemantauan, Evaluasi, dan Skema Insentif

Melalui pemantauan digital, pemerintah pusat dapat mengevaluasi kepatuhan daerah terhadap kebijakan fiskal nasional. Daerah yang patuh dan berkinerja baik berpeluang menerima insentif fiskal, sedangkan yang tidak memenuhi kriteria dapat dikenai sanksi berupa pemotongan transfer. Oleh karena itu, penguatan sistem evaluasi internal berbasis indikator kinerja sangat penting untuk menunjang transparansi dan akuntabilitas daerah. Monitoring terhadap Key Perfomance Indicator (KPI) fiskal dan indikator kinerja daerah dapat digunakan hasilnya untuk pengendalian internal dan sebagai alat negosiasi insentif.

  1. Pembentukan Dana Abadi Daerah (DAD)

Kebijakan mengenai DAD masih tergolong baru, namun potensinya besar dalam menopang keuangan jangka panjang. Daerah dengan kapasitas fiskal memadai dapat membentuk DAD melalui perda, dengan sumber dana seperti SILPA atau lainnya. Pengelolaan DAD harus hati-hati dan dilakukan oleh lembaga resmi seperti BUD atau BLUD, serta diinvestasikan pada instrumen yang aman dan berkelanjutan.

  1. Sinergi Pendanaan dan Kemitraan

Pemda perlu menjajaki berbagai bentuk kerja sama, baik dengan sektor swasta maupun organisasi lingkup pengusaha dan masyarakat, untuk memperluas basis pembiayaan pembangunan. Di tengah kebijakan efisiensi, pendekatan kolaboratif menjadi alternatif penting untuk memastikan keberlangsungan layanan publik dan program prioritas.


Referensi:

  • PP Nomor 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional.
  • AntaraNews.com, Wamenkeu: Pemda Diperbolehkan Miliki Dana Abadi Daerah, 17 Maret 2022.
  • djpb.kemenkeu.go.id, Efisiensi Dana Desa Memacu Kemandirian Desa, 17 Februari 2025.
09/07/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBPK BekerjaSLIDERSuara Publik

Benarkah Laporan Keuangan Pemerintah untuk Konsumsi Masyarakat Umum?

by admin2 18/06/2025
written by admin2

Oleh: M. iqbal Haridh, Pemeriksa pada Ditjen PKN VII BPK RI

Semua pihak mungkin sepakat dengan pernyataan bahwa salah satu fungsi Laporan Keuangan adalah untuk memberikan informasi kepada para pemangku kepentingan, diantaranya adalah masyarakat umum. Informasi dalam Laporan Keuangan penting untuk menjaga kepercayaan publik pada institusi tersebut. Lantas bagaimana cara menyusun laporan keuangan? Akuntansi diyakini oleh berbagai pihak media yang bertanggung jawab pada penyusunan Laporan Keuangan. Karena peran itulah akuntansi juga sering disebut sebagai “bahasa bisnis”.

Di sektor swasta, jamak ditemui perusahaan dengan model tertutup, yang tidak menyampaikan Laporan Keuangan ke publik. Bagaimana dengan entitas pemerintah? Berdasarkan regulasi yang berlaku, entitas pemerintah wajib menyusun laporan keuangan. Setelah diaudit dan mendapatkan opini atas laporan keuangan tersebut, Laporan Keuangan selanjutnya disampaikan kepada publik.

Maka dapat kita simpulkan bahwa Laporan Keuangan disampaikan kepada publik, sehingga masyarakat dapat membaca Laporan Keuangan tersebut.

Tapi, apakah benar begitu? Mari kita lihat bersama-sama.

Pola Pelaporan Keuangan

Regulasi yang mengatur pola pelaporan keuangan pemerintah di Indonesia tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Layaknya sebuah standar akuntansi, regulasi tersebut juga menyertakan Kerangka Konseptual. Meskipun tidak membahas pernyataan standar akuntansi secara rinci, Kerangka Konseptual memuat banyak hal penting yang harus diperhatikan, yang mencakup: ruang lingkup, pengguna dan kebutuhan informasi para pengguna, peranan dan tujuan pelaporan keuangan, asumsi dasar pelaporan keuangan, karakteristik kualitatif laporan keuangan, prinsip akuntansi, kendala informasi yang relevan, serta unsur laporan keuangan.

Mari kita coba lihat bersama, bagaimana penyampaian informasi Laporan Keuangan diatur dalam Kerangka Konseptual.

Dalam paragraf 17, disebutkan bahwa terdapat beberapa kelompok utama pengguna laporan keuangan pemerintah, yaitu:

  1. Masyarakat;
  2. Wakil rakyat, lembaga pengawas, dan lembaga pemeriksa;
  3. pihak yang memberi atau berperan dalam proses donasi, investasi, pinjaman;
  4. pemerintah.

Berdasarkan paragraf 17, dapat kita lihat bahwa masyarakat merupakan satu dari beberapa kelompok pengguna utama laporan keuangan. Dalam daftar tersebut, kelompok masyarakat bahkan berada di urutan pertama. Hal ini menyiratkan seolah-olah masyarakat adalah kelompok pengguna laporan keuangan paling penting, meskipun urutan kepentingan kelompok pengguna laporan keuangan tidak disebutkan dalam Kerangka Konseptual dimaksud. Hal ini terbilang wajar, karena pemerintah beroperasi dalam wadah publik, serta mendapatkan pendanaan dari publik. Sehingga dapat dikatakan bahwa institusi pemerintahan adalah institusi dengan tingkat akuntabilitas publik paling tinggi.

Selain paragraf 17, paragraf 25 juga mendukung hal ini. Paragraf 25 menyebutkan bahwa setiap entitas pelaporan mempunyai kewajiban untuk melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan serta hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan terstruktur pada suatu periode pelaporan untuk kepentingan, antara lain: akuntabilitas. Maka berdasarkan paragraf 25, kita mengetahui bahwa paling tidak, ada peran yang diemban oleh pelaporan keuangan terkait dengan akuntabilitas. Mari kita coba kupas lebih dalam.

Laporan Keuangan Pemerintah harus memiliki asas akuntabilitas, yaitu mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik. Karena entitas pemerintah didanai oleh publik, maka bentuk pengelolaan sumber daya sudah seharusnya dilaporkan kepada publik. Lantas bagaimana mekanisme pelaporannya? Laporan keuangan berperan penting dalam menjalankan peran akuntabilitas tersebut. Melalui pelaporan keuangan yang akuntabel, pengelolaan sumber daya diharapkan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.

Maka berdasarkan Kerangka Konseptual Paragraf 17 dan 25, dapat disimpulkan bahwa masyarakat umum adalah salah satu pengguna utama Laporan Keuangan Pemerintah. Sehingga sudah seharusnya, masyarakat umum dapat mengakses dan membaca Laporan Keuangan Pemerintah agar peran akuntabilitas dapat terpenuhi dengan baik.

Membaca Laporan Keuangan

Saat ini, Laporan Keuangan Pemerintah boleh dikata telah tersedia bagi publik, karena cukup mudah diakses melalui media internet. Namun untuk dapat memahami informasi dari laporan keuangan, maka pengguna (dalam konteks ini adalah masyarakat) harus mampu membaca laporan keuangan. Pertanyaan penting selanjutnya adalah: apakah seluruh elemen masyarakat kita sudah mampu membaca laporan keuangan?

PP 71 tahun 2010 telah mengantisipasi hal tersebut, yaitu mengingatkan pengguna tentang cara membaca laporan keuangan. Pada lampiran I Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP) Nomor 4 tentang Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) paragraf 9, dinyatakan sebagai berikut:

“… Laporan Keuangan mungkin mengandung informasi yang dapat mempunyai potensi kesalahpahaman di antara pembacanya. Oleh karena itu, untuk menghindari kesalahpahaman, atas sajian laporan keuangan harus dibuat Catatan atas Laporan Keuangan yang berisi informasi untuk memudahkan pengguna dalam memahami Laporan Keuangan.”

Dari paragraf tersebut dapat dilihat bahwa untuk dapat memahami laporan keuangan, maka laporan keuangan harus dibaca secara utuh. Laporan keuangan yang utuh tentu tidak sedikit. Menurut standar yang berlaku saat ini, Instansi Pemerintah harus menyajikan 7 buah laporan.

PP 71 Tahun 2010 lebih lanjut menjelaskan pada paragraf 10 dan 11 di lampiran yang sama:

“Kesalahpahaman dapat saja disebabkan oleh persepsi dari pembaca laporan keuangan…”

“…pengungkapan basis akuntansi dan kebijakan akuntansi yang diterapkan akan dapat membantu pembaca menghindari kesalahpahaman dalam memahami laporan keuangan”

Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam membaca dan memahami laporan keuangan, maka pembaca harus dapat memahami basis akuntansi dan kebijakan akuntansi yang digunakan oleh entitas tersebut.

Maka pertanyaan selanjutnya adalah: apakah kita, masyarakat umum telah memahami basis akuntansi dan kebijakan akuntansi, serta membaca seluruh laporan keuangan? PP 71 tahun 2010 mengingatkan, jika tidak mengikuti cara tersebut, pembaca mungkin saja salah persepsi dalam memahami laporan keuangan.

Lantas, apakah tidak terlalu banyak bagi masyarakat umum, sehingga harus membaca sampai 7 buah laporan untuk satu entitas? Menurut saya, itu terlalu banyak. Lalu bagaimana caranya agar masyarakat umum mampu membaca dan memahami laporan keuangan?

Analisis Laporan Keuangan

Menurut saya, ada dua cara bagi masyarakat umum agar bisa memahami laporan keuangan secara utuh.

Cara pertama adalah melalui wakil rakyat. DPR, yang secara lembaga mewakili rakyat, tentu mempunyai tugas mengawasi pihak pemerintah, termasuk dari sisi keuangan. Itu sebabnya, laporan keuangan yang telah diperiksa diserahkan ke lembaga ini. Melalui DPR, masyarakat umum seharusnya bisa memahami laporan keuangan secara utuh.

Cara kedua adalah menggunakan metode, yakni Analisis Laporan Keuangan (ALK). Metode ALK merupakan bahan ajar standar yang diajarkan di Jurusan Akuntansi. Sehingga, alumnus akuntansi secara umum dapat memahami laporan keuangan secara utuh.

Yang menjadi hambatan adalah, sistem akuntansi pemerintahan belum memiliki instrumen ALK yang memadai. Selain itu, secara umum ALK belum dipahami secara luas. Agar dapat digunakan masyarakat secara umum, ALK tidak harus diajarkan di sekolah atau kampus, namun dibentuk dalam sebuah desain baku, kemudian dituangkan dalam sebuah regulasi yang dapat dibaca masyarakat luas. Cara ini tentu menuntut dukungan dari riset dan praktik akuntansi pemerintahan yang cukup luas.

Menurut hemat penulis, cara kedua layak dicoba, agar masyarakat tidak salah paham dalam membaca dan memahami Laporan Keuangan.

18/06/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BPK BekerjaSuara Publik

Statistik vs Risk Based Audit, Mana yang Lebih Efektif?

by admin2 06/05/2025
written by admin2

Oleh:  Rakhmat Alfian, Pemeriksa pada BPK Perwakilan Provinsi Lampung

Dalam audit, salah satu keputusan paling penting yang harus diambil auditor adalah bagaimana ia mengambil sampel. Pilihan ini menentukan fokus audit serta alokasi waktu dan sumber daya tim. Dua pendekatan yang sering digunakan dalam mengambil sampel adalah dengan metode sampling statistik dan dengan metode Risk-Based Audit (RBA). Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan, tergantung pada konteks dan tujuan pemeriksaan yang dilakukan.

Sampling statistik menggunakan teknik probabilitas untuk menentukan sampel yang dianggap mewakili keseluruhan populasi. Auditor menggunakan formula statistik untuk memastikan bahwa sampel yang diambil cukup valid sehingga hasilnya dapat mewakili seluruh populasi. Dengan pendekatan ini, auditor dapat menghindari bias subjektif dalam pemilihan sampel dan memastikan bahwa setiap elemen dalam populasi memiliki peluang yang sama untuk terpilih.

Namun, sampling statistik cenderung kurang efektif dalam mendeteksi pola kecurangan. Misalnya, jika ada indikasi penyimpangan dalam transaksi pada akun atau kondisi tertentu, metode ini tidak secara otomatis mengarahkan auditor untuk fokus pada area tersebut. Akibatnya, potensi masalah yang sebenarnya signifikan bisa saja terlewat dalam pemeriksaan karena tidak masuk ke dalam transaksi yang dipilih untuk menjadi sampel.

Sebaliknya, RBA bersifat lebih fleksibel karena mengandalkan analisis risiko yang dapat dikembangkan, tidak hanya berdasarkan angka. Auditor dapat mengidentifikasi area yang paling rentan terhadap penyimpangan berdasarkan berbagai faktor, diantaranya seperti pola belanja yang tidak wajar, perubahan kebijakan yang signifikan, atau tren kecurangan di masa lalu. Dengan demikian, auditor bisa lebih proaktif dalam mendeteksi risiko yang mempertimbangkan konteks dan dinamika di lapangan.

Meskipun lebih efisien dalam mengungkap permasalahan signifikan, RBA memiliki tantangan tersendiri. Keberhasilannya sangat bergantung pada keahlian auditor dalam menilai risiko dan menganalisis data dari berbagai sumber. Jika analisisnya dangkal atau hanya mengandalkan intuisi tanpa dukungan analisis data yang kuat, hasilnya tentu menjadi kurang tepat dan optimal.

Pertanyaannya kemudian, metode mana yang lebih efektif?

Di era keterbukaan informasi, data terkait pengelolaan keuangan negara, mulai dari data perencanaan seperti Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), data rencana umum pengadaan, hingga data pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran, seperti laporan keuangan pemerintah dan hasil pemeriksaan yang dapat diakses oleh publik. Juga data lain seperti statistik suatu daerah yang dapat diakses melalui website Badan Pusat Statistik (BPS). Hal ini memberikan auditor sumber data yang kaya untuk mengidentifikasi potensi risiko. Seluruh data ini, jika dianalisis dengan tepat maka dapat memberikan insight yang dapat saling terhubung untuk mengidentifikasi risiko pemeriksaan. 

Berikut ini sebuah ilustrasi bagaimana hal tersebut dapat dilakukan:

  • Berdasarkan data statistik BPS Kabupaten XYZ dalam tiga tahun terakhir ketimpangan ekonomi yang tinggi terus terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa program-program pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten XYZ belum berhasil mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat.
  • Dari data realisasi keuangan pada laporan keuangan selama lima tahun, terlihat adanya anggaran yang terus meningkat di Dinas ABC Kabupaten XYZ yang signifikan, namun peningkatan anggaran tersebut tidak diikuti dengan peningkatan signifikan dalam nilai Aset Tetap yang dimiliki.
  • Berdasarkan data dari SIRUP (Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan) teridentifikasi adanya kegiatan yang berulang setiap tahun, terutama pada program-program dengan rincian kegiatan yang didominasi oleh perjalanan dinas dan pengadaan alat tulis kantor, tanpa disertai output yang berdampak langsung bagi masyarakat.
  • Dari hasil pemantauan dokumen kontrak dan progres pengadaan yang tercatat di portal LPSE, ditemukan pola keterlambatan penyelesaian proyek dan perubahan kontrak yang berulang pada dengan PT XXX. Padahal PT XXX tersebut pernah masuk daftar hitam yang dipublikasikan oleh Platform Pengadaan Nasional (INAPROC).
  • Dari artikel-artikel media dan unggahan media sosial, terdapat banyak keluhan publik mengenai program kegiatan yang tidak berjalan dengan semestinya. 
  • Analisis data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menunjukkan adanya lonjakan harta kekayaan Kepala Dinas, Bendahara, dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang tidak sebanding dengan profil penghasilan normal sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
  • Data kepegawaian menunjukkan bahwa Kepala Dinas, Bendahara dan PPK telah menjabat bersama selama enam tahun, dan sebelumnya juga pernah bersama di posisi yang sama saat bertugas  di dinas lain.

Saat informasi tersebut dianalisis dan dikaitkan satu sama lain, secara otomatis akan muncul pertanyaan, “Apakah pengelolaan anggaran tidak efektif?”, “Apakah ada indikasi penyelewengan anggaran?”, “Apakah ada kelemahan kontrol memungkinkan terjadinya hal tersebut?”

Jika auditor dapat mengolah dan menghubungkan informasi seperti di atas, maka fokus pemeriksaan dapat lebih terarah kepada permasalahan signifikan. Namun, menghasilkan insight dari berbagai sumber data membutuhkan proses yang kompleks dan memakan waktu, terutama ketika volume data yang dianalisis semakin besar. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan baru agar proses penilaian risiko menjadi cepat dan akurat.

AI dapat digunakan untuk mendukung RBA dengan menganalisis berbagai sumber data, mengenali pola yang mencurigakan, dan merekomendasikan area berisiko tinggi secara lebih akurat. Dengan algoritma yang tepat, AI dapat dilatih untuk mengenali pola risiko dari berbagai sumber data seperti perencanaan, laporan keuangan, pengadaan, atau LHKPN untuk memberikan insight sebelum audit dilakukan.

06/05/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaOpiniSLIDERSuara Publik

Religiositas dalam Mengawal Nilai Dasar BPK

by admin2 13/03/2025
written by admin2

Oleh: Mokhamad Meydiansyah Ashari, Pemeriksa pada Ditjen PKN dan Organisasi Internasional BPK

Pernahkah kita bertanya, bagaimana nilai-nilai agama yang kita anut bisa membantu kita bekerja lebih baik? Terutama, bagi kita yang bekerja di lembaga negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) yang memiliki tanggung jawab besar dalam mengawasi keuangan negara. Sebagai bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai-nilai keagamaan memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari, termasuk dalam dunia kerja.

Momentum peringatan hari jadi BPK yang ke-78 pada 1 Januari lalu menjadi waktu yang tepat untuk melakukan refleksi. Selama 78 tahun, BPK telah menjalankan amanah konstitusi sebagai penjaga keuangan negara dengan berbagai tantangan yang dihadapi. Nilai-nilai keagamaan telah menjadi fondasi moral yang memperkuat lembaga ini dalam menghadapi dinamika perubahan zaman.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa keyakinan agama memang mempengaruhi cara kita bekerja dan hasil yang kita capai (Fernando & Jackson, 2006; Houston & Cartwright, 2007; Ongaro & Tantardini, 2024). Di Indonesia, di mana agama menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat, penting bagi kita untuk melihat bagaimana nilai-nilai keagamaan dapat memperkuat kinerja lembaga negara seperti BPK.

Ajaran agama yang menekankan kejujuran, tanggung jawab, dan kebaikan kepada sesama sebenarnya sangat selaras dengan tugas BPK sebagai penjaga keuangan negara. Kajian akademis menunjukkan bahwa orang yang memegang teguh nilai agama cenderung lebih baik dalam membuat keputusan yang etis di tempat kerja (Fernando & Jackson, 2006). Religiositas juga dapat memperkuat tiga nilai inti BPK: independensi, integritas, dan profesionalisme. Adapun penerapan nilai agama dalam mendukung ketiga hal tersebut dapat dirangkum sebagai berikut.

Ajaran agama mendorong kita untuk bersikap adil dan tidak memihak. Nilai agama bisa memotivasi seseorang untuk tetap teguh pada prinsip kebenaran dan tidak mudah dipengaruhi pihak lain (Al-Quran 5:8). Hal ini sangat penting bagi pemeriksa BPK yang harus bekerja secara objektif tanpa tekanan dari pihak mana pun.

Nilai kejujuran yang diajarkan dalam agama sangat mendukung integritas dalam bekerja. Fernando dan Jackson (2006) menemukan bahwa orang yang taat beragama lebih sadar akan pentingnya berperilaku etis. Dalam praktik pemeriksaan, religiositas akan terlihat dari bagaimana seorang pemeriksa menolak segala bentuk suap atau gratifikasi, bersikap objektif dalam menilai temuan audit, dan berani melaporkan penyimpangan tanpa takut akan konsekuensi. Inilah bentuk konkret dari pengamalan nilai-nilai agama yang jauh lebih bermakna daripada sekadar mengikuti ritual atau menampilkan simbol keagamaan. Kesadaran bahwa setiap tindakan profesional akan dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada institusi dan masyarakat, tetapi juga kepada Tuhan, akan mendorong pemeriksa untuk selalu menjunjung tinggi standar etika tertinggi dalam setiap aspek pekerjaannya.

Ajaran agama yang mendorong kita untuk bekerja dengan sungguh-sungguh dan memberikan yang terbaik sangat mendukung profesionalisme. Houston dan Cartwright (2007) menunjukkan bahwa spiritualitas membangun etika kerja yang positif. Kesadaran spiritual membuat kita lebih memperhatikan prosedur dan aturan yang berlaku. Nilai-nilai keagamaan juga membantu kita dalam hal akuntabilitas atau pertanggungjawaban. Ajaran agama mengajarkan kita untuk teliti dan menyeluruh dalam bekerja. Hal ini merupakan kualitas yang sangat penting dalam penugasan audit. Kesadaran bahwa Tuhan selalu mengawasi membuat kita lebih bertanggung jawab dalam bekerja.

Kegiatan kajian Islam mingguan yang diselenggarakan BPK adalah contoh nyata bagaimana lembaga ini memberi ruang bagi nilai-nilai keagamaan untuk tumbuh di lingkungan kerja. Melalui kajian tersebut, nilai-nilai Islam seperti amanah, kejujuran, dan tanggung jawab terus dipupuk dan diperkuat di kalangan pegawai.

Pada bulan Ramadan, kita memiliki kesempatan istimewa untuk melihat bagaimana nilai-nilai keagamaan dapat diterapkan dalam pekerjaan. Ramadan mengajarkan disiplin diri, empati, dan pembaruan komitmen untuk berperilaku etis, hal-hal yang sangat penting untuk keunggulan profesional di BPK. Kajian Islam mingguan di BPK yang akan semakin intensif di saat Ramadan menjadi wadah yang tepat untuk memperkuat nilai-nilai tersebut. Dengan usia BPK yang kini menginjak 78 tahun, momen Ramadan dan kegiatan keagamaan lainnya menjadi kesempatan untuk memperbarui komitmen dalam menjalankan amanah konstitusi dengan lebih baik lagi. Ramadan memberikan bukan hanya waktu untuk pembaruan spiritual tetapi kesempatan untuk memperkuat keselarasan antara nilai-nilai keagamaan dan keunggulan profesional yang mendefinisikan peran BPK dalam tata kelola Indonesia.

Perlu ditekankan bahwa pada akhirnya, religiositas yang bermakna tidak hanya terwujud dalam simbol atau ritual keagamaan semata, tetapi harus tergambar dalam praktik nyata penegakan nilai-nilai dasar BPK, terutama dalam kegiatan pemeriksaan. Kesalehan ritual perlu diterjemahkan menjadi kesalehan dalam profesionalisme yang terlihat dalam setiap langkah pemeriksaan, mulai dari perencanaan hingga pelaporan hasil audit. Ketika seorang pemeriksa menjalankan tugasnya dengan penuh ketelitian, kejujuran, dan keadilan, itulah bentuk nyata dari penghayatan dasar-dasar keagamaan dalam pekerjaan, selaras dengan nilai dasar BPK.

Referensi

Al-Quran. (n.d.). Al-Maidah 5:8. Diakses dari https://quran.com/al-maidah/8

Fernando, M., & Jackson, B. (2006). The influence of religion-based workplace spirituality on business leaders’ decision-making: An inter-faith study. Journal of Management & Organization, 12(1), 23-39.

Houston, D. J., & Cartwright, K. E. (2007). Spirituality and public service. Public Administration Review, 67(1), 88-102.

Ongaro, E., & Tantardini, M. (2024). Religion, spirituality, faith and public administration: A literature review and outlook. Public Policy and Administration, 39(4), 531-555.

13/03/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
SLIDERSuara PublikUncategorized

Urgensi Program BPK Goes To School dan BPK Mengajar dalam Kacamata Seorang Pendidik

by admin2 17/02/2025
written by admin2

Oleh: Bastian Febrianto, Guru SMKN 2 Yogyakarta

Senja pada hari ini akhirnya tiba juga. Mentari perlahan tenggelam di batas cakrawala, meninggalkan semburat temaram jingga yang menghiasi langit kota Yogyakarta. Setelah seharian full mengajar hari ini, saya duduk di ruang guru, menyeduh secangkir kopi, sebungkus kopi sasetan yang kemarin sore saya beli di warung dekat rumah. 

Dari balik jendela, saya melihat para siswa berbondong-bondong meninggalkan sekolah. Sebanyak 2.508 siswa saya pulang dengan wajah ceria, melangkah menuju rumah masing-masing dengan harapan, impian dan asa yang menggantung tinggi di benak mereka. Saya percaya bahwa masa depan cerah menanti mereka, dan mungkin, di antara ribuan siswa ini, ada yang kelak akan meniti karier di bidang keuangan atau bahkan mungkin bergabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Diiringi suara instrument Gending Soran khas Yogyakarta yang mengalun lembut, saya menikmati secangkir kopi sambil berselancar di dunia maya menggunakan laptop jadul yang masih setia menemani. 

Salah satu berita dari situs resmi Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta menarik perhatian saya. Pada tanggal 15 Januari 20251, BPK RI mengadakan kegiatan yang sangat menarik bagi saya sebagai seorang guru, yaitu program “BPK Mengajar.” Setelah menelusuri lebih lanjut, saya menemukan bahwa kegiatan ini bukanlah hal baru bagi BPK. Program serupa telah lama dijalankan oleh BPK di berbagai daerah. Sebagai contoh, pada 20 Januari 2025 BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur mengadakan “BPK Mengajar” di STMIK Widya Cipta Dharma2. Kemudian hal serupa juga dilakukan oleh BPK Perwakilan Provinsi Aceh3 dengan program BPK Aceh Goes to School pada 17 Desember 2024, dan masih banyak lagi ditahun-tahun sebelumnya.

Lorong-lorong kelas mulai sepi, menyisakan hening berpeluk senja. Sembari menyeruput kopi pahit ini sambil masih ditemani suara instrument tetabuhan dari Gending Soran, pikiran saya melayang dan berfikir, sebagai seorang pendidik di Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK, saya merasa sangat antusias melihat adanya program seperti ini. Saya menyadari bahwa kehadiran BPK dalam dunia pendidikan menandakan kepedulian institusi tersebut terhadap generasi muda, terutama siswa. Dunia Pendidikan Vokasi, khususnya di SMK memiliki konsep link and match, yaitu sebuah program yang menghubungkan sekolah dengan dunia kerja, dunia usaha, dan dunia industri. Tujuannya adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan vokasi dengan kebutuhan dunia kerja. Program BPK Mengajar atau BPK Goes to School ini juga menurut saya ikut andil dalam konsep ini, keterlibatan BPK dalam edukasi sekaligus literasi kepada peserta didik terkait dengan bidang keuangan, akuntabilias dan sebagainya sangatlah berharga. Di dunia SMK, terdapat istilah “guru tamu,” yaitu praktisi dari berbagai bidang yang diundang untuk mengajar dan berbagi pengalaman langsung kepada siswa. Biasanya, guru tamu berasal dari perusahaan-perusahaan yang relevan dengan jurusan yang ada di sekolah tersebut. Misalnya, di SMK yang memiliki jurusan Teknik Mesin, praktisi yang diundang biasanya berasal dari perusahaan manufaktur. Sementara itu, untuk jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV), praktisi dari dunia digital sering kali didatangkan. Dalam konteks ini, kehadiran praktisi atau ahli dari BPK tentu menjadi suatu hal yang sangat menggembirakan bagi guru dan peserta didik. Hal ini tentu sangat relevan bagi siswa SMK, terutama SMK yang mengambil kompetensi keahlian di bidang akuntansi dan administrasi keuangan. Dengan demikian, siswa tidak hanya mendapatkan teori dari buku pelajaran, tetapi juga wawasan langsung dari para profesional di bidangnya.

Kembali saya menyeruput kopi hitam yang tinggal separuh ini, kret..kret bunyi laptop butut saya menemani fikiran saya yang melayang sore ini. Saya berfikir salah satu tantangan besar yang dihadapi siswa saat ini adalah kurangnya pemahaman dalam pengelolaan keuangan pribadi. Kita tahu ada sebuah fenomena bernama fear of missing out (FOMO) atau ketakutan ketinggalan tren, dan para peserta didik juga sering kali mengalami fenomena FOMO ini yang berakibat membuat mereka tergoda untuk mengikuti gaya hidup konsumtif tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Dalam usia remaja yang penuh dengan dinamika sosial, ada saja peserta didik yang rela mengorbankan uang sakunya untuk membeli barang-barang yang sedang tren, meskipun hal tersebut tidak benar-benar dia butuhkan. Di sinilah peran BPK menjadi sangat penting. Dengan adanya program “BPK Mengajar,” peserta didik atau siswa dapat memperoleh edukasi tentang pengelolaan keuangan yang baik, memahami pentingnya menabung, serta menyadari betapa pentingnya perencanaan keuangan sejak dini. 

Dalam dunia pendidikan, terdapat konsep yang disebut hidden curriculum atau kurikulum tersembunyi. Ini adalah hasil belajar yang tidak secara eksplisit dicantumkan dalam kurikulum formal, tetapi terjadi dalam proses pendidikan sehari-hari. Apa yang dilakukan oleh BPK melalui program “BPK Goes to School” dan “BPK Mengajar” sebenarnya bisa disebuat bagian penerapan hidden curriculum yang sangat positif. Siswa mendapatkan pemahaman tentang etika dalam pengelolaan keuangan, nilai-nilai integritas, serta pentingnya akuntabilitas dalam kehidupan sehari-hari. Melalui program ini, BPK secara tidak langsung juga membantu membentuk karakter siswa agar lebih bertanggung jawab dalam menggunakan uang mereka. Dengan belajar dari pengalaman nyata para auditor BPK, peserta didik dapat memahami bahwa setiap keputusan keuangan harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan perencanaan yang matang. 

Program ini dampaknya akan sangat besar bagi dunia pendidikan. Selain itu, bagi guru seperti saya, program ini juga memberikan manfaat besar. Kehadiran praktisi dari BPK dapat menjadi inspirasi bagi para pendidik dalam mengembangkan metode pengajaran yang lebih aplikatif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, proses pembelajaran di kelas menjadi lebih dinamis dan menarik bagi siswa.

  1. https://dki.kemenag.go.id/berita/program-bpk-mengajar-membentuk-generasi-berintegritas-di-madrasah-N4tCu 
    ↩︎
  2.  https://kaltim.bpk.go.id/bpk-mengajar-membentuk-generasi-muda-berintegritas-di-kampus/
    ↩︎
  3.  https://aceh.bpk.go.id/bpk-aceh-goes-to-school/
    ↩︎
17/02/2025
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Suara PublikUncategorized

Permasalahan Pengelolaan Dana Haji di Indonesia

by admin2 31/12/2024
written by admin2

Oleh: Abdul Aziz, Eva Dewi I., Nika Astuti (Pegawai pada BPK RI Perwakilan Prov. Kalimantan Tengah

Negara Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. Jumlah penganut agama Islam di Indonesia sebesar 241,52 juta, lebih besar daripada Pakistan yang berada di posisi kedua dengan jumlah 225,62 juta, dan India pada posisi ketiga dengan 211,62 juta1. Salah satu ajaran dalam agama Islam adalah Rukun Islam. Rukun Islam terdiri dari lima hal yang wajib dijalankan oleh seorang muslim, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, membayar zakat, puasa, dan melaksanakan ibadah haji bila mampu. Dalam pelaksanaan rukun Islam yang kelima diperlukan persiapan secara lahir maupun batin. Persiapan tersebut juga tidak terlepas dari sisi keuangan, dalam hal ini biaya perjalanan dan akomodasi dikarenakan pelaksanaan ibadah haji berada di kota Mekah dan Madinah di Arab Saudi pada bulan Zulhijah.

Di Indonesia, Pengelolaan Keuangan Haji diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 20142. Dari undang-undang tersebut lahirlah Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Pembentukan, tugas pokok, dan fungsi BPKH tersebut diatur lebih lanjut dalam Perpres Nomor 110 Tahun 2017 tentang BPKH, Keppres Nomor 101/P Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana BPKH, serta PP Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun 2014. BPKH merupakan lembaga negara yang bertugas mengelola dana haji dari calon jemaah haji secara syariah. Dana tersebut dikelola secara profesional pada instrumen syariah yang aman dan likuid dan telah diaudit oleh BPK dan dilaporkan kepada DPR dan presiden. Saldo dana haji yang dikelola BPKH pada lima tahun terakhir sebagai berikut3:

TahunDana Haji yang dikelola BPKH
2019124,3 T
2020144,9 T
2021158,8 T
2022166,5 T
2023166,7 T

(Sumber: https://bpkh.go.id/faq/curabitur-eget-leo-at-velit-imperdiet-varius-iaculis-vitaes-2/)

Dana haji yang dikelola BPKH ini bersumber dari beberapa komponen yaitu setoran BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) dan/atau BPIH Khusus, Dana Efisiensi Penyelenggaraan Ibadah Haji, Dana Abadi Umat (DAU), Nilai Manfaat Keuangan Haji dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Setiap orang dari Indonesia yang berangkat haji pada tahun 2024 membutuhkan biaya antara Rp87,3 juta hingga Rp97,8 juta tergantung pada embarkasi daerahnya4. Biaya ini disebut dengan BPIH. BPIH terdiri atas Bipih (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) ditambah dengan Nilai Manfaat. Bipih diperoleh dari Jemaah Haji, Petugas Haji Daerah (PHD), dan Pembimbing Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU). Nilai Manfaat diperoleh dari nilai manfaat Setoran Bipih Jemaah Haji Reguler dan Jemaah Haji Khusus. Besaran BPIH Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi yang bersumber dari Nilai Manfaat terdiri atas4:

  1. Nilai Manfaat untuk Jemaah Haji Reguler yang digunakan untuk membayar selisih BPIH dengan besaran Bipih sebesar Rp8.200.040.638.567,00; dan
  2. Nilai Manfaat untuk Jemaah Haji Khusus sebesar Rp 14.558.658.000,00.

Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) Semester I Tahun 2024 oleh BPK, hasil pemeriksaan DTT-Kepatuhan atas pertanggungjawaban keuangan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1444H/2023M pada Kementerian Agama menunjukkan bahwa perhitungan dan pelaporan dana efisiensi penyelenggaraan ibadah haji (PIH) tahun 1444H/2023M sebesar Rp571,14 miliar sudah sesuai aturan namun dana tersebut belum disetorkan ke Kas Haji hingga akhir pemeriksaan, juga terdapat kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan ketidakpatuhan dengan nilai sebesar  Rp613,51 miliar5. Sedangkan pada IHPS Semester II Tahun 2023, penetapan besaran Bipih Reguler belum optimal dalam mendukung keberlanjutan keuangan haji dan berkeadilan bagi jemaah haji. Subsidi BPIH pada tahun 2010 sebesar Rp4,45 juta menjadi Rp40,24 juta pada tahun 2023 atau mengalami kenaikan sebesar Rp35,78 juta (803,41%)6. BPIH mengalami kenaikan dari Rp34,50 juta menjadi Rp90,05 juta dalam kurun waktu 2010 sampai dengan 2023.  Di sisi lain, Bipih Tahun 2010 sebesar Rp30,05 juta dan Bipih Tahun 2023 sebesar Rp49,81 juta atau hanya naik sebesar Rp19,76 juta (65,78%). Dapat dikatakan bahwa kenaikan penerimaan nilai manfaat tidak sebanding dengan pengeluaran subsidi BPIH dan alokasinya ke virtual account belum mempertimbangkan asas keadilan. Kondisi ini mengakibatkan distribusi nilai manfaat tidak mencerminkan asas keadilan bagi jemaah haji tunggu, serta menimbulkan risiko likuiditas dan keberlanjutan keuangan haji di masa yang akan datang.

Permasalahan lainnya adalah mengenai kebijakan pembatasan pendaftaran haji belum sepenuhnya mendukung pemerataan. Dari Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu diketahui daftar tunggu calon haji mencapai 5.211.899 orang per 10 Oktober 2023 dengan masa tunggu dalam rentang waktu 12 s.d. 48 tahun. Masa tunggu Indonesia lebih singkat dibanding dengan Malaysia yang memiliki waktu tunggu 148 tahun7, dan sangat terasa lama jika dibandingkan dengan Inggris yang tidak memiliki waktu tunggu8.  Di Inggris, pendaftar dapat berangkat pada tahun yang sama apabila kuota masih tersedia. Kementerian Agama Indonesia membuat kebijakan pendaftaran haji sekali dalam 10 tahun. Namun peraturan ini justru belum dapat memberikan pemerataan kesempatan, terdapat 775 jemaah haji berangkat Tahun 1444H/2023M pernah berhaji dan 14.299 jemaah haji daftar tunggu sudah pernah berhaji.

Peran BPK dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, khususnya melalui pemberian rekomendasi yang konstruktif dan pemantauan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan dimaksudkan untuk mengawal dan mendorong terwujudnya tata kelola dan tanggungjawab keuangan negara yang efektif, akuntabel, dan transparan. Pada pemeriksaan DTT-Kepatuhan atas pertanggungjawaban keuangan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1444H/2023M pada Kementerian Agama, BPK menemukan penggunaan Sistem Keuangan Haji Terpadu (SISKEHAT) Gen 2 yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan belum optimal sehingga BPK merekomendasikan Kepala Badan Pelaksana (BP) dan Anggota BP BPKH terkait untuk mengidentifikasi kebutuhan yang diperlukan untuk pengembangan SISKEHAT Gen 2 sesuai System Development Life Cycle terkait dengan kode transaksi, pengklasifikasian, dan monitoring transaksi agar dapat mendukung penyusunan LK Induk dan Konsolidasi BPKH. Sementara pada pemeriksaan kinerja atas efektivitas penyelenggaraan ibadah haji tahun 1444H/2023M, BPK merekomendasikan diantaranya agar Menteri Agama melibatkan ulama untuk menyusun kajian tentang layanan haji reguler hanya diberikan sekali kepada setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu, serta melibatkan ulama dalam menyusun kajian tentang besaran alokasi nilai manfaat yang digunakan untuk menutupi BPIH dengan mempertimbangkan asas keadilan dan keberlangsungan dana haji. 

Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang mampu, baik secara fisik, mental, spiritual, sosial, maupun finansial dan sekali dalam seumur hidup. Pelaksanaan Ibadah Haji merupakan rangkaian ibadah keagamaan yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19459. Harapannya pengelolaan dana haji di masa mendatang dapat dilaksanakan dengan lebih optimal, sehingga dapat mendukung keberlanjutan keuangan haji dan memberikan keadilan yang merata bagi Jemaah. Selain itu, perlu dilaksanakan evaluasi yang memadai atas kebijakan pendaftaran haji untuk memastikan pemerataan kesempatan dalam pemberangkatan peserta ibadah haji.

Referensi:

  1. https://www.statista.com/statistics/374661/countries-with-the-largest-muslim-population/
  2. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji   
  3. https://bpkh.go.id/faq/curabitur-eget-leo-at-velit-imperdiet-varius-iaculis-vitaes-2/
  4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2024 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi yang Bersumber dari Biaya Perjalanan Ibadah Haji dan Nilai Manfaat
  5. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2024 
  6. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2023
  7. https://www.thestar.com.my/news/nation/2023/06/14/148-years-waiting-time-for-malaysians-to-perform-haj
  8. https://www.ventour.co.id/tak-ada-antrian-haji-berangkat-hajinya-dari-inggris/
  9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh
31/12/2024
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Waspada Penipuan Mengatasnamakan BPK: Pentingnya Verifikasi Lewat Domain Resmi
  • BPK Tegaskan Pemeriksaan untuk Akuntabilitas dan Manfaat Nyata
  • Museum BPK, Ruang Belajar Publik yang Hidup dan Inklusif
  • Middle Income Trap, Jalan Terjal Menuju Indonesia Emas 2045
  • Hadiri Forum Risk and Governance Summit 2025, Wakil Ketua BPK Dorong Penerapan Tata Kelola Kolaboratif
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Waspada Penipuan Mengatasnamakan BPK: Pentingnya Verifikasi Lewat Domain...

    28/08/2025
  • BPK Tegaskan Pemeriksaan untuk Akuntabilitas dan Manfaat Nyata

    27/08/2025
  • Museum BPK, Ruang Belajar Publik yang Hidup dan...

    26/08/2025
  • Middle Income Trap, Jalan Terjal Menuju Indonesia Emas...

    21/08/2025
  • Hadiri Forum Risk and Governance Summit 2025, Wakil...

    20/08/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id