WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Wednesday, 13 August 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Category:

SLIDER

Ilustrasi pembangunan
BeritaBerita FotoSLIDER

Pemeriksaan Fisik Infrastruktur

by Super Admin 09/01/2021
written by Super Admin

Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sedang melakukan pemeriksaan dan pengamatan fisik atas pembangunan infrastruktur jembatan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Pemeriksaan pembangunan tahap akhir atas pekerjaan multiyear tersebut dilakukan dengan seksama untuk memastikan telah dilaksanakan sesuai spesifikasi seperti dalam perjanjian.

09/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita TerpopulerSLIDER

BPK Punya Peran Lengkap dalam Pemberantasan Korupsi

by Super Admin 09/01/2021
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki peran aktif dalam memberantas korupsi di Indonesia. BPK bahkan memiliki peran yang lengkap mulai dari tahap preventif, detektif, hingga represif.

Auditor Utama Investigasi BPK Hery Subowo menjelaskan, BPK berperan dalam pencegahan berdasarkan rekomendasi hasil pemeriksaan regular. “Kemudian ada pendeteksian kecurangan dengan melakukan pemeriksaan investigasi dan mengungkap lebih detail korupsi yang terjadi. Selain itu, BPK juga menghitung kerugian negara yang muncul serta memberikan keterangan ahli apabila kasus tersebut dibawa ke persidangan,” kata Hery di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Hery menjelaskan, tindakan preventif yang dilakukan BPK berupaya mencegah agar korupsi tidak terjadi. Hal itu bisa dilakukan melalui rekomendasi hasil pemeriksaan baik pemeriksaan keuangan, kinerja, maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) non-investigatif.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), BPK akan memberikan rekomendasi untuk memperbaiki Sistem Pengendalian Intern (SPI). Apabila SPI itu diperbaiki berdasarkan rekomendasi BPK, maka peluang korupsi bisa menjadi lebih kecil.

Ia menambahkan, apabila dari hasil pemeriksaan terdapat temuan-temuan yang berindikasi pidana atau berindikasi kerugian negara, maka akan ditindaklanjuti melalui pemeriksaan investigasi. Dalam tahap itu akan diungkap unsur-unsur 5W2H atau what, who, where, when, why, how, dan how much.

“Dalam mengungkap seberapa banyak kecurangan yang dilakukan di situlah peran detektif BPK muncul,” ujarnya.

Hasil pemeriksaan investigasi BPK akan diserahkan kepada aparat penegak hukum (APH) seperti kejaksaan, kepolisian, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). APH kemudian melakukan pendalaman. Apabila sudah terdapat dua alat bukti maka kasus tersebut bisa ditingkatkan menjadi penyidikan dan penetapan tersangka.

Tindak korupsi yang menyangkut kerugian negara akan dihitung oleh auditor. BPK punya kewenangan penghitungan kerugian negara itu. Pada waktu BPK dilibatkan untuk menghitung kerugian negara, kata dia, artinya sudah masuk dalam tahap represif dan sudah dimulai proses penegakan hukum. “Maka, ketika APH melakukan penyidikan, mereka meminta kepada BPK untuk melakukan perhitungan kerugian negara,” ujar Hery.

09/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita TerpopulerSLIDER

Holding Perkebunan Nusantara Belum Efektif, Ini Sederet PR Menteri BUMN

by Super Admin 08/01/2021
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan kinerja atas efektivitas PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Holding dalam meningkatkan kinerja PT Perkebunan Nusantara (PTPN) Grup tahun 2015 hingga semester I tahun 2019. Pemeriksaan itu dilaksanakan pada PTPN III (Persero) Holding, anak perusahaan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan instansi terkait lainnya di DKI Jakarta, Aceh, Sumatra Utara, Riau, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.

“Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan, PTPN III (Persero) Holding tidak efektif dalam meningkatkan kinerja PTPN Grup tahun 2015-semester I tahun 2019,” demikian hasil pemeriksaan BPK seperti dikutip dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2020.

Sementara itu, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kinerja atas efektivitas PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Holding dalam meningkatkan kinerja PT Perkebunan Nusantara (PTPN) Grup tahun 2015 hingga semester I tahun 2019 yang diterbitkan pada 12 Maret 2020, BPK memberikan rekomendasi kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan direksi PTPN III (Persero) Holding guna memperbaiki sejumlah permasalahan.

“Rekomendasi kepada Menteri BUMN untuk permasalahan Perencanaan Pembentukan Holding BUMN Perkebunan dan Program Sistem Pembelian Tebu (SPT), agar memerintahkan Wakil Menteri BUMN II untuk melakukan kajian atas keberlangsungan Holding BUMN Perkebunan dan Menteri BUMN berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Perekonomian untuk mengevaluasi Program Sistem Pembelian Tebu,” tulis LHP tersebut.

Hasil pemeriksaan atas efektivitas peningkatan kinerja PTPN Grup mengungkapkan 12 temuan yang memuat 12 permasalahan ketidakefektifan. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, kinerja Keuangan PTPN Grup belum mengalami perbaikan setelah terbentuknya holding BUMN perkebunan. Hal ini terlihat dari kinerja keuangan PTPN Grup periode tahun 2015-semester I 2019 belum menunjukkan adanya peningkatan.

Hal yang terjadi justru adanya tren penurunan likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas setelah terbentuknya holding BUMN perkebunan. Akibatnya, pembentukan PTPN III (Persero) sebagai holding BUMN Perkebunan kurang efektif dalam meningkatkan perbaikan kinerja keuangan PTPN Grup.

BPK juga merekomendasikan kepada Direksi PTPN III (Persero), antara lain, agar memperbaiki kinerja keuangan PTPN Grup dengan melakukan monitoring dan evaluasi atas Laporan Keuangan PTPN Grup secara rutin.

BPK juga memerintahkan Kepala Divisi Tanaman PTPN III (Persero) untuk melakukan penyelarasan Key Performance Indicator (KPI) dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dan job description pada bagian tanaman serta menyusun roadmap perbaikan komposisi umur tanaman.

BPK pun memerintahkan kepada Direktur Operasional PTPN I, II, IV, VII, VIII, IX, dan XII untuk menetapkan target kinerja pabrik kelapa sawit dan karet dengan memperhatikan norma standar yang ditetapkan PTPN III (Persero).

08/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Ilustrasi subsidi pupuk (Sumber: Freepik).
BeritaBerita TerpopulerSLIDER

Pengelolaan Belanja Subsidi Tahun 2019 di Tiga Kementerian Perlu Dibenahi

by Super Admin 07/01/2021
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan 15 temuan yang memuat 26 permasalahan dalam pemeriksaan terkait pengelolaan belanja subsidi tahun 2019 pada tiga kementerian. Permasalahan akurasi dalam penyaluran subsidi masih menjadi persoalan yang harus dibenahi para kuasa pengguna anggaran (KPA).

Pemeriksaan atas pengelolaan belanja subsidi dilakukan untuk mendukung pemeriksaan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN) Tahun 2019 pada semester I 2020. Pemeriksaan dilakukan terhadap Kementerian Pertanian terkait pengelolaan belanja subsidi pupuk dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terkait pengelolaan belanja subsidi bunga kredit perumahan dan subsidi bantuan uang muka perumahan. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (KUKM) terkait pengelolaan belanja subsidi imbal jasa penjaminan dan subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR).

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2020 disampaikan, 26 permasalahan yang ditemukan BPK meliputi 17 kelemahan sistem pengendalian intern, tujuh ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebesar Rp18,66 miliar, dan dua permasalahan ketidakefektifan. Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa pengelolaan belanja subsidi pada tiga KPA telah dilaksanakan sesuai kriteria dengan pengecualian atas beberapa permasalahan. Simpulan tersebut didasarkan adanya permasalahan kelemahan pengendalian intern, ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, maupun aspek 3E (ekonomis, efisiensi, dan efektivitas).

Terkait pemeriksaan atas pengelolaan subsidi bunga KUR pada Kementerian KUKM, terdapat 2.265 debitur penerima subsidi bunga KUR yang juga menerima dana bergulir dari Lembaga Penyalur Dana Bergulir (LPDB). “Hal ini mengakibatkan penyaluran subsidi bunga KUR sebesar Rp5,79 miliar berpotensi tidak tepat sasaran.” demikian disampaikan BPK dalam IHPS I 2020. 

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Kementerian KUKM dan LPDB melakukan rekonsiliasi secara periodik. Rekonsiliasi ini perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih penyaluran KUR dan penyaluran LPDB.

Dalam hal belanja subsidi pupuk, Kementerian Pertanian diketahui belum memiliki basis data lahan untuk mendukung kebutuhan dan alokasi pupuk bersubsidi. Selain itu, pelaksanaan verifikasi dan validasi (verval) penyaluran pupuk bersubsidi di tingkat kecamatan belum memadai. Kemudian, terdapat pembayaran subsidi pupuk tahun 2019 atas kelebihan alokasi pupuk bersubsidi tahun 2018 sebesar Rp14,91 miliar kepada PT PIM.

Kelebihan penyaluran tersebut telah dijadikan sebagai saldo awal tahun 2019 untuk dapat ditagihkan pembayarannya pada 2019. BPK  merekomendasikan Kementerian Pertanian agar mengintegrasikan seluruh sistem aplikasi yang dimiliki dalam rangka perencanaan dan penganggaran alokasi pupuk, merevisi pedoman teknis pendampingan verifikasi dan validasi penyaluran pupuk bersubsidi, dan memeriksa penyaluran pupuk bersubsidi TA 2019 di seluruh wilayah kerja PT PIM.

Sementara, pada Kementerian PUPR diketahui terdapat kelemahan pada desain dan implementasi sistem pengendalian program subsidi bunga kredit perumahan dan subsidi bantuan uang muka perumahan. Selain itu, terdapat kesalahan penghitungan suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang mengakibatkan terjadi kelebihan pembayaran subsidi bunga kredit perumahan kepada bank operator sebesar Rp18,35 miliar.

Atas permasalahan ini, BPK merekomendasikan Menteri PUPR agar mengembangkan sistem aplikasi yang andal dengan mengintegrasikan seluruh sistem database calon debitur masyarakat berpenghasilan rendah dan memonitor pencairan belanja subsidi. BPK juga merekomendasikan untuk menarik kelebihan pembayaran tersebut dari bank pelaksana dan menyetorkannya ke kas negara.

07/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita TerpopulerSLIDER

Ada Belanja Pusat yang Belum Dilaporkan dan Dimanfaatkan

by Super Admin 05/01/2021
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas pengelolaan belanja pemerintah pusat tahun 2019 pada semester I 2020 di tiga kementerian. BPK menemukan adanya belanja yang belum dilaporkan hingga belum dimanfaatkan.

Pemeriksaan itu dilaksanakan pada Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) terkait pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan bagian anggaran (BA) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terkait pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan bagian anggaran belanja lainnya. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) megenai  pelaksanaan anggaran kegiatan belanja barang dan belanja modal tahun anggaran 2018 dan 2019 pada Sekretariat Jenderal dan Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham.

Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan belanja pada tiga kementerian tersebut telah dilaksanakan sesuai kriteria dengan pengecualian atas beberapa permasalahan. Pada Kemensetneg, misalnya, terdapat sisa pengeluaran dana bantuan kemasyarakatan (banmas) dalam rangka kegiatan presiden tahun 2019 yang belum dilaporkan.

Selain itu, implementasi penggunaan surat pernyataan tanggung jawab pengeluaran (SPTJP) untuk mengendalikan dana banmas presiden berupa uang tunai belum diimplementasikan secara memadai. Hal ini mengakibatkan laporan keuangan BA (bagian anggaran) 999 Sekretariat Presiden belum mencerminkan kondisi yang sebenarnya dan penggunaan banmas presiden berupa uang tunai tidak dapat diketahui kesesuaian dan kewajaran penggunaannya.

BPK merekomendasikan Kemensetneg agar menyusun kebijakan tentang mekanisme pengelolaan dan pencatatan banmas berupa barang yang tidak langsung disalurkan dan/atau tidak habis diberikan dalam satu kegiatan tertentu. Selain itu, merekomendasian Kemensetneg menyusun mekanisme pembuatan dan penandatanganan SPTJP.

Pada pemeriksaan terhadap Kemenkumham, BPK menemukan adanya hasil pengadaan tahun anggaran (TA) 2019 yang belum dimanfaatkan. Pengadaan yang belum dimanfaatkan tersebut, antara lain, adalah pengadaan sarana dan prasarana data center di pusat data dan teknologi informasi (Pusdatin) dan pengadaan perangkat pendukung layanan unit keimigrasian. Hal tersebut mengakibatkan adanya indikasi pemborosan sebesar Rp22,99 miliar. Selain itu, terdapat kelebihan pembayaran sebesar Rp8,36 miliar atas 13 paket pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi.

Atas permasalahan itu, BPK merekomendasikan kepada Kemenkumham untuk mengoptimalkan hasil pengadaan data center, memperbaiki mekanisme pemanfaatan dan distribusi barang di lingkungan Ditjen Imigrasi, serta menarik kelebihan pembayaran yang terjadi.

Sedangkan pada pemeriksaan pengelolaan belanja yang dilakukan Kemenkominfo, terdapat realisasi biaya proporsi sewa kendaraan roda empat dan enam pada 11 regional tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 Tahun 2013 sebesar Rp3,37 miliar dan kelebihan perhitungan biaya atribusi/proporsi sebesar Rp3,33 miliar. Akibatnya, terdapat kelebihan pembebanan sebesar Rp6,70 miliar. BPK telah merekomendasikan Kemenkominfo agar menarik kelebihan pembebanan dan disetorkan ke kas negara.

Secara keseluruhan, hasil pemeriksaan atas pengelolaan belanja pemerintah pusat mengungkapkan 12 temuan yang memuat 21 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 10 kelemahan sistem pengendalian internal, delapan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebesar Rp16,20 miliar, dan tiga permasalahan 3E sebesar Rp22,99 miliar. Selama proses pemeriksaan, entitas telah menindaklanjuti rekomendasi BPK dengan melakukan penyetoran ke kas negara sebesar Rp5,41 miliar.

05/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDER

7 Instansi Tarik Pungutan Tanpa Dasar Hukum Rp36 Miliar

by Super Admin 04/01/2021
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan agar Menteri Keuangan meminta Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) melakukan pengawasan efektif atas pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Rekomendasi itu tercantum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Kepatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“Meminta APIP K/L melakukan pengawasan efektivitas PNPB di lingkungan K/L supaya tidak terjadi permasalahan berulang,” demikian bunyi rekomendasi tersebut.

Rekomendasi ini muncul setelah audit BPK menemukan adanya penerapan pungutan tanpa dasar hukum di 7 lembaga, ditambah 8 lembaga yang menarik pungutan resmi tetapi tidak menyetorkannya ke kas negara.

Tujuh instansi yang masih menerapkan pungutan itu adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp18,07 miliar, Kementerian Agama Rp15,04 miliar, Badan Keamanan Laut Rp2,34 miliar, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Rp485,79 juta.

Kemudian Kejaksaan RI Rp261,63 juta, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Rp222,75 juta, dan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Rp72,41 juta. Total nilai pungutan liar itu mencapai Rp36,50 miliar.

Pungutan itu antara diperoleh dari penyewaan terhadap Barang Milik Negara (BMN) yang belum disetujui, atau penyewaan terhadap BMN yang sudah disetujui tetapi tarifnya melanggar ketentuan, atau aktivitas lain.

Sedangkan 8 lembaga yang menarik pungutan resmi tetapi tidak menyetorkannya ke kas negara adalah Kementerian Pertahanan Rp133,90 miliar, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Rp133,61 miliar, dan Perpustakaan Nasional Rp578,50 juta.

Kemudian Kementerian Pemuda dan Olah Raga Rp527,37 juta, Kementerian PUPR Rp387,21 juta, Badan Kepegawaian Negara Rp25,26 juta, lalu Kementerian Agama dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang jumlah tidak diketahui karena tidak didukung pencatatan.

Total pungutan resmi yang tidak disetorkan itu mencapai Rp269,03 miliar. Secara umum, audit BPK menemukan ada masalah terhadap pengelolaan PNBP di 40 K/L dengan nilai total Rp709,64 miliar.

Selain pungutan liar dan pungutan resmi yang tidak disetorkan ke kas negara, masalah lain berupa pungutan terlambat disetor Rp17,93 miliar, belum disetor Rp19,45 miliar, kurang pungut Rp20,29 miliar, belum/tidak dipungut Rp158,24 miliar, dan permasalahan lainnya senilai Rp188,17 miliar.

Praktik ini bertentangan dengan UU Nomor 9 Tahun 2018 tentang PNBP, antara lain Pasal 1 yang menyatakan PNBP wajib dibayar kepada pemerintah dalam waktu tertentu sesuai peraturan perundang-undangan, dan Pasal 29 yang menyatakan seluruh PNBP wajib disetor ke kas negara.

Atas temuan ini BPK merekomendasikan agar Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah menginstruksikan menteri/pimpinan lembaga untuk menyetorkan PNBP yang belum/terlambat dipungut dan meminta APIP K/L melakukan pengawasan lebih efektif. (Hms)

04/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDER

Sukuk Negara Berpotensi Double Underlying, Salahi Prinsip Syariah

by Super Admin 31/12/2020
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan agar Menteri Keuangan melakukan evaluasi atas nilai Barang Milik Negara (BMN) sehingga barang milik negara itu nilainya memadai sebagai underlying asset dalam penerbitan sukuk.

Rekomendasi itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Internal Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“.. menginventarisir aset Surat Berharga Syariah Negara (SBSN/sukuk) berupa BMN yang mengalami pemutakhiran data/nilai dan aset BMN yang teridentifikasi double underlying dengan project underlying,” demikian bunyi rekomendasi tersebut.

Rekomendasi ini muncul setelah BPK melakukan evaluasi terhadap nilai penerbitan Surat Berharga Syariah Negara, atau juga disebut sukuk negara, dan membandingkannya dengan nilai barang milik negara yang menjadi underlying asset.

Berbeda dari penerbitan surat berharga biasa seperti Surat Utang Negara (SUN), penerbitan Sukuk harus diikat dengan underlying asset. Ini karena prinsip syariah melarang transaksi money for money, yang dikategorikan riba.

Selain aset fisik berupa barang milik negara, penerbitan sukuk juga bisa didasari oleh proyek yang didanai tersebut, atau diistilahkan project underlying.

Audit BPK menemukan pada 2019 pemerintah menerbitkan sukuk Rp183,62 triliun menggunakan akad ijarah atau asset to be leased.

Namun setelah ditelusuri, penerbitan sukuk tahun 2019 itu masih menggunakan underlying asset barang milik negara yang pada 2012-2015 dengan nilai total Rp30,69 triliun. Padahal, penerbitan sukuk dengan menggunakan underlying asset sudah dimulai sejak 2012.

Masih adanya penggunaan barang milik negara tahun 2012-2015 untuk mendasari penerbitan sukuk tahun 2019 memunculkan potensi double underlying, yaitu suatu aset yang sudah diikat dengan sukuk seri tertentu digunakan lagi untuk penerbitan sukuk seri lain.

BPK menegaskan sukuk negara diterbitkan dengan prinsip syariah. Artinya, tiap penerbitan sukuk diikat aset yang nilainya sebanding. Potensi double underlying mengimplikasikan barang milik negara yang jadi underlying asset sebenarnya bernilai lebih rendah dari nilai sukuk yang diterbitkan.

Namun, konsekuensi yang lebih penting lagi, potensi double underlying ini menyalahi prinsip syariah  Pasalnya, nilai aset dalam penerbitan sukuk berfungsi sebagai transaksi riil, yang merupakan pembeda utama antara surat berharga syariah dan surat berharga biasa.

Apabila nilai aset yang dijadikan dasar tidak sebanding, maka sukuk itu sama saja bersifat instrumen utang, yang berarti tidak lagi bersifat syariah.

“Jumlah underlying asset sukuk minimal harus sama dengan jumlah sukuk yang akan diterbitkan. Jika aset sukuk kurang dari jumlah penerbitan, maka prinsip syariah sukuk belum terpenuhi,” demikian penegasan BPK.

Atas permasalahan tersebut BPK merekomendasikan agar Menteri Keuangan memutakhirkan nilai barang milik negara yang menjadi underlying asset penerbitan sukuk, melakukan pemutakhiran nilai, dan mengidentifikasikan aset yang terindikasi double underlying. (Hms)

31/12/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDER

Ditjen Pajak Diminta Kembalikan Restitusi Rp11,62 Triliun

by Super Admin 30/12/2020
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA  – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan agar Ditjen Pajak tepat waktu dalam mengembalikan restitusi.

Rekomendasi itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Kepatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“Melaksanakan pencairan kelebihan pembayaran pajak secara tepat waktu dan melakukan monitoring atas penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP),” demikian bunyi rekomendasi tersebut.

Restitusi adalah agar kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan ke wajib pajak. Ditjen Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP) atas permohonan itu, yang menjadi dasar penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP).

SPMKP itu kemudian menjadi dasar bagi penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Baru setelah SP2D terbit wajib pajak bisa menerima kelebihan pembayaran pajak mereka di rekening bank.

LHP BPK menemukan sejumlah masalah dalam prosedur itu, Antara lain SKPKPP terlambat terbit, atau SKPKPP sudah terbit tetapi tidak segera ditindaklanjuti dengan penerbitan SPMKP. Atau SPMKP sudah tebit namun penerbitan SP2D tidak dilakukan karena SPMKP dinilai kurang lengkap, dan sebagainya.

Nilai sebesar Rp11,62 triliun yang diungkap di LHP adalah jumlah restitusi yang sudah diterbtikan SKPKPP, tetapi belum diterbitkan SPMKP.

Temuan lain yang juga diungkap di LHP adalah adanya indikasi restitusi sebesar Rp72,86 miliar dan US$57,91 ribu yang belum diterbitkan SKPKPP, serta Rp6,07 miliar yang SKPKPP-nya terlambat diterbitkan.

Praktik itu tidak sesuai UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Nomor 16 Tahun 2009 yang menyatakan demi menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak dan ketertiban administrasi, pengembalian restitusi ditetapkan paling lama 1 bulan sejak permohonan diajukan.

Selain itu, keterlambatan ini juga memiliki konsekuensi bunga. Sebab, UU KUP juga menetapkan dalam tiap keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib pajak mendapat imbalan bunga 2% per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 bulan sampai diterbitkannya SKPKPP.

Pemeriksaan BPK mengungkapkan Ditjen Pajak berpotensi membayar imbalan bunga sebesar Rp185,51 juta atas SKPKPP yang terlambat terbit, serta membayar Rp8,78 miliar dan US$11.892 atas SKPKPP yang belum juga diterbitkan.

Dampak lain dari keterlambatan pengembalian ini adalah tidak akuratnya laporan perpajakan.  Pasalnya, restitusi yang belum dikembalikan itu tercatat sebagai penerimaan pajak. Padahal, ia justru komponen pengurang penerimaan.

Atas permasalahan ini BPK merekomendasikan monitoring yang lebih baik terhadap prosedur restitusi pajak hingga pengembalian itu bisa dilakukan tepat waktu. (Hms)

30/12/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaSLIDER

Kerugian Investasi Asabri Rp7,52 trilliun Tidak Dapat Dibebankan ke Dana Pensiun

by Super Admin 28/12/2020
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA –  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menolak penghitungan akuntansi yang membebankan kerugian investasi PT Asabri (Persero) pada akumulasi iuran pensiun.

Penegasan itu termuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“Pembebanan kerugian investasi akumulasi iuran pensiun yang dikelola PT Asabri pada dana yang dibatasi penggunaannya dan utang jangka panjang dalam negeri lainnya per 31 Desember 2019 tidak sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan dan ketentuan akumulasi iuran pensiun”, demikian tercantum dalam LHP.

Penegasan itu muncul setelah BPK mendapati nilai akumulasi iuran pensiun yang dikelola PT Asabri mengalami penyusutan. Pada 2018, nilai akumulasi iuran pensiun yang dikelola PT Asabri sebesar Rp25,19 triliun.

Namun, pada 2019, nilainya turun menjadi Rp17,66 triliun, alias berkurang Rp7,52 triliun atau menyusut 29,85%. BPK tidak sependapat dengan model penghitungan seperti itu. Akumulasi iuran pensiun adalah dana yang berasal dari iuran peserta pensiun, dalam hal ini anggota TNI-Polri.

Iuran ini merupakan dana pihak ketiga yang dikelola PT Asabri, hingga dicatat dalam pos Aset Lainnya. Pada saat bersamaan, dana ini juga menjadi kewajiban pemerintah untuk membayarnya bila anggota TNI-Polri memasuki usia pensiun, hingga dicatat dalam pos Utang Jangka Panjang Dalam Negeri Lainnya.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan No.174/PM.02/2017, penurunan nilai akumulasi iuran pensiun hanya dapat terjadi bila pemilik dana, yaitu anggota TNI-Polri yang sudah pensiun, mengambil kembali haknya atas dana tersebut.

BPK menemukan penyusutan akumulasi iuran pensiun itu tidak terjadi karena peserta iuran mengambil kembali haknya, tapi karena PT Asabri kurang berhati-hati mengelola investasi hingga timbul kerugian.

Penyebab kerugian PT Asabri sudah diungkap sebelumnya oleh BPK dalam LHP Kinerja atas   Efektivitas Program Pensiun PNS, TNI, dan Polri Tahun 2019 Nomor 130/LHP/XV/12/2019 tertanggal 31 Desember 2019.

LHP tersebut mengungkapkan penempatan saham yang dilakukan tidak dengan prinsip kehati-hatian oleh PT Asabri. Penghitungan yang membebankan nilai kerugian investasi PT Asabri terhadap akumulasi iuran pensiun karenanya tidak dapat diterima.

Hal itu bertentangan dengan PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang standar akuntansi pemerintah, lampiran 1, kerangka konseptual, yang menyatakan “informasi dalam laporan keuangan bebas dari pengertian yang menyesatkan dan kesalahan material, menyajikan setiap fakta secara jujur serta dapat diverifikasi.”

BPK juga berpendapat penurunan nilai investasi PT Asabri (Persero) tidak dapat mengurangi kewajiban pemerintah terhadap hak anggota TNI dan Polri, karena mereka belum memproleh hak atas iuran yang ditempatkannya.

Atas permasalahan ini, BPK antara lain merekomendasikan Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah agar bersama Menteri BUMN selaku pemegang saham untuk, meminta PT Asabri memperbaiki penyajian investasi pada laporan keuangan 2018 dan 2019.

Selain itu, BPK merekomendasikan kedua menteri untuk mengukur kewajiban pemerintah sebagai pengendali PT Asabri yang timbul sebagai pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2014.

BPK juga merekomendasikan agar ditetapkan kebijakan pertanggungjawaban atas penurunan nilai investasi dari akumulasi iuran pensiun dan dampaknya atas kewajiban pemerintah kepada anggota TNI-Polri dengan memperhatikan PP Nomor 102 Tahun 2015 dan PP Nomor 71 Tahun 2010. (Hms)

28/12/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Sebuah ekskavator sedang bekerja di areal terdampak lumpur Sidoarjo. (Foto: Youtube Aljazeera English)
BeritaSLIDER

Pengelolaan Piutang Rp1,91 Triliun Dana Lapindo Belum Memadai

by Achmad Anshari 23/12/2020
written by Achmad Anshari

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan agar pemerintah terus berkoordinasi dengan Kejaksaan dalam menyelesaikan permasalahan piutang dana lumpur Lapindo yang masih macet.

Rekomendasi itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.

“Melanjutkan koordinasi dengan Kejaksaan dalam menyelesaikan piutang dana antisipasi lumpur Sidoarjo secara lebih terukur dan menyusun rencana penyelesaian (roadmap) piutang penanggulangan lumpur Sidoarjo dan menyetorkan pengembalian piutang yang diperoleh ke kas negara,” demikian ungkap rekomendasi tersebut.

LHP BPK mengungkap permasalahan bermula ketika Pemerintah Republik Indonesia pada 10 Juli 2015 memberikan pinjaman kepada Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya lewat perjanjian bernomor PRJ-16/MK.01/2015.

Pinjaman itu terealisasi sebesar Rp 773,38 miliar dan berlaku selama 4 tahun, dengan tanggal jatuh tempo pengembalian 10 Juli 2019. Bunga disepakati 4,8% per tahun ditambah klausul denda yang menyatakan “apabila tidak dapat mengembalikan sesuai jadwal dan/atau melunasi pinjaman pada akhir perjanjian dikenakan denda sebesar 1/1000 (satu per mil) per hari dari nilai pinjaman”.

Pinjaman itu merupakan dana talangan (bail out) pemerintah kepada Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya untuk membayar ganti rugi berupa pembelian tanah dan bangunan kepada warga korban luapan lumpur Sidoarjo.

Namun, BPK menemukan piutang itu mulai macet. Sampai tanggal jatuh tempo sesuai perjanjian, yaitu 10 Juli 2019, piutang belum lunas. Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya hanya pernah sekali melakukan pengembalian, yaitu pada 20 Desember 2018, sebesar Rp5 miliar.

Per 31 Desember 2019, piutang itu terus bertambah terutama karena klausul denda per hari, hingga menjadi Rp773,38 miliar (pokok piutang), Rp163,95 miliar (bunga), dan Rp981,42 miliar (denda), dengan nilai total mencapai Rp1,91 triliun.

Ketidaktepatan waktu Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya melunasi utang sebelum jatuh tempo menyebabkan denda per hari terus bergulir hingga nilai denda sudah melampaui pokok piutang.

LHP BPK juga mengungkap berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.06/2017, sebuah piutang diklasifikasikan kurang lancar apabila piutang tersebut tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo sampai satu tahun setelah jatuh tempo.

Piutang atas Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya sudah melampui satu tahun sejak jatuh tempo hingga termasuk piutang tidak lancar.

Atas permasalahan tersebut BPK merekomendasikan agar pemerintah tetap melanjutkan koordinasi dengan Kejaksaan terkait dengan penagihan dan juga melakukan penyisihan piutang dan penilaian jaminan atas dana talangan tersebut. (Hms)

23/12/2020
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Opini BPK dan Makna Akuntabilitas
  • Anggota IV BPK: SAI Punya Peran Strategis Kawal Kebijakan Ekonomi Biru
  • Di Forum ANAO, Ketua BPK Angkat Tiga Isu Strategis Pengawasan Sektor Publik
  • Soroti Penurunan IPAK, BPK Periksa Strategi Pencegahan Korupsi di KPK
  • BPK Gelar Pelatihan Audit Ekonomi Biru, Diikuti Peserta dari 14 Negara
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Opini BPK dan Makna Akuntabilitas

    13/08/2025
  • Anggota IV BPK: SAI Punya Peran Strategis Kawal...

    12/08/2025
  • Di Forum ANAO, Ketua BPK Angkat Tiga Isu...

    11/08/2025
  • Soroti Penurunan IPAK, BPK Periksa Strategi Pencegahan Korupsi...

    08/08/2025
  • BPK Gelar Pelatihan Audit Ekonomi Biru, Diikuti Peserta...

    05/08/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id