WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Thursday, 7 August 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Category:

SLIDER

Anggota V/Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara BPK Bahrullah Akbar
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Seluruh Perwakilan BPK Terapkan Pemeriksaan dengan Format LFAR

by Admin 1 24/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan melaksanakan pemeriksaan dengan pendekatan “Long Form Audit Report” (LFAR) di seluruh perwakilan daerah pada semester I 2021. Hal ini melanjutkan proyek percontohan pada pemeriksaan semester I tahun lalu yang dilaksanakan pada lima provinsi.

Anggota V/Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara BPK Bahrullah Akbar menyampaikan, penyampaian hasil pemeriksaan dengan LFAR adalah upaya meningkatkan nilai tambah pemeriksaan BPK.

“Pemikiran ini tidak ujug-ujug muncul, tapi memang ada best practices-nya,” ujar Bahrullah kepada Warta Pemeriksa, Kamis (11/2).

Dalam format LFAR, pemeriksaan laporan keuangan entitas akan dilengkapi dengan pemeriksaan kinerja. Pada tahun lalu, BPK telah menggunakan skema itu pada pemeriksaan di Aceh, Lampung, Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Timur.

Bahrullah menyampaikan, BPK saat ini tengah berupaya meningkatkan jumlah pemeriksaan kinerja. Berdasarkan salah satu hasil peer review dari NIK Polandia, BPK dinilai masih kurang dalam melaksanakan pemeriksaan kinerja. Selain itu, perolehan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2019 telah mencapai 90 persen. “Apabila semua sudah mendapatkan WTP maka mau apalagi kita selanjutnya?” ungkap Bahrullah.

Bahrullah menyampaikan, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), terdapat tiga buku, yakni mengenai opini, sistem pengendalian intern (SPI), dan kepatuhan. Buku mengenai SPI dan kepatuhan disebutnya bisa dijadikan satu. Sementara, dalam buku ketiga dapat dilaporkan certain area of the performance atau kinerja.

Menurut dia, skema LFAR akan diterapkan di seluruh Perwakilan BPK untuk tingkat provinsi. Meski belum menyeluruh hingga ke level pemerintahan kabupaten/kota, Bahrullah menilai, upaya ini sudah menunjukkan arah perkembangan yang positif. “Saya kira dengan ini kita sudah on the right track,” ungkapnya.

Auditor Utama Pemeriksaan Keuangan Negara (Tortama) V BPK Akhsanul Khaq menjelaskan, pada tahun lalu pemeriksaan dengan pendekatan LFAR dilaksanakan dengan tema terkait pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di Aceh, Lampung, dan Jawa Timur. Kemudian, pemeriksaan kinerja dengan tema terkait penanganan bencana dilaksanakan di Banten. “Kemudian di DKI Jakarta yang memang menjadi perhatian publik adalah pengendalian pencemaran udara,” ungkap Akhsanul.

Pada tahun ini, seluruh perwakilan, baik di wilayah barat maupun timur, akan melakukan pemeriksaan dengan pendekatan LFAR. Tema-tema pemeriksaan yang dipilih nantinya diharapkan berkaitan dengan perhatian publik. Selain itu, tema pemeriksaan juga perlu dikaitkan dengan target pembangunan jangka menengah daerah tersebut.

Akun-akun signifikan dalam laporan keuangan seperti aset juga bisa menjadi sorotan. “Terkait pelayanan publik dan program utama masing-masing Pemda yang sifatnya khas juga bisa menjadi pertimbangan,” ujarnya.

24/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Karyawan anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), PT Rajawali Nusindo (PT RN) sedang menurunkan barang (foto: www.rni.co.id).
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

BPK Ungkap Sederet Masalah di PT RNI Holding

by Admin 1 23/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Holding kurang efektif dalam melakukan fungsi pengendalian pengelolaan keuangan dan aset. Hal itu merupakan hasil pemeriksaan kinerja atas efektivitas PT RNI Holding dalam melaksanakan fungsi pengendalian pengelolaan keuangan dan aset pada 2017, 2018, dan 2019 (semester I).

Pemeriksaan itu dilaksanakan pada PT RNI (Persero) dan instansi terkait di DKI Jakarta, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.

Hasil pemeriksaan atas efektivitas pelaksanaan fungsi pengendalian keuangan dan aset pada PT RNI Holding mengungkapkan 21 temuan yang memuat 20 permasalahan ketidakefektifan dan satu permasalahan kerugian yang terjadi di perusahaan sebesar Rp16,8 miliar.

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2020, BPK menyampaikan bahwa Divisi Pengendalian Usaha Non Agro PT RNI Holding belum melakukan monitoring dan evaluasi piutang dan persediaan pada anak perusahaan secara optimal. Hal itu antara lain karena PT Rajawali Nusindo (PT RN) telah melakukan putus kontrak dengan beberapa pihak ketiga sejak 2017.

Namun, masih terdapat saldo piutang kepada pihak ketiga bersangkutan tersebut per 30 Juni 2019 sebesar Rp30,91 miliar dan persediaan terkait pada 24 Cabang PT RN per 30 Juni 2019 sebesar Rp30,27 miliar.

Kemudian, persediaan milik pihak ketiga pada PT Gabungan Import Eksport Bali (PT GIEB)—salah satu anak perusahaan PT RNI Holding—per 30 Juni 2019 sebesar Rp13,08 miliar belum terjual. Hal tersebut mengakibatkan piutang PT RN kepada pihak ketiga atas proses buy back barang-barang fast moving berpotensi tidak tertagih sebesar Rp30,91 miliar. Kemudian piutang PT GIEB kepada pihak ketiga atas pengambilan kembali stok fast moving berpotensi tidak tertagih sebesar Rp100 juta, dan persediaan pada PT RN dan PT GIEB per 30 November 2019 sebesar Rp43,36 miliar berpotensi rusak dan menambah beban penjualan anak perusahaan bersangkutan dan PT RNI Holding.

Fungsi pengendalian PT RNI Holding dalam pemberian pinjaman kepada anak perusahaan juga belum memadai. Hasil pemeriksaan pada 11 anak perusahaan menunjukkan bahwa PT RNI Holding tidak memiliki kecukupan dana untuk memberikan pinjaman kepada anak perusahaan yang pada semester I tahun 2019 menunjukkan nilai sebesar Rp2,57 triliun.

BPK juga menemukan, database pemantauan pinjaman PT RNI Holding kepada anak perusahaan belum disusun secara memadai. Selain itu, deskripsi pekerjaan serta standar operasional dan prosedur (SOP) terkait dengan pengelolaan pinjaman modal kerja/investasi belum mengatur mekanisme pertanggungjawaban atas penggunaan dana dan batas waktu pembayaran angsuran dan/atau pelunasan pinjaman.

Akibatnya, keputusan pemberian pinjaman kepada anak perusahaan berpotensi mengganggu likuiditas PT RNI Holding dan risiko kegagalan pengembalian pinjaman anak perusahaan yang relatif tinggi.

BPK telah merekomendasikan kepada Direksi PT RNI (Persero) antara lain agar memerintahkan vice president (VP) Keuangan Korporasi dan VP Pengendalian Usaha II berkoordinasi dengan direksi PT RN dan PT GIEB untuk menyusun langkah-langkah strategis penyelesaian piutang dan persediaan serta memantau penyelesaiannya.

BPK juga meminta Direksi PT RNI (Persero) untuk merevisi SOP mengenai Pinjaman Modal Kerja/Investasi Anak Perusahaan dan memerintahkan VP Keuangan Korporasi supaya berkoordinasi dengan VP Akuntansi untuk menyusun database pelaksanaan perjanjian pinjaman PT RNI Holding kepada anak perusahaan secara memadai.

Atas simpulan yang diberikan oleh BPK, direksi PT RNI (Persero) menyampaikan menerima simpulan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh BPK atas penilaian efektivitas PT RNI Holding dalam melaksanakan fungsi pengendalian pengelolaan keuangan dan aset tahun buku 2017, 2018 dan 2019 (semester I) di DKI Jakarta, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali pada PT RNI (Persero).

Selanjutnya, direksi PT RNI (Persero) akan melakukan tindakan-tindakan perbaikan serta menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi yang diberikan guna meningkatkan efektivitas fungsi pengendalian PT RNI Holding dalam pengelolaan keuangan dan aset.

23/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Pendapat BPK mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Reformasi Peran FKTP Solusi Kurangi Defisit DJS Kesehatan

by Admin 1 22/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berpendapat pemerintah perlu melakukan reformasi peran fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang menjadi garda terdepan dalam sistem layanan kesehatan di Indonesia. Reformasi FKTP diperlukan untuk mewujudkan kesinambungan kemampuan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan sehingga meminimalkan defisit keuangan.

Hal tersebut menjadi salah satu dari enam poin Pendapat BPK terkait aspek pendanaan dalam pengelolaan atas penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Berdasarkan dokumen Pendapat BPK, reformasi peran FKTP bisa dilakukan melalui optimalisasi dana bidang kesehatan dari APBN/APBD di fasilitas kesehatan milik pemerintah. Hal ini juga bertujuan meningkatkan upaya promotif, preventif, dan pola rujukan layanan kesehatan yang ideal.

BPK mengeluarkan Pendapat terkait hal ini karena pelayanan kesehatan yang semestinya dapat dituntaskan pada FKTP, tetapi dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL).

Seperti diketahui, pelayanan kesehatan dalam program JKN memang dilakukan secara berjenjang dari tingkat FKTP ke FKRTL, tergantung pada diagnosis penyakit apakah spesialistik atau nonspesialistik. Jika nonspesialistik, cukup ditangani di FKTP.

Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK pada 2019, terdapat diagnosis nonspesialistik yang dirujuk FKTP ke FKRTL yang semestinya dapat dituntaskan pengobatannya di tingkat FKTP. Pada tahun 2018, terdapat rujukan nonspesialistik dari FKTP milik pemerintah sebanyak 3.267.074 (20 persen) dari total 16.533.888 rujukan.

Sementara itu, pada tahun yang sama terdapat rujukan nonspesialistik dari FKTP swasta sebanyak 2.031.529 (23 persen) dari total 8.886.283 rujukan. Dari data tersebut, BPK melakukan pemeriksaan secara uji petik pada FKTP milik pemerintah dan swasta dan menemukan 752.658 rujukan nonspesialistik sebesar Rp142,73 miliar yang seharusnya dapat dituntaskan pengobatannya pada FKTP.

“Kondisi ini berdampak pada peningkatan biaya pelayanan pada FKRTL yang harus ditanggung oleh DJS kesehatan,” demikian dinyatakan BPK dalam dokumen Pendapat BPK terkait Pengelolaan atas Penyelenggaraan Program JKN.

Selain itu, terdapat beban biaya manfaat yang harus ditanggung DJS Kesehatan pada periode 2014-Juni 2019 sebesar Rp126,97 miliar. Hal ini disebabkan karena pemerintah pada Juli 2019 baru menetapkan 821 kode diagnosis atas 144 penyakit sebagai diagnosis nonspesialistik, yang pada periode sebelumnya (2014-Juni 2019) baru menetapkan 153 kode diagnosis nonspesialistik atas 144 penyakit.

22/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Menguji Konsistensi DJP terhadap Wajib Pajak

by Admin 1 19/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki mandat untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK tak hanya mengawal penggunaan uang negara, tapi juga penerimaan negara, termasuk penerimaan pajak.

Auditor Utama Keuangan Negara II BPK Laode Nusriadi mengatakan, sistem pajak pada dasarnya menganut self assesment, yakni wajib pajak (WP) menghitung dan melaporkan sendiri kewajibannya. Berdasarkan hal tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki data profil sejauh mana WP individu atau badan mengikuti aturan yang berlaku.

 â€œKarena WP itu bisa dibuat profil, misalnya DJP itu mengetahui profil WP yang salah hitung ataupun tidak patuh. BPK mempelajari data yang dibuat oleh DJP dan secara sampling melihat hasil-hasil pemeriksaan yang dilakukan petugas pajak,” kata Laode saat berbincang dengan Warta Pemeriksa, beberapa waktu lalu.

Dia menjelaskan, dalam pemeriksaan dan sampling yang diambil oleh BPK, fokus BPK adalah pada konsistensi dari petugas pajak kepada WP berdasarkan aturan yang ada. Sebelum BPK melakukan pemeriksaan, akan ditentukan dahulu sektor usaha yang akan diperiksa, misalnya sektor usaha kelapa sawit atau batu bara.

Penentuan sektor usaha yang akan menjadi sampling pemeriksaan dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain isu yang berkembang di masyarakat atau analisis kenaikan atau penurunan penerimaan pajak pada sektor usaha tertentu. Setelah ditentukan sektor usaha yang akan diperiksa sebagai sampling, kemudian ditentukan Kantor Wilayah, Kantor Pelayanan Pajak, dan WP terkait berdasarkan data hasil pemeriksaan pajak yang sebelumnya telah dilakukan petugas pajak.

Selanjutnya BPK akan melihat apakah terdapat perlakukan yang sama untuk hal yang sama terhadap masing-masing WP tersebut antarkantor pelayanan pajak dengan memperhatikan aturan yang ada. Dengan kata lain, BPK melihat konsistensi perlakuan petugas pajak kepada WP.

“Misalnya WP ini melanggar suatu ketentuan, lalu wajib pajak lain melanggar ketentuan yang sama, BPK melihat apakah perlakuannya sama atau tidak oleh petugas pajak, dan kalau berbeda apa penyebabnya. Jadi tidak melihat individu-individu, tapi memperhatikan konsistensi di berbagai pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas pajak,” ujar Laode,

Laode menambahkan, DJP memiliki kantor yang tersebar di seluruh Indonesia dan memiliki risiko untuk tidak konsisten. “Misalnya, kantor pajak di Jakarta memperlakukan WP yang melanggar ketentuan A, apakah sama perlakuan petugas pajaknya dengan kantor pajak di Surabaya. Walau WP-nya beda dan petugas pajaknya berbeda juga, tetapi ketentuan yang dilanggar sama,” ujar dia.

Begitu juga yang terkait dengan restitusi pajak. BPK melihat konsistensi dari keputusan DJP terhadap WP. Terutama dalam hal menolak atau menyetujui restitusi pajak. Dalam LKPP 2019, BPK menemukan adanya 5 permasalahan terkait ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satunya, DJP tidak segera memproses pembayaran restitusi pajak yang telah terbit surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (SKPKPP) senilai Rp11,62 triliun, belum menerbitkan SKPKPP senilai Rp72,86 miliar dan USD57.91 ribu serta terlambat menerbitkan SKPKPP senilai Rp6,07 miliar

DJP menyajikan utang kelebihan pembayaran pendapatan (UKPP) atau utang restitusi per 31 Desember 2019 dan 31 Desember 2018 (Audited) masing-masing sebesar sebesar Rp28,14 triliun dan Rp24,60 triliun.Atas kewajiban 2019 tersebut, DJP belum menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP), sehingga sampai dengan 31 Desember 2019, utang kelebihan pembayaran pajak tersebut belum dibayarkan kepada WP dan masih tercatat sebagai penerimaan pajak tahun 2019.

19/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Peta Indonesia (Ilustrasi)
BeritaBerita TerpopulerOpiniSLIDER

Pandemi tak Halangi BPK Periksa Implementasi SDGs

by Admin 1 18/02/2021
written by Admin 1

Oleh: Pemeriksa Madya BPK Tjokorda Gde Budi Kusuma

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terus mengawal program “Sustainable Development Goals” (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Proses pemeriksaan telah memasuki tahapan pemeriksaan implementasi SDGs.

Pandemi Covid-19 yang sedang melanda tak menghalangi BPK untuk tetap melakukan pemeriksaan SDGs. Tak bisa dipungkiri, pandemi memang memunculkan tantangan baru dalam pemeriksaan SDGs. Akan tetapi, BPK sejak lama sebelum adanya pandemi telah memiliki perangkat berupa mobile audit.

Pada saat pemeriksaan SDGs preparedness pada tahun 2018, penggunaan mobile audit belum jadi prioritas. Namun pada saat kondisi pandemi, mobile audit menjadi alat yang sangat relevan. BPK juga menyiapkan portal audit SDGs sebagai bentuk komprehensif dari tools mobile audit.

Selain itu, BPK memanfaatkan teknologi geospasial melalui aplikasi arcGIS dalam melakukan pemeriksaan SDGs. Aplikasi arcGIS merupakan tulang punggung analisis spasial dalam membantu tim pemeriksa. Kegunaannya sangat bervariasi.

Dari sisi dimensi ekonomi, bisa digunakan untuk memeriksa revaluasi aset. Dari sisi dimensi sosial, aplikasi itu bisa digunakan untuk melakukan audit pendidikan. Lalu untuk dimensi lingkungan, digunakan saat memeriksa cetak sawah, audit tambang, audit hutan, hingga audit daerah aliran sungai.

Saat ini, semakin banyak Auditorat Keuangan Negara (AKN) di BPK yang menggunakan aplikasi tersebut untuk membantu proses analisis pemeriksaan. BPK sudah cukup lama menggunakan aplikasi arcGIS. Sejak 2008, aplikasi arcGis digunakan khususnya untuk mengaudit kehutanan, daerah aliran sungai dan pertambangan. Dahulu, aplikasi tersebut memang belum berkembang pesat karena teknologi geospasial dengan citra satelit sangat mahal.

Namun, dengan perkembangan teknologi, khususnya drone, pemetaan kondisi terkini yang dihasilkan bisa digunakan untuk memeriksa cetak sawah, program pemulihan lingkungan di sektor tambang dan hutan dengan biaya yang lebih terjangkau.

Sebagai informasi, BPK saat ini merupakan salah satu lembaga pemeriksa (SAI) yang terdepan dalam mengawal implementasi SDGs, baik di level regional seperti ASEAN maupun global. Sebelumnyam BPK telah menghasilkan Laporan Hasil Pemeriksaan SDGs terkait kesiapan SDGs yang mengacu pada VNR (Voluntary National Review) 2017 dan implementasi SDGs yang mengacu VNR 2019. Pemeriksaan SDGs Indonesia oleh BPK diharapkan bisa menjadi acuan SAI lain dalam melakukan pemeriksaan terkait SDGs.

18/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Sustainable Development Goals (SDGs)
BeritaBerita TerpopulerOpiniSLIDER

Cara BPK Mengawal Implemetasi SDGs

by Admin 1 17/02/2021
written by Admin 1

Oleh: Pemeriksa Madya BPK Tjokorda Gde Budi Kusuma

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terus mengawal program “Sustainable Development Goals” (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Proses pemeriksaan telah memasuki tahapan pemeriksaan implementasi SDGs.

Pemeriksaan implementasi SDGs berpedoman pada INTOSAI Development Initiative SDGs Audit Model (ISAM). Mengacu pada ISAM, maka prioritas pemeriksaan dimulai dari target nasional yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Setelah itu, baru dikaitkan dengan target SDGs di level global. Kendati demikian, Rencana Strategis (Renstra) BPK telah menjadikan target-target pembangunan dalam RPJMN sebagai dasar penyusunannya, maka target yang diperiksa dalam SDGs, bisa searah dengan target yang ada dalam Renstra BPK.

Dalam melakukan pemeriksaan SDGs, BPK menggunakan multistakeholders approach. BPK memeriksa pemerintah, utamanya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai Sekretariat Nasional SDGs dan dilanjutkan ke level Kementerian dan pemda dalam tahap implementasinya. Selain itu, BPK bekerja sama dengan SDGs center yang ada di perguruan tinggi, hingga non-state actors seperti UNDP Indonesia untuk meningkatkan pemahaman SDGs sebagai hal pokok pemeriksaan.

Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono pernah menyampaikan bahwa audit implementasi SDGs adalah audit implementasi dari serangkaian kebijakan yang berkontribusi pada pencapaian nationally agreed target (target yang disepakati secara nasional) terkait dengan satu atau lebih target SDGs. Audit yang dilakukan ini adalah untuk menyimpulkan hal-hal terkait upaya untuk menuju pencapaian target yang telah disepakati secara nasional.

Kemudian, untuk mengetahui bagaimana kemungkinan target akan dicapai berdasarkan tren saat ini, dan kecukupan target nasional dibandingkan dengan target SDGs yang sesuai. Audit implementasi SDGs dilakukan dengan menggunakan pendekatan whole of government karena BPK perlu menyimpulkan sejauh mana koherensi dan integrasi dalam implementasi kebijakan. Selain itu, pemeriksaan sedapat mungkin mencakup tujuan dan pertanyaan yang memungkinkan pemeriksa untuk menyimpulkan leave no one behind atau tidak ada orang yang tertinggal dalam proses pembangunan.

Sesuai dengan mandat yang dimiliki BPK, pemeriksaan multistakeholder fokus pada pemeriksaan atas upaya pemerintah untuk dapat menjangkau dan melibatkan banyak pemangku kepentingan dalam pengaturan dan pelaksanaan target yang disepakati secara nasional terkait dengan SDGs. Pemeriksa juga dapat memeriksa apakah pemerintah dapat menciptakan kondisi yang baik untuk proses pelibatan, tingkat keterlibatan para pemangku kepentingan, pelibatan pemangku kepentingan yang kritis, dan kecukupan interaksi dalam prosesnya.

Dalam mempertimbangkan kecukupan interaksi, pemeriksa dapat mempertimbangkan apakah terdapat saluran komunikasi yang memungkinkan untuk adanya sistem umpan balik yang terbuka dan jujur; apakah sistem umpan balik dapat diakses dan tidak rumit untuk para pemangku kepentingan, dan apakah sistem umpan balik memungkinkan adanya dialog yang berimbang antar para pihak.

Sebagai informasi, BPK saat ini merupakan salah satu lembaga pemeriksa (SAI) yang terdepan dalam mengawal implementasi SDGs, baik di level regional seperti ASEAN maupun global. Sebelumnya, BPK telah menghasilkan Laporan Hasil Pemeriksaan SDGs terkait kesiapan SDGs yang mengacu pada VNR (Voluntary National Review) 2017 dan implementasi SDGs yang mengacu VNR 2019. Pemeriksaan SDGs Indonesia oleh BPK diharapkan bisa menjadi acuan SAI lain dalam melakukan pemeriksaan terkait SDGs.

17/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Gedung BPK
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Pulihkan Kerugian Negara Puluhan Triliun, BPK Perkuat Tuntutan Perbendaharaan

by Admin 1 16/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tak hanya menjalankan fungsi pemeriksaan dan rekomendasi dalam mengawal dan menyelamatkan harta negara. BPK juga menjalankan fungsi kuasi yudisial.

Sesuai pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK berwenang menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

Untuk menjalankan fungsi kuasi yudisial, BPK membentuk Majelis Tuntutan Perbendaharaan (MTP). Melalui MTP, BPK melakukan proses Tuntutan Perbendaharaan (TP) yang ditujukan terhadap bendahara yang merugikan negara dan memberikan pertimbangan kepada pemerintah atas proses tuntutan ganti rugi (TGR) terhadap pegawai negeri bukan bendahara yang merugikan keuangan negara.

Kepala Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara, Blucer Wellington Rajagukguk mengatakan, pemeriksaan BPK dalam kurun waktu 2009 hingga semester I 2020 mengungkap sebanyak 257.136 permasalahan dengan nilai uang sebesar Rp501,29 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 49.548 permasalahan di antaranya atau 19,27 persen merupakan masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berindikasi kerugian negara atau daerah. “Angkanya sebesar Rp34,65 triliun dengan rata-rata kerugian sebesar Rp3 triliun per tahunnya,” kata Blucer kepada Warta Pemeriksa, beberapa waktu lalu.

Blucer mengatakan, dari nilai kerugian sebesar Rp34,65 triliun, baru sebesar Rp3,43 triliun atau 9,9 persen yang telah memperoleh penetapan dengan nilai kerugian yang telah dipulihkan sebesar Rp1,77 triliun. Artinya, ujar Blucer, hanya kerugian sebesar Rp3,43 triliun yang telah valid dan penanggung jawab kerugian telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang.

“Memang untuk penyelesaian ini menurut saya cukup memprihatinkan, karena kalau kita lihat kurang dari 10 persen dari total yang terindikasi sebagai kerugian negara,” ucap dia.

Persoalan-persoalan ini menurut dia menjadi tantangan besar karena ada potensi mengalami kedaluwarsa. Padahal angka kerugiannya mencapai triliunan rupiah. Oleh karena itu, pihaknya intensif menjalin komunikasi dengan AKN maupun kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.

Blucer menegaskan, keberadaan Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi (TP-TGR) sangat penting. Ia menjelaskan, Majelis TP-TGR menyelesaikan persoalan kerugian negara yang dilakukan bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

16/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Jiwasraya
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Sinergi BPK untuk Usut Jiwasraya

by Admin 1 15/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki hubungan yang erat dengan para penegak hukum dalam upaya pencegahan serta pemberantasan korupsi di Tanah Air, tak terkecuali dengan Kejaksaan Agung RI. Sinergi BPK dengan Kejaksaan Agung salah satunya dilakukan pada pengungkapan kasus gagal bayar yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Menurut Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono, sinergi dengan BPK membuat penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi lebih efektif. Ali mengatakan, sinergi yang dapat dijadikan contoh dalam penyelesaian penanganan perkara tindak pidana korupsi adalah kerja sama dalam percepatan penanganan perkara tindak pidana korupsi Asuransi Jiwasraya.

Ali melalui wawancara tertulis kepada Warta Pemeriksa pada Desember lalu menjelaskan, kerja sama tim penyidik pada Jampidsus dan tim pemeriksa pada BPK dilakukan secara simultan dengan respons yang cepat, tukar menukar data yang up to date. Selain itu, dibarengi dengan koordinasi yang secara terus menerus dilakukan.

“Berkat koordinasi itu, proses penyidikan dan audit forensik serta penghitungan kerugian keuangan negara bisa dilakukan lebih efektif karena dilakukan klarifikasi bersama untuk mendapatkan alat bukti,” kata Ali.

Dalam melakukan sinergi, kata dia, tim penyidik pada Jampidsus melakukan analisa hukum dari alat bukti yang ditemukan. Di sisi lain, tim pemeriksa BPK melakukan analisis akuntansi terhadap alat bukti yang telah ditemukan oleh tim penyidik.

“Dengan demikian, kausalitas antara unsur perbuatan melawan hukum dengan unsur kerugian keuangan negara menjadi analisis yuridis yang komprehensif sebagai suatu perbuatan yang voltooid,” kata dia.

Seperti diketahui, BPK mampu menepati komitmennya untuk menyelesaikan penghitungan kerugian negara dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada awal Maret 2020. Laporan juga telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung dan diumumkan kepada publik pada 9 Maret 2020.

Pemeriksaan Investigatif dalam rangka Penghitungan Kerugian Negara atas Pengelolaan Keuangan dan Dana Investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Tahun 2008-2018 dilakukan untuk menindaklanjuti permintaan Kejaksaan Agung pada 30 Desember 2019. 

Berdasarkan perhitungan BPK. kerugian negara dalam kasus Jiwasraya sebesar Rp16,81 triliun. Kerugian negara tersebut terdiri atas kerugian dari investasi saham sebesar Rp4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi reksa dana sebesar Rp12,16 triliun.

Jauh sebelum mencuatnya kasus gagal bayar dan terkuaknya dugaan korupsi di Jiwasraya, BPK sebetulnya sudah sejak lama menemukan adanya ketidakberesan dalam tubuh perusahaan asuransi jiwa tertua di Tanah Air tersebut. Ketidakberesan itu terungkap dalam sejumlah pemeriksaan yang telah dilakukan, mulai dari pemeriksaan laporan keuangan hingga pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).

Pada 2016, misalnya, BPK melakukan PDTT atas Pengelolaan Bisnis Asuransi, Investasi, Pendapatan, dan Biaya Operasional Jiwasraya untuk tahun 2014-2015.

Ada 16 poin temuan pemeriksaan, antara lain pertanggungjawaban penggunaan dana aktivitas pada beberapa kantor Jiwasraya sebesar Rp2,5 miliar belum tertib. Kemudian, pengelolaan dan pengawasan atas properti investasi tidak sesuai ketentuan.

Sementara dalam pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern (SPI) pada tahun buku 2009- 2010 (semester I), BPK menyimpulkan rancangan dan terapan SPI Jiwasraya tidak sesuai dengan praktik good corporate governance pada badan usaha milik negara (BUMN).

15/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Covid-19 (Ilustrasi) Sumber: Freepik
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Terkait Covid-19, BPK Periksa Pembuat Kebijakan Hingga Penerima Manfaat (Bagian 3-Habis)

by Admin 1 14/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Selain aspek regulasi dan keuangan negara, pemeriksaan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas penanganan Covid-19 juga mencakup aspek pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Kepala Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara BPK Bernardus Dwita Pradana menjelaskan, sesuai UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU BPK, pengelolaan keuangan negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.

Sedangkan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara adalah kewajiban pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Dwita mengatakan, salah satu yang diperiksa dalam hal pengelolaan mengenai refocusing dan realokasi serta pelaksanaan program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PCPEN). BPK menelisik bagaimana proses perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan atau penyerapannya.

“Misalnya, mengapa penyerapan anggaran rendah? Apakah ada masalah dalam proses penganggaran dan penetapan DIPA? Di mana titik masalahnya, apakah di satker atau di kementerian keuangan atau dua-duanya?” kata Dwita saat berbincang dengan Warta Pemeriksa di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Setelah itu, kata Dwita, BPK melakukan pendalaman terhadap para pemangku kepentingan, yaitu para pembuat kebijakan, para pelaksana kebijakan dan masyarakat penerima manfaat. “Sedangkan mengenai tanggung jawab keuangan negara, kita cari tahu bagaimana kualitas dan tanggung jawab pemerintah dalam melaksanakan pengelolaan tersebut. Apakah tertib, taat hukum, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan,” ucap Dwita.

Mengenai pemeriksaan terhadap penyaluran bantuan, BPK akan terjun langsung untuk memeriksa penyalurannya sampai kepada masyarakat penerima manfaat. Seperti diketahui, pemerintah memberikan begitu banyak program bantuan kepada masyarakat dalam penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, antara lain program bansos, sembako, insentif usaha, subsidi bunga UMKM, hingga bantuan subsidi gaji pekerja.

“Kita akan memeriksa apakah semuanya telah diterima oleh penerima yang berhak dan apakah seluruh transaksi telah dicatat, dilaporkan, dan dipertanggungjawabkan sesuai asersi,” kata dia.

Sumber ilustrasi: Freepik

14/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Covid-19 (Ilustrasi)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

BPK Periksa Seluruh Keuangan Negara Terkait Covid-19 (Bagian 2)

by Admin 1 13/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengerahkan seluruh kemampuan dan sumber daya untuk mengidentifikasi audit universe atas penanganan Covid-19  dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pemeriksaan dilakukan dari hulu ke hilir, mulai dari kerangka regulasi, program yang dilaksanakan pemerintah, pengelolaan dan penggunaan uang negara, hingga para penerima manfaat dari program atau kebijakan yang dibuat pemerintah.

Setelah aspek regulasi, aspek selanjutnya yang diperiksa BPK adalah keuangan negara sesuai pengertian dan lingkupnya sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara. Kepala Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara BPK Bernardus Dwita Pradana memaparkan, keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Oleh karena itu, pemeriksaan atas penanganan Covid-19 oleh BPK tak hanya dilakukan terhadap anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). BPK juga memeriksa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah  (APBD), dana Bank Indonesia, dana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dana BUMN/BUMD, dan dana masyarakat yang dikelola entitas pemerintah.

“Dengan demikian, dari sisi keuangan negara, pemeriksaan bukan hanya dilakukan untuk yang Rp695 triliun (anggaran Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional/PCPEN). Karena itu hanya salah satu unsur dari keuangan negara,” kata Dwita saat berbincang dengan Warta Pemeriksa di Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Ada lima hal yang diperiksa terkait keuangan negara dalam penanganan Covid-19. Kelima hal itu adalah refocusing dan realokasi anggaran, penanganan kesehatan, perlindungan sosial, penanganan dampak ekonomi dan keuangan, pengadaan barang/jasa dalam masa darurat bencana, serta manajemen penanggulangan bencana. Perlu diperhatikan pula pembagian PCPEN sebagai public goods dan non-public goods dalam konteks burden sharing pemerintah dan Bank Indonesia.

Dwita mengatakan, pemeriksaan atas keuangan negara dalam penanganan Covid-19 juga dilakukan terhadap sektor moneter dan stabilitas sistem keuangan. Ini karena Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendapatkan kewenangan luas dalam membantu menjaga stabilitas sistem keuangan di masa pandemi melalui UU Nomor 2 Tahun 2020. Salah satu perluasan kewenangan itu adalah melakukan pembelian Surat Utang Negara (SUN)/Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di pasar perdana. “BI sebenarnya tidak boleh beli di pasar perdana, harusnya di pasar sekunder. Tapi di UU (UU Nomor 2 Tahun 2020), BI diperbolehkan.”

LPS juga akan diperiksa. Sebab, LPS nantinya bertugas melakukan penyelamatan bank gagal non-sistemik dan penjaminan simpanan kelompok nasabah. “Sampai sekarang belum atau jangan sampai terjadi,” kata Dwita.

Unsur keuangan negara yang juga diperiksa adalah kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu BUMN dan BUMD. Ia mengatakan, selain menerima penugasan pemerintah melalui PEN, di BUMN juga terdapat dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan bina lingkungan yang turut dikucurkan untuk membantu penanganan Covid-19.

“Satu lagi adalah dana masyarakat yang dikelola entitas publik sebagai subyek keuangan negara. Contohnya adalah dana masyarakat yang diberikan kepada BNPB atau BPBD untuk disalurkan kepada penerima bantuan. Itu termasuk ke dalam unsur keuangan negara,” ujar Dwita.

Sumber ilustrasi: Freepik

13/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • BPK Gelar Pelatihan Audit Ekonomi Biru, Diikuti Peserta dari 14 Negara
  • BPK Memulai Audit Belanja Pilkada Serentak 2024
  • BPK: Tugas Diplomasi Harus Diiringi Akuntabilitas Keuangan
  • BPK Sampaikan Reviu dan Masukan Strategis untuk VNR SDGs Indonesia
  • Audit BPK Hasilkan Rekomendasi Strategis bagi WIPO
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • BPK Gelar Pelatihan Audit Ekonomi Biru, Diikuti Peserta...

    05/08/2025
  • BPK Memulai Audit Belanja Pilkada Serentak 2024

    04/08/2025
  • BPK: Tugas Diplomasi Harus Diiringi Akuntabilitas Keuangan

    01/08/2025
  • BPK Sampaikan Reviu dan Masukan Strategis untuk VNR...

    31/07/2025
  • Audit BPK Hasilkan Rekomendasi Strategis bagi WIPO

    25/07/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id