WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Wednesday, 27 August 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Author

Admin 1

Admin 1

Pendapat BPK-JKN-Aspek Kepesertaan
Infografik

Pendapat BPK untuk Perbaikan Data JKN

by Admin 1 06/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyerahkan Pendapat BPK tentang Pengelolaan Dana Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua dan Papua Barat serta Pengelolaan atas Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kepada pemerintah. Pendapat BPK tersebut disampaikan oleh Ketua BPK Agung Firman Sampurna dan Anggota I BPK/Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara I Hendra Susanto kepada Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara, di Jakarta pada Kamis (21/1).

Kegiatan penyampaian pendapat kepada Pemerintah tersebut dilaksanakan berdasarkan Pasal 11 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK yang menyebutkan bahwa, BPK dapat memberikan pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, pemerintah pusat/daerah, lembaga negara lain, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya. Pendapat yang diberikan BPK termasuk di antaranya perbaikan di bidang pendapatan, pengeluaran, dan bidang lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

BPK menyampaikan Pendapat Pengelolaan atas Penyelenggaraan Program JKN karena permasalahan dalam penyelenggaraan JKN yang ditemukan selama pemeriksaan pada 2015-2019 belum terselesaikan hingga saat ini.

Terkait aspek kepesertaan, ada dua Pendapat yang disampaikan BPK. Pertama, BPK berpendapat pemerintah harus segera mewujudkan data tunggal peserta program JKN yang valid dan real time, antara lain dengan melakukan integrasi sistem data base kepesertaan program JKN dengan sistem data base kementerian/lembaga/instansi lain.

Selain memberikan Pendapat untuk mengintegrasikan sistem data base kepesertaan program JKN, BPK juga berpendapat bahwa pemerintah harus segera mewujudkan pencapaian target Universal Health Coverage (UHC) dengan melakukan koordinasi kelembagaan dalam penyempurnaan/penyusunan peraturan dengan memasukkan kriteria identitas kepesertaan program JKN sebagai syarat dalam pengurusan pelayanan publik, termasuk layanan perbankan.

06/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Pendapat BPK mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Optimalkan Peran APBD dalam Pendanaan JKN

by Admin 1 06/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan enam poin Pendapat kepada pemerintah untuk mewujudkan kesinambungan kemampuan keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Pendapat ini diharapkan bisa meminimalkan defisit keuangan DJS Kesehatan.

Salah satu Pendapat yang disampaikan BPK adalah mendorong kolaborasi pendanaan dengan pemerintah daerah sehingga memberi ruang bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk berkontribusi dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pendapat ini merupakan bagian dari Pendapat BPK terkait Pengelolaan atas Penyelenggaraan Program JKN dalam hal pendanaan.

Dalam dokumen Pendapat BPK disebutkan, kontribusi pemerintah daerah (pemda) terkait dengan pendanaan program JKN untuk peserta di luar pekerja penerima upah penyelenggara negara (PPU PN) daerah baru terbatas pada pembayaran iuran untuk penduduk yang didaftarkan oleh pemda.

Jumlah penduduk yang didaftarkan oleh pemda sebagai peserta program JKN yang seluruh iurannya ditanggung oleh pemda (APBD) per 31 Desember 2019 hanya sebanyak 38.842.476 orang. Jumlah itu setara 17 persen dari total peserta program JKN dengan nilai iuran dari 2015-2019 sebesar Rp31,06 triliun.

Jika dibandingkan dengan nilai iuran yang ditanggung oleh APBN atas peserta penerima bantuan iuran (PBI), maka nilai iuran pemda hanya sebesar 23,65 persen dari nilai yang ditanggung APBN. Dengan demikian, masih terbuka peluang untuk meningkatkan sumber pendanaan program JKN dengan optimalisasi sumber dana yang berasal dari APBD.

Sebagai informasi, BPK menyampaikan Pendapat karena permasalahan dalam penyelenggaraan JKN yang ditemukan selama pemeriksaan pada 2015-2019 belum terselesaikan hingga saat ini.  BPK berwenang memberikan Pendapat berdasarkan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. BPK memberikan Pendapat terhadap permasalahan yang berulang dan masih belum terselesaikan dengan tujuan untuk menyelesaikannya demi perbaikan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 

Pendapat BPK terkait pengelolaan atas penyelenggaraan program JKN mencakup aspek kepesertaan, pelayanan, dan pendanaan. Secara keseluruhan ada 14 poin Pendapat yang disampaikan BPK.

06/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Pendapat BPK mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Enam Pendapat BPK untuk Atasi Defisit DJS Kesehatan

by Admin 1 05/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan enam poin Pendapat kepada pemerintah untuk mengatasi defisit keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Enam Pendapat tersebut merupakan bagian dari Pendapat BPK terkait Pengelolaan atas Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Dalam dokumen Pendapat BPK disebutkan, defisit dalam pendanaan penyelenggaraan program JKN terus terjadi meski pemerintah telah memberikan bantuan keuangan kepada DJS Kesehatan. Terkait hal tersebut, BPK berpendapat pemerintah harus segera mewujudkan kesinambungan kemampuan keuangan DJS Kesehatan, sehingga meminimalkan defisit keuangan.

Pendapat pertama BPK untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menyusun mekanisme pengumpulan iuran yang efektif untuk menjamin kolektibilitas dan validitas besaran iuran. Terutama dari segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).

Pendapat itu disampaikan BPK karena BPJS Kesehatan belum memiliki mekanisme pengumpulan iuran yang efektif, terutama untuk menjamin kolektibilitas dan validitas besaran iuran segmen PPU dan PBPU. Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan BPK, permasalahan defisit keuangan DJS Kesehatan, antara lain, disebabkan oleh pemungutan dan pengumpulan iuran dari peserta PPU dan PBPU yang belum optimal.

Sampai dengan saat ini, BPJS Kesehatan tidak dapat memastikan jumlah iuran dan penghasilan peserta PPU yang sebenarnya, karena hanya mengandalkan data dari pemberi kerja.

Selain itu, berdasarkan Laporan Keuangan DJS Kesehatan Tahun 2019 (audited), diketahui bahwa piutang iuran segmen PBPU sebesar Rp11,35 triliun dengan penyisihan piutang sebesar Rp10,40 triliun (93,33 persen). Hal ini menunjukkan bahwa peserta PBPU merupakan pembayar iuran dengan kolektibilitas rendah. Di sisi lain, segmen PBPU memiliki rasio klaim tertinggi (232,42 persen) dibandingkan segmen lainnya.

Pendapat kedua, melakukan reformasi besaran pembayaran kapitasi kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Ini dilakukan dengan mengacu pada standar besaran tarif dan capaian indikator kinerja yang merujuk pada kualitas pelayanan medis dan nonmedis yang diberikan, kelengkapan sumber daya kesehatan, serta kepatuhan dan komitmen dalam pencegahan kecurangan.

Ketiga, melakukan reformasi peran FKTP yang merupakan garda terdepan dalam sistem layanan kesehatan di Indonesia, melalui optimalisasi dana bidang kesehatan dari APBN/APBD di fasilitas kesehatan milik pemerintah dalam rangka meningkatkan upaya promotif, preventif, dan pola rujukan layanan kesehatan yang ideal.

Keempat, melakukan penyempurnaan aplikasi verifikasi klaim pelayanan kesehatan pada BPJS Kesehatan dengan mempertimbangkan risiko kecurangan yang mungkin terjadi.

Kelima, mengatasi defisit keuangan DJS Kesehatan sesuai dengan kemampuan fiskal. Sedangkan Pendapat keenam adalah mendorong kolaborasi pendanaan dengan pemerintah daerah sehingga memberi ruang bagi APBD untuk berkontribusi dalam program JKN.

05/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Pendapat BPK mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Perjelas Definisi Kebutuhan Dasar Kesehatan Program JKN

by Admin 1 04/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan Pendapat kepada pemerintah terkait penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). BPK menyampaikan Pendapat karena permasalahan dalam penyelenggaraan JKN yang ditemukan selama pemeriksaan pada 2015-2019 belum terselesaikan hingga saat ini.

BPK berwenang memberikan Pendapat berdasarkan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. BPK memberikan pendapat terhadap permasalahan yang berulang dan masih belum terselesaikan dengan tujuan untuk menyelesaikannya demi perbaikan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Pendapat BPK terkait pengelolaan atas penyelenggaraan program JKN mencakup aspek kepesertaan, pelayanan, dan pendanaan. Secara keseluruhan ada 14 poin Pendapat yang disampaikan BPK.

Terkait aspek pelayanan, ada enam Pendapat yang disampaikan BPK atas enam permasalahan. Salah satu Pendapat BPK adalah  mendefinisikan “kebutuhan dasar kesehatan” secara jelas sesuai dengan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). BPK memberikan Pendapat ini karena pendefinisian “kebutuhan dasar kesehatan” dalam UU SJSN belum dinyatakan secara jelas.

BPK dalam dokumen Pendapat BPK menyatakan, terdapat permasalahan mendasar terkait definisi kebutuhan dasar di bidang kesehatan yang semestinya dijamin pemerintah. Pasal 19 Ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN menyatakan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Selanjutnya, Pasal 22 Ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Dalam penjelasan Pasal 22 Ayat (1) dinyatakan bahwa pelayanan kesehatan tersebut meliputi pelayanan dan penyuluhan kesehatan, imunisasi, pelayanan Keluarga Berencana, rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat dan tindakan medis lainnya, termasuk cuci darah dan operasi jantung.

Pelayanan tersebut diberikan sesuai dengan pelayanan standar, baik mutu maupun jenis pelayanannya dalam rangka menjamin kesinambungan program dan kepuasan peserta. Luasnya pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang dapat berubah dan kemampuan keuangan BPJS Kesehatan.

Kemudian, Pasal 3 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS menyebutkan bahwa BPJS bertujuan mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Dalam penjelasan Pasal 3 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan dasar hidup adalah kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sementara itu, Pasal 46 Ayat (1) Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menyatakan, setiap peserta berhak memperoleh manfaat jaminan kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Selanjutnya, ayat (2) menyatakan bahwa manfaat jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas manfaat medis dan manfaat nonmedis, dan ayat (4) menyatakan bahwa manfaat nonmedis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan berdasarkan besaran iuran peserta.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, diketahui bahwa cakupan atas pelayanan kesehatan pada program JKN sangat luas, karena definisi kebutuhan dasar belum diatur. Akibatnya, hampir seluruh klaim peserta dijamin oleh BPJS Kesehatan.

Pelayanan kesehatan yang cenderung tidak terbatas berakibat rasio klaim pelayanan kesehatan tahun 2019 mencapai 105,56 persen. Kondisi rasio klaim yang melebihi 100 persen tersebut juga terjadi pada tahun 2015, 2017, dan 2018, sehingga turut menyumbang akumulasi defisit Dana Jaminan Sosial Kesehatan tahun 2019.

Berikut enam Pendapat BPK mengenai Pengelolaan atas Penyelenggaraan Program JKN terkait aspek pelayanan.

BPK berpendapat bahwa pemerintah harus segera mewujudkan masyarakat peserta program JKN agar mendapatkan pelayanan yang optimal dengan:

1. Mendefinisikan Kebutuhan Dasar Kesehatan secara jelas sesuai dengan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004.

2. Memperluas penerapan penerbitan Surat Eligibilitas Peserta (SEP) dengan finger print dalam layanan administrasi baik pada tingkat FKTP maupun tingkat FKRTL.

3. Memetakan sumber daya kesehatan secara komprehensif dan menyusun pentahapan dalam rangka pemenuhan dan pemerataan sumber daya kesehatan di Indonesia.

4. Memperbaiki pengelolaan pemenuhan obat dengan melibatkan kementerian/lembaga/daerah, fasilitas kesehatan milik pemerintah/swasta, dan penyedia barang.

5. Mengefektifkan penapisan dan pembaruan teknologi kesehatan, menetapkan dan memutakhirkan PNPK secara berkala dan bertahap sesuai dengan skala prioritas, serta melakukan evaluasi atas aplikasi Diagnostic Related Group (Grouper) dalam rangka memperoleh alternatif solusi untuk mempercepat proses updating pada aplikasi grouper1 .

6. Melakukan evaluasi atas tarif INACBG’s2 untuk meningkatkan efisiensi dan memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan secara objektif.

04/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Pendapat BPK mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Integrasikan Sistem Data Base Kepesertaan JKN

by Admin 1 03/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan Pendapat kepada pemerintah terkait penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). BPK menyampaikan Pendapat karena permasalahan dalam penyelenggaraan JKN yang ditemukan selama pemeriksaan pada 2015-2019 belum terselesaikan hingga saat ini.

BPK berwenang memberikan Pendapat berdasarkan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. BPK memberikan pendapat terhadap permasalahan yang berulang dan masih belum terselesaikan dengan tujuan untuk menyelesaikannya demi perbaikan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Pendapat BPK terkait pengelolaan atas penyelenggaraan program JKN mencakup aspek kepesertaan, pelayanan, dan pendanaan. Secara keseluruhan ada 14 poin Pendapat yang disampaikan BPK.

Terkait aspek kepesertaan, ada dua Pendapat yang disampaikan BPK. Pertama, BPK berpendapat pemerintah harus segera mewujudkan data tunggal peserta program JKN yang valid dan real time, antara lain dengan melakukan integrasi sistem data base kepesertaan program JKN dengan sistem data base kementerian/lembaga/instansi lain.

Data kepesertaan program JKN merupakan produk BPJS Kesehatan yang seharusnya diintegrasikan dengan data milik Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Badan Pusat Statistik, dan pemerintah daerah. Pengelolaan yang baik atas data kepesertaan tersebut merupakan modal dalam penyelenggaraan program JKN yang baik pula.

Hingga saat ini, sistem data base kepesertaan program JKN belum terintegrasi dengan sistem data base kementerian/lembaga/instansi lain.  Hal ini mengakibatkan data kepesertaan program JKN belum disajikan secara akurat dan real time.

BPJS Kesehatan telah berupaya memperkuat berbagai platform dalam pengelolaan data kepesertaan, termasuk melakukan pertukaran data (bridging) dan penandatanganan MoU dengan Kemendagri. Namun, upaya tersebut belum dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Kondisi ini memaksa BPJS Kesehatan harus melakukan pemadanan dan cleansing data kepesertaan secara terus menerus.

Upaya tersebut sangat menyita sumber daya, namun belum menunjukkan hasil yang optimal. Hasil pemeriksaan BPK tahun 2019 masih menemukan permasalahan, antara lain per 31 Desember 2019 ditemukan sebanyak 9.858.142 peserta aktif dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) tidak valid (tidak ada data/NIK kosong, NIK bukan karakter numerik, dan tidak memiliki jumlah karakter sebanyak 16 digit). Kemudian, sebanyak 8.441 peserta aktif memiliki NIK yang sama.

Data kepesertaan Program JKN juga sangat tergantung pada dinamika perubahan kependudukan di masyarakat. Namun, sistem data base kepesertaan Program JKN juga belum mampu merespons dinamika perubahan kependudukan secara real time.

Selain memberikan Pendapat untuk mengintegrasikan sistem data base kepesertaan program JKN, BPK juga berpendapat bahwa pemerintah harus segera mewujudkan pencapaian target Universal Health Coverage (UHC) dengan melakukan koordinasi kelembagaan dalam penyempurnaan/penyusunan peraturan dengan memasukkan kriteria identitas kepesertaan program JKN sebagai syarat dalam pengurusan pelayanan publik, termasuk layanan perbankan.

Seperti diketahui, RPJMN 2015-2019 menetapkan target minimal 95 persen dari penduduk Indonesia menjadi peserta program JKN. Namun sampai dengan 31 Desember 2019, dari total penduduk Indonesia sebanyak 266.911.900 jiwa (BPS, 2020), baru sebanyak 224.149.019  atau sebesar 83,98 persen yang terdaftar sebagai peserta program JKN. Hal ini menunjukkan bahwa target RPJMN 2015-2019 belum tercapai

Untuk mencapai target UHC, UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS dan PP Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif, pemerintah telah mengatur pemberian sanksi untuk tidak diberikan pelayanan publik tertentu bagi setiap orang/pemberi kerja yang tidak mendaftarkan dirinya/anggota keluarganya/pekerjanya sebagai peserta program JKN. Pelayanan publik tersebut, antara lain izin mendirikan bangunan (IMB), surat izin mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan surat tanda nomor kendaraan (STNK).

Dalam pelaksanaannya, peraturan terkait pelayanan publik tertentu tersebut belum mengatur atau belum disesuaikan dengan memasukkan identitas kepesertaan program JKN sebagai syarat dalam pengurusan atas pelayanan publik tertentu. 

Untuk memperkuat pengenaan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut, pemerintah juga perlu memperluas pengaturan pemberian sanksi untuk tidak diberikan pelayanan publik di bidang perbankan. Sampai dengan saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum mengatur kepesertaan program JKN sebagai salah satu syarat pelayanan di bidang perbankan, antara lain dalam pemberian kredit.

03/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Transparansi dan Akuntabilitas tak Bisa Ditawar

by Admin 1 02/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna menegaskan, transparansi dan akuntabilitas merupakan dua hal utama dari good governance yang tidak dapat ditawar meskipun pada masa krisis. Apalagi, potensi salah urus, pemborosan, hingga korupsi justru dapat lebih mudah terjadi saat tengah krisis.

Hal tersebut disampaikan Ketua BPK dalam webinar internasional bertajuk “Ensuring Transparency and Accountability in Covid-19 Pandemic: a Multi-Stakeholder Approach/Perspective”. Webinar yang digelar BPK pada Senin (11/1) tersebut dihadiri 750 peserta dari lembaga pemeriksa atau supreme audit institutions (SAI) di kawasan Asia, kementerian dan lembaga, akademisi, serta lembaga donor dan para pemeriksa BPK.

Webinar ini juga sekaligus menjadi forum untuk berbagi pengalaman dalam mengidentifikasi dan mengatasi risiko yang mungkin dapat menghambat transparansi dan akuntabilitas pada masa pandemi.

Agung menambahkan, penyalahgunaan tata kelola berpotensi terjadi pada masa pandemi Covid-19 mengingat pemerintah di seluruh dunia telah menetapkan berbagai kebijakan dengan anggaran sangat besar. Pada saat yang sama, kata dia, pandemi Covid-19 membuka ruang bagi SAI untuk meningkatkan dan menegaskan perannya dalam mengawal tata kelola.  “Khususnya transparansi dan akuntabilitas yang merupakan dua komponen utama dalam tata kelola yang tidak boleh dikompromikan, bahkan selama krisis,” kata Ketua BPK.
 
BPK, kata Agung, menyadari kondisi tersebut. Oleh sebab itu, BPK melakukan audit komprehensif berbasis risiko atas penanganan pandemi Covid-19. Audit komprehensif berbasis risiko dilakukan karena menjadi instrumen penting dan strategis dalam rangka memitigasi risiko tinggi yang timbul dalam situasi darurat.

“Audit komprehensif berbasis risiko menggabungkan tujuan dari tiga jenis audit, yaitu audit keuangan, kinerja, dan kepatuhan,” ucap dia.

Agung melanjutkan, BPK pada semester I 2020 telah melakukan kajian terhadap kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan dalam menangani pandemi Covid-19. Tujuannya untuk memberikan wawasan kepada pemerintah, DPR, dan pemangku kepentingan lainnya. Adapun proses pemeriksaan telah dilakukan pada semester II 2020. “Kami berharap dapat menerbitkan laporan audit nasional pada awal tahun ini,” kata Agung.

Selain Ketua BPK hadir pula sebagai pembicara dalam webinar ini, yaitu Anggota III BPK/Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara III Achsanul Qosasi. Kemudian, pembicara lainnya berasal dari The World Bank, International Budget Partnership (IBP), Certified Practising Accountant (CPA) Australia, United Nation Resident Coordinator (UNRC), dan Australian National Audit Office (ANAO). Selain itu, ada juga dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Universitas Indonesia, dan INTOSAI Policy, Finance, and Administration Committee (PFAC).

02/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Gedung BPK
BeritaOpiniSuara Publik

BPK Turut Berperan dalam Mengurangi Korupsi?

by Admin 1 01/02/2021
written by Admin 1

Oleh: Mita Cahyani, BPK Perwakilan Provinsi Jawa Tengah

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Dalam beberapa kesempatan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaku sebagai lembaga yang berperan penting dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertambahan jumlah entitas yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari tahun ke tahun menjadi salah satu pendukung klaim tersebut. Benarkah demikian?

BPK adalah lembaga tinggi negara yang bertugas dan bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Salah satu pemeriksaan yang rutin dilakukan oleh BPK adalah pemeriksaan atas laporan keuangan.

Dengan perannya sebagai auditor eksternal pemerintah, BPK wajib memastikan kewajaran atas angka-angka yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara/daerah (BUMN/D), badan layanan umum (BLU) dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Kewajaran penyajian angka-angka ini nantinya akan menjadi dasar pemberian opini oleh BPK atas laporan keuangan.

Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2020 yang dikeluarkan BPK menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan atas laporan keuangan kementerian/lembaga (LKKL) dan laporan keuangan bendahara umum negara (LKBUN) tahun 2015-2019 menunjukkan perkembangan opini yang baik. Pada 2015, hanya 65% yang mendapatkan opini WTP. Akan tetapi, pada 2019, sudah 97% kementerian/lembaga di pemerintah pusat yang memperoleh opini WTP.

Untuk pemerintah daerah, perkembangan opini pun mengalami peningkatan yang baik. Pada 2015, ada 313 pemerintah daerah atau sekitar 58% yang mendapatkan opini WTP. Pada 2019, sudah 485 pemerintah daerah atau sekitar 90% berhasil memperoleh opini WTP. Angka ini adalah perhitungan secara total tanpa memperhitungkan fakta bahwa ada pemerintah pusat/daerah yang mengalami kenaikan atau penurunan opini.

Apabila opini atas laporan keuangan yang diberikan kepada suatu entitas adalah opini WTP, tentu saja kita menganggap bahwa entitas tersebut sudah melakukan pengelolaan keuangan negara/daerah dengan baik dan akuntabel. Namun, kenyataan bahwa masih ada praktik korupsi yang dilakukan oleh para pejabat meskipun laporan keuangan yang dihasilkan entitasnya telah mendapatkan opini WTP. Ini membuat kita berpikir kembali, apakah opini yang baik berarti tidak ada kemungkinan untuk terjadi korupsi atau fraud? Sayangnya tidak demikian kenyataannya.

Contoh kasus korupsi yang menjerat kepala daerah yang laporan keuangannya memperoleh opini WTP adalah bupati Indramayu yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Oktober 2019. Dia terjerat kasus dugaan suap proyek jalan di Dinas PUPR Indramayu. Kasus lain yang baru-baru ini terjadi adalah penangkapan bupati Banggai Laut karena dugaan penerimaan suap pengadaan barang dan jasa (3/12/2020). Padahal Kabupaten Banggai Laut sudah mendapat opini WTP selama tiga tahun berturut-turut sejak 2017.

Jika opini tidak dapat menjadi tolok ukur untuk melihat ada tidaknya tindak korupsi di suatu entitas, apa dampak sebenarnya dari pemeriksaan atas laporan keuangan yang dilakukan BPK? Bukankah dari laporan keuangan seharusnya kita dapat melihat bagaimana kinerja dari entitas pembuat laporan keuangan tersebut?

Kemudian jika opini atas suatu laporan keuangan adalah WTP, bukankah seharusnya laporan keuangan tersebut sudah disajikan sesuai standar. Lalu sistem pengendalian intern sudah berjalan dengan baik, sudah patuh terhadap peraturan perundang-undangan, dan sudah diungkapkan secara cukup dan wajar untuk hal-hal yang material?

Pemeriksaan atas laporan keuangan yang dilakukan secara rutin oleh BPK merupakan salah satu usaha untuk mengurangi penyalahgunaan anggaran negara/daerah. Dengan pemeriksaan rutin, kesalahan administrasi dalam pertanggungjawaban dapat ditemukan dan dikoreksi. Ketidakpatuhan atas peraturan perundang-undangan dapat ditemukan. Kelemahan dalam sistem pengendalian intern yang memungkinkan timbulnya kesempatan untuk melakukan penyalahgunaan anggaran dapat diidentifikasi dan diperbaiki untuk pengendalian yang lebih baik di tahun berikutnya.

Teori GONE oleh Jack Bologne menyatakan bahwa korupsi dapat timbul karena ada keserakahan (Greed), kesempatan (Opportunity), kebutuhan (Needs), dan pengungkapan (Exposure) (Jaka Isgiyata, Indayani, & Eko Budiyoni, 2018). Sedangkan Robert Klitgaard menyatakan bahwa korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas (ditjenpas.go.id/teori-teori-korupsi).

Dengan pemeriksaan atas laporan keuangan yang rutin dilakukan oleh BPK, faktor kesempatan dan pengungkapan dapat diminimalisasi. Apabila atas laporan keuangan pemerintah pusat/daerah diberikan opini WTP, tentunya hal itu menunjukkan bahwa sistem pengendalian intern sudah berjalan baik. Sistem pengendalian intern yang berjalan baik akan memperkecil kesempatan terjadinya penyalahgunaan uang negara/daerah.

Selain itu, dalam laporan hasil pemeriksaan, BPK mengungkapkan masalah-masalah yang terjadi pada entitas pengelola keuangan negara/daerah. Laporan tersebut dapat digunakan sebagai bukti awal apabila ditemukan tindakan yang menimbulkan kerugian negara.

Dari dua kasus yang disebutkan tadi, kepala daerah Indramayu dan Banggai Laut ditangkap karena kasus suap. Suap tersebut terjadi antara rekanan dan kepala daerah. Di satu sisi, hal tersebut tidak mempengaruhi laporan keuangan. Ini karena uang yang diserahkan adalah uang milik rekanan. Sementara angka belanja yang tercantum dalam laporan keuangan tetap sesuai dengan bukti pertanggungjawaban yang ada. Di sisi lain, dengan adanya suap tersebut tentunya kontraktor akan mengurangkan biaya suap tersebut dari lelang yang dimenangkannya dan mempengaruhi kualitas proyek yang dikerjakannya.

Dalam melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan, BPK akan menguji kewajaran angka-angka yang tersaji dan dicocokkan dengan pertanggungjawaban yang ada. BPK menguji apakah kegiatan-kegiatan yang tercantum dalam laporan keuangan sudah dilaksanakan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. BPK menguji apakah prosedur-prosedur yang harus dilalui demi terselenggaranya kegiatan yang tercantum dalam laporan keuangan sudah dilaksanakan sesuai jenjang tanggung jawabnya untuk memastikan pengendalian intern sudah berjalan dengan baik.

Untuk mendeteksi kecurangan seperti suap, Kepala Subauditorat Jawa Timur I Rusdiyanto saaat wawancara dengan Republika menyampaikan bahwa BPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan prosedur seperti penyadapan. Dengn begitu BPK tidak bisa mendeteksi apakah ada praktik suap atau tidak.

Dari sisi lain, terdapat tren kenaikan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Jika kita melihat skor indeks persepsi korupsi (IPK), saat ini (per 2019) Indonesia mendapat skor 40 dari total skor 100. Skor ini meningkat jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (pada 2015-2018 skor IPK Indonesia adalah 36, 37, 37, dan 38 dari 100).

Dari pembahasan di atas, kita bisa melihat bahwa pemeriksaan atas laporan keuangan berpengaruh baik pada peningkatan tata kelola keuangan yang mengarah semakin berkurangnya peyalahgunaan atas keuangan negara/daerah. Tren peningkatan opini WTP pun sepertinya memang menggambarkan hal ini.

Akan tetapi, ada hal-hal lain yang ternyata menyebabkan korupsi tetap terjadi dan tidak cukup diantisipasi dengan pemeriksaan atas laporan keuangan saja. Misalnya faktor keserakahan dan tidak adanya akuntabilitas yang membarengi kekuasaan. Untuk mengantisipasi hal-hal seperti ini, pemeriksaan laporan keuangan yang secara rutin dilakukan memang dapat meningkatkan pengelolaan keuangan yang lebih baik. Selain itu, BPK juga perlu meningkatkan jenis pemeriksaan lainnya dan memastikan kompetensi pemeriksanya mumpuni untuk memberikan penilaian yang tepat.

01/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Pendapat BPK: Keberlanjutan Program Otsus Papua
Infografik

Pendapat BPK: Keberlanjutan Program Otsus Papua

by Admin 1 31/01/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyerahkan Pendapat BPK tentang Pengelolaan Dana Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua dan Papua Barat serta Pengelolaan atas Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kepada pemerintah. Pendapat BPK tersebut disampaikan oleh Ketua BPK Agung Firman Sampurna dan Anggota I BPK/Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara I Hendra Susanto kepada Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara, di Jakarta pada Kamis (21/1).

Kegiatan penyampaian pendapat kepada Pemerintah tersebut dilaksanakan berdasarkan Pasal 11 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK yang menyebutkan bahwa, BPK dapat memberikan pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, pemerintah pusat/daerah, lembaga negara lain, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya. Pendapat yang diberikan BPK termasuk di antaranya perbaikan di bidang pendapatan, pengeluaran, dan bidang lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Dalam Pendapat BPK tentang Dana Otsus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, BPK berpendapat agar pemerintah melanjutkan program otsus Papua dengan memperbaiki tata kelola dan membangun sistem yang menjamin akuntabilitas dan transparansi serta ukuran kinerja yang jelas. Hal ini dalam rangka mendorong laju pembangunan Papua agar tujuan program otsus Papua tercapai.

Sejak diberikan otsus, kesejahteraan masyarakat Provinsi Papua dan Papua Barat mengalami peningkatan. Hanya saja tingkat kesejahteraan provinsi tersebut masih lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya. Selain itu, tingkat kemandirian fiskal pemerintah daerah di Provinsi Papua dan Papua Barat termasuk dalam kategori belum mandiri. Pemerintah provinsi/kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat masih sangat bergantung pada dana otsus.

Dengan demikian, dana otsus masih diperlukan dalam rangka mencapai tujuan otsus Papua dengan melakukan perbaikan tata kelola dan sistem yang menjamin akuntabilitas dan transparansi serta ukuran kinerja yang jelas dalam rangka mendorong laju pembangunan Papua agar tujuan program otsus Papua tercapai.

31/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Grafis Hasil Pemeriksaan BPK Semester I Tahun 2020
InfografikSLIDER

BPK Ungkap 13.567 Permasalahan Senilai Rp8,97 Triliun

by Admin 1 30/01/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2020 memuat ringkasan dari 680 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang terdiri atas 634 (93 persen) LHP Keuangan, 7 (1 persen) LHP Kinerja, dan 39 (6 persen) LHP Dengan Tujuan Tertentu. BPK mengungkap 7.868 temuan yang memuat 13.567 permasalahan sebesar Rp8,97 triliun.

Hal itu meliputi 6.713 (50 persen) permasalahan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI) dan 6.702 (49 persen) permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebesar Rp8,28 triliun, serta 152 (1 persen) permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan sebesar Rp692,05 miliar.

Dari permasalahan ketidakpatuhan sebanyak 6.702 permasalahan, sebanyak 4.051 (60 persen) sebesar Rp8,28 triliun merupakan permasalahan ketidakpatuhan yang dapat mengakibatkan kerugian sebanyak 2.693 (66 persen) permasalahan sebesar Rp1,79 triliun, potensi kerugian sebanyak 433 (11 persen) permasalahan sebesar Rp3,30 triliun, dan kekurangan penerimaan sebanyak 925 (23 persen) permasalahan sebesar Rp3,19 triliun.

Atas permasalahan tersebut, entitas telah menindaklanjuti dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara/daerah/perusahaan selama proses pemeriksaan sebesar Rp670,50 miliar (8 persen) di antaranya sebesar Rp384,71 miliar (57 persen) merupakan penyetoran dari pemerintah pusat, BUMN, dan badan lainnya.

Selain itu, terdapat 2.651 (40 persen) permasalahan ketidakpatuhan dalam bentuk kesalahan administrasi. Dari 152 permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan sebesar Rp692,05 miliar, terdapat 39 (25 persen) permasalahan ketidakhematan sebesar Rp222,17 miliar, satu (1 persen) permasalahan ketidakefisienan sebesar Rp426,51 miliar, dan 112 (74 persen) permasalahan ketidakefektifan sebesar Rp43,37 miliar.

30/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara/Anggota III BPK Achsanul Qosasi
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Audit Universe Diharapkan Selesai Bulan Ini

by Admin 1 29/01/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berharap laporan audit universe terkait pemeriksaan penggunaan anggaran Covid-19 dapat selesai pada bulan ini. Anggota III BPK/Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara III Achsanul Qosasi menyatakan, BPK sudah melakukan audit komprehensif terhadap seluruh elemen keuangan negara (audit universe). Hal ini sebagai bagian dari respons pemerintah pusat dan daerah di Indonesia terhadap pandemi Covid-19.

Pemeriksaan, tutur Qosasi, dilakukan melalui tiga prosedur, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan laporan. Perencanaan sudah dilaksanakan pada Agustus. Sedangkan pelaksanaan pemeriksaan telah berjalan pada September hingga November 2020.

Dia pun berharap laporan pemeriksaan bisa dituntaskan pada januari 2021. “Kami berharap laporan ini bisa segera selesai bulan ini,” ungkap dia dalam webinar internasional bertajuk “Ensuring Transparency and Accountability in Covid-19 Pandemic: a Multi-Stakeholder Approach/Perspective”, beberapa waktu lalu.

Webinar yang digelar BPK pada Senin (11/1) tersebut dihadiri 750 peserta dari lembaga pemeriksa atau supreme audit institutions (SAI) di kawasan Asia, kementerian dan lembaga, akademisi, serta lembaga donor dan para pemeriksa BPK.

Webinar ini juga sekaligus menjadi forum untuk berbagi pengalaman dalam mengidentifikasi dan mengatasi risiko yang mungkin dapat menghambat transparansi dan akuntabilitas di masa pandemi.

Selain itu Achsanul menambahkan, karena cakupan pemeriksaan yang luas, maka prosesnya melibatkan banyak pihak. Bahkan BPK menggunakan big data sebagai bagian dari efektivitas proses pemeriksaan dan transformasi digital.

Audit komprehensif berbasis risiko dilakukan karena menjadi instrumen penting dan strategis dalam rangka memitigasi risiko tinggi yang timbul dalam situasi darurat. Audit komprehensif menggabungkan tujuan dari tiga jenis audit, yaitu audit keuangan, kinerja, dan kepatuhan.

BPK pada semester I 2020 telah melakukan kajian terhadap kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan dalam menangani pandemi Covid-19. Tujuannya untuk memberikan wawasan kepada pemerintah, DPR, dan pemangku kepentingan lainnya.

29/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Museum BPK, Ruang Belajar Publik yang Hidup dan Inklusif
  • Middle Income Trap, Jalan Terjal Menuju Indonesia Emas 2045
  • Hadiri Forum Risk and Governance Summit 2025, Wakil Ketua BPK Dorong Penerapan Tata Kelola Kolaboratif
  • HUT ke-80 RI, BPK Tegaskan Komitmen Kawal Cita-Cita Indonesia Emas 2045
  • Seru-Seruan Bareng TTS Warta
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Museum BPK, Ruang Belajar Publik yang Hidup dan...

    26/08/2025
  • Middle Income Trap, Jalan Terjal Menuju Indonesia Emas...

    21/08/2025
  • Hadiri Forum Risk and Governance Summit 2025, Wakil...

    20/08/2025
  • HUT ke-80 RI, BPK Tegaskan Komitmen Kawal Cita-Cita...

    19/08/2025
  • Seru-Seruan Bareng TTS Warta

    19/08/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id