Oleh: Muhammad, Pemeriksa pada BPK Perwakilan Prov. Nusa Tenggara Barat
Opini atas laporan keuangan merupakan hasil dari penilaian profesional auditor terhadap kewajaran penyajian informasi keuangan suatu entitas. Menurut Mulyadi (2013:19), opini auditor adalah pendapat yang diberikan atas laporan keuangan yang telah diaudit, secara keseluruhan dalam aspek penting, berdasarkan kesesuaian penyusunan laporan tersebut dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Dalam konteks pemeriksaan keuangan negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga negara memiliki mandat berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara oleh berbagai entitas, termasuk pemerintah pusat dan daerah, BUMN, BUMD, serta lembaga lainnya.
BPK melaksanakan tugasnya melalui tiga jenis pemeriksaan, yaitu pemeriksaan laporan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Untuk menjamin kualitas dan konsistensi pelaksanaan pemeriksaan, BPK menetapkan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), yang mencakup kerangka konseptual dan pernyataan standar pemeriksaan, meliputi standar umum, pelaksanaan, dan pelaporan. Selain itu, BPK juga menyediakan petunjuk teknis dan panduan pelaksanaan sebagai instrumen pendukung agar proses audit berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam pelaksanaan audit berdasarkan SPKN, auditor bertanggung jawab untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko yang dapat menyebabkan hasil pemeriksaan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Untuk itu, auditor merancang prosedur yang tepat dan melaksanakannya secara sistematis, dengan mempertimbangkan materialitas serta kecukupan dan ketepatan bukti yang dikumpulkan.
Bukti audit dapat berupa dokumen, komunikasi, observasi, atau pernyataan, dan diperoleh melalui berbagai metode seperti inspeksi, wawancara, dan analisis. Auditor juga harus menyeimbangkan antara biaya pengumpulan bukti dan nilai informasi yang diperoleh, tanpa mengabaikan prosedur penting. Penilaian materialitas, baik dari sisi jumlah maupun kualitas informasi, menjadi acuan dalam menyusun rencana, jadwal, dan ruang lingkup audit, serta membutuhkan pertimbangan profesional dan sikap skeptis yang tinggi.
Setelah auditor menyelesaikan proses pemeriksaan dengan mempertimbangkan risiko, materialitas, serta kecukupan dan ketepatan bukti, langkah berikutnya adalah menyusun opini atas laporan keuangan. Opini ini mencerminkan kesimpulan profesional auditor terhadap kewajaran penyajian informasi keuangan. Secara umum, terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan: Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), yang menunjukkan bahwa laporan keuangan telah disusun secara wajar dalam semua aspek material; Wajar Dengan Pengecualian (WDP), yang berarti terdapat beberapa penyimpangan atau pembatasan namun tidak memengaruhi keseluruhan laporan secara signifikan; Tidak Wajar, yang diberikan jika laporan keuangan mengandung salah saji material yang berdampak luas; dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP), yang terjadi ketika auditor tidak memperoleh bukti yang cukup untuk membentuk opini. Pemilihan jenis opini ini sangat bergantung pada hasil evaluasi auditor terhadap temuan pemeriksaan dan tingkat materialitas dari permasalahan yang ditemukan.
Dalam praktiknya, opini yang diberikan oleh auditor tidak hanya mencerminkan hasil teknis pemeriksaan, tetapi juga mempertimbangkan konteks dan dampak dari temuan yang ada. Sebagai contoh, dalam laporan keuangan Pemerintah Daerah, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), namun disertai dengan paragraf penekanan terkait pengelolaan dana hibah yang belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Meskipun secara keseluruhan laporan keuangan dianggap wajar, auditor merasa perlu menyoroti aspek tertentu yang berpotensi signifikan bagi pengguna laporan.
Sebaliknya, pada Pemerintah Daerah lainnya, BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) karena ditemukan permasalahan dalam pengelolaan belanja barang dan jasa, seperti ketidaksesuaian antara realisasi dan dokumen pendukung, serta kelemahan dalam proses pengadaan. Temuan tersebut dinilai cukup material sehingga memengaruhi sebagian penyajian laporan keuangan, namun tidak sampai menurunkan kewajaran secara keseluruhan.
Kedua contoh tersebut menunjukkan bagaimana auditor menggunakan pertimbangan profesional dalam menyampaikan opini yang tidak hanya akurat secara teknis, tetapi juga informatif bagi pemangku kepentingan
Sebagai lembaga audit negara, BPK memikul tanggung jawab besar dalam menjaga objektivitas dan kualitas opini yang diberikan. Dalam proses tersebut, auditor dihadapkan pada tantangan untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dasar BPK, yaitu independensi, integritas, dan profesionalisme, di tengah tekanan eksternal dan ekspektasi publik. SPKN secara tegas mengamanatkan bahwa auditor harus bersikap tidak memihak dan bebas dari pengaruh luar, baik dalam pemikiran maupun penampilan, guna menjaga objektivitas dan menghindari konflik kepentingan.
Integritas menjadi cerminan karakter auditor yang utuh, jujur, dan memiliki komitmen terhadap tugas serta kompetensi yang memadai. Profesionalisme menuntut auditor untuk menjalankan tugas dengan keahlian, ketelitian, dan kehati-hatian, berlandaskan pada standar pemeriksaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pelaksanaan audit, sikap skeptis yang sehat dan penggunaan pertimbangan profesional menjadi elemen penting dalam menjaga kualitas hasil pemeriksaan.
Untuk memastikan nilai-nilai tersebut tetap terjaga, BPK menerapkan mekanisme internal seperti rotasi penugasan, pengendalian dan penjaminan mutu, evaluasi kinerja berbasis etika dan kompetensi. Auditor juga diwajibkan menandatangani pernyataan bebas konflik kepentingan sebelum melaksanakan tugas. Mekanisme ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga menjadi bagian dari budaya organisasi yang menanamkan nilai-nilai luhur dalam setiap proses pemeriksaan.
Namun, menjaga nilai-nilai dasar bukanlah hal yang mudah. Auditor sering kali menghadapi tekanan dari pihak berkepentingan, dinamika politik, serta kompleksitas pengelolaan keuangan negara. Dalam situasi seperti ini, integritas pribadi dan dukungan institusional menjadi kunci untuk menjaga profesionalisme dan menghindari kompromi yang dapat merugikan akuntabilitas publik.
Sebagai bentuk penguatan dari dalam institusi, BPK terus melakukan pembinaan melalui pelatihan berkelanjutan, pengembangan etika profesi, dan sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system) yang aman. Pembaruan regulasi internal dan peningkatan kualitas supervisi juga menjadi bagian dari strategi kelembagaan untuk menjaga kredibilitas auditor.
Peran auditor negara sangat strategis sebagai penjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan publik. Melalui pemeriksaan yang independen dan profesional, auditor memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa dana publik dikelola secara bertanggung jawab. Opini yang diberikan bukan hanya hasil teknis, tetapi juga mencerminkan integritas dan kompetensi dalam menilai kewajaran laporan keuangan.
Menjaga independensi, integritas, dan profesionalisme bukan sekadar tuntutan etis, melainkan syarat mutlak bagi keberhasilan fungsi audit negara. Publik perlu didorong lebih memahami makna opini BPK agar tidak hanya terjebak pada simbol ‘WTP’ semata. Diperlukan sistem yang kuat, budaya organisasi yang sehat, serta individu yang berkomitmen tinggi terhadap nilai-nilai dasar BPK. Penguatan kapasitas auditor harus dilakukan secara berkelanjutan, disertai pengawasan yang efektif dan dukungan kelembagaan yang memadai, agar peran auditor sebagai penjaga akuntabilitas negara dapat dijalankan secara optimal dan berkelanjutan.
Opini dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili sikap resmi Redaksi Warta BPK. Tanggung jawab isi tulisan sepenuhnya berada pada penulis.