WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Monday, 21 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Category:

BPK Bekerja

Ketua BPK Agung Firman Sampurna
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

BPK Tangguh Melaksanakan Oversight

by Super Admin 19/01/2021
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Untuk memberikan nilai dan manfaat BPK bagi pemangku kepentingan, BPK berupaya untuk meningkatkan peran insight dan foresight. Meskipun demikian, upaya tersebut tidak menghilangkan peran oversight BPK.

Hal itu diperkuat dengan misi BPK yang kedua dalam Renstra BPK 2020-2024, yaitu, “Mendorong pencegahan korupsi dan percepatan penyelesaian ganti kerugian negara”.

Dengan misi itu, maka selain meningkatkan peran insight dan foresight, BPK juga tetap menjalankan fungsi oversight dan diharapkan menjadi lebih tangguh lagi menjalankan fungsi tersebut.

Peran oversight ini dilakukan untuk memastikan entitas pemerintah melakukan tata kelola keuangan negara yang baik serta patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peran ini dilakukan dengan mendorong upaya pemberantasan korupsi, peningkatan transparansi, serta menjamin pelaksanaan akuntabilitas, serta peningkatan ekonomi, efisiensi, etika, nilai keadilan, dan keefektifan.

Ketangguhan BPK dalam menjalankan peran oversight ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2020. BPK menemukan permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan baik pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan badan lainnya sebesar Rp8,28 triliun. Permasalahan ini telah ditindaklanjuti oleh entitas yang diperiksa, antara lain dengan penyerahan aset atau penyetoran ke kas negara/daerah/perusahaan sebesar Rp670,50 miliar.

Peran oversight juga ditunjukkan dalam hasil pemeriksaan BPK yang mengungkapkan permasalahan koreksi subsidi energi, subsidi bunga kredit, kewajiban pelayanan umum bidang angkutan umum, serta dana kompensasi yang diajukan PT PLN dan PT Pertamina sebesar Rp4,77 triliun.

Hal ini pula yang ditegaskan Ketua BPK Agung Firman Sampurna dalam sambutan penyerahan IHPS I 2020 di Gedung DPR, Jakarta, Senin (9/11) yang menyatakan, “BPK telah membantu pemerintah untuk menghemat pengeluaran negara dengan melakukan koreksi subsidi dan dana kompensasi sebesar Rp4,77 triliun”.

Upaya BPK dalam pencegahan timbulnya kerugian negara dan pemberantasan korupsi ini telah memperoleh dukungan dari Mahkamah Konstitus(MK), yaitu dengan tidak menerima permohonan uji materi terkait dengan kewenangan BPK melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Hal ini pernah dinyatakan Kepala Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum BPK Blucer Welington Rajagukguk, “MK dalam amar putusannya menyebut, PDTT masih diperlukan untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara”.

Selain pemeriksaan, peran oversight juga dilakukan BPK, kata Blucer, antara lain dengan mendorong entitas melakukan mempercepat penyelesaian ganti kerugian negara melalui kegiatan pemantauan. Tingkat penyelesaian ganti kerugian negara/daerah pada periode 2005 sampai 30 Juni 2020 dengan status yang telah ditetapkan tercatat sebesar Rp3,43 triliun. Tingkat penyelesaian yang terjadi pada periode 2005 sampai 30 Juni 2020 menunjukkan terdapat angsuran sebesar Rp336,31 miliar (10 persen), pelunasan sebesar Rp1,33 triliun (39 persen), dan penghapusan sebesar Rp107,85 miliar (3 persen).

19/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Auditor Utama Investigasi BPK Hery Subowo
BeritaBPK Bekerja

Begini Cara BPK Menentukan Kerugian Negara

by Super Admin 18/01/2021
written by Super Admin


JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki peran penting dalam proses penegakan hukum terkait perkara yang menyebabkan kerugian negara. BPK memiliki kewenangan melakukan penghitungan kerugian negara dan memberikan keterangan ahli, baik dalam proses penyidikan maupun di ranah persidangan.

Auditor Utama Investigasi BPK Hery Subowo mengatakan, sebelum BPK menyampaikan hasil penghitungan kerugian negara dan memberikan keterangan ahli di persidangan, harus dilakukan pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan tersebut akan menentukan jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari sebuah tindak pidana korupsi atau fraud.

Dalam proses kerja tersebut, BPK bersinergi dengan aparat penegak hukum (APH) baik dari kejaksaan, kepolisian, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  “Meski kasus yang ditelusuri adalah kasus yang pernah diperiksa BPK, bisa jadi ada tambahan data lain karena ada kewenangan yang bisa dikerjakan oleh APH,” kata Hery kepada Warta Pemeriksa di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Hery mengatakan, penyidik bisa menyita, menahan, menggeledah, maupun menyadap untuk mengumpulkan alat bukti. Sementara, BPK tidak bisa melakukan itu. Data yang dimiliki penyidik kemudian dievaluasi BPK berdasarkan kriteria relevan, kompeten, dan cukup (RKC). “Meski datanya berasal dari APH, BPK tetap harus mengkritisi data itu,” kata Hery.

Hal itu, kata Hery, adalah upaya untuk mewujudkan collaborative evidence. Sehingga, bukti-bukti yang dikumpulkan kuat dan lengkap sebelum dibawa ke persidangan.

Hery menyampaikan, perbuatan melawan hukum menyangkut unsur kesengajaan. Dia mengatakan, orang melakukan fraud bisa dikarenakan lalai, tidak tahu, atau sengaja. Faktor penyebab fraud itu harus dipastikan terlebih dahulu. Sebab, kelalaian atau ketidaktahuan bukan perbuatan korupsi. Hal itu kemudian dapat diselesaikan dengan tuntutan ganti rugi melalui hukum administrasi keuangan negara.

Sementara, fraud yang disengaja itu memiliki ciri-ciri terencana. Hery mencontohkan, sejak awal pelaku fraud akan membentuk anggaran, kemudian memilih rekanan tertentu untuk pengadaan, mengurangi spesifikasi barang, dan kemudian memperoleh selisih harga atas barang yang dibeli. Selisih harga atau margin itu kemudian dibagikan dan uangnya mengalir ke berbagai pihak.

“Itu contoh rencana jahat yang dikerjakan secara berkaitan satu sama lain dan apabila penyimpangan itu terjadi berurutan itulah lambang kesengajaan. Inilah yang harus diungkap,” kata Hery.

18/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Mahkamah Konstitusi (MK)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

PDTT Perkuat Pemeriksaan BPK

by Super Admin 17/01/2021
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Mahkamah Konstitusi memutuskan permohonan uji materi terkait pengujian ketentuan mengenai kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) tidak dapat diterima. Dalam putusan yang dibacakan pada 26 Oktober 2020 itu, MK menegaskan kembali bahwa PDTT adalah wewenang konstitusional BPK.

Kepala Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum BPK Blucer Welington Rajagukguk menyampaikan, salah satu pertimbangan MK dalam putusan tersebut yakni pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan. Selain itu, MK dalam amar putusan juga menyampaikan, PDTT masih dibutuhkan untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

PDTT merupakan upaya untuk menjaga agar hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK dapat dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan secara tepat dan benar.

Dalam persidangan, kata Blucer, BPK fokus pada legal standing pemohon. BPK pun menjelaskan kewenangannya adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

“Jadi kalau pemohon sebagai pembayar pajak merasa dirugikan hak konstitusionalnya justru terbalik. Karena BPK ini justru menjaga pengelolaan keuangan negara dilakukan secara sebaik-baiknya dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk menjaga kepercayaan pembayar pajak kepada pemerintah,” ungkap Blucer kepada Warta Pemeriksa, beberapa waktu lalu.

Sementara itu, secara substansi BPK menjelaskan kaitan PDTT dengan pemeriksaan lainnya. Salah satu hal yang dibahas dalam persidangan adalah kewenangan BPK melakukan PDTT meski entitas tersebut sudah mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) laporan keuangannya.

Blucer menjelaskan, pemberian opini dalam LHP laporan keuangan untuk menilai kewajaran penyajian laporan keuangan tersebut. “Apakah sudah disajikan wajar atau belum berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dalam program pemeriksaan,” kata Blucer.

Blucer mengatakan, PDTT dapat dilakukan berdasarkan rencana kerja dari masing-masing Auditorat Utama Keuangan Negara (AKN) BPK maupun berdasarkan permintaan seperti dari lembaga perwakilan atau aparat penegak hukum. PDTT tidak saja sangat dibutuhkan untuk meningkatkan akuntabilitas dan membantu entitas dalam mengatasi masalah pengelolaan keuangan negara, tetapi juga menjadi instrumen penting dan strategis dalam upaya mendeteksi dan mencegah tindak pidana korupsi.

Terkait dengan potensi penyalahgunaan kekuasaan PDTT, Blucer menjelaskan, pemeriksaan BPK tidak terpisahkan dengan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga negara lainnya seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sehingga, terjadi praktik check and balance dalam setiap pelaksanaan tugas BPK.

“Kewenangan PDTT juga adalah praktik yang dijalankan di lingkup internasional dan kita tidak membuat PDTT secara serta merta,” ungkapnya.

BPK pun memiliki perangkat untuk mencegah adanya penyalahgunaan kewenangan yakni dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Dalam standar tersebut diatur mengenai quality control dan quality assurance dalam pemeriksaan. Selain itu, pemeriksa BPK juga memiliki kode etik dalam pelaksanaan tugasnya.

17/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Direktorat Jenderal Pajak
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

BPK Minta Piutang Pajak Dibenahi

by Super Admin 16/01/2021
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan beberapa permasalahan mengenai pengelolaan piutang dalam pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2019. Permasalahan tersebut mencakup ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan maupun permasalahan kelemahan sistem pengendalian internal (SPI).

Terkait dengan pengelolaan piutang perpajakan, khususnya piutang perpajakan yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak (DJP), BPK menemukan permasalahan dalam penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP). Dalam hal ini, DJP belum menerbitkan STP atas kekurangan setor pokok pajak sebesar Rp12,64 triliun dan keterlambatan penyetoran pajak dengan sanksi sebesar Rp2,69 triliun.

Dengan demikian, ada kekurangan penerimaan yang masih harus ditagih kepada wajib pajak (WP) per 31 Desember 2019 sebesar Rp15,33 triliun.

Permasalahan lainnya terkait pengelolaan piutang perpajakan di DJP adalah masih ditemukannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan secara manual tanpa melalui sistem informasi di DJP dan terlambat dimasukkan ke dalam sistem informasi. Permasalahan ini tentunya berdampak pada kelengkapan dan keakuratan penyajian nilai piutang perpajakan karena STP dan SKP merupakan dokumen sumber yang digunakan DJP sebagai dasar pencatatan dan penagihan piutang pajak

Terkait dengan permasalahan piutang perpajakan yang dikelola DJP ini, BPK mendorong DJP membuat sistem informasi yang andal dalam pembaruan data piutang pajak. Dengan begitu, data yang disajikan dalam laporan keuangan benar-benar merupakan angka valid dan reliable.

Selain itu, BPK juga mendorong DJP untuk melakukan sharing data dengan Mahkamah Agung (MA) terkait putusan-putusan maupun upaya hukum wajib pajak. Tujuannya untuk mengetahui apakah upaya hukum wajib pajak telah memiliki putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) atau belum dan apa saja keputusannya.

Sebagai informasi, LKPP 2019 menyajikan nilai piutang sebesar Rp358,47 triliun atau sebesar 3,42 persen dari nilai aset pemerintah pusat sebesar Rp10.467,53 triliun. Nilai piutang ini terdiri dari piutang perpajakan sebesar Rp94,69 triliun dan piutang non-perpajakan sebesar Rp263,77 triliun.

16/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
BeritaBPK BekerjaSLIDER

Belum Semua Parpol Patuhi Amanah Penggunaan Banparpol

by Super Admin 15/01/2021
written by Super Admin

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Sesuai ketentuan perundang-undangan, dana bantuan partai politik (banparpol) diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat. Akan tetapi, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan, penggunaan dana banparpol dari APBN maupun APBD masih tak sesuai prioritas tersebut.

Hal tersebut ditemukan BPK dalam pemeriksaan laporan pertanggungjawaban (LPJ) banparpol dari dewan pimpinan pusat (DPP) parpol maupun dari dewan pimpinan wilayah/daerah/cabang (DPW/D/C) tahun 2019. Pemeriksaan dilakukan pada semester I 2020.

Dikutip dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2020, hasil pemeriksaan atas LPJ banparpol dari APBN tahun 2019 mengungkapkan seluruh DPP parpol telah menerima dana banparpol melalui rekening parpol. Kemudian, terdapat satu DPP yang mempertanggungjawabkan penggunaan dana banparpol tidak sesuai dengan jumlah yang diterima dari pemerintah dan masih menyimpan sebagian dana tersebut pada rekening DPP.

Seluruh DPP juga telah melampirkan bukti pertanggungjawaban secara lengkap dan absah. “Terdapat satu DPP yang menggunakan banparpol tidak sesuai dengan prioritas menurut ketentuan yang berlaku,” demikian dinyatakan BPK dalam IHPS I 2020.

Hal sama ditemukan BPK dalam pemeriksaan banparpol yang bersumber dari APBD. Masih terdapat DPW/D/C parpol yang menggunakan dana banparpol tidak diprioritaskan untuk pelaksanaan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat.

Selain itu, masih terdapat DPW/D/C parpol yang menerima dana banparpol tidak melalui rekening parpol, mempertanggungjawabkan jumlah banparpol tidak sama dengan jumlah yang disalurkan pemerintah daerah, serta tidak melampirkan bukti pertanggungjawaban yang lengkap dan sah atas LPJ yang disampaikan kepada BPK.

Sebagai informasi, sesuai UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, ada tiga jenis kegiatan pendidikan politik yang diamanahkan untuk dilakukan dengan menggunakan dana banparpol. Pertama, pendalaman  mengenai  empat  pilar  berbangsa  dan  bernegara, yaitu  Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, pemahaman  mengenai  hak  dan  kewajiban  warga  negara  Indonesia  dalam membangun etika dan budaya politik. Sedangkan yang ketiga adalah pengkaderan anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan.

Sumber ilustrasi: www.kpu.go.id

15/01/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Audit BPK Ungkap Tantangan Ekonomi Biru Indonesia
  • Majalah Warta BPK Edisi April 2025
  • Transformasi Digital Dorong Efisiensi Keuangan Negara
  • Selamat! Ini Dia Pemenang Kuis WartaBPK.Go!
  • Sampaikan Hasil Pemeriksaan, BPK Rekomendasikan IMO Perkuat Manajemen Aset dan Anggaran
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Audit BPK Ungkap Tantangan Ekonomi Biru Indonesia

    17/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi April 2025

    16/07/2025
  • Transformasi Digital Dorong Efisiensi Keuangan Negara

    11/07/2025
  • Selamat! Ini Dia Pemenang Kuis WartaBPK.Go!

    10/07/2025
  • Sampaikan Hasil Pemeriksaan, BPK Rekomendasikan IMO Perkuat Manajemen...

    10/07/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id