WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
WartaBPK.go
  • BERANDA
  • ARTIKEL
    • Berita Terkini
    • BERITA FOTO
    • Suara Publik
  • MAJALAH
  • INFOGRAFIK
  • SOROTAN
  • TENTANG
Sunday, 20 July 2025
WartaBPK.go
WartaBPK.go
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak
Copyright 2021 - All Right Reserved
Category:

BPK Bekerja

Gedung BPK
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Pulihkan Kerugian Negara Puluhan Triliun, BPK Perkuat Tuntutan Perbendaharaan

by Admin 1 16/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tak hanya menjalankan fungsi pemeriksaan dan rekomendasi dalam mengawal dan menyelamatkan harta negara. BPK juga menjalankan fungsi kuasi yudisial.

Sesuai pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK berwenang menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

Untuk menjalankan fungsi kuasi yudisial, BPK membentuk Majelis Tuntutan Perbendaharaan (MTP). Melalui MTP, BPK melakukan proses Tuntutan Perbendaharaan (TP) yang ditujukan terhadap bendahara yang merugikan negara dan memberikan pertimbangan kepada pemerintah atas proses tuntutan ganti rugi (TGR) terhadap pegawai negeri bukan bendahara yang merugikan keuangan negara.

Kepala Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara, Blucer Wellington Rajagukguk mengatakan, pemeriksaan BPK dalam kurun waktu 2009 hingga semester I 2020 mengungkap sebanyak 257.136 permasalahan dengan nilai uang sebesar Rp501,29 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 49.548 permasalahan di antaranya atau 19,27 persen merupakan masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berindikasi kerugian negara atau daerah. “Angkanya sebesar Rp34,65 triliun dengan rata-rata kerugian sebesar Rp3 triliun per tahunnya,” kata Blucer kepada Warta Pemeriksa, beberapa waktu lalu.

Blucer mengatakan, dari nilai kerugian sebesar Rp34,65 triliun, baru sebesar Rp3,43 triliun atau 9,9 persen yang telah memperoleh penetapan dengan nilai kerugian yang telah dipulihkan sebesar Rp1,77 triliun. Artinya, ujar Blucer, hanya kerugian sebesar Rp3,43 triliun yang telah valid dan penanggung jawab kerugian telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang.

“Memang untuk penyelesaian ini menurut saya cukup memprihatinkan, karena kalau kita lihat kurang dari 10 persen dari total yang terindikasi sebagai kerugian negara,” ucap dia.

Persoalan-persoalan ini menurut dia menjadi tantangan besar karena ada potensi mengalami kedaluwarsa. Padahal angka kerugiannya mencapai triliunan rupiah. Oleh karena itu, pihaknya intensif menjalin komunikasi dengan AKN maupun kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.

Blucer menegaskan, keberadaan Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi (TP-TGR) sangat penting. Ia menjelaskan, Majelis TP-TGR menyelesaikan persoalan kerugian negara yang dilakukan bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

16/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Jiwasraya
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Sinergi BPK untuk Usut Jiwasraya

by Admin 1 15/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki hubungan yang erat dengan para penegak hukum dalam upaya pencegahan serta pemberantasan korupsi di Tanah Air, tak terkecuali dengan Kejaksaan Agung RI. Sinergi BPK dengan Kejaksaan Agung salah satunya dilakukan pada pengungkapan kasus gagal bayar yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Menurut Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono, sinergi dengan BPK membuat penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi lebih efektif. Ali mengatakan, sinergi yang dapat dijadikan contoh dalam penyelesaian penanganan perkara tindak pidana korupsi adalah kerja sama dalam percepatan penanganan perkara tindak pidana korupsi Asuransi Jiwasraya.

Ali melalui wawancara tertulis kepada Warta Pemeriksa pada Desember lalu menjelaskan, kerja sama tim penyidik pada Jampidsus dan tim pemeriksa pada BPK dilakukan secara simultan dengan respons yang cepat, tukar menukar data yang up to date. Selain itu, dibarengi dengan koordinasi yang secara terus menerus dilakukan.

“Berkat koordinasi itu, proses penyidikan dan audit forensik serta penghitungan kerugian keuangan negara bisa dilakukan lebih efektif karena dilakukan klarifikasi bersama untuk mendapatkan alat bukti,” kata Ali.

Dalam melakukan sinergi, kata dia, tim penyidik pada Jampidsus melakukan analisa hukum dari alat bukti yang ditemukan. Di sisi lain, tim pemeriksa BPK melakukan analisis akuntansi terhadap alat bukti yang telah ditemukan oleh tim penyidik.

“Dengan demikian, kausalitas antara unsur perbuatan melawan hukum dengan unsur kerugian keuangan negara menjadi analisis yuridis yang komprehensif sebagai suatu perbuatan yang voltooid,” kata dia.

Seperti diketahui, BPK mampu menepati komitmennya untuk menyelesaikan penghitungan kerugian negara dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada awal Maret 2020. Laporan juga telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung dan diumumkan kepada publik pada 9 Maret 2020.

Pemeriksaan Investigatif dalam rangka Penghitungan Kerugian Negara atas Pengelolaan Keuangan dan Dana Investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Tahun 2008-2018 dilakukan untuk menindaklanjuti permintaan Kejaksaan Agung pada 30 Desember 2019. 

Berdasarkan perhitungan BPK. kerugian negara dalam kasus Jiwasraya sebesar Rp16,81 triliun. Kerugian negara tersebut terdiri atas kerugian dari investasi saham sebesar Rp4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi reksa dana sebesar Rp12,16 triliun.

Jauh sebelum mencuatnya kasus gagal bayar dan terkuaknya dugaan korupsi di Jiwasraya, BPK sebetulnya sudah sejak lama menemukan adanya ketidakberesan dalam tubuh perusahaan asuransi jiwa tertua di Tanah Air tersebut. Ketidakberesan itu terungkap dalam sejumlah pemeriksaan yang telah dilakukan, mulai dari pemeriksaan laporan keuangan hingga pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).

Pada 2016, misalnya, BPK melakukan PDTT atas Pengelolaan Bisnis Asuransi, Investasi, Pendapatan, dan Biaya Operasional Jiwasraya untuk tahun 2014-2015.

Ada 16 poin temuan pemeriksaan, antara lain pertanggungjawaban penggunaan dana aktivitas pada beberapa kantor Jiwasraya sebesar Rp2,5 miliar belum tertib. Kemudian, pengelolaan dan pengawasan atas properti investasi tidak sesuai ketentuan.

Sementara dalam pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern (SPI) pada tahun buku 2009- 2010 (semester I), BPK menyimpulkan rancangan dan terapan SPI Jiwasraya tidak sesuai dengan praktik good corporate governance pada badan usaha milik negara (BUMN).

15/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Covid-19 (Ilustrasi) Sumber: Freepik
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Terkait Covid-19, BPK Periksa Pembuat Kebijakan Hingga Penerima Manfaat (Bagian 3-Habis)

by Admin 1 14/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Selain aspek regulasi dan keuangan negara, pemeriksaan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas penanganan Covid-19 juga mencakup aspek pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Kepala Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara BPK Bernardus Dwita Pradana menjelaskan, sesuai UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU BPK, pengelolaan keuangan negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.

Sedangkan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara adalah kewajiban pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Dwita mengatakan, salah satu yang diperiksa dalam hal pengelolaan mengenai refocusing dan realokasi serta pelaksanaan program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PCPEN). BPK menelisik bagaimana proses perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan atau penyerapannya.

“Misalnya, mengapa penyerapan anggaran rendah? Apakah ada masalah dalam proses penganggaran dan penetapan DIPA? Di mana titik masalahnya, apakah di satker atau di kementerian keuangan atau dua-duanya?” kata Dwita saat berbincang dengan Warta Pemeriksa di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Setelah itu, kata Dwita, BPK melakukan pendalaman terhadap para pemangku kepentingan, yaitu para pembuat kebijakan, para pelaksana kebijakan dan masyarakat penerima manfaat. “Sedangkan mengenai tanggung jawab keuangan negara, kita cari tahu bagaimana kualitas dan tanggung jawab pemerintah dalam melaksanakan pengelolaan tersebut. Apakah tertib, taat hukum, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan,” ucap Dwita.

Mengenai pemeriksaan terhadap penyaluran bantuan, BPK akan terjun langsung untuk memeriksa penyalurannya sampai kepada masyarakat penerima manfaat. Seperti diketahui, pemerintah memberikan begitu banyak program bantuan kepada masyarakat dalam penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, antara lain program bansos, sembako, insentif usaha, subsidi bunga UMKM, hingga bantuan subsidi gaji pekerja.

“Kita akan memeriksa apakah semuanya telah diterima oleh penerima yang berhak dan apakah seluruh transaksi telah dicatat, dilaporkan, dan dipertanggungjawabkan sesuai asersi,” kata dia.

Sumber ilustrasi: Freepik

14/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Covid-19 (Ilustrasi)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

BPK Periksa Seluruh Keuangan Negara Terkait Covid-19 (Bagian 2)

by Admin 1 13/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengerahkan seluruh kemampuan dan sumber daya untuk mengidentifikasi audit universe atas penanganan Covid-19  dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pemeriksaan dilakukan dari hulu ke hilir, mulai dari kerangka regulasi, program yang dilaksanakan pemerintah, pengelolaan dan penggunaan uang negara, hingga para penerima manfaat dari program atau kebijakan yang dibuat pemerintah.

Setelah aspek regulasi, aspek selanjutnya yang diperiksa BPK adalah keuangan negara sesuai pengertian dan lingkupnya sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara. Kepala Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara BPK Bernardus Dwita Pradana memaparkan, keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Oleh karena itu, pemeriksaan atas penanganan Covid-19 oleh BPK tak hanya dilakukan terhadap anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). BPK juga memeriksa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah  (APBD), dana Bank Indonesia, dana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dana BUMN/BUMD, dan dana masyarakat yang dikelola entitas pemerintah.

“Dengan demikian, dari sisi keuangan negara, pemeriksaan bukan hanya dilakukan untuk yang Rp695 triliun (anggaran Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional/PCPEN). Karena itu hanya salah satu unsur dari keuangan negara,” kata Dwita saat berbincang dengan Warta Pemeriksa di Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Ada lima hal yang diperiksa terkait keuangan negara dalam penanganan Covid-19. Kelima hal itu adalah refocusing dan realokasi anggaran, penanganan kesehatan, perlindungan sosial, penanganan dampak ekonomi dan keuangan, pengadaan barang/jasa dalam masa darurat bencana, serta manajemen penanggulangan bencana. Perlu diperhatikan pula pembagian PCPEN sebagai public goods dan non-public goods dalam konteks burden sharing pemerintah dan Bank Indonesia.

Dwita mengatakan, pemeriksaan atas keuangan negara dalam penanganan Covid-19 juga dilakukan terhadap sektor moneter dan stabilitas sistem keuangan. Ini karena Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendapatkan kewenangan luas dalam membantu menjaga stabilitas sistem keuangan di masa pandemi melalui UU Nomor 2 Tahun 2020. Salah satu perluasan kewenangan itu adalah melakukan pembelian Surat Utang Negara (SUN)/Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di pasar perdana. “BI sebenarnya tidak boleh beli di pasar perdana, harusnya di pasar sekunder. Tapi di UU (UU Nomor 2 Tahun 2020), BI diperbolehkan.”

LPS juga akan diperiksa. Sebab, LPS nantinya bertugas melakukan penyelamatan bank gagal non-sistemik dan penjaminan simpanan kelompok nasabah. “Sampai sekarang belum atau jangan sampai terjadi,” kata Dwita.

Unsur keuangan negara yang juga diperiksa adalah kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu BUMN dan BUMD. Ia mengatakan, selain menerima penugasan pemerintah melalui PEN, di BUMN juga terdapat dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan bina lingkungan yang turut dikucurkan untuk membantu penanganan Covid-19.

“Satu lagi adalah dana masyarakat yang dikelola entitas publik sebagai subyek keuangan negara. Contohnya adalah dana masyarakat yang diberikan kepada BNPB atau BPBD untuk disalurkan kepada penerima bantuan. Itu termasuk ke dalam unsur keuangan negara,” ujar Dwita.

Sumber ilustrasi: Freepik

13/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Covid-19 (Ilustrasi/Sumber: freepik)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Menelisik Aspek Regulasi Pemeriksaan Penanganan Covid-19 (Bagian 1)

by Admin 1 12/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengerahkan seluruh kemampuan dan sumber daya untuk mengidentifikasi audit universe atas Penanganan Covid-19  dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pemeriksaan dilakukan dari hulu ke hilir, mulai dari kerangka regulasi, program yang dilaksanakan pemerintah, pengelolaan dan penggunaan uang negara, hingga para penerima manfaat dari program atau kebijakan yang dibuat pemerintah.

Kepala Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara BPK Bernardus Dwita Pradana menjelaskan, audit universe bukan hal yang baru dalam dunia pemeriksaan. Dia menjelaskan, definisi audit universe adalah auditable areas atau area-area yang bisa diperiksa dalam suatu entitas.

“Dalam hal pemeriksaan penanganan Covid-19, maka yang menjadi entitas pemeriksaan adalah seluruh subjek keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UU Keuangan Negara,” kata Dwita kepada Warta Pemeriksa di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dwita mengatakan, UU Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan, BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

“Jadi, audit universe penanganan Covid-19 akan menyentuh aspek keuangan negara, pengelolaan keuangan negara dan tanggung jawab keuangan negara dalam penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional,” ujar Dwita.

Berpijak dari amanah yang diberikan kepada BPK dalam UU tersebut, kata Dwita, BPK kemudian merumuskan auditable areas dalam penanganan Covid-19. Dwita mengatakan, aspek pertama yang perlu dilihat adalah mengenai regulatory and implementation framework atau kerangka peraturan dan implementasinya. Kerangka regulasi jadi perhatian BPK karena hal tersebut menjadi acuan hukum pemerintah dalam melaksanakan program.

Sementara bagi BPK, kerangka regulasi menjadi landasan dalam menentukan kriteria pemeriksaan. Dwita menambahkan, ada setidaknya dua hal yang diperhatikan terkait regulatory and implementation framework di tingkat UU. Yang pertama, UU Penanggulangan Bencana dan UU Kesehatan.

“Di sini, kita harus melihat sejauh mana UU dan peraturan turunannya digunakan dalam menanggulangi bencana non alam pandemi Covid-19,” ujar Dwita.

Yang kedua, UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang.

Sumber ilustrasi: Freepik

12/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Pendapat BPK-Otsus Papua
BeritaBerita TerpopulerBPK Bekerja

BPK Usul Program Otsus Papua Dilanjutkan

by Admin 1 09/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyerahkan Pendapat BPK tentang Pengelolaan Dana Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua dan Papua Barat kepada pemerintah pada Kamis (21/1). BPK berpendapat agar pemerintah melanjutkan program otsus Papua dengan memperbaiki tata kelola dan membangun sistem yang menjamin akuntabilitas dan transparansi serta ukuran kinerja yang jelas. Hal ini dalam rangka mendorong laju pembangunan Papua agar tujuan program otsus Papua tercapai.

Sejak diberikan otsus, kesejahteraan masyarakat Provinsi Papua dan Papua Barat mengalami peningkatan. Hanya saja tingkat kesejahteraan provinsi tersebut masih lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya. Selain itu, tingkat kemandirian fiskal pemerintah daerah di Provinsi Papua dan Papua Barat termasuk dalam kategori belum mandiri. Pemerintah provinsi/kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat masih sangat bergantung pada dana otsus.

“Dengan demikian, dana otsus masih diperlukan dalam rangka mencapai tujuan otsus Papua dengan melakukan perbaikan tata kelola dan sistem yang menjamin akuntabilitas dan transparansi serta ukuran kinerja yang jelas dalam rangka mendorong laju pembangunan Papua agar tujuan program otsus Papua tercapai,” ungkap Pendapat BPK.

BPK juga mencatat, pemberian dana otsus dalam bentuk tunai dengan transfer daerah belum dikelola secara memadai dan menimbulkan terjadinya penyimpangan, sehingga memengaruhi efektivitas pencapaian tujuan otsus Papua. Selain memitigasi risiko penyalahgunaan dana tunai, pelaksanaan program otsus Papua dalam bentuk pembangunan infrastruktur fisik khususnya prasarana transportasi jalan dan jembatan akan meningkatkan aksesibilitas, lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan mempercepat pencapaian tujuan otsus Papua.

Selain itu, BPK juga menyoroti salah satu tantangan dalam pelaksanaan program otsus adalah mengenai entitlement dalam rangka kepastian hukum untuk membuka ruang investasi sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Papua.

Berdasarkan hal itu, BPK juga berpendapat agar pemerintah melaksanakan program otsus Papua yang diarahkan untuk meningkatkan aksesibilitas yang terkait infrastruktur fisik khususnya prasarana transportasi jalan dan jembatan. Oleh karena itu, dalam desain dan implementasinya program otsus Papua utamanya diarahkan untuk pembangunan infrastruktur, selain bantuan tunai dalam bentuk transfer ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Papua dan Papua Barat.

Pemerintah juga perlu membangun kesadaran tentang perlunya entitlement dalam rangka kepastian hukum untuk mengembangkan investasi di Provinsi Papua dan Papua Barat. Hal ini antara lain dengan membentuk task force yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Dengan begitu mendorong penciptaan lapangan kerja yang pada gilirannya dapat meningkatkan pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) dan kesejahteraan masyarakat Papua.

Selama periode 2002-2019 pemerintah telah menyalurkan dana otsus Papua sebesar Rp86,45 triliun dan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) sebesar Rp28,06 triliun atau total seluruhnya sebesar Rp114,51 triliun.

Terkait dengan sejumlah permasalahan yang belum terselesaikan, BPK memandang perlu untuk memberikan Pendapat kepada pemerintah agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perbaikan untuk keberlanjutan program otsus Papua.

Berdasarkan Pasal 11 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006, BPK dapat memberikan pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya.

Pendapat yang diberikan BPK termasuk di antaranya perbaikan di bidang pendapatan, pengeluaran, dan bidang lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

09/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Pendapat BPK-Otsus Papua
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

20 Tahun Otsus Papua, Ini Alasan BPK Terbitkan Pendapat

by Admin 1 08/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyerahkan Pendapat BPK tentang Pengelolaan Dana Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua dan Papua Barat kepada Pemerintah pada Kamis (21/1).

Sebelumnya, BPK telah melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dana otsus pada Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan beberapa pemerintah kabupaten/kota di kedua provinsi tersebut. Hasil pemeriksaan BPK periode 2008-2019 mengungkapkan adanya permasalahan mendasar dalam pengelolaan dana otsus Papua pada aspek regulasi, kelembagaan, dan sumber daya manusia.

Dari 1.500 rekomendasi hasil pemeriksaan BPK, sebanyak 527 atau 35 persen rekomendasi belum selesai ditindaklanjuti. “Hal ini menunjukkan masih banyak permasalahan yang belum terselesaikan, sehingga berdampak pada belum tercapainya tujuan otsus Papua,” seperti dikutip dari Pendapat BPK. 

Pelaksanaan Otsus Papua bermula sejak 2001 ketika Pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Selanjutnya, otsus tersebut juga berlaku bagi Provinsi Papua Barat selaku wilayah pemekaran dari Provinsi Papua.

Otsus Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), percepatan pembangunan ekonomi, serta peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain.

Selama periode 2002-2019 pemerintah telah menyalurkan dana otsus sebesar Rp86,45 triliun dan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) sebesar Rp28,06 triliun atau total seluruhnya sebesar Rp114,51 triliun.

Terkait dengan sejumlah permasalahan yang belum terselesaikan, BPK memandang perlu untuk memberikan pendapat kepada pemerintah agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perbaikan untuk keberlanjutan program otsus Papua.

Berdasarkan Pasal 11 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006, BPK dapat memberikan pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya.

Pendapat yang diberikan BPK termasuk di antaranya perbaikan di bidang pendapatan, pengeluaran, dan bidang lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

08/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Pendapat BPK mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Optimalkan Peran APBD dalam Pendanaan JKN

by Admin 1 06/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan enam poin Pendapat kepada pemerintah untuk mewujudkan kesinambungan kemampuan keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Pendapat ini diharapkan bisa meminimalkan defisit keuangan DJS Kesehatan.

Salah satu Pendapat yang disampaikan BPK adalah mendorong kolaborasi pendanaan dengan pemerintah daerah sehingga memberi ruang bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk berkontribusi dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pendapat ini merupakan bagian dari Pendapat BPK terkait Pengelolaan atas Penyelenggaraan Program JKN dalam hal pendanaan.

Dalam dokumen Pendapat BPK disebutkan, kontribusi pemerintah daerah (pemda) terkait dengan pendanaan program JKN untuk peserta di luar pekerja penerima upah penyelenggara negara (PPU PN) daerah baru terbatas pada pembayaran iuran untuk penduduk yang didaftarkan oleh pemda.

Jumlah penduduk yang didaftarkan oleh pemda sebagai peserta program JKN yang seluruh iurannya ditanggung oleh pemda (APBD) per 31 Desember 2019 hanya sebanyak 38.842.476 orang. Jumlah itu setara 17 persen dari total peserta program JKN dengan nilai iuran dari 2015-2019 sebesar Rp31,06 triliun.

Jika dibandingkan dengan nilai iuran yang ditanggung oleh APBN atas peserta penerima bantuan iuran (PBI), maka nilai iuran pemda hanya sebesar 23,65 persen dari nilai yang ditanggung APBN. Dengan demikian, masih terbuka peluang untuk meningkatkan sumber pendanaan program JKN dengan optimalisasi sumber dana yang berasal dari APBD.

Sebagai informasi, BPK menyampaikan Pendapat karena permasalahan dalam penyelenggaraan JKN yang ditemukan selama pemeriksaan pada 2015-2019 belum terselesaikan hingga saat ini.  BPK berwenang memberikan Pendapat berdasarkan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. BPK memberikan Pendapat terhadap permasalahan yang berulang dan masih belum terselesaikan dengan tujuan untuk menyelesaikannya demi perbaikan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 

Pendapat BPK terkait pengelolaan atas penyelenggaraan program JKN mencakup aspek kepesertaan, pelayanan, dan pendanaan. Secara keseluruhan ada 14 poin Pendapat yang disampaikan BPK.

06/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Pendapat BPK mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Enam Pendapat BPK untuk Atasi Defisit DJS Kesehatan

by Admin 1 05/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan enam poin Pendapat kepada pemerintah untuk mengatasi defisit keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Enam Pendapat tersebut merupakan bagian dari Pendapat BPK terkait Pengelolaan atas Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Dalam dokumen Pendapat BPK disebutkan, defisit dalam pendanaan penyelenggaraan program JKN terus terjadi meski pemerintah telah memberikan bantuan keuangan kepada DJS Kesehatan. Terkait hal tersebut, BPK berpendapat pemerintah harus segera mewujudkan kesinambungan kemampuan keuangan DJS Kesehatan, sehingga meminimalkan defisit keuangan.

Pendapat pertama BPK untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menyusun mekanisme pengumpulan iuran yang efektif untuk menjamin kolektibilitas dan validitas besaran iuran. Terutama dari segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).

Pendapat itu disampaikan BPK karena BPJS Kesehatan belum memiliki mekanisme pengumpulan iuran yang efektif, terutama untuk menjamin kolektibilitas dan validitas besaran iuran segmen PPU dan PBPU. Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan BPK, permasalahan defisit keuangan DJS Kesehatan, antara lain, disebabkan oleh pemungutan dan pengumpulan iuran dari peserta PPU dan PBPU yang belum optimal.

Sampai dengan saat ini, BPJS Kesehatan tidak dapat memastikan jumlah iuran dan penghasilan peserta PPU yang sebenarnya, karena hanya mengandalkan data dari pemberi kerja.

Selain itu, berdasarkan Laporan Keuangan DJS Kesehatan Tahun 2019 (audited), diketahui bahwa piutang iuran segmen PBPU sebesar Rp11,35 triliun dengan penyisihan piutang sebesar Rp10,40 triliun (93,33 persen). Hal ini menunjukkan bahwa peserta PBPU merupakan pembayar iuran dengan kolektibilitas rendah. Di sisi lain, segmen PBPU memiliki rasio klaim tertinggi (232,42 persen) dibandingkan segmen lainnya.

Pendapat kedua, melakukan reformasi besaran pembayaran kapitasi kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Ini dilakukan dengan mengacu pada standar besaran tarif dan capaian indikator kinerja yang merujuk pada kualitas pelayanan medis dan nonmedis yang diberikan, kelengkapan sumber daya kesehatan, serta kepatuhan dan komitmen dalam pencegahan kecurangan.

Ketiga, melakukan reformasi peran FKTP yang merupakan garda terdepan dalam sistem layanan kesehatan di Indonesia, melalui optimalisasi dana bidang kesehatan dari APBN/APBD di fasilitas kesehatan milik pemerintah dalam rangka meningkatkan upaya promotif, preventif, dan pola rujukan layanan kesehatan yang ideal.

Keempat, melakukan penyempurnaan aplikasi verifikasi klaim pelayanan kesehatan pada BPJS Kesehatan dengan mempertimbangkan risiko kecurangan yang mungkin terjadi.

Kelima, mengatasi defisit keuangan DJS Kesehatan sesuai dengan kemampuan fiskal. Sedangkan Pendapat keenam adalah mendorong kolaborasi pendanaan dengan pemerintah daerah sehingga memberi ruang bagi APBD untuk berkontribusi dalam program JKN.

05/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Pendapat BPK mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
BeritaBerita TerpopulerBPK BekerjaSLIDER

Perjelas Definisi Kebutuhan Dasar Kesehatan Program JKN

by Admin 1 04/02/2021
written by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan Pendapat kepada pemerintah terkait penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). BPK menyampaikan Pendapat karena permasalahan dalam penyelenggaraan JKN yang ditemukan selama pemeriksaan pada 2015-2019 belum terselesaikan hingga saat ini.

BPK berwenang memberikan Pendapat berdasarkan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. BPK memberikan pendapat terhadap permasalahan yang berulang dan masih belum terselesaikan dengan tujuan untuk menyelesaikannya demi perbaikan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Pendapat BPK terkait pengelolaan atas penyelenggaraan program JKN mencakup aspek kepesertaan, pelayanan, dan pendanaan. Secara keseluruhan ada 14 poin Pendapat yang disampaikan BPK.

Terkait aspek pelayanan, ada enam Pendapat yang disampaikan BPK atas enam permasalahan. Salah satu Pendapat BPK adalah  mendefinisikan “kebutuhan dasar kesehatan” secara jelas sesuai dengan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). BPK memberikan Pendapat ini karena pendefinisian “kebutuhan dasar kesehatan” dalam UU SJSN belum dinyatakan secara jelas.

BPK dalam dokumen Pendapat BPK menyatakan, terdapat permasalahan mendasar terkait definisi kebutuhan dasar di bidang kesehatan yang semestinya dijamin pemerintah. Pasal 19 Ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN menyatakan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Selanjutnya, Pasal 22 Ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Dalam penjelasan Pasal 22 Ayat (1) dinyatakan bahwa pelayanan kesehatan tersebut meliputi pelayanan dan penyuluhan kesehatan, imunisasi, pelayanan Keluarga Berencana, rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat dan tindakan medis lainnya, termasuk cuci darah dan operasi jantung.

Pelayanan tersebut diberikan sesuai dengan pelayanan standar, baik mutu maupun jenis pelayanannya dalam rangka menjamin kesinambungan program dan kepuasan peserta. Luasnya pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang dapat berubah dan kemampuan keuangan BPJS Kesehatan.

Kemudian, Pasal 3 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS menyebutkan bahwa BPJS bertujuan mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Dalam penjelasan Pasal 3 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan dasar hidup adalah kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sementara itu, Pasal 46 Ayat (1) Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menyatakan, setiap peserta berhak memperoleh manfaat jaminan kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Selanjutnya, ayat (2) menyatakan bahwa manfaat jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas manfaat medis dan manfaat nonmedis, dan ayat (4) menyatakan bahwa manfaat nonmedis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan berdasarkan besaran iuran peserta.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, diketahui bahwa cakupan atas pelayanan kesehatan pada program JKN sangat luas, karena definisi kebutuhan dasar belum diatur. Akibatnya, hampir seluruh klaim peserta dijamin oleh BPJS Kesehatan.

Pelayanan kesehatan yang cenderung tidak terbatas berakibat rasio klaim pelayanan kesehatan tahun 2019 mencapai 105,56 persen. Kondisi rasio klaim yang melebihi 100 persen tersebut juga terjadi pada tahun 2015, 2017, dan 2018, sehingga turut menyumbang akumulasi defisit Dana Jaminan Sosial Kesehatan tahun 2019.

Berikut enam Pendapat BPK mengenai Pengelolaan atas Penyelenggaraan Program JKN terkait aspek pelayanan.

BPK berpendapat bahwa pemerintah harus segera mewujudkan masyarakat peserta program JKN agar mendapatkan pelayanan yang optimal dengan:

1. Mendefinisikan Kebutuhan Dasar Kesehatan secara jelas sesuai dengan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004.

2. Memperluas penerapan penerbitan Surat Eligibilitas Peserta (SEP) dengan finger print dalam layanan administrasi baik pada tingkat FKTP maupun tingkat FKRTL.

3. Memetakan sumber daya kesehatan secara komprehensif dan menyusun pentahapan dalam rangka pemenuhan dan pemerataan sumber daya kesehatan di Indonesia.

4. Memperbaiki pengelolaan pemenuhan obat dengan melibatkan kementerian/lembaga/daerah, fasilitas kesehatan milik pemerintah/swasta, dan penyedia barang.

5. Mengefektifkan penapisan dan pembaruan teknologi kesehatan, menetapkan dan memutakhirkan PNPK secara berkala dan bertahap sesuai dengan skala prioritas, serta melakukan evaluasi atas aplikasi Diagnostic Related Group (Grouper) dalam rangka memperoleh alternatif solusi untuk mempercepat proses updating pada aplikasi grouper1 .

6. Melakukan evaluasi atas tarif INACBG’s2 untuk meningkatkan efisiensi dan memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan secara objektif.

04/02/2021
0 FacebookTwitterPinterestEmail
Newer Posts
Older Posts

Berita Lain

  • Audit BPK Ungkap Tantangan Ekonomi Biru Indonesia
  • Majalah Warta BPK Edisi April 2025
  • Transformasi Digital Dorong Efisiensi Keuangan Negara
  • Selamat! Ini Dia Pemenang Kuis WartaBPK.Go!
  • Sampaikan Hasil Pemeriksaan, BPK Rekomendasikan IMO Perkuat Manajemen Aset dan Anggaran
  • BPK.GO.ID
  • Tentang
  • Kebijakan Data Pribadi
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak

@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id

WartaBPK.go
  • Home
WartaBPK.go

Recent Posts

  • Audit BPK Ungkap Tantangan Ekonomi Biru Indonesia

    17/07/2025
  • Majalah Warta BPK Edisi April 2025

    16/07/2025
  • Transformasi Digital Dorong Efisiensi Keuangan Negara

    11/07/2025
  • Selamat! Ini Dia Pemenang Kuis WartaBPK.Go!

    10/07/2025
  • Sampaikan Hasil Pemeriksaan, BPK Rekomendasikan IMO Perkuat Manajemen...

    10/07/2025
@2021-2022 - Warta BPK GO. Kontak : warta@bpk.go.id